Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Karakter utama mana yang anda favoritkan?

  • Nisa

    Votes: 98 58,7%
  • Bening

    Votes: 63 37,7%
  • Amy

    Votes: 13 7,8%
  • Anya

    Votes: 28 16,8%
  • Ratna

    Votes: 12 7,2%

  • Total voters
    167
  • Poll closed .
Udah tanggal 20 master pb..hehhe
Ayo hu update sekarang

Hihihi, sabar atuh Mang. Orang sabar disayang Pak Jon. Wkwkw.
Siap deh, hari ini update.

Rame niiih... ijin buka lapak ya pa erte, skalian mw nuntut ilmu sama abah...

Mangga, masuk aja, Bang.
Kalau mau ketemu Abah masuk aja.
Nanti tinggal nulis aja di buku tamu sama ambil antrian. Hihihi.

Cek rebusannya ah,, siapa tau dah mateng,, anget2 sambil ngopi.. Endang tenan...

Gimana kalo kopinya rasa vanilla dulu?
Kebetulan yang udah siap upload rasa vanilla. Hehehe.

Btw, kemarin bilang kalau mau upload 2 part dalam sehari ya?
Maaf udah bohong.
Maksudnya 3 part.
 
Hihihi, sabar atuh Mang. Orang sabar disayang Pak Jon. Wkwkw.
Siap deh, hari ini update.



Mangga, masuk aja, Bang.
Kalau mau ketemu Abah masuk aja.
Nanti tinggal nulis aja di buku tamu sama ambil antrian. Hihihi.



Gimana kalo kopinya rasa vanilla dulu?
Kebetulan yang udah siap upload rasa vanilla. Hehehe.

Btw, kemarin bilang kalau mau upload 2 part dalam sehari ya?
Maaf udah bohong.
Maksudnya 3 part.

Yeaaayyy yang ditunggu2 udah bertitah hari ini update, dan ada bonusnya hohohoho gilak baca 30.000an kata ini
 
BAGIAN 3
PERANAN JIWA ASMARA




“Senada cinta bersemi di antara kita.
menyandang anggunnya peranan jiwa asmara.
Terlanjur untuk terhenti.
Di jalan yang telah tertempuh semenjak dini, sehidup semati.”




“Tarik napas dalam-dalam, Be.”

Bening yang memang sering kesulitan menahan emosi berusaha sebisa mungkin untuk mengikuti kata-kata Nisa. Menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya melalui mulut. Begitu terus berulang-ulang, sampai akhirnya dia merasa sedikit tenang. Terapi menarik napas ini memang dikenal dapat meredakan emosi atau bahkan tekanan darah tinggi.

“Minum.”

Bening kembali mengikuti apa yang disarankan oleh Nisa, ia minum segelas air putih yang ada di atas meja.

Ah, segar sekali rasanya.

Saat ini mereka berdua sedang berada duduk di depan meja makan di rumah Nisa, sebuah rumah nyaman yang asri dan sejuk yang ada di sebuah komplek perumahan yang tidak begitu jauh dari kota. Memang aneh rasanya ada tempat senyaman ini namun tidak jauh dari kota yang begitu hiruk pikuk. Beruntung sekali dulu Nisa dan Haris mendapatkan rumah ini.

Setelah melihat Bening mulai merasa nyaman, Nisa pun bisa lebih rileks. Semalaman Nisa harus menenangkan Bening yang terguncang setelah tahu suaminya selingkuh dan menangis tanpa henti. Ibu muda cantik yang mungil itu menyayangi Bening sebagaimana ia menyayangi ketiga sahabatnya yang lain – lebih seperti saudara dibandingkan teman biasa, jadi sebisa mungkin ia harus memberi masukan yang seandainya Bening berkenan mau mendengarkan.

“Jadi pertanyaan yang harus kamu jawab saat ini cuma satu, Be. Satu pertanyaan saja. Tapi satu pertanyaan ini akan menentukan jalan hidupmu selanjutnya.” Kata Nisa sambil berhadap-hadapan dengan Bening. Wanita cantik itu tahu apa yang selanjutnya akan ditanyakan oleh Kak Nisa, tapi kadang ia masih belum tahu harus menjawab apa. “Pilihanmu ada dua sekarang: berpisah atau mempertahankan pernikahanmu dengan Randy. Ini memang pilihan pahit karena dua-duanya memiliki konsekuensi yang tidak bakal nyaman. Saranku adalah, renungkan namun redam emosi dan gunakan akal sehat.”

“Dia terus menerus mencoba menelepon dan WhatsApp aku tanpa henti, minta ketemu, mau meminta maaf secara langsung, terus janji ini, janji itu. Untung aku mute hape-ku. Capek aku, Kak. Tadinya mau aku block nomernya tapi aku ingat Adinda masih sering mencari ayahnya.”

Nisa tersenyum meneduhkan, “Apa yang kamu rasakan sekarang wajar kok, Be. Semua rasa marah dan kesal karena kesetiaanmu dibuang begitu saja jelas terasa menyakitkan. Kamu juga pasti kesal karena merasa dibohongi selama ini oleh suami sendiri. Tidak ada yang keliru dari perasaan kamu, dan itu hal itu yang melelahkan.

“Saran aku sih begini, ini seandainya kamu mau melakukannya, Be. Tenangkan dulu dirimu beberapa hari di sini. Atur perasaanmu agar lebih tenang dan dapat menerima kalau kenyataan pahit itu sudah terjadi di luar kuasamu. Memang seakan-akan semuanya hancur, tapi kamu belum tahu semuanya. Kamu hanya melihat tonjolan es kecil di atas bongkahan batu raksasa yang belum terkuak. Apa alasan dan bagaimana bisa terjadi masih belum kamu ketahui.

“Setelah kamu lebih tenang, temui Randy dan bicara empat mata dengan kepala dingin. Ketahui alasan dia melakukan itu, siapa wanita itu, dan sudah berapa lama. Jika lantas Randy kemudian meminta maaf dan menyadari kesalahannya, mau bertanggung jawab atas perbuatannya dan berubah menjadi lebih baik, kamu kemudian bisa mempertimbangkan kembali pertanyaan utama di atas. Pisah, atau lanjut terus – dengan segala konsekuensi yang terikat.

“Yang harus kamu ingat adalah, jangan pernah memohon padanya. Baik itu memohon untuk berpisah atau mempertahankan pernikahan. Kamu sendiri yang sudah harus tahu apa yang kamu inginkan. Jadi kalau pertanyaan itu kembali diajukan, bola mentahnya sekarang ada pada Randy. Pernikahan itu ada dua sisi yang masing-masing memiliki separuh kuasa, jadi dia juga harus memutuskan apakah akan kembali padamu, atau ke wanita itu.”

“Jujur Kak... yang membuat aku paling berat adalah adanya Adinda... dan bagaimana perasaanku ke Randy yang bahkan sampai sekarang sebenarnya masih belum berubah. Aku kenal dia sejak kami berdua masih belum apa-apa, kami pacaran lama sebelum akhirnya menikah, aku tahu luar dalam dia, aku tahu jeleknya dia, aku tahu baiknya dia – jadi aku tidak mengira dia sanggup melakukan pengkhianatan seperti ini. Sakit banget rasanya, Kak. Sakitnya gak hilang-hilang. Aku ingat terus pose mereka di foto terkutuk itu. Lalu membayangkan betapa bodohnya aku sudah dibohongi bertahun-tahun. Bersikap manis dan baik ke Randy tapi di belakangku dia bertingkah semaunya. Aku tidak tahu sekarang sikap dia yang mana yang harus aku percaya...”

“Wajar, Be. Rasa sakit itu bakal terus ada dan akan terus menghantui jika kamu memutuskan untuk bertahan, itu salah satu konsekuensinya. Tidak mudah memperbaiki hubungan setelah terjadi hal seperti ini. Tapi manusia itu tempatnya salah, tempatnya khilaf – dan selama dia benar-benar serius untuk meminta maaf dan mencoba kembali, kesempatan mungkin masih ada – kalau kamu mau.

“Perasaan kamu dan dia saat ini sedang sangat sensitif, dan mudah digoyahkan karena emosi dan ego masing-masing. Tapi saat merenung nanti, pastikan kamu juga melakukan cek pada diri sendiri, instrospeksi diri kenapa bisa pasangan melakukan hal itu, dan apa yang salah pada hubungan kalian. Tenangkan diri kalian dulu dan pertimbangkan masak-masak sebelum mengambil keputusan yang akan mempengaruhi jalan hubungan kalian selamanya. Kalau memang butuh ruang dan waktu untuk mengambil keputusan, maka ambil saja. Bicara baik-baik untuk minta waktu demi mundur selangkah – untuk menjernihkan pikiran dan memikirkan semuanya.”

“Iya Kak...” kepala Bening menunduk, tapi ia rasakan penjelasan Nisa merasuk ke dalam batinnya.

“Oh iya, Be.”

“Iya Kak?”

“Satu lagi. Apapun keputusan akhir yang kamu ambil – aku, Amy, Anya, dan Nae pasti akan mendukungmu. Karena kita satu suara. Kita semua sayang kamu, Be.”

Setetes air mata bergulir di pipi Bening, ia memeluk Nisa dengan sangat erat. “Terima kasih, Kak. Terima kasih banyak untuk semuanya.”





.::..::..::..::.





Galih membuka gerbang yang cukup besar.

Gerbang rumah Ratna dikelilingi oleh tembok tinggi dan pintu besi tertutup yang memisahkan bagian dalam dan dunia luar. Di balik gerbang itu terdapat halaman luas dengan taman yang indah dan asri. Semua hijau dengan daun-daun menyapa dan bunga mekar dengan indahnya.

Yang tidak indah saat ini mungkin adalah wajah Ratna yang murung dan cemberut.

“Aku kan sudah bilang aku tidak mau diantar pulang.”

“Tidak boleh begitu, ah. Ayah dan Ibu kamu pasti sudah nyariin, seharian ga ada kabar.”

Meski sudah bisa mencari uang sendiri, namun Ratna masih tetap tinggal dengan kedua orang tuanya. Ia begitu disayang dan dimanja sehingga Galih yakin kedua orangtuanya pasti kebingungan saat kemarin Ratna memutuskan kabur dari rumah.

Melalui gerbang dan berjalan menyusuri jalan setapak, langkah kaki Galih dan Ratna terhenti saat mereka akhirnya sampai di depan teras rumah si cantik itu. Mereka tidak perlu masuk karena kemudian terdengar suara langkah kaki yang keluar untuk menemui mereka.

“Ratnaaaaa! Kamu dari mana saja!? Mama khawatir banget, Nduk!!”

Ibu Ratna langsung lari dan menghampiri putrinya terkasih, ia memeriksa semua sisi tubuhnya. Agak aneh memang karena saat itu Ratna mengenakan baju kedodoran yang dipinjam dari tetangga kontrakan Galih. Baju Ratna sendiri masih basah dan belum kering.

Ayah Ratna berjalan tertatih mengenakan kruk. Kakinya yang sebelah kiri memang sudah sakit sejak lama. Tapi ia bisa berjalan dengan cepat untuk berhadapan dengan Galih. Wajahnya merah, matanya melotot dan napasnya kembang kempis.

PLAAAAKKK!!!

Tamparan keras mendarat di wajah Galih.

“Sudah kubilang jangan dekati Ratna lagi! Kamu apakan dia semalam !?”

“PAPAAA!!” Ratna menggeliat dan melepaskan diri dari pelukan sang Ibunda, untuk memegang tangan sang ayah yang sepertinya sudah gatal memberi pelajaran untuk orang yang melarikan putrinya terkasih.

“Lepasin Papa!! Papa mau hajar pemuda kurang ajar ini!!”

“PAPAAA!!”

“Paaak... sudah Pak... sudah...” Ibu Ratna juga turut menenangkan sang suami.

Galih meraba pipinya. Tidak. Tamparan ini tidak sesakit tuduhan Papa Ratna. Ia mencoba menekan emosinya dan berbicara dengan nada selembut mungkin. “Maaf, Om. Tapi saya tidak melakukan hal-hal apapun pada Ratna. Saya tidak senista seperti yang Om kira. Saya mungkin orang miskin, orang papa, orang tak punya, yatim piatu, dan tidak memiliki pendidikan tinggi. Tapi saya tahu kok apa yang harus saya lakukan ketika Ratna datang ke tempat saya tadi malam. Saya sudah memintanya pulang ke rumah untuk menemui Om dan Tante, tapi Ratna terus saja menolak dan marah-marah, apalagi saat itu kondisinya sedang tidak memungkinkan saya untuk mengantarnya pulang. Hujan juga turun deras semalam.

“Jadi pagi-pagi sekali setelah beristirahat malam, saya antarkan Ratna pulang. Pagi-pagi sekali setelah subuh. Saya tidak tidur semalam demi memastikan Ratna baik-baik saja dan dapat saya pulangkan dengan kondisi sehat walafiat. Mohon maaf jika memang keputusan saya yang gegabah tersebut membuat khawatir Om dan Tante. Saya memang merasa bersalah sekali tidak cepat-cepat mengantarkan Ratna semalam.

“Tapi sungguh Om dan Tante, saya tidak melakukan hal-hal tidak pantas pada Ratna. Karena seperti halnya Om dan Tante yang sudah membesarkan Ratna, saya juga sangat mengasihi putri Om dan Tante ini. Saya tidak akan melakukan hal-hal yang menyakiti siapapun terlebih pada Ratna sendiri ataupun orangtuanya yang sangat saya hormati. Demikian sekiranya hatur saya pada Om dan Tante. Mohon maaf jika Om dan Tante merasa kehadiran saya sudah sangat mengganggu. Saya permisi.”

“PERGI KAMU DARI SINI!! PERGI!!!”

“PAPAAAA!!!”

“Paak... sudaah toh...”

Galih pun membalikkan badan dan melangkah tegap menuju gerbang. Ratna yang tidak rela Galih pergi buru-buru mengejar pemuda yang sangat ia cintai itu.

“Ratnaa!” Papa Ratna mencoba mencegah putrinya lari, namun Ratna jauh lebih cepat dan cekatan.

“Mas...” Mama Ratna membantu suaminya untuk dapat berdiri tegak dan melangkah masuk ke dalam rumah. Mereka berulang kali melihat ke belakang untuk melihat Ratna yang mengejar Galih.

“Nanti dia kabur lagi, Bu...”

Wes to. Percaya sama Galih. Dia toh sudah mengantarkan putrimu pulang, kan.”

Setelah masuk ke dalam, Papa Ratna meminum segelas teh hangat untuk meredakan semua emosinya yang meledak. Papa Ratna itu menarik napas panjang, “Ini demi Ratna sendiri, Bu. Demi kebaikan dia. Ibu tahu sendiri apa pekerjaan wong lanang iku. Ga jelas.”

“Ibu tahu... tapi biarkan mereka berpamitan dengan cara mereka sendiri. Memang mungkin bakal menyakitkan, tapi bukankah itu harus dilakukan? Galih itu anak baik, Pak. Dia juga sopan. Jangan galak-galak ah!”

Papa Ratna yang sejak tadi mendengus kesal akhirnya memilih untuk di bangkunya. “ya sudah, sana tolong kamu yang awasin. Jangan sampai anak itu kabur lagi. Mau ditaruh mana mukaku nanti sama Pak Darmo. Sebentar lagi pertunangannya bakal diselenggarakan, anaknya malah kabur.”

“Oalah Mas... Mas... hari gini kok masih mikirin gengsi.”

“Iyo iyo... wes sana diawasin! Aku minum teh dulu. Emosi aku...”

Bunda Ratna geleng-geleng kepala melihat keras-kepalanya sang suami. Ia pun buru-buru ke ruang depan untuk memastikan Ratna baik-baik saja. Sang Bunda menepuk dada saat ia melihat putrinya menemui Galih dengan air mata yang tidak berhenti berderai.

Maafkan kami, Nak. Ini semua demi kebaikanmu. Mudah-mudahan kami telah memilihkan jalan yang tepat untukmu.

Di luar, suara petir menyambar dan langit mendung makin gelap. Awan bergumul pekat dengan aroma basah menyebar di seluruh ufuk.

“Mas...” Ratna memegang erat kain bawah baju Galih.

“Selamat tinggal, Ratna. Semoga kamu berbahagia.” Kata Galih dengan suara parau yang hampir tak terdengar karena amat pelan.

“Mas... jangan tinggalin aku, Mas.”

Tapi Galih tak lagi menjawab. Ia menghentakkan bajunya agar tangan Ratna terlepas. Pemuda itupun lantas membalikkan badan dan berjalan tanpa pernah lagi menengok ke belakang.

Saat itu pula tiba-tiba hujan turun dengan derasnya, seakan ikut memahami perpisahan dua anak manusia yang sudah saling menyayangi sejak masa remaja ini. Apa sih yang lebih indah dari cinta pertama?

Ratna berjalan mundur sembari terisak-isak dan jatuh terduduk di tangga depan rumahnya. Kembali tubuhnya basah oleh hujan yang turun tiba-tiba. Ia tak lagi peduli jika petir menyambar sekalipun. Mungkin dia tidak tahu apa yang akan terjadi di masa depan, tapi saat ini rasa sakit di hati itu begitu terasa.

Suara sesunggukan Ratna menyayat perasaan Galih, namun pemuda itu tetap berjalan diantara derasnya hujan.

Ini yang terbaik, batin Galih. Ini yang terbaik...

Semoga hidup Ratna lebih bahagia tanpa kehadirannya. Kalau kelak mereka bertemu kembali, Galih berharap Ratna sudah mendapatkan keluarga bahagia dan masa depan yang cerah. Semoga.

Karena Galih sudah beranjak pergi, maka Bunda Ratna pun memberanikan diri keluar dari rumah dan menyusul putrinya dengan khawatir. Ia mengajaknya masuk ke dalam. Ratna yang tidak tahu lagi harus bagaimana terpaksa menurut pada sang Ibunda. Ia sempat melirik ke depan, ke arah pria berjaket jeans yang ada di depan rumah, yang didera hujan yang makin deras.

Inikah kali terakhir mereka akan bertemu dengan perasaan yang masih saling sayang? Suatu saat kelak, akankah mereka bertemu kembali dengan perasaan yang sudah berbeda?

Galih naik ke atas motor, mengenakan helm, menyalakan motornya dan melaju tanpa tahu hendak ke mana. Ia tidak peduli jika sekujur tubuhnya basah. Malam ini, dia hanya ingin mengukur jalan saja. Melepas semua kenangan yang pernah ada dan melampiaskannya ke jalanan yang basah.

Ia tahu selama ini jika harapannya bisa bersama Ratna sangat kecil, itu sebabnya ia sudah berhenti berharap sejak lama. Ia sudah berhenti berharap dan tahu kalau ia membutuhkan sesuatu yang berbeda. Ia selalu berusaha siap untuk menghadapi kenyataan yang ada, sepahit apapun itu. Itu pula sebabnya dia sudah berusaha untuk melepaskan ikatan dengan Ratna, berusaha untuk tidak mencintainya.

Ia sudah bersiap.

Tapi Ia tidak pernah menyangka kalau perpisahan itu tetap akan menyakitkan.

Ya sudahlah.

Mungkin akan ada cinta yang lain untuknya, mungkin akan ada jalur lain yang bisa ia lalui, ia tahu ia akan menghadapi jalan yang mungkin lebih terjal dan lebih menanjak. Tapi mungkin ini saatnya ia mendaki lebih tinggi, dan menghadapi tantangan yang lebih sulit lagi.

Biarkan hujan terus turun.

Hapuskan semua jejak-jejak.

Hapus semua yang tertinggal.

Mungkin ini saat yang tepat untuk mengucapkan...

Selamat tinggal masa lalu.





.::..::..::..::.





.:: BEBERAPA HARI KEMUDIAN



“Kak... Kak Be.”

“Iya, Nces? Ada apa? Eh, aku nanti pinjam laporan yang minggu kemarin ya? Ga tau kenapa file-nya corrupt nih waktu aku copy dari flashdisk.”

Bening masih sibuk mengetik laporan perjalanan keluar di PC-nya saat Anya tiba-tiba nongol di cubicle-nya. Laporannya sudah mundur beberapa hari karena banyaknya permasalahan yang harus dihadapi sehingga Bening harus izin tidak masuk kerja. Saat ini, baik Bening maupun Anya masih berada di ruang marketing walaupun jam pulang sudah lewat beberapa saat yang lalu. Keduanya sibuk menyelesaikan laporan.

“Iya Kak, ada di PC aku, ambil aja nanti kalau mau. Password-nya masih sama. Laporannya ada di folder laporan, folder-nya ada di desktop. Emm... Kak Be, ada tamu mau ketemu, tuh.”

“Tamu? Di mana? Lobby?”

“Di sini.”

“Ha?”

Bening melihat ke arah Anya dengan pandangan heran. Kok ada tamu yang diperbolehkan masuk ke ruang karyawan ini? Ketika Anya menunjuk ke arah pintu masuk barulah Bening paham.

Randy berdiri dengan membawa bunga di dekat pintu.

Bening langsung memalingkan muka dan menarik napas panjang yang berat saat Randy kemudian berjalan mendekat dan mengucapkan terima kasih pada Anya yang kemudian kembali ke mejanya.

“Kamu... belum pulang?”

“Mau apa kamu datang ke sini?” Bening tegas dan ketus. Tidak sedikitpun ia mau menatap wajah suaminya. Ia menghindar pandangan dari mata ke mata, karena hal itu akan membuatnya luruh. Ia menerima bunga dari Randy dan meletakkannya di atas meja tanpa ekspresi.

Randy tahu, jika ia tidak segera melakukan ini, ia akan kehilangan Bening.

“Be... sayang... kita... aku... akan memperbaiki ini semua. Demi Tuhan, Be. Aku cinta sama kamu. Selalu cinta sama kamu. Dulu, sekarang, atau besok pun aku masih akan cinta sama kamu. Kamu adalah satu-satunya wanita yang kupilih menjadi istriku. Itu tidak akan berubah sampai kapanpun. Aku juga tetap akan selalu menjaga dan merawat Adinda. Berikanlah aku kesempatan untuk memperbaiki semua kesalahan yang telah aku buat.”

Bening memejamkan mata dan menangkupkan jemari di dahinya. Sudah siapkah ia memulai pembicaraan ini?

“Be... kita butuh bicara dari hati ke hati. Karena kamu tidak mau pulang ke rumah... maka aku pikir, aku harus datang ke kantormu untuk benar-benar bisa bicara sama kamu. Aku... sedikit memaksa masuk setelah tadi bicara dengan pimpinan kamu di bawah, kita kebetulan ketemu dan aku diijinkan naik ke atas. Tapi aku tidak cerita apa-apa ke dia kok.”

Bening masih diam, menarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya melalui mulut. Wanita jelita berkerudung itu tengah menahan emosi sembari berpikir keras.

“Be...?”

“Tidak di sini, Mas. Kita ke balkon.”

Ruangan divisi marketing memang belum kosong, ada beberapa orang di sana, termasuk Anya yang saat ini menatap Bening dengan khawatir. Bening tersenyum pada Anya dan mengangguk. Lalu ia menunjukkan tempat yang lebih pas untuk berbincang-bincang dengan Randy.

Balkon bertaman yang ada di luar divisi marketing adalah adalah lokasi favorit untuk nongkrong dan menyaksikan pemandangan kota dari lantai belasan gedung bertingkat tempat kantor Bening berada. Baik itu pagi atau malam hari pemandangannya selalu indah dan luas. Balkon itu didesain sebagai taman urban, dengan lantai beton dipadukan dengan lantai kayu yang menyatu dengan suasana hijau. Terdapat banyak pohon-pohon kecil dan tanaman perdu yang rimbun dan rindang. Ibarat hutan kecil yang menggantung di udara.

Desainer taman ini bahkan meletakkan sebuah kolam kecil sebagai pelengkap kesegaran. Pagar yang mengelilingi balkon dibuat dari kaca tebal agar pandangan ke sekeliling tidak terhalang. Tempat ini juga terpisah dari kantor utama, sehingga tidak bisa dilihat secara langsung dari dalam.

Di tempat itulah kini Bening dan Randy duduk bersama.

Bening berdiri di samping pagar, menikmati hembusan angin kencang yang membuat kerudungnya mekar dan bagaikan terbang beberapa kali. Si cantik itu memejamkan mata, menikmati angin yang membuatnya teringat saat-saat indah bersama suaminya yang berputar di benak bagaikan slideshow. Saat-saat mereka mereka merintis semua sejak awal, mengurai kesulitan dan kesulitan demi hidup yang lebih baik. Itu semua tidak mudah, ia tahu bagaimana suaminya selalu mencoba bersabar dan telah mengorbankan banyak hal. Hal-hal seperti itu yang membuat Bening kemudian berpikir keras dan akhirnya mencoba mengambil keputusan berat.

Bening berbalik dan mengajak Randy duduk di sebuah sudut, berhadap-hadapan.

Hampir beberapa menit keduanya terdiam. Saling menunduk dan tidak tahu siapa yang harus mulai duluan. Randy sudah siap memulai namun ia takut mengganggu Bening yang sepertinya sedang berpikir keras.

Bening akhirnya membuka suara, ia lebih tenang sekarang. “Kamu sudah dewasa, Mas. Kamu tahu apa yang kamu inginkan dan apa yang kamu butuhkan. Kalau memang mau melakukan yang harus dilakukan, maka lakukanlah. Aku tidak akan menghalangi kamu atau mencegahmu mendapatkan apa yang kamu inginkan. Tapi tolong... sekali lagi tolong... aku tidak ingin terus berada dalam situasi seperti ini, Mas. Sakit banget rasanya. Dengan mudahnya satu hal bodoh bisa menghapus semua yang kepercayaanku pada hubungan kita, pada kamu.

“Jadi tolong ingat baik-baik, percakapan kita kali ini adalah pondasi jalur masa depan kita bersama. Kalau kamu mau meneruskan hubungan dengan wanita itu, maka aku yang akan mundur dan mengajukan gugatan cerai. Kenapa? Karena aku perlu melindungi diri dan membangun hidupku dari awal kembali. Aku ingin terus menjalani hidup yang membuatku bahagia bersama Adinda. Kalaupun itu akhirnya tanpa kita jalan bersama, aku dengan tulus ikhlas akan melepaskanmu.

“Jadi, Mas... apa yang akan terjadi selanjutnya, terserah kamu. Keputusanmu aku tunggu.”

Bening menutup kalimatnya dengan tenang dan kalem.

Ia lega sekali rasanya.

Ia lega telah mengeluarkan semua uneg-uneg yang beberapa hari ini mengganggu tidurnya. Mungkin untuk pertama kalinya ia mengekspos kelemahannya sebagai seorang wanita – hal yang tidak ia sukai, namun ia yakin apa yang ia lakukan sekarang adalah yang terbaik.

“Be, aku yang salah. Aku bersalah sama kamu, sama Adinda, dan aku menyesal bukan kepalang telah melakukan kesalahan yang mungkin tidak termaafkan itu. Tapi ijinkan aku mengucapkan maaf dari hati yang paling dalam, sungguh-sungguh aku meminta maaf. Ke kamu dan ke Adinda, apalagi ke orangtua kamu... karena aku tidak menjalankan tugasku sebagai suami dan ayah dengan baik.

“Jika diberikan kesempatan, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin mengembalikan kepercayaan yang hilang walaupun aku harus mulai dari awal kembali. Pasti butuh waktu dan butuh pembuktian – hanya itu yang aku minta dari kamu, Be. Waktu untuk membuktikan kesungguhanku. Hatiku ke kamu masih belum berubah.

“Aku sudah memblokir dan menghapus nama wanita itu dari hape-ku. Kamu juga boleh memeriksa ponselku kapan pun kamu mau, tidak ada rahasia lagi. Aku akan mencoba semua cara yang kamu Ijinkan untuk mencoba kembali, Be.”

Bening mencoba untuk tidak terbawa perasaannya sendiri, namun ia tetap wanita biasa. Ibu muda satu anak yang tampil cantik dengan kerudung berwarna lembut itu pun terisak.

Randy menunduk dalam-dalam, “Kamu percaya sama aku kan, Be?”

“Aku tidak tahu lagi, Mas.”

“Aku masih ingin terus kita jalan bersama, Be.” air mata Randy juga menetes, ia mengatakan semuanya dengan jujur. Biar saja orang bilang ia cengeng. Tapi dia tidak ingin kehilangan Bening sampai kapanpun, Bening terlalu baik dan terlalu indah untuk dilepaskan. Bodohnya ia dulu telah melakukan hal terkutuk yang sekarang menyakiti Bening. Ia memang telah bersalah, namun orang yang bersalah juga masih bisa berubah, kan? Masih bisa memutar balik ketika salah jalur, kan? “Be, kesalahan tetap kesalahan dan aku akan terus membawa beban itu seumur hidupku. Tapi aku ingin memperbaiki diri di hadapan kamu, dan memperbaiki hubungan kita yang telah aku hancurkan. Maukah kamu memberikan aku kesempatan itu?”

Bening makin sesunggukan, Randy bangkit dan memeluknya. Kali ini Bening membiarkan dirinya dipeluk suaminya itu.

Bisakah dia menerima kembali Randy? Bisakah dia memaafkannya?

Entah.

Waktu yang akan membuktikan.

Waktu tidak akan menyembuhkan, tapi waktu akan memberikan kesempatan untuk meredakan.

Bening melepaskan pelukan Randy dan sedikit menjauh. Ia mencoba merapikan napas yang berantakan karena sesunggukan, “aku juga butuh waktu, Mas. Aku masih belum bisa pulang ke rumah dalam waktu dekat ini. Aku masih terngiang-ngiang semuanya dan belum bisa memaafkan kamu seutuhnya.” Kata Bening sambil menghapus lelehan airmatanya. “Aku masih belum tahu dimana aku tinggal sementara. Mungkin aku akan menyewa apartemen di dekat sini untuk sementara waktu.”

Randy mengangguk, “aku mengerti, Be. Sangat mengerti. Aku akan menunggu selama apapun yang kau minta.”

“Aku tidak bisa memberikan janji semua akan kembali seperti semula, atau apakah hubungan kita bisa dilanjutkan.”

“Itu juga sangat aku mengerti. Tapi aku bersedia menunggu sampai kamu menemukan jawabannya.”

Bening mengangguk.

Randy berdiri dan memberanikan diri untuk mengecup ujung bagian atas kepala Bening yang masih tertutup kerudung. Bening diam saja dan membiarkan suaminya melakukan itu. Suatu hal yang sebulan yang lalu adalah hal yang biasa, namun begitu asing dan kaku saat ini bagi keduanya.

Bening lantas berdiri dan mengantarkan Randy masuk kembali ke ruangan kantor. Banyak teman-teman Bening yang kini berkemas-kemas untuk pulang.

Saat itulah Anya menghampiri mereka. Melihat wajah Bening dan Randy yang tenang, Anya pun jadi ikut senang.

“Kak Bening, Aku pulang dulu ya.”

“Iya, Nces. Kamu dijemput Abdil?”

“Iya Kak, dia udah di bawah. Duluan Kak Be, Mas Randy.”

“Hati-hati di jalan, Nces.”

Saat Anya sudah menghilang di balik pintu, Randy kembali beralih ke istrinya.

“Sudah waktunya pulang?”

“Iya.”

“Mau aku antarkan pulang?”

“Ga usah, Mas. Aku ada lemburan dikit, biar nanti aku pakai bus aja.”

“Kok Bus? Mobil kamu?”

“Masuk bengkel.”

“Oh gitu.”

Randy tahu kalaupun dia memaksakan diri untuk mengantarkan Bening pulang, istrinya itu akan tetap menolaknya. Tapi tidak ada salahnya mencoba, bukan?

“Aku bisa kok nungguin kamu selama mengerjakan lemburan. Gimana?”

“Udah Mas, ga apa-apa, aku bisa sendiri kok. Ada halte ga jauh dari sini. Nanti aku naik bus aja.”

Randy tahu tidak ada gunanya mendebat istrinya saat ini. Kalau dia sedang ingin sendiri, itu artinya dia sedang ingin sendiri. Dia sebenarnya tahu lokasi halte itu tidaklah dekat, meski masih bisa dicapai dengan berjalan kaki. “Okelah kalau begitu, hati-hati di jalan, Be. Hubungi aku kalau butuh apa-apa.”

Bening mengangguk. Randy pun melangkah pergi. Belum beberapa langkah Randy berjalan, Bening memanggil suaminya.

“Mas...”

Randy menengok ke belakang.

“Terima kasih bunganya.”

Randy tersenyum. “Sama-sama.”

Keduanya berpisah dengan hati yang melunak.





.::..::..::..::.





Sejak pulang dari workshop, Amy merasa ada sesuatu yang aneh pada dirinya.

Ada sesuatu yang hilang namun ia tidak tahu apa itu. Semua barang sudah ia periksa, tidak ada yang ketinggalan. Semua barang sudah ia cek, tidak ada yang hilang. Lalu apa ya? Kenapa dia jadi paranoid seperti ini?

Perasaan aneh itu membuat Amy jadi lebih sering melamun, ia sendiri bingung melamunkan apa. Kadang-kadang ia hanya merasa kosong dan hampa. Padahal pekerjaan begitu banyak dan rencana pernikahan dengan Beno yang harus disusun sejak lama juga harus dipikirkan.

Apalagi mengetik laporan yang membosankan yang sekarang sedang ia tatap di laptopnya, laporan yang membuat dia menguap berulang-ulang. Amy menggeliat dan untuk sesaat ia ingin beristirahat. Sejenak saja, boleh kan ia melakukannya?

Amy memejamkan mata, dan tanpa tersadar ia terbawa dalam alam mimpi yang tidak ia kendalikan.

Ia merasakan dirinya berada di sebuah ruang yang luas, namun sepi. Hanya ada dirinya saja. Ruangan itu hanya memiliki satu kursi kecil dan ia tengah duduk di kursi itu.

Tiba-tiba terdengar musik yang aneh dan ada beberapa orang datang. Orang-orang tua dengan wajah yang tak nampak. Ia hanya tahu kalau mereka tua dari kulit mereka yang keriput dan kumis mereka yang memutih.

Orang-orang tua itu mendekati Amy. Tapi... tapi... mereka... mereka telanjang! Bagaimana bisa mereka tiba-tiba telanjang? Amy memalingkan wajah supaya tidak melihat kemaluan yang menggantung dari segala arah.

Amy memeriksa pakaiannya sendiri dan... ia juga sudah telanjang bulat!!

Aduh!!

Bagaimana ini? Dengan panik Amy menutup ketelanjangannya dengan tangan, tapi itu saja tidak cukup menutup bagian-bagian vitalnya dari sergapan tangan-tangan laki-laki tua yang lantas mengerumuninya.

Mereka menjamahnya.

Mereka mengelus sekujur tubuh mulusnya dengan tangannya yang keriput, seluruh tubuhnya.

“Jangaaan... jangaaaaaan!!”

Namun tangan-tangan itu tetap melaksanakan niat mereka, dua tangan menggenggam erat payudaranya yang terbuka dan satu jemari menusuk langsung ke bagian kewanitaannya.

“Aaaahhh!! Ahhhhh!!!”

Terdengar dering kencang suara ringtone.

Smartphone-nya menyala dan berdering dengan kencang membangunkan Amy yang langsung terhenyak, tersadar dari mimpinya yang aneh dan saru. Aduh, barusan dia hanya teriak-teriak dalam batin, kan? Buru-buru gadis cantik itu mengambil dan membuka smartphone-nya. Terima kasih, wahai ponsel. Kamu telah menyelamatkan Amy dari rasa malu karena mimpi di sore hari.

Rupanya ada panggilan telepon dari Ardian Beno Putra, tunangannya.

“Halo? Iya, Mas?”

“Sayang, aku sudah di bawah ya. Di tempat parkir seperti biasanya.”

“Oh udah ya? Oke. Aku kemas-kemas dulu ya. Aku turun setelah ini.”

“Siap, aku tunggu. Love you.”

Love you too.”

Setelah menutup telepon, Amy mengatur napas kembali. Kenapa ini? Kenapa jantung ini berdebar lebih kencang dari biasanya? Mimpi aneh apaan yang barusan? Dih... sumpah cringe banget. Ia menggelengkan kepala untuk menghapus mimpi buruk yang terkutuk yang mampir ke dalam pikirannya.

Apa-apaan coba, mimpi kok digerayangi serombongan kakek-kakek.

Menjijikkan.

Amy pun berkemas-kemas dan merapikan semuanya. Sudah semuanya kan?

Yakin kok, sudah. Ya tidak ada salahnya cek lagi. Ia pun memeriksa kembali tasnya. Beneran sudah semua.

Tapi...

Tapi... kenapa ia merasa tetap ada sesuatu yang kurang ya?

Ada sesuatu yang tidak pas. Tapi apa?

Amy berjalan dengan langkah ragu-ragu menuju pintu keluar ruangan.

“A... Am... Amy...”

Dani memanggil Amy yang berjalan melintas cubicle-nya. Oh, rupanya masih ada Dani ya. Amy mengira ruangan ini sudah kosong sedari tadi. Biasanya ia yang terakhir. Supervisor mereka, Pak Marjono sendiri sepertinya sedang rapat pimpinan di ruang meeting, jadi tidak perlu ditunggu.

“Eh, Dani. Belum pulang?”

“Be... belum...” tiap kali bertatapan mata langsung dengan Amy, wajah Dani memerah. “Ka... kapan ki... kita bisa bi... bicara... ya?”

“Ohhh!!! Ampun! Lupa aku! Sori banget, Dan. Iya ya, aku janji ya waktu workshop. Duh, kapan ya?”

“Se... s... sekarang?”

“Sori banget, Dan. Ini aku udah dijemput tunanganku. Udah buru-buru banget. Lain kali aja, ya.” Kata Amy sembari memasang wajah memelas, “janji deh. Lain kali aku siapkan waktu buat ngobrol soal kerjaan ini sama kamu. Soal kerjaan kan? Besok lagi ingetin aku ya, Dan. Byee...”

Amy menghilang di balik pintu sembari melambaikan tangan, Dani pun membalas lambaian tangan itu dengan lesu.

“B... bye.”





.::..::..::..::.





“Wah…”

Hujan deras mengguyur bumi, derai derap air tumpah dari langit membasahi setiap sudut dari ujung ketemu ujung. Dari atas ke bawah, dari kanan ke kiri, dari kiri ke kanan, dari sisi ketemu sisi. Daun-daun basah, ranting-ranting terbasuh bersih, pepohonan mandi dengan segarnya.

“Sudah hampir sebulan ini hujan terus kalau jam-jam segini, ya? Pasti ada tempat-tempat yang kena banjir.” Kata Bu Sri ketika melihat keluar jendela restoran. “Kalau Mas Barjo pasti justru senang sekali kalau melihat hujan. Tanamannya bakal tumbuh subur setelah ini.”

Ibu dari Abdil dan Said itu mengamati hujan sembari menyebutkan nama tukang kebun di rumah. Mas Barjo dan Bu Sri memang sangat suka sekali berkebun, dan kebun rumah Bu Sri sungguh sangat asri dengan segala macam tanaman dan pepohonan rimbun yang menyejukkan.

Saat ini Bu Sri dan suaminya Pak Sasongko Salim sedang menunggu hidangan makan malam di Resto xxx bersama dengan kedua putra mereka, si sulung Abdil Salim dan kekasihnya Anya serta si bungsu Said Salim yang juga datang dengan pacarnya, Zoya. Acara makan bersama di luar seperti ini seringkali harus mereka lakukan karena Pak Sasongko jarang pulang ke rumah bahkan saat ketiga anggota keluarga yang lain sedang ada di rumah. Sehingga mereka harus merencanakan makan bersama dua minggu sekali atau sekali sebulan hanya untuk dapat berkumpul bersama.

Bu Sri kemudian menceritakan soal kebunnya dan bagaimana ia ingin membuat sebuah rumah kaca untuk menampung tanaman-tanaman hias dan membuat kebun hidroponik dalam skala besar. Rencana yang kemudian didukung oleh Abdil dan Said yang langsung siap menyokong dananya seandainya Bu Sri sudah menemukan lokasi untuk membuat rumah kaca tersebut.

Pak Sasongko sendiri tengah sibuk memainkan smartphone-nya. Ia hanya manggut-manggut mendengarkan rencana istrinya. Jelas dia tidak akan keberatan dan pasti mau menggelontorkan dana berapapun nominalnya.

Zoya yang duduk bersebelahan dengan Anya mengetuk lengan Anya, ia mendekatkan bibirnya ke telinga Anya supaya bisa setengah berbisik. “Kak Anya, sebel banget tau ga.”

Anya menengok ke arah pacar Said itu, “Kenapa Zee?”

“Aku ga rela... Kak Anya cantik banget hari ini... huhuhu... aku kayak apaan nih...”

“Halaaaaah! Kirain apaan.” Anya tersenyum sambil menempelkan kepalanya ke kepala Zoya. Mereka memang sudah sangat akrab seperti adik kakak. “Kamu aja kerjaan sehari-hari jadi model, sayang. Ya cantikan kamu lah. Model laris manis tanjung kimpul, selebgram dengan pengikut instagram seabreg-abreg, youtuber kecantikan yang naik daun, tiktokers trendi, nah kurang apa lagi? Kalau sekarang kamu bilang aku cantik itu artinya kamu menghina aku, Zee.”

Zoya tersipu, sambil menjulurkan lidah dengan main-main, “Beneran ini Kak, hari ini Kak Anya bener-bener cantik banget. Mempesona seribu mata yang memandang. Ga lihat apa sedari tadi banyak cowok-cowok curi pandang ke meja kita?”

Anya tertawa kecil sambil melihat sekitar, ia baru sadar kalau sejak tadi memang ada beberapa laki-laki yang melirik ke arah meja ini, tapi tentunya bukan karena dia seorang – melainkan karena di sebelahnya juga ada seorang bidadari berwajah campuran Indo-Ukrania yang cantik luar biasa, Zoya Fedirivna Radchenko.

“Heh, jangan menuduh sembarangan. Tuh yang di sana sampai ngiler ngeliatin kamu.” Bisik Anya menggoda Zoya, “jadi bukan cuma aku aja, kan?”

“Kalian ini... lagi nemenin pacar malah ngobrolin cowok-cowok di meja lain.” Bisik Said sambil tersenyum simpul pada Anya dan Zoya. Sedari tadi ia mendengarkan percakapan kedua wanita jelita itu.

“Kak Anya... ada yang cemburu, Kak.” Bisik Zoya geli.

Anya pun cekikikan.

“Ada apa sih sayang?” Abdil yang ada di sebelah Anya pun penasaran.

“Ah, nggak... ga ada apa-apa kok.” Anya menempelkan bahunya ke Abdil dengan manja. “Say, Mama sepertinya sudah sehat banget ya, seneng lihatnya. Kemarin kenapa?”

“Iya. Syukurlah sekarang sudah lebih sehat. Kayaknya kemarin sih masuk angin aja. Sudah sembuh sejak kapan itu aku beliin obat, beberapa hari minum akhirnya seger. Mungkin kangen sama Papa juga, jarang pulang kan Papa akhir-akhir ini...”

Anya mengangguk-angguk, tapi ia terdiam tanpa memberikan komentar.

Tiba-tiba smartphone milik Anya terdengar berdenting, pertanda ada SMS masuk. SMS dari bank, tiap kali ada transfer masuk dengan minimal nominal tertentu, SMS-Banking miliknya akan secara otomatis mengirimkan SMS seperti ini. Anya mengernyitkan dahi, ada yang mengirimnya uang? Sesaat kemudian ia tersadar siapa yang mengirimkan uang itu, terutama saat ia melirik ke ujung meja dan melihat Pak Sasongko tersenyum mesum.

Argh. Mau apa lagi si kampret tua itu?

Pak Sasongko menunjuk ke arah ponselnya dan tak lama kemudian Anya mendapatkan pesan WhatsApp, tebak saja dari siapa.

“Aku sudah kirim dua kali lipat dari biasanya. Aku mau kamu melepas celana dalam dan bra kamu dan menyerahkannya ke aku sekarang juga, kamu tidak boleh memakai apa-apa lagi sampai nanti aku kembalikan keduanya.”

Bajingan tua brengsek. Gila orang ini.

Apa pria tua busuk itu mau mempermalukan Anya di depan publik? Di depan anaknya sendiri? Di depan istrinya? Sepertinya ada yang salah dengan sekrup dan baut di otak orang tua cabul satu itu. Kalau saja ia tidak mencintai Abdil, Anya tidak akan pernah mau satu ruangan dengan orang itu pada situasi biasa-biasa saja.

Anya langsung tertimpa dilema. Bagaimana ini? Dia tidak bisa mengabaikan nominal yang sedemikian besar dan ia butuhkan ini, namun di sisi lain. Apa dia mau buang semua harga dirinya demi alasan itu? Ia melirik ke arah Abdil, lalu ke arah Pak Sasongko yang sedang tersenyum. Bagaimana ini? Tak terasa keringat mulai turun di dahinya.

“Kak Anya? Kakak tidak apa-apa?” tanya Zoya yang melihat Anya tiba-tiba gelisah.

“Ti... tidak apa-apa kok. Ini lho, kok tiba-tiba kepala dan perut sama muternya. Apa jangan-jangan kelaparan ya, belum makan sedari siang. Mana makanan belum juga keluar dari tadi. Hihihi...”

“Hahaha, ah bisa aja Kakak ini...”

Pesan WhatsApp masuk lagi ke smartphone Anya.

“Waktumu lima menit.”

Bajingan ini memang benar-benar...

Anya melotot geram ke arah Pak Sasongko, namun orang tua itu memilih untuk mengalihkan pandangan dan pura-pura tidak melihat Anya. Ia berbincang di smartphone-nya membahas entah apa dengan siapa. Gadis jelita itu pun menarik napas panjang.

Ia berbisik ke arah Zoya, “aku ke kamar kecil dulu ya. Sepertinya tidak kuat nih nahan pusingnya. Mau cuci muka dulu.”

“Oh iya, Kak.”

Setelah berpamitan juga ke Abdil yang sedang sibuk membahas rencana pembuatan green house dengan sang Ibu dan Said, Anya melangkah ke toilet dengan menatap galak ke arah Pak Sasongko. Pria tua itu tentu saja bahagia melihat Anya sepertinya mau menuruti perintahnya.

Ia akan menunggu dengan sabar.





.::..::..::..::.





Macet.

Amy dan Beno terjebak di bawah guyuran hujan deras dan di tengah kemacetan yang padat. Mereka berdua memanfaatkan waktu ini untuk membahas rencana pernikahan. Mulai dari pembahasan gedung yang akan disewa, petugas KUA, panitia, catering, event organizer, jumlah undangan, jumlah tamu keseluruhan, posisi penempatan panggung, dan lain sebagainya.

Iringan lagu bossanova yang yang mengalun sejuk pas sekali dinikmati di bawah hujan yang turun deras. Setelah membicarakan masalah perkawinan, keduanya terdiam sembari menikmati musik jazz yang mengiringi hujan dan macet.

“Sayang...” setelah beberapa lama terdiam, Beno membuka percakapan.

“Ya?” Amy sibuk mencatat dan menyaring percakapan mereka mengenai rencana pernikahan di buku catatan mungil yang sering ia bawa kemana-mana.

“Sayang...”

“Iyaaa... apa?”

“Sadar ga kalau kamu itu manis banget?”

“Iiiih, apaan sih! Kirain mau ngomong apaan!” dengan manja Amy mencubit lengan sang tunangan tercinta. “Lagi sibuk malah digangguin ga jelas.”

Beno tertawa dan pura-pura mengaduh. Pura-pura, karena cubitan sayang dari Amy jelas tidak sakit. Pemuda itu tiba-tiba saja terbayang sesuatu yang nakal.

“Seandainya... seandainya saja nih...”

“Hmm...”

“Malam ini kita belok ke hotel, gimana? Berhenti untuk beberapa jam saja.”

Amy tersenyum. Ia meletakkan pensilnya di atas buku catatan dan tersenyum. “Hayooo... mikir jorok ya? Mas... kan sudah pernah kita bahas masalah ini. Masa harus dibahas lagi?”

“Hhh... Iya sih...” keluh Beno.

“Sabar ya. Beberapa bulan lagi kok.”

“Iya...” Beno cemberut. “Habisnya... kamu manis banget sih... mana tahan...”

Amy mengelus punggung sang tunangan. “Iya... dan aku bakal jadi milik kamu, selamanya, kapanpun juga akan ada di sisi kamu. Jadi mau kamu apain juga silahkan. Tapi sabar ya...”

“Ah, kalo begitu aku beruntung banget ya. Punya kekasih yang menghargai dan menjaga semuanya untuk aku.”

“Aku juga beruntung.” Amy tersenyum.

Seandainya saja.





.::..::..::..::.





“Saatnya foto bareeeeng.” Undang Bu Sri pada kedua anak dan pasangan masing-masing. Ia sedang berdiri di depan sebuah spot foto lebar di Resto xxx yang memiliki banyak spot foto instagrammable. Zoya memang pandai memilih tempat untuk makan bersama keluarga. Makanan belum dihidangkan, jadi ini saatnya untuk foto-foto bersama dulu.

Anya yang baru saja dari toilet buru-buru mendekat ke arah Abdil dan keluarganya yang sudah bersiap foto. Langkah kakinya agak tertatih dan aneh. Mau bagaimana lagi, rasanya memang tidak nyaman tidak mengenakan pakaian dalam seperti ini. Meski mengenakan baju dan kerudung yang menutup bagian atas tubuhnya, Anya tetap merasa risih dengan payudara yang menggantung bebas di sebalik pakaiannya, ia juga merasa dingin merasuk ke selangkangan yang kini hanya berbatasan langsung dengan kulot yang ia kenakan.

Puting susunya mengeras lancip bagaikan tutup botol yang terantuk berulang dengan kain pakaian yang ia kenakan. Ia bisa merasakan buah dadanya yang sentosa bergerak naik turun tanpa bisa ia kendalikan. Ia bukan wanita dengan buah dada raksasa, namun goyangan bebas seperti ini bisa jadi gawat kalau terlihat oleh seseorang yang menyadari kalau dia sama sekali tidak mengenakan bra.

Anya merasa dirinya bagaikan pusat perhatian semua orang saat ia melangkah menuju tempat foto bersama, tapi itu hanya perasaannya saja. Dengan buru-buru Anya mengambil posisi di sebelah Abdil dan... di sebelah Pak Sasongko yang memilih berdiri di samping sang bidadari dibandingkan duduk di samping istrinya.

Sesi foto bersama pun mulai dilakukan. Sang juru foto adalah karyawan restoran tersebut.

Diam-diam Pak Sasongko menempel ke Anya.

“Mana?” bisik laki-laki tua itu dengan nada terburu-buru dan tidak sabar.

Anya menggulingkan matanya ke atas. Nih orang memang…

“Ada di tas.” balas Anya.

“Mana?”

“Ada. Di. Tas.” Anya berbisik dengan ketus.

“Mana?”

Anya menggemeretakkan giginya dengan gemas. Ia mengambil tas, lalu melirik kiri kanan, dan saat tidak diketahui semua orang, ia menyelipkan celana dalam mungilnya ke tangan Pak Sasongko yang langsung memasukkannya ke dalam kantong celana.

“Bra?”

Anya menggeleng. Gila aja kalau dia harus menyerahkannya. Bra tidaklah seringkas celana dalam.

Pak Sasongko terkekeh puas.

Laki-laki tua itupun lantas menggesek-gesekkan kemaluannya ke belahan pantat Anya yang masih tertutup kulot. Pak Sas bisa merasakan kalau pantat Anya yang mulus benar-benar tidak dibatasi oleh celana dalam. Duh nikmatnya... pantat bulat dan sekal milik Anya ini sungguh idaman laki-laki penggemar bemper seperti dirinya. ibarat judul film, ini yan dinamakan Maju Kena Mundur Kena. Dengan berani dan yakin tidak akan ketahuan siapapun, Pak Sasongko meremas-remas pantat bulat milik Anya.

“Fotonya diulang lagi ya...” ucap sang photographer sembari bersiap mengambil gambar keluarga itu.

Anya tentu saja tidak bisa berbuat banyak, karena dia berada sangat dekat dengan Abdil yang berdiri di sebelah kirinya. Hal itu membuat tangan kiri Pak Sas leluasa menjelajah pantat bulat seksi milik Anya yang tidak memiliki perlindungan apapun saat ini.

Setdah! Orang ini memang benar-benar cabul! Hgghhh!!

Jari jemari nakal Pak Sas masuk ke sela-sela pantat dan mengelus-elus bibir kemaluan Anya. Wajah wanita cantik itu tentu saja langsung berubah memerah. Antara marah dan jengkel, namun juga terangsang hebat. Tangan Anya berusaha untuk menyingkirkan tangan ayah pacarnya yang cabul dari selangkangannya. Gila banget sih ini orang! Otaknya kemana!?

Setelah berusaha beberapa lama, Anya akhirnya berhasil melepaskan diri dari jemari nakal Pak Sas.

Tapi...

Hgghhh!!

Kalau begini terus Anya bisa gila! Tangan Pak Sasongko yang sudah disingkirkan kembali lagi ke tempat semula. Ritual yang bermula sebelumnya pun berulang kembali. Dengan berani Pak Sas mengusap pantat Anya, meremas-remas, lalu jemarinya menelusup masuk di antara selangkangan dan mengoles-oles bibir kemaluan yang masih berada di balik rok Anya.

“Kakak cantik, kok dari tadi merem-merem terus?” karyawan resto yang didapuk jadi tukang foto agak terheran-heran kenapa sedari tadi Anya merem-melek.

Semuanya menatap Anya.

Anya gugup saat semua mata menatap ke arahnya.

“Eh... i-iya, ini gara-gara kelilipan, Mas. Bisa diulang lagi fotonya?” Anya kebingungan mencari alasan untuk menutupi perbuatan tidak pantas yang dilakukan oleh ayah pacarnya ini. Memang sialan ini Pak Sasongko, membuatnya tidak bisa berkonsentrasi sedikit pun.

Karena setelah itu Pak Sasongko diminta turun untuk berdampingan dengan Bu Sri, maka Anya lega akhirnya ia bisa melewatkan sisa photoshoot tanpa gangguan. Usai acara berfoto-foto narsis, keluarga Pak Sasongko, Anya, dan Zoya menikmati hidangan yang disediakan.

“Mama ini paling suka sama sop, makanya ini sekarang Papa suapin dagingnya.” Kata Pak Sasongko menyendok hidangan yang ada di hadapannya. Bu Sri sumringah melihat kemesraan suaminya dan tertawa ketika anak-anak dan pacar mereka memuji.

“Awww... so sweeeeet.” Kata Zoya yang langsung mengabadikan adegan itu dengan ponselnya.

Anya hanya terdiam dan melanjutkan makan. Dia tidak peduli dengan adegan mesra apapun yang ditunjukkan oleh laki-laki tua itu. Tangan yang kini memberikan suapan ke istrinya, tadi sudah mampir mengusap-usap memek Anya.

Bangsat brengsek.

Sekitar dua puluh menit kemudian semua hidangan yang tersedia di meja sudah ludes ditandaskan oleh satu keluarga, ternyata mereka benar-benar lapar.

“Setelah makan apa lagi, Ma?” tanya Said pada sang ibu sesaat setelah menyilangkan sendok dan garpu di atas piringnya.

“Foto-foto lagi dong. Masih banyak spot foto yang belum Mama ambil. Lumayan buat pamer ke grup arisannya Mama.”

Semua anggota keluarga langsung tertawa mendengarkan ucapan Bu Sri, termasuk Pak Sasongko.

Karena ingin mewujudkan keinginan sang ibunda, usai makan bersama, Said dan Zoya mengajak Mama-nya berkeliling Resto xxx untuk mencoba satu demi satu spot foto yang ada, tentu saja Abdil harus menjadi juru foto mereka karena karyawan resto yang tadi menjadi photographer harus sibuk melayani tamu dan tidak dapat berkeliling halaman resto yang cukup luas.

“Aku tinggal bentar, ga apa-apa kan?” Abdil pamit ke Anya.

“Ya jelas tidak apa-apa, sayang. Biar Mama juga ikut senang.”

“Iya, makanya. Ya udah, kamu di sini dulu ya, nemenin Papa. Kayaknya beliau baru banyak kerjaan tuh, dari tadi ditelpon terus sama klien. Ini keliling-keliling sama Mama agak jauh muternya, biar sekalian bisa dapet semua spot foto.”

“Iya.” Anya tersenyum manis saat Abdil kemudian pergi menyusul sang bunda.

Anya melirik ke arah Pak Sasongko. Sejak tadi pria tua bertubuh tambun itu memang tidak henti-hentinya menggunakan smartphone, entah itu untuk berkirim teks ataupun untuk menelpon dan ditelpon seseorang. Orang ini gimana sih?

Anya mendengus jengkel.

Sedang berkumpul dengan keluarga kok malah pakai handphone melulu. Tidak menghargai banget.

Namun ketika Abdil bergabung dengan Bu Sri, Said dan Zoya – Pak Sasongko meletakkan smartphone-nya ke dalam kantong dan duduk di samping Anya. Dengan berani laki-laki tua itu mengelus-elus paha Anya yang langsung dikibaskan oleh si cantik.

“Maaf, Om. Jangan berlaku tidak pantas.”

“Tidak pantas bagaimana? Kita kan sering...”

“Saya sedang tidak melayani panggilan pekerjaan dari Om. Kita di sini sedang tidak duduk bersebelahan sebagai penjual dan pembeli. Saya duduk di sini sebagai kekasih dari anak Om! Sadar kan siapa saya?” Ketus sekali nada suara Anya, dan memang ia sedang ingin galak pada pria tua yang cabul ini. “Saya sudah melakukan apa yang Om mau tadi dan sudah sepadan dengan apa yang Om transfer. Tapi untuk hari ini, cukup segini saja. Saya tidak mau lagi. Kembalikan celana dalam saya!”

“Kamu belum memberikan aku beha kamu.”

“Yang benar saja, Om! Beha kan tidak bisa ditekuk! Mana mungkin saya ngasih ke Om di sana tadi.”

“Aku sudah bayar, Sayang. Mana beha kamu?”

Hhhh!! Geram sekali Anya. Ia pun membuka tas dan menarik bra berwarna hitam. Bra itu langsung disergap Pak Sasongko dan dimasukkannya ke dalam tas kerja.

“Sudah, puas? Puas bikin saya malu? Sekarang kembalikan semuanya. Saya tidak bisa pulang dengan keadaan seperti ini.”

Pak Sasongko terkekeh, tanpa mempedulikan apa yang baru saja disampaikan Anya, laki-laki tua itu menarik tangan Anya dan meletakkan jemari lentiknya di atas batang kejantanannya yang masih berada di dalam celana.

Anya melotot dan segera menarik tangannya. Ia pun menghardik Pak Sasongko, “Jangan kurang ajar! Saya bukan pelacur murahan yang mau disuruh apa-apa sama Om! Anak Om ada di sana! Dia bisa kembali ke sini kapan saja! Jangan gila, Om!”

Pak Sasongko kembali terkekeh melihat perlawanan dari Anya. Ia kemudian duduk bersandar sementara si cantik itu beringsut menjauh. Ia tidak mau duduk terlalu dekat dengan ayah Abdil yang sangat cabul dan berbuat tidak pantas di lokasi yang tidak tepat ini.

Pak Sas tidak mau kalah, ia justru beringsut merangsek ke arah Anya dan berbisik. “Kalau kamu mau beha dan celana dalam kamu kembali, elus-elus punya Om sebentar ya, sayang? Mau kan? Kasihan dia seharian ini belum ada yang ngelus.”

Brengsek. Batin Anya dalam hati.

Sambil melirik ke kiri dan kanan, Anya memastikan tidak ada pelayan ataupun pelanggan yang mampu melihat posisi duduknya dan Pak Sasongko. Setelah pasti tidak ada orang yang lihat, Anya mendekat ke arah Pak Sas.

Bidadari jelita itu pun membuka resleting celana dan sabuk sang pria tua. Ia memasukkan jemarinya ke dalam celana dalam laki-laki tua yang cabul itu dan menggoyang kemaluannya yang keriput. Ia tidak mau mengeluarkannya dari celana karena pasti akan sangat ketahuan.

“Aaahhh... ini baru makan malam yang enak.” Pak Sasongko merem melek karena merasakan genggaman jemari Anya begitu lihai memainkan alat kelaminnya. Naik turun, naik turun.

“Aaaahhh.... ehhmmm... enaaakk...”

“Oomm!! Ssst!! Jangan bikin suara!!” bisik Anya khawatir.

Pandangannya selalu beralih ke kanan kiri untuk menyaksikan apakah ada orang yang mendekat. Beruntung sekali saat ini mereka berdua duduk di meja yang paling pojok dengan bagian belakang tertutup.

“Aaahhh.... enakgghh sayaaang...”

“Sssttt!!”

Anya makin cepat mengocok kemaluan calon ayah mertuanya. Bisa gila dia kalau harus terus menerus melayani Pak Sas dengan pelayanan yang mesum seperti ini.

“Boleh saya angkat?”

“Eh… iya, Mas. Boleh.” Jawab Pak Sas dengan ketus.

Tiba-tiba saja ada seorang karyawan yang datang menghampiri untuk mengumpulkan piring kotor di meja mereka. Buru-buru Anya menarik tangannya dari selangkangan Pak Sasongko dan membiarkan pria tua itu merapikan celananya sendiri.

Pak Sasongko menggerutu dan menatap galak pada sang karyawan yang tidak bersalah. Apalagi kali ini Anya benar-benar menjauh dan memilih duduk berseberangan sehingga tidak akan ada kejadian ulangan seperti tadi karena sekarang mereka berhadap-hadapan.

Ia terkekeh kembali, oke... permainan seperti itu yang mau dimainkan oleh si cantik Anya ya? Menggemaskan sekali. Pak Sasongko mendekatkan diri ke depan, ke arah Anya.

“Baiklah kalau begitu. Anya sayang... Om mau memberikan penawaran yang serius dan hanya akan Om tawarkan sekali ini saja.”

Kening Anya berkerut. Mau apa lagi ayah Abdil ini? Jangan-jangan minta yang macam-macam lagi hari ini? Tidak mau. Anya tidak mau mempermalukan diri sendiri di depan Abdil. Seperti ini saja malunya sudah minta ampun.

“Sudah. Cukup! Apapun yang Om tawarkan malam ini, aku tidak mau! Begini saja aku sudah malu banget!” desis Anya sambil berbisik agar tidak ada yang dapat mendengarkan suaranya.

Padahal di dekat mereka tidak ada siapa-siapa saat itu, karyawan yang sedang membereskan piring sudah balik ke dapur. Si cantik itu mencoba memperbaiki posisinya duduk dan semakin jauh dari sang laki-laki tua cabul yang terus merangsek mendekatinya.

“Sudah ya, Om. Aku ga mau kayak gini lagi lain kali. Apalagi di depan Mas Abdil. Bisa-bisanya sih, Om? Tega banget sih?”

Pak Sasongko hanya terkekeh saat mendengarkan keluhan Anya. “Maafkan aku sayang, tapi kamu kelihatan manis sekali kalau sedang kebingungan begitu. Om suka aja lihatnya. Oke, Om tidak akan melakukan hal yang aneh-aneh lagi asal kamu mau menerima penawaran Om yang kali ini.”

“Penawaran apa lagi? Anya ga suka kalau Om mau minta yang aneh-aneh lagi.” Anya mengerutkan keningnya. Perasaannya tidak enak.

“Iya, kali ini Om tidak main-main.”

Pak Sas pun duduk santai sambil menarik dompetnya. Ia mengeluarkan secarik kertas dari dalam dompet tersebut. Laki-laki tua itu tersenyum penuh arti pada Anya.

“Anya.” Sasongko mengibarkan kertas tersebut di hadapan si cantik. “Ini ada cek dengan nominal sepuluh kali lipat dari yang biasanya aku berikan buat kamu. Kalau kamu ingin lebih, aku bisa memberikan yang seperti ini tiga kali lipat. Tapi aku akan menyerahkan ceknya di waktu-waktu yang berbeda. Jadi intinya... kamu sendiri yang akan memilih harga dan kapan ceknya kamu ambil.”

Menggiurkan, tapi Anya yakin pasti ada tapinya… dan tapi itu pasti bakal jadi hal yang tidak dia inginkan sama sekali. Hatinya berdegup kencang menunggu apa keinginan Pak Sas kali ini.

“Yang aku mau hanya satu...”

Anya meneguk ludah.

“...aku mau keperawananmu.”

Dunia Anya serasa berputar saat itu juga.





.::..::..::..::.





I'm not crying 'cause you left me on my own.
I'm not crying 'cause you left me with no warning.
I'm just crying 'cause I can't escape what could've been.




Suasana kota malam itu dingin dan basah.

Hembusan angin terasa lengket menandakan hujan sepertinya akan segera turun. Lampu-lampu di jalan terang benderang dinyalakan, menerangi sepanjang perjalanan Bening yang sedang menyusuri trotoar sambil menyenandungkan sebuah lagu milik Jorja Smith. Ia baru berjalan sekitar 15 meter dari gerbang depan kantor ketika satu nyala terang tiba-tiba muncul di samping trotoar dan mengiringi langkah kakinya.

“Be! Lho kok kamu jalan kaki? Mobil kamu mana?”

Sebuah mobil berhenti di samping Bening yang tengah menundukkan kepala sembari menyusuri trotoar. Kaca jendela mobil itu terbuka dan menampakkan wajah yang sangat ia kenal, wajah ramah seorang supervisor di kantor Bening. Supervisor yang berasal dari divisi lain. Orang ini sudah sangat terkenal di kantor karena keramahan dan kebaikannya, tidak jarang ia mentraktir makan karyawan dan staf walaupun tidak ada acara apapun. Karena sudah akrab, Bening sering memanggilnya dengan sebutan Abah.

Bening mendekat ke mobil sambil tersenyum, “Mobilnya masuk bengkel, Bah. Ga tau apanya yang rusak. Katanya sih besok pagi sudah beres.”

“Begitu ya... ckckck... ada-ada aja ya tanggal tua. Terus ini mau kemana? Kok arahnya ke sana?”

“Mau pulang dong. Tapi naik bus aja, rumah saya kan di daerah xxx, jadi bisa naik Trans. Ini lagi jalan ke halte.”

“Daerah xxx? Lah itu kan sejalan sama aku? Udah sini naik aja kalo gitu, aku anterin. Searah kita sih.”

Bening jelas menolak, “Aaah, nggak ah, Bah. Saya ga mau ngrepotin.”

Haish, ngrepotin opo sih kon iku! Ngrepotin itu kalau aku nganternya sampai ke Selangor. Lha ini cuma sampe ke situ doang. Jalurnya jelas searah dan lokasi kamu sudah pasti kelewat. Udah, sini naik. Kayak sama siapa aja kamu tuh.” Pintu mobil pun terbuka dan wajah ramah di dalam mobil itupun menunggu.

“Abah... beneran deh, saya nggak mau ngrepotin, asli. Saya bisa kok pulang sendiri.” Bening tersenyum manis. Mudah-mudahan matanya tidak terlalu sembab supaya tidak ketahuan habis menangis sepanjang hari. Malu juga dilihat orang lain, terutama Abah yang sedang menawarinya tumpangan ini.

“Kalau kamu ga mau aku marah nih. Minggu depan ada acara makan bareng di Saung xxx, unit kamu aku coret dari daftar makan-makan.”

“Yeee, kok jadi gitu, Bah?”

“Makanya, ayo naik sini. Ditawarin gratis kok ga mau.”

Bening yang sejak awal menolak lama-kelamaan merasa tidak enak juga, terutama karena terus menerus didesak oleh orang ini. Meski beda unit tapi Abah sudah sering membantu Bening mendapatkan klien dan mencairkan deal. Mungkin diterima saja ya ajakannya?

Ya sudahlah.

Akhirnya ibu muda yang cantik itu menarik napas panjang dan mengangguk. “Iya deh, Bah. Tapi sekali ini aja ya ngrepotinnya. Beneran saya ga enak ini.”

“Ya iyalah. Emang kamu mau mobilmu rusak tiap hari?”

“Hahaha... iya juga, ya. Tapi ga mampir-mampir kan, Bah? Anak saya nungguin. Yang dititipin udah telpon melulu dari tadi.”

“Ya nggak lah, emang mau mampir mana lagi? Langsung pulang. Ekspress. Paket Kilat. One Day Service. Send Same Day. Ongkir gratis. Langsung ke depan rumah. Langsung ke tujuan. Dijamin puas.”

Kali ini Bening yang tertawa.

“Anak kamu dititipin?”

“Iya, Bah. Ke saudara sih. Tapi ini katanya hari ini mau ada acara, jadi saya disuruh buru-buru jemput si kecil.”

“Lho, suami kamu emang kemana?”

Bening terdiam sejenak, ada jeda agak lama sebelum ia akhirnya menjawab, “dia sedang ada kerjaan di kantor.”

“Oooh...”

Bening pun duduk di kursi di samping Abah dan memasang seatbelt-nya sembari merapikan pakaian dan meletakkan tasnya di dekat kaki. Begitu semua siap, mobil itu pun melaju pelan dengan kecepatan sedang. Hujan rintik-rintik turun seperti mendinginkan suasana yang tadinya begitu kacau bagi Bening.

Ibu muda jelita itu tenggelam dalam lamunan yang amat dalam sepanjang perjalanan. Ia masih ambigu dengan kelanjutan kehidupan rumah tangganya. Sudah kembali percayakah Ia pada suaminya? Yakinkah ia semuanya akan baik-baik saja? Ia tahu ia masih menyimpan asa dan sedikit harapan, Meskipun butuh waktu untuk mengembalikan semua rasa percaya dalam hubungan mereka, tapi ada secercah cahaya yang begitu cerah yang menyatukan mereka berdua. Mereka masih memiliki satu lem super kuat yang akan menyatukan hubungan mereka yang kini renggang. Lem kuat yang bernama Adinda. Bening tahu suaminya sangat memuja Adinda, kalau saja mereka punya pemikiran yang sama, mungkin masih ada jalan.

Tapi... ada satu hal yang membuatnya penasaran.

Apakah ia perlu menemui perempuan berengsek itu?

Perempuan yang hampir saja merebut suaminya? Mungkin perlu ya. Tapi ia tak mau melakukannya sendiri, ia harus mengajak suaminya agar mereka bisa duduk bertiga dan membahas masalah mereka bersama-sama. Mungkin setelah itu ia akan dapat memahami dan mengambil keputusan terakhir. Apakah hubungan sang suami dengannya masih akan berlanjut ataukah suaminya akan jatuh ke pelukan wanita jalang itu.

Siapa kemarin namanya...? Rima?

Abah menggelengkan kepala saat memencet-mencet layar smartphone yang diletakkan di dashboard mobilnya. Tampilan ponsel itu menunjukkan jalur jalan yang akan mereka tempuh melalui aplikasi penunjuk jalan Waze.

“Duh, sori banget, Be. Tapi ini jalurnya kok merah semua. Kayaknya bakal macet di depan nanti. Macet parah. Mungkin bakal terlambat sampai rumah.”

Saat Bening ikut memeriksa Google Maps ternyata memang ditunjukkan jalur-jalur merah yang mengular. Akan butuh waktu cukup lama keluar dari uraian itu nanti. Hal yang memang biasa di jalur pulang antara kantor dan rumah saudara Bening.

“Ya udah, Bah. Mau bagaimana lagi.”

Tak jauh di depan mereka ada satu toko xxxMart buka. Satu-satunya toko sebelum masuk ke pintu tol. Abah pun memutar setir ke arah kiri. “Aku mampir bentar ya. Mau isi saldo e-toll. Kayaknya sih masih ada isinya tapi ya buat jaga-jaga aja.”

“Siap, Bah.”

Mobil itu segera menepi ke kiri dan masuk parkiran. Seperti biasa, kalau di tempat seperti ini - awalnya terlihat sepi dan lengang. Tapi begitu ada gerakan kendaraan yang pakai roda masuk ke ruang parkir, langsung terdengar bunyi sempritan dan seorang pemuda dengan jaket parkir lusuh tergopoh-gopoh meneriakkan kiri kiri.

“Buset. Udah kayak jaelangkung aja ya, tukang parkir tu. Tau-tau nongol aja. Datang tak diundang, pulang tak diantar.”

Bening terkekeh.

“Kamu mau nitip apaan, Be?”

“Nggak, Bah. Aman kok.”

“Bener nih?”

“Yakin.”

“Oke deh.”

Setelah membuka pintu, Abah segera berlari kecil masuk ke toko itu sembari menggunakan kedua punggung tangan untuk menutup kepala dari hujan rintik yang terus menerus turun. Intensitas gerimis yang turun sepertinya mulai deras. Sebentar lagi pasti hujan lebat. Wah... untung Bening sudah masuk ke mobil ini tadi, kalau tadi ia tetap jalan – ia akan kehujanan sebelum sampai di halte.

Bening mengambil ponselnya dari dalam tas. Dia membuka lock-screen dan memeriksa satu demi satu pesan yang masuk. Cukup banyak juga, beberapa dari klien, beberapa dari teman, beberapa dari grup receh ga jelas, beberapa lagi dari atasan yang membagikan schedule untuk besok.

Ada beberapa pesan dari suaminya.

Hati-hati di jalan, Be.”

Kangen senyum kamu.”

I miss you, Be. Love you so much. Akan selalu menunggumu pulang.”

Bening tersenyum kecil, seperti ada pelangi yang bersinar terang dengan cerah di sanubarinya. Mungkin ini yang disebut habis gelap terbitlah terang. Mungkin masih ada harapan untuk menyelamatkan semuanya.

Mudah-mudahan pelangi dalam hatinya ini benar-benar menjadi pelangi hati yang nyata setelah semua pahit kehidupan yang ia rasakan beberapa hari lalu. Pedih telah dikhianati itu masih ada dan sampai sekarang masih terasa, tapi ia yakin ia, Randy dan Adinda, akan sanggup melalui semua rintangan. Asal masing-masing menjaga komitmen dan benar-benar berubah.

Mampukah mereka melakukannya? Mampukah mereka menjaga komitmen yang sebelumnya sudah dihancurkan menjadi butiran debu?

Ada perasaan kosong dalam hati Bening saat ini, perasaan yang tidak dapat ia jelaskan yang muncul ketika ia sedang mencoba memperbaiki diri dan memulai sesuatu dari awal setelah sebelumnya diacak-acak tidak menentu. Apa ya nama perasaan kosong yang tak bisa ia jelaskan ini? Suatu perasaan ambigu yang membuatnya ragu-ragu dalam menapak kehidupan. Ataukah mungkin di bawah sadarnya ia masih belum bisa sepenuhnya memaafkan Randy dan membutuhkan waktu untuk sendiri lebih lama? Waktu untuk ber-kontemplasi?

Betapa ia berterima kasih pada sahabat-sahabatnya. Beberapa hari ini ia telah mendapatkan banyak masukan dari Kak Nisa dan juga dari grup WhatsApp Arisan Lima Dara di mana Anya, Amy dan si Maknae memberikan dukungan tanpa syarat, mereka memang sahabat yang luar biasa. Semua masukan dari mereka membuatnya yakin untuk memberikan kesempatan kedua pada sang suami.

Karena kalau boleh jujur… Bening masih sangat mencintai Randy. Ya, ia masih sangat mencintai suaminya itu. Dia memang telah berbuat salah. Kesalahan yang luar biasa fatal, tapi Randy tetap suaminya saat ini. Apakah bisa dimaafkan atau tidak, itu tergantung dari perkembangan nanti.

Bening akhirnya mengetik pesan balasan.

Miss you too. Perhaps I will go home. Not today, maybe soon.”

Si cantik itu pun menekan tombol send.

Tepat pada saat itu, pintu mobil dibuka.

“Haloooooow! Duh kelamaan ya? Sori... sori... antri banget di kasir tadi.” Abah masuk ke mobil dengan tergopoh-gopoh dan sedikit basah karena hujan mulai deras. Ia membawa tas plastik berisi jajanan kecil dan air minum. “Ini, snack sama air minum kemasan kalau-kalau nanti kelaperan di jalan, tau sendiri macet kayak apa, ya kan?”

Abah memberikan minuman pada Bening.

Bening pun menerima air minum kemasan itu, “Yaaaah, Abah kok beliin air minum segala sih? Saya kan jadi enak. Hahahaa...”

“Haeh, kayak apa aja. Udah buruan minum. Mukamu ketauan kalau haus. Haus kasih sayang.”

“Hahaha - tau aja Abah.” Bening pun membuka tutup botol yang diberikan pria tua itu. “Lho kok udah dibuka?”

“Kalau gentleman itu sebelum memberikan minuman kemasan ke seorang cewek, dibukakan dulu tutupnya biar nanti cewek itu tidak repot membukanya. Semacam chivalry gitu – aksi ksatria.” Kata Abah yang juga meminum air kemasannya. Karena tidak hati-hati, ada beberapa air yang muncrat ke bagian kemeja di perutnya yang buncit.

“Preeettt. Bisa-bisaan aja Si Abah mah. Eh iya, tempo hari serombongan unit Abah workshop keluar kota, kan? Wah seru pasti. Cerita dong, aku belum ketemu sama Amy nih beberapa hari ini, jadi belum denger ada apa aja selama workshop kemarin.” Bening meminum air kemasan yang diberikan Abah dan langsung menghabiskan sepertiganya.

Pria yang Bening panggil dengan sebutan Abah atau juga lebih sering dipanggil dengan nama Pak Jon oleh staff karyawan yang lain itu pun tersenyum penuh arti.

Senyuman menyeringai yang sangat khas milik Pak Marjono.

Senyum sang serigala pemburu.





.::..::..::..::.



dvFZCxkS_t.png


“Oke, aku sudah datang.”

Nisa menarik kursi di hadapan pemuda yang cukup kaget dengan kedatangan ibu muda itu secara tiba-tiba. Nisa sebenarnya gelisah dan tidak tenang terekspos di keramaian seperti ini. Ia melihat kanan kiri, takut tiba-tiba ada yang mengenali.

Dengan sewot ibu muda nan jelita itu menatap galak pada pemuda di hadapannya. “Jadi kamu mau ngomong apa? Cepetan, waktuku tidak banyak.”

Nisa dan pemuda yang duduk didepannya saat ini sedang berada di sebuah rumah makan yang khas menyediakan menu es teler dan berada di lantai 2 sebuah mal di kawasan yang populer sebagai surga kuliner. Di hadapan pemuda itu terdapat secangkir gelas es teh dan semangkok es teler yang sudah diminum separuh menandakan ia sudah berada di tempat ini cukup lama.

Pemuda di hadapan Nisa memandang ibu muda itu dengan mulut ternganga karena terpesona. Aduhai cantiknya, sungguh anggun dan molek wanita ini. Nisa menggunakan busana gamis panjang dengan warna pastel yang menutup seluruh tubuh mungilnya dan terlihat sangat cantik. Setelah sekian lama terus menerus mengirimkan pesan, akhirnya bisa juga berjumpa dengannya kembali. Betapa ia sungguh merindukan Nisa, kenapa sih makhluk seindah ini harus sudah ada yang punya?

“A... aku juga bingung sebenarnya mau ngomong apa...”

“Haish. Percuma aku datang kalau begini.”

“Aku sudah siapin semuanya tadi. Sungguh. Tapi sekarang aku lupa semuanya.” Kata pemuda itu dengan gugup.

Nisa menggulirkan matanya ke atas tanda masa bodoh. Ia berucap dengan sinis, “Kalau memang tidak ada yang mau disampaikan, aku pulang saja. Aku tidak mau buang waktu. Seperti janjimu, kamu tidak boleh lagi meneror dan mengganggu aku karena aku sudah memenuhi janji untuk menemui kamu hari ini. Saran aku... kalau punya uang itu mending ditabung, bukan buat beli nomer baru setiap jam hanya buat ganggu hidup aku. Kamu kan butuh menabung.”

“Bu... bukan itu maksudku... aku tidak bermaksud mengganggu... tapi sejak pertemuan terakhir kita... aku hanya...”

“Hanya apa?”

Pemuda di hadapan Nisa benar-benar kebingungan. Lidahnya kelu. Seluruh kalimat yang sudah ia susun dan rencanakan musnah tak berbekas di benaknya. Sial, kenapa kamu harus begini mempesona, Nisa?! Hancur sudah kata demi kata, bingung hendak mengungkapkan rasa.

Sebaliknya, Nisa lelah menghadapi orang yang dianggapnya tidak jelas seperti ini. Ia pun berdiri dan bersiap meninggalkannya. Saat itu pula sang pemuda itu menangkap pergelangan tangan Nisa. Cengkeramannya begitu erat sehingga Nisa tidak dapat pergi begitu saja.

“Ja... jangan pergi dulu...”

Hadeh. Nisa menghela napas panjang. “Aku kan sudah bilang waktuku tidak banyak. Kalau memang kamu mau menyampaikan sesuatu, ya bilang aja sekarang. Tapi kalau tidak ada apa-apa lagi yang mau dibicarakan... ya lebih baik aku pergi. Aku masih harus mengurus pekerjaanku dan mengurus anak-anakku, jadi aku tidak mau buang-buang waktu. Lepaskan tanganku!”

Pemuda itu tetap tak bergeming.

Nisa melotot galak, “lepasin ih... atau aku teriak nih.”

“Kak Nisa! Dengerin aku dulu!” Pemuda di hadapan Nisa ikut berdiri, ia masih tak melepaskan cengkraman tangannya di pergelangan tangan Nisa nan mungil. Perempuan indah di hadapannya ini berhak mengetahui apa alasannya mereka bertemu hari ini, jadi ia harus menyampaikannya sekarang juga. “Baiklah. Baiklah… aku tidak ingin membuatmu benci padaku. Aku sesungguhnya cuma mau bilang...”

Ibu muda yang cantik itu memiringkan kepalanya.

Menunggu.

Sekarang atau tidak sama sekali, sang pemuda membulatkan tekad.

“A... aku mencintaimu.” Kata Galih Satria Prasaja.




BAGIAN 3 SELESAI.
BERSAMBUNG KE BAGIAN 4

no quote
 
Terakhir diubah:
Pov nya bolak balik...
Ga mudah bikin pov begini... sambil menjaga alur cerita juga mengontrol aliran narasi tiap tiap pov...

Keren..
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
udah masuk jam makan siang nih suhu @killertomato ..
sengaja Ane melipir di sini.. kali aja Nemu Rendy sama Rima lagi makan siang bareng.

hehe.
tetep nunggu Anya sama calon bapak mertua yg nakal..
 
hasssiaaap
kebetulan mau dateng ke pelantikan pak dhe saya...

Ha cocik itu, Hu. Tak mbonceng sampeyan ya.
Nanti diturunke di kidul prapatan aja.
Wkwkwk.

Mantap oiii
karya dari legend emang beda, ga ada yg bs dikritik...

cukup dinikmati :beer:
Mantaab.... nunggu bening dihajar suverfesiornya hha
Ciamik updatenya hu :adek:

Makasih kehadirannya buat sarapan, Hu.
Mudah-mudahan menikmati makan siangnya juga.

Pov nya bolak balik...
Ga mudah bikin pov begini... sambil menjaga alur cerita juga mengontrol aliran narasi tiap tiap pov...
Keren..

Wah, ini juga salah satu legend nih.
Makasih banyak, Hu. Emang harus hati-hati nulisnya, makanya kadang suka lama.
Kalau ga dibolak-balik takutnya gosong. Hihihi.

anjay.... cerita dg ada flashback tu enak bgt bwt dibaca. bahasa yg santuy, ga terburu nafsu buat ngehadirkan adegan esek2, lembut tapi nendang....
keep writing, gan... tak tunggu traktiran "makan siang" dan "dinner" mu

Makasih Masbro Hu.
Ini makan siangnya sebentar lagi dateng, mudah-mudahan cocok di lidah.
Kalo suka bisa mampir lagi. Wkwkw.

mantab bener sarapannya .
makasih suhu @killertomato.
di tunggu lunch sama dinnernya nich..

hahaa..
nunggu hadirnya Anya saya.
udah masuk jam makan siang nih suhu @killertomato ..
sengaja Ane melipir di sini.. kali aja Nemu Rendy sama Rima lagi makan siang bareng.

hehe.
tetep nunggu Anya sama calon bapak mertua yg nakal..

Siap, tapi yang satu ini masih rasa vanilla je, Hu.
Kalo Randy sama Rima ada di pojokan situ, Hu. Ayo diintip.
Kalo Anya masih belum keliatan.
Kalo nanti malam keliatan ga ya? Hihihi.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd