Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT ANTARA CINTA DAN NAFSU

Bagian 14

Ana memperhatikan dua orang perawat memasang selang infus di lengan Alex. Dua hari setelah pernikahan mereka, Alex menjalankan kemoterapi sesuai jadwal yang telah ditentukan oleh dokter Hari. Awalnya Alex sempat menawar agar dokter memundurkan jadwal terapinya karena Alex ingin mengajak Ana berbulan madu terlebih dahulu sebelum terapi. Namun permintaan tersebut ditolak oleh dokter Hari.
"Kondisi anda sedang luar biasa Fit Pak Alex" ujar dokter Hari saat itu. "Menurut catatan medis, setelah operasi Anda, belum pernah anda memperlihatkan kondisi sebaik ini. Tindakan Kemoterapi memiliki efek samping yang cukup mengganggu. Itu sebabnya pasien harus dalam keadaan prima."
"Tapi saya memiliki dokter pribadi yang selalu mendampingi saya kemanapun saya pergi, Dok" ujar Alex melirik Ana disampingnya. "Isteri saya akan menjaga kondisi saya tetap prima selama liburan."
"Alex ..." tegur Ana lembut menggamit lengan Alex. "Sebaiknya dengarkan saran dokter. Kita tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Terapi ini sangat penting bagimu sayang, dan harus segera dilakukan. Kita berpacu dengan waktu ..."
Alex memandang Ana.
"Tapi aku ingin mengajakmu berbulan madu An .." keluh Alex. "Akupun berpacu dengan waktu .. aku tidak tahu kalau aku tidak akan sempat lagi membawamu ..."
"Sayang .." sergah Ana cepat. "Jangan katakan itu .. aku bahagia .. sangat bahagia berada di sisimu walaupun tanpa bulan madu."
"Ehm .. jadi .." ujar dokter Hari tersenyum melihat kemesraan Alex dan Ana. "Bisa kita lakukan sesuai jadwal?"
"Bisa Dok .." ujar Alex tersenyum. "Dokter pribadi saya menyarankan demikian ..."
Infus sudah terpasang, sebuah botol kecil tergantung di tiang disisi kiri tempat tidur Alex. Cairan bening mengalir melewati selang masuk ke tubuh Alex tetes demi tetes. Kemoterapi pertama Alex akan memakan waktu kurang lebih 4 jam. Ana sudah secara detail menjelaskan pada Alex apa yang akan ia alami selama dan sesudah Kemoterapi, termasuk efek samping dan reaksi yang akan ditunjukkan oleh tubuh Alex selanjutnya.
Ana menggenggam tangan Alex.
"Istirahatlah sayang .." ujar Ana sambil tersenyum "Cobalah untuk tidur. Ada sedikit obat penenang yang disuntikkan bersama cairan obat itu. Aku akan menunggu disini"
Alex mengangguk. "Terimakasih An ..." ujarnya pelan "Aku akan hadapi apapun untuk bisa hidup lebih lama bersamamu."
Alex memejamkan matanya, mencoba untuk tidur.


Dua bulan berlalu, Ana kagum pada daya tahan tubuh Alex yang luar biasa. Kali ini adalah kemoterapi Alex yang ke empat, yang berarti sudah 2 siklus Kemoterapi yang ia lalui, dengan jarak 2 minggu antara setiap terapi. Kondisi Alex masih tetap prima. Alex tidak terlalu banyak merasakan efek samping negatif dari Kemoterapinya. Rambutnya masih tetap lebat, kulitnya tidak menghitam dan ia tetap terlihat mempesona di mata Ana. Alex hanya merasakan sedikit mual setelah kemoterapi, namun tidak mengganggu aktivitasnya sama sekali. Alex masih tetap mengurus bisnisnya namun sesuai anjuran Ana, dengan jam kerja yang dikurangi.
"Bagaimana kondisimu sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Ana saat perawat telah selesai melepas seluruh selang infus dari lengan Alex. "Mual? Pusing? Perlu aku ambilkan kursi roda untuk membantumu menuju mobil, Lex?"
"Tidak sayang, aku baik baik saja .." ujar Alex sambil tersenyum. Alex sangat mensyukuri keberadaan Ana disisinya, yang selalu membuatnya tenang. Ana menyodorkan sepiring buah potong kepada Alex.
"Aku harus mengambil beberapa Vitamin untukmu di apotik" ujar Ana. Alex mengangguk seraya mengunyah potongan buah mangga di mulutnya.
"OK .." jawabnya "Aku tunggu kamu disini"
Ana tersenyum, berbalik meninggalkan Alex menuju instalasi Farmasi.
Ana berjalan cepat, sesekali menyambut sapaan beberapa perawat dan Teman Sejawatnya yang berpapasan dengannya. Semenjak menikah dengan Alex, Ana mengundurkan diri sebagai dokter di Rumah Sakit yang sudah membesarkan namanya ini. Semua atas keputusannya sendiri agar bisa tetap berkonsentrasi mendampingi Alex selama masa penyembuhannya. Alex sempat menentang keputusannya, namun setelah merundingkan beberapa hal bersama, ia akhirnya mendukung keputusan isterinya tersebut. Kini, 24 jam sehari waktu Ana seluruhnya untuk Alex. Tidak ada menu makan Alex tanpa pemantauan dari Ana. Tidak pernah sekalipun Alex melewatkan jam makannya karena Ana selalu mengingatkan. Tidak ada lagi jam malam yang Alex lewatkan diluar rumah, menyantap makanan dan minuman beralkohol seperti yang ia lakukan sebelumnya. Ana sangat pandai membuat Alex menikmati hari harinya yang baru tanpa merasa terpaksa. Alex selalu merindukan segera kembali ke sisi Ana setiap kali ia harus melewatkan waktu diluar rumah.
Ana menyerahkan resep dari dokter Hari kepada petugas apotik.
"Halo dok .." sapa petugas apotik. "Kemo Pak Alex lagi?"
Ana mengangguk tersenyum "Iya .. Vitamin seperti biasa ya Fit .." ujar Ana kepada sang petugas.
"Baik Dok .. silahkan dokter menunggu .. akan saya siapkan obatnya."
Ana melangkah menuju kursi di ruang tunggu. Ia memandang sekitar, dan matanya tertuju pada suatu pemandangan yang cukup membuatnya terkejut. Ia melihat Ratih duduk di kursi Roda, dengan dokter Dewo mendorong kursi rodanya melewati selasar menuju keruang periksa poli rawat jalan. Mereka tampak tertawa akrab. Ana sudah cukup lama tidak bertemu dan berkomunikasi dengan Ratih, semenjak ia harus meninggalkan rumah karena pernikahannya dengan Alex. Rupanya Dewo masih melanjutkan terapinya untuk Ratih. Ana menarik nafas lega.
"Ini obatnya Dok .." sapa Fitri petugas Apotik menyadarkan lamunan Ana.
"Oh .. terimakasih .." ujar Ana terkejut. "Fit .. ehm .. bolehkah aku bertanya sesuatu?"
"Ya dok ..." jawab Fitri bersiap mendengarkan.
"Apakah hari ini jadwal praktek dokter Dewo?" tanya Ana. Ana ingin memastikan jadwal Dewo sepanjang ingatannya saat mereka masih bersama dulu.
"Tidak Dok .. hari ini bukan jadwal dokter Dewo praktek di Poli rawat jalan" jawab Fitri.
"Baiklah ..." ujar Ana.
Ana termenung. Mungkin Dewo sudah memindahkan terapi Ratih yang semula dirumah menjadi terapi di klinik. Tapi apakah itu tidak merepotkan Ratih yang harus menggunakan kursi rodanya? Alasan Ana meminta Dewo melakukan terapi dirumah adalah agar Ratih tidak perlu bersusah payah pergi ke Rumah Sakit ini untuk menemui Dewo. Mungkin semenjak penolakannya, Dewo mempertimbangkan lagi perlakuan khusus nya pada Ratih. Ana mengeluarkan HP nya dan menghubungi Alex yang menunggu di kamar perawatan.
"Halo sayang" sapa Ana. "Maaf aku harus membuatmu lebih lama menunggu .. ada keperluan yang harus aku selesaikan dulu"
"Ada apa sayang?" tanya Alex diujung sana.
"Tidak .. hanya urusan kecil. Kamu tidak keberatan kan menungguku sebentar?" tanya Ana.
Alex memberikan izinnya dan Ana melangkah cepat menuju ruang praktek Dewo. Ia mengetuk pintunya perlahan. Tidak ada jawaban. Ana mengernyitkan dahi. Ia mengetuk kembali dan kali ini mencoba membuka pintunya. Terkunci. Ana menghampiri seorang perawat yang berjaga di nurse station, tempat seluruh pasien melakukan pengecekan Tekanan Darah terlebih dahulu sebelum mereka dipanggil masuk ke dalam ruang poli sesuai urutan.
"Rani ..." Sapa Ana kepada perawat yang berjaga
"Dokter Ana ..." sapa sang perawat seraya memeluk Ana erat. "Oh dokter .. apa kabar? sudah lama kita tidak bertemu ya Dok ..."
"Iya .." jawab Ana juga tertawa senang, memeluk Rani cukup erat. "Baik .. aku baik baik saja"
Ana duduk di samping Rani dan bertanya. "Apakah dokter Dewo praktik hari ini?"
Rani tampak ragu menjawab, "Mmh .. tidak Dok .. tapi beliau ada di dalam dengan seorang pasien. Saya melihatnya masuk tadi"
Ana terkesiap. "Tapi ruangannya terkunci Ran .." ujar Ana. "Aku mengetuknya tadi dan tidak ada orang yang membuka"
"Aneh .." ujar Rani "Saya jelas melihatnya masuk bersama pasien di kursi roda tadi. Mungkin sedang sesi terapi jadi tidak menjawab Dok ..."
Ana termenung. Dalam terapinya Dewo memang memerlukan konsentrasi dan privasi demi kenyamanan pasien. Namun pintu terkunci adalah hal yang tidak dibenarkan selama pasien berada di dalam.
"Siapa asisten yang membantunya, Ran?"tanya Ana lagi.
"Tidak ada Dok .. karena hari ini bukan jadwal praktik dokter Dewo, jadi tidak ada perawat stand by di ruangan" jawab Rani, seraya melakukan pengecekan tekanan darah pada seorang pasien.
Ana memandang ruangan Dewo dengan curiga. Dewo ada di dalam bersama adiknya Ratih. Firasat buruk berkelebat di benak Ana.
HP Ana berdering. Alex meneleponnya.
"Ana .." suara Alex terdengar diujung sana "Sudah selesaikah urusanmu sayang?"
"Iya .. aku segera kesana sayang ..." ujar Ana gugup. Ia segera berpamitan kepada Rani dan bergegas menemui Alex yang telah menunggunya.

____________________________________

"Jangan terlalu lelah An .." suara Alex terdengar melalui HP yang menempel di telinga Ana. "Ingat, ada anak kita dalam perutmu sekarang .. aku tidak ingin terjadi apapun padanya .."
Ana tersenyum, memasukkan sekotak susu murni dari rak kedalam trolley belanjanya. "Iya sayang ..." jawabnya "Jangan lupa Vitaminnya diminum setelah makan siang nanti .."
Ana mengakhiri panggilan teleponnya dan mendorong Trolleynya menyusuri rak-rak Supermarket tempatnya berbelanja. Suasana Supermarket pagi itu tidak terlalu penuh. Ana membeli beberapa kebutuhan Rumah Tangga yang sudah menipis persediaannya di rumah mereka.
Pagi tadi ia melakukan test kehamilan dengan perangkat mandiri, karena sudah dua minggu Ana tidak mendapatkan haid sesuai jadwal. Sebagai seorang dokter ia tahu pasti bahwa ia tengah mengandung. Ana hanya perlu membuktikannya sendiri dan menunjukkan hasilnya pada Alex.
"Kamu hamil?" seru Alex saat Ana menunjukkan hasil tes kehamilannya yang bergaris dua.
"Iya .. jawab Ana tersenyum. Alex melonjak dan memeluk Ana erat erat seraya tertawa.
"Oh Ana ... aku sangat bahagia" ujar Alex mengecup kening Ana. Namun sejurus sinar matanya meredup. Alex menunduk dan terduduk lesu
"Apakah aku masih sempat melihat anakku, An .." gumam Alex. Ana termenung menatap Alex. Baru jasa kemarin Alex menyelesaikan paket ketiga Kemoterapinya dan dokter Hari memutuskan untuk menambah dosis terapinya untuk Kemoterapi yang akan datang.
"Hasil lab darah Pak Alex tidak mengalami perbaikan, dokter Ana" ujar dokter Hari pada Ana, menjelaskan langkah yang perlu ia ambil untuk kesembuhan Alex.
Ana menggenggam tangan Alex. "Jangan katakan itu sayang" ujar Ana berusaha tersenyum. "Kamu harus tetap optimis. Kita akan bersama sama menyambut kelahiran anak kita Lex .."
Alex tersenyum, Ana selalu membesarkan hatinya walau Alex tahu Ana pun menyimpan kegundahan yang sama. Alex yakin, jikapun ia tidak dapat mendampingi kelahirannya, Anak mereka akan baik baik saja karena memiliki ibu yang hebat seperti Ana.
Ana tersadar dari lamunannya saat ia menangkap sosok Ratih dengan kursi rodanya di barisan rak tak jauh dari tempat Ana berdiri. Ana melangkah mendekati untuk memastikan penglihatannya dan menemukan Ratih tengah berupaya menggapai sebotol saus yang akan dibelinya. Ana mendekat, meraih botol yang dituju Ratih dan memberikan padanya.
"Kakak ...?" seru Ratih terkejut. Ana tersenyum, menunduk memeluk Ratih penuh rindu. Namun sedetik kemudian Ana merasakan perubahan pada sikap Ratih yang tidak memeluk nya kembali. Ratih tetap duduk di kursinya tanpa berusaha membalas pelukan Ana. Ana melepas pelukannya, memandang Ratih yang mengalihkan pandangannya dari Ana.
"Halo sayang .. lama sekali rasanya tidak bertemu denganmu .." ujar Ana tetap tersenyum mengusir prasangka buruk dalam hatinya. "Kakak rindu sekali padamu .. pada ibu .. apa kabar kalian, baik?"
"Ya .. kami baik baik saja" jawab Ratih acuh tak acuh. Ana terdiam.
"Kenapa kakak tidak pernah memberi kabar padaku? Setelah menikah, Kakak pergi begitu saja tanpa memberi kabar apapun. Hilang seolah ditelan bumi .." ujar Ratih memandang Ana tajam. Ana terperanjat, melihat sikap Ratih yang sangat dingin. "Kakak bahkan tidak berpamitan padaku saat pergi"
"Ratih ..." ujar Ana berusaha untuk tetap tenang. "Kamu kan tahu bagaimana sikap ibu terhadap pernikahan Kakak .. kamu tahu apa syarat yang ibu ajukan? Kakak tidak berani mengunjungimu di rumah karena larangan ibu saat itu .."
"Bukan karena Kakak sudah hidup enak dengan suami kakak yang kaya raya itu?" tanya Ratih sinis.
"Kenapa kamu bicara seperti itu Ratih?" tanya Ana penuh kebingungan. "Kamu tahu kakak sangat menyayangimu .. kakak sayang ibu dan kamu .."
"Menurutku tidak ..." ujar Ratih tertawa sinis. "Kalau kakak menyayangi kami, kakak tidak akan pergi dan memilih untuk menikah dengan suami kakak yang sakit itu! Kakak hanya mengharapkan warisannya setelah suami kakak meninggal bukan?"
"Ratih!!" hardik Ana tertahan, memandang suasana sekeliling, kuatir bila suara mereka akan didengar oleh pengunjung lain. "Jaga ucapanmu !"
"Kenapa? Aku tahu semuanya! Aku tau kenapa Kakak bahkan tidak memperkenalkanku kepada Alex yang sebetulnya adalah Kakakku .. kakak kandungku!!" desis Ratih tertahan. Ana terkejut menangkap kebencian di mata Ratih yang selama ini tidak pernah dilihatnya "Karena Kakak takut aku yang akan mewarisi kekayaan keluarga Pak Wiwaha. Karena aku adalah pewaris yang lebih berhak!!"
Ana membelalakkan matanya. Bila saja ia tidak ingat permintaan Pak Wiwaha untuk merahasiakan semua, ia pasti sudah menjelaskan duduk persoalan sebenarnya kepada Ratih.
"Bagaimana mungkin kamu berpikiran seburuk itu pada Kakak, Dik?" tanya Ana pelan.
"Sudahlah .. aku tahu semua keburukan Kakak selama ini" ujar Ratih. "Tapi aku tidak akan tinggal diam Kak .. aku akan merebut semua yang seharusnya aku miliki. Ingat itu"
Ratih memutar kursi rodanya, meninggalkan Ana yang masih berdiri terpaku. Ana sungguh tidak menyangka akan reaksi yang diberikan Ratih. Mengapa Ratih begitu marah padanya. Apa yang membuatnya berubah sedrastis ini? Ratih yang lemah lembut dan penyayang, baru saja berubah menjadi pribadi yang tidak dikenal Ana.
Ana meninggalkan trolley belanjanya, diam diam mengikuti Ratih keluar menuju lapangan parkir. Ratih tidak mungkin datang ketempat sejauh ini seorang diri. Ana hanya ingin tahu dengan siapa Ratih pergi.
Dari kejauhan Ana melihat Ratih mendekati sebuah mobil yang sangat dikenalnya. Mobil Dewo. Ana melihat Dewo membantu Ratih memasuki mobil, memasukkan kursi roda Ratih ke bagasi dan berlalu membawa Ratih dalam mobilnya.
Apakah Dewo yang menyebabkan perubahan pada diri Ratih? Apa maksudnya? Beribu pertanyaan berkecamuk dalam benak Ana.

Ana terpekur, menatap gelas kosong di hadapannya. Makanan diatas piring Ana masih tersisa. Ia tidak bernafsu untuk menghabiskan makan malamnya, memikirkan perubahan Ratih yang ia temui pagi tadi. Alex sudah lama menyelesaikan makan malamnya dan berpamitan untuk tidur terlebih dahulu.
Ana merangkai semua kemungkinan yang bisa menyebabkan perubahan sikap Ratih kepadanya. Dewo yang sudah dua kali dilihatnya bersama Ratih, apakah ada hubungannya dengan semua perubahan yang terjadi. Ana menggeleng perlahan. Ia tidak menemukan satupun alasan yang bisa menyebabkan Dewo merubah sikap Ratih. Namun dari semua keakraban Dewo dan Ratih yang dilihatnya, Ana yakin bahwa hubungan mereka kali ini lebih dari seorang dokter dan pasien semata.
"Ana ..." suara Alex terdengar dari dalam kamar. Ana tersadar dan bergegas menuju kamar. Ia menemukan Alex yang menggigil di balik selimut tebalnya. Ana terkesiap. Wajah Alex pucat dengan bibir yang membiru.
"Alex!" seru Ana menghampiri Alex dan meraba keningnya. Panas. Alex demam.
"Dingin ..." keluh Alex. Seluruh tubuhnya bergetar. Ana bergegas mengambil obat penurun panas dan meminumkannya pada Alex.
"Reaksi kemo ...?" tanya Alex pada Ana. Ana tersenyum getir. Baru kali ini ia melihat tubuh Alex bereaksi terhadap obat yang masuk ketubuhnya. Ana begitu kuatir, dosis Kemoterapi berikutnya akan memberikan efek lebih parah terhadap Alex.
"Jangan sedih .." gumam Alex menggenggam tangan Ana "Anak kita ..."
Ana terkesiap. Alex menutup matanya, seluruh tubuhnya bergetar hebat sementara mulutnya terus meracau. "Ana .. dingin .. kenapa semua berputar .. kepalaku sakit .."
Ana bergegas meraih teleponnya dan menghubungi nomor telepon Rumah Sakit.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd