Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG - TAMAT As Elegant As Aurora [TAMAT]

Status
Please reply by conversation.
cool gan, cakep nich haha :adek:
 
Halo, haduh, maaf nih... ada beberapa kerjaan yang dateng tiba-tiba, hehe... sabar ya... Malam ini update yak. Hehe... Salam dari mereka :)

0
 
Part 5



Kedua tangan Jinan merangkul erat belakang kepalaku, tak mau membiarkanku lolos dari lumatan bibirnya. Nafas kami saling memburu. Pikiranku sudah buntu, nafsu kembali menguasaiku.


“J-Jinan...” Aku berhasil meloloskan bibirku. Dia menatapku dalam.


“M... masuk ke kontrakan gue aja...” Aku mematikan mesin dan mencabut kontaknya.


Jinan yang sepertinya sudah dikuasai nafsu juga itu menurut. Kami berdua turun dari mobil, aku bergegas membuka kunci gerbang dan pintu rumah. Hingga kami benar-benar berdua di dalam sini.


Jinan langsung melumat lagi bibirku seusai pintu rumah aku kunci lagi. Kedua tangannya memegangi erat kepalaku. Aku membalas lumatannya, bertukar liur, dan lidah kami beradu didalam mulut kami. Aku melempar sembarang kunci rumahku, lalu kedua tanganku mulai bergerak nakal menuju payudaranya.


“Mmmhh... mmhh...” Aku bisa mendengar desahannya ditengah lumatan bibirnya saat aku mulai meremas payudaranya yang masih terbungkus hoodie itu. Aku membimbingnya berjalan menuju sofa yang terletak tak jauh dari tempat kami berciuman.


Tubuh Jinan aku dorong keatas sofa setelah aku melepas ciuman liar kami, untaian air liur terhubung diantara mulut kami, sebelum akhirnya terputus karena Jinan yang terduduk di sofa. Aku baru menyadari dia sudah tidak mengenakan kacamatanya. Langsung saja sebelum ia bangkit, aku menarik ritsleting hoodienya dan membukanya lebar-lebar, tak ada perlawanan darinya seolah ia sudah mengijinkanku untuk menjamahnya lebih lagi.


Ternyata dibalik hoodie itu hanyalah bra putih yang membungkus payudara kecilnya. Jinan tidak mengenakan kaos atau baju apapun dibalik hoodienya sejak tadi. Segera aku kembali meremas dua gundukan itu. Jinan menggigit bibir bawahnya, matanya terpejam. Desahannya kembali terdengar. Kedua tangannya malah berusaha melepas hoodie itu saat aku meremas payudaranya.


“Aahh... sshh... mmhh... terus... mmhh...” Jinan berhasil melepas hoodie itu lalu melemparnya ke lantai. “Lo... mmhh... lepas celana gue... aahh...”


Hmm?


Sesuai permintaannya, kedua tanganku sedang melepas kancing celana jeansnya, sementara kedua tangan Jinan sibuk melepas pengait branya sendiri. Dan itu dia, payudara kecil Jinan yang benar-benar telanjang tak tertutup apapun. Puting kemerahmudaannya itu sungguh menggemaskan. Kulit yang putih bersih itu semakin membakar nafsuku. Aku menarik celana jeansnya, pantatnya ia angkat sedikit agar aku bisa dengan mudah menariknya. Celana jeans itu berhasil aku pelorotkan, tersisa celana dalam warna putih saja yang melekat ditubuh Jinan.


Dia meraih kancing varsity yang aku kenakan. Ia langsung membuka lebar-lebar varsity itu sehingga semua kancingnya terlepas berbarengan.


Jinan meraih lenganku ku dengan lengan kanannya, menarik tubuhku agar lebih dekat dengannya. Aku kembali mencumbunya, sementara kedua tanganku sibuk bermain lagi dengan payudaranya. Aku meremas-remas payudaranya perlahan. Tubuh Jinan bergerak-gerak karena rangsangan itu. Kami berdua sudah basah dengan keringat, terbakar nafsu masing-masing.


Jari-jariku beralih mencubit-cubit puting mungil nan menggemaskan itu. Jinan meringis. Mungkin aku terlalu keras mencubitnya. Ya, gimana ya? Gemesin sih...


“Aaahh... tetek gue... mmhh... Ah...” Tangannya mencengkram erat sofa itu.


Jinan kembali terpejam, ia mendongak saat aku menciumi lehernya. Rambut wanginya itu tak lupa aku hirup. Desahannya semakin liar saat aku meremas kasar payudaranya.


“Dim... Shh... Mmmhh...!”


Tangan kananku beralih ke celana dalamnya. Aku berusaha melepas celana dalam itu sehingga aku bisa beralih bermain ke vaginanya. Bibirku akhirnya mengisap payudara yang menganggur itu.


“Mmmhh... gila... Dimm... Aaahh...” Tangannya berusaha mendorong dadaku, seperti ingin membebaskan payudaranya dari isapanku. Tapi tidak aku biarkan, aku terus mengisapnya dengan liar, bahkan aku kini berpindah ke payudara satunya.


Aku berhasil melepas celana dalamnya. Ternyata sudah cukup becek. Tangan kananku berkeliaran disekitar lubang vaginanya yang masih tertutup sedikit bulu itu. Nafas Jinan semakin tak beraturan.


Aku melepas isapan di payudaranya. Selangkangannya itu aku buka lebar-lebar, vaginanya yang masih bewarna merah muda itu menyambutku. Aku menjilati vaginanya itu dengan liar.


“Aaahh... mmhhh...”


Aku terus menjilat daerah sekitar vaginanya. Tubuh Jinan semakin menggelinjang hebat.


Ah ya, ini bukan mimpi kan? Perempuan yang selama ini hanya bisa aku nikmati dalam fantasi, kini dia ada dihadapanku... dan aku sudah menjamah tubuhnya sejauh ini.


Aku beralih memainkan klitorisnya dengan jariku, kuusap dan putar-putar pelan. Jinan sepertinya sangat menikmatinya. Terlihat dari ekspresinya yang saat ini aku perhatikan. Aku terus bermain dengan klitorisnya untuk beberapa saat, hingga akhirnya kuputuskan untuk beralih menusuk-nusuk vaginanya dengan kedua jariku.


“Aaaahhh...!” Desahan Jinan kembali terdengar setelah liang hangatnya itu kumasuki dengan dua jariku.


Karena sudah cukup becek, aku jadi lebih mudah memaju-mundurkan jariku dan bermain didalam sana. Jinan kini memainkan sendiri kedua payudaranya, meremas-remas, dan memilin-milin puting itu.


“Mmmmhhh...! Mmmhhh..!” Tubuh Jinan menegang, sepertinya ini dia, Jinan sampai dipuncaknya.


Jinan menyemburkan cairan orgasmenya, membasahi jariku dan bagian sofa dibawahnya. Dadanya naik turun, nafasnya sengal, ia menyandarkan kepalanya di kepala sofa yang empuk itu. Kulit putih yang sudah bermandikan keringat itu benar-benar sangat seksi. Wajahnya tertutup dengan rambutnya yang berantakan.


“Duuh, basah kan sofa gue, nakal sih lu.”


“Hhh... elunya yang nakal... hhh...” Katanya dengan nafas yang masih belum bisa ia atur. Jinan memperbaiki rambut lepek yang menutupi wajahnya.


“Habis... lo nafsuin.”


“Hah...?”


“Eng-enggak... hehe..."


“Hhh... dasar... Mana sini kontol lo...”


“Kan, lu nakal,” Aku membuka kancing celana jeansku. Sepertinya penisku yang sudah sangat tegang ini juga sudah menunggu saat ini daritadi.


“Buruan, gausah banyak bacot.” Jinan memperbaiki posisi duduknya di sofa itu.


“Mau banget nih liat kontol gue?” Aku memelorotkan celana dalamku. Dan akhirnya, penisku bisa mengacung tegang, bebas dari sangkarnya.


“Anjir... gede banget.” Jinan membulatkan mata. Dia merapikan lagi rambutnya yang berantakan, meletakkan beberapa helai diatas telingga. “Muat enggak ya...?”


“Coba aja.” Aku merangkul erat belakang kepalanya, lalu mendorongnya tepat kedepan penisku.


“Mmmh! Bentar! Nafsu amat sih?!” Jinan menahan doronganku dengan kedua tangannya di pahaku, bibirnya sempat mencium kepala penisku tadi. “Ngeri gue tau ga.” Perlahan Jinan membuka mulutnya, lalu memasukkan penisku itu kedalamnya perlahan. Ia memejamkan mata.


“Ahh... iya...” Aku mendesah saat kehangatan mulut Jinan membelai penisku. Lidahnya terasa menjilati penisku. Jinan mengisapnya perlahan. Aku berhasil dibuatnya merem-melek. Kepalanya lalu perlahan maju-mudur. Aku mendongak, merasakan sensasi ini.


Desahanku berlanjut saat tempo ia percepat. Kedua tanganku hanya membelai rambut Jinan, aku biarkan dia bermain-main dengan penisku. Aku menyukai caranya mengulum penisku itu, benar-benar nikmat.


Jinan melepas kulumannya, kini tangan halusnya itu mulai memegang penisku, lalu mulai mengocoknya pelan. Kulit tangan halusnya yang bertemu dengan kulit penisku itu sungguh memanjakanku.


Kocokan itu berlanjut dengan tempo yang semakin cepat, kadang ia melambatkan temponya, terus begitu hingga tubuhku menegang, aliran sperma itu mulai aku rasakan hampir mencapai ujung penisku.


“J-Jinan... mmmhh...!”


Croot


Croot


Croot


Belum sempat aku memperingatkannya, aku menyemburkan spermaku terlebih dulu tepat diwajahnya. Jinan langsung memejamkan matanya. Aku sukses membuat wajahnya belepotan seperti itu, dan ini tidak lagi dalam khayalanku semata...


“JOROK...!!!” Jinan meraih tissue lalu mengusap wajahnya, membersihkannya dari cairan-cairan sperma yang melekat disana. Sementara aku menghempaskan tubuhku yang sudah lemas ke sofa, tepat disamping Jinan.


Aku menoleh kearahnya. Perempuan itu pun menoleh kearahku, matanya sayu, namun senyum menggoda terukir di wajahnya. Aku membalas senyumannya. Sepertinya, malam masih sangat panjang untuk kami lalui berdua...


***​


“Kak Dimas?”


“E-eh? I-iya?” Guncangan di bahuku tadi sukses menyadarkanku dari lamunan.


“Aaaahhh...! Pelan-pelan Dim...!! Mmmhhh...!”


Aku menggeleng cepat, memori saat Jinan berhasil kubuat menjerit dimalam itu terus-menerus berputar di kepalaku. Disaat aku berhasil menghujam memeknya dengan penisku. Suara pantatnya yang bergetar saat aku menghujam memeknya dari belakang, desahan liarnya yang sungguh menggoda, keringatnya yang lengket membasahi tubuhku, aakkhh...!


Walau aku menyadari, sudah ada orang lain yang lebih dulu merebut keperawanan Jinan, tapi tetap saja, sensasi vaginanya yang berkedut memijit-mijit penisku benar-benar nikmat.


“Kakak mah ngelamun terus daritadi. Ngelamunin apa hayo?” Cindy mendekatkan wajahnya ke wajahku, mata belonya itu agak ia sipitkan.


“Eh, enggak kok, cuma mikirin kuliahku tadi, hehe.” Aku memundurkan kepalaku, padahal bisa saja aku melumat bibir itu jika kami tidak berada di warung makan sekarang.


“Oohh...Kenapa? Mata kuliah apa emang?” Cindy kembali ke posisinya.


“Kajian novel Amerika,” Aku menyesap kopi hitam yang biasa kupesan disini. “Dosennya gaje, tadi kayak tes gitu kan, eh soal-soal yang keluar gak ada satupun yang pernah dia ajarin.” Arangku padanya. Padahal tadi hanya pemberian materi seperti biasa.


“Kakak kali yang males belajar.” Cindy melahap suapan terakhir nasi goreng ayamnya.


“Dih dih, enak aja. Aku belajar ya.”


“Ahahaha, canda kak.” Dengan sedotan, ia meminum es teh itu sampai habis. Aku hanya tersenyum lalu menyesap habis kopiku.


“Udah?”


“Udah kak, yuk.” Cindy bangkit berdiri dari kursi besi itu, aku mengikutinya.


Sore ini, setelah aku selesai kelas, aku bertemu lagi dengan Cindy. Tiba-tiba saja dia memintaku mengantarnya ke perpustakaan universitas, cari referensi buku katanya. Aku tidak bisa menolaknya setelah ia menghipnotisku dengan wajah lucunya saat cemberut.


Dan setelah itu, saat aku hendak mengantarnya pulang, aku mendengar perutnya keroncongan. Yah, sebagai seorang yang peka, aku mengajaknya kesini. Warung makan yang terletak dekat kampus kami. Hary dan aku sering jajan disini juga.


Setelah aku membayar semuanya, kami berjalan ke parkiran.


“Eh, kak kak kak!”


“Kenapa?” Aku menurunkan lagi standar motorku.


“Balik ke kampus dulu ya, kayaknya dompet aku ketinggalan di sekre.”


“Hah? Dompet?”


“Iya, disitu ada flashdisk yang isinya file-file yang harus aku kumpulin besok.”


File apaan?”


“Iiihh...! udah pokoknya ayo ke kampus dulu!” Cindy memasang wajah garang. Tapi tetap saja imut di mataku.


“Huft... iya deh, yuk buru naik.”


Dan kami pun sampai di komplek fakultas kami. Karena ini hari Jumat, dimana kuliah maksimal hanya sampai jam 1 dan sekarang menunjukkan pukul 4 sore, kampus tidak seramai hari-hari biasanya. Bahkan dari parkiran saja, sudah terlihat sangat sepi.


“Kaakk... temenin...” Dia menarik-narik lengan bajuku.


“Dih, sendiri lah, udah gede juga.”


“Iiihh...! kan sekre di lantai tiga, ini udah sepi juga. Takut...”


“Gak bakal ada apa-apa, setan aja takut sama kamu.”


“Iiihh...!”


“Aaakk...!” Cindy mencubit lenganku. Percayalah, itu sangat sakit. Aku meringis kesakitan.


“Ayo ih!” Cindy menarik tanganku. Yah, pada akhirnya aku menemaninya juga. Padahal aku malas sekali harus naik ke lantai tiga.


Jadi di fakultasku ada satu gedung khusus dimana di lantai 2 dan 3 menjadi sekre atau istilahnya markas untuk organisasi-organisasi yang ada di fakultasku. Cindy berkata, tadi siang ia mengumpulkan berkas tugas LKMPD di sekre organisasi jurusan, la sempat mengeluarkan beberapa benda di tasnya. Hmm... katanya sih dia lupa memasukkan dompet itu lagi. Yah, semoga saja tidak sia-sia kami naik ke lantai tiga di sore hari ini.


Cindy berjalan beberapa langkah lebih cepat dariku, dia sudah menaiki anak tangga menuju lantai dua, sedangkan aku dengan langkah yang agak malas berusaha mengikutinya. Saat aku mau melangkahkan kaki menaiki anak tangga, seseorang menabrakku dari samping.


“Ah, go-gomen... maaf kak...” Berkas yang dibawanya jatuh berceceran. Sepertinya dia terlalu fokus merapikan berkasnya tadi sehingga tidak melihat jalan. Perempuan berambut sebahu ini sepertinya sedang buru-buru.


“Enggak apa-apa, aku bantu,” Aku jongkok dan membantunya merapikan berkas-berkas yang tercecer. Aku meraih tumpukan berkas, salah satunya berisi biodatanya.


“Put-“


Belum sempat aku membaca nama lengkapnya karena tertutup berkas diatasnya dan dia buru-buru mengambil berkas itu dari tanganku. Oke, dia memang sangat buru-buru.


“M-makasih kak... maaf aku buru-buru...” Dia memeluk stopmap warna biru berisi berkas-berkas tadi lalu berlari keluar gedung. Ah, buat apa juga aku tau namanya. Eh tapi... bodynya bagus juga, bibir tebalnya tadi juga sangat menggoda. Enggak! Enggak! Aku menggeleng cepat.


“Kak Dimas...”


Aku menoleh keatas, Cindy sudah menunggu diujung anak tangga dengan wajah kesal.


“Eh iya iya bentar.” Aku buru-buru menyusulnya.


Dan kamipun sampai di lantai tiga. Sepi, sepertinya hanya kami berdua saja yang ada disini. Walau ada 6 sekre disini, tidak ada satupun yang berisi orang, hanya langkah kaki kami yang terdengar.


“Yah, dikunci ya? Aduuhh...! gimana nih kak?!”


“Kuncinya ada di kotak surat kok, nih.” Aku membuka kotak surat yang tergantung di pintu itu dan meraih sebuah kunci disana. Kenapa aku bisa tau? Ya, karena memang aku pernah tergabung di organisasi jurusan ini kan.


“Oohh iya, kakak dulu pernah ikutan disini juga ya.”


Klek klek


Dan pintu berwarna coklat muda itu terbuka, aku menyalakan lampu untuk menerangi ruangan 3x2 meter ini, lalu meletakkan tasku di karpet. Cindy langsung mencari dompetnya itu setelah masuk. Tak butuh waktu lama untuknya menemukan dompet warna pink itu, sebab sudah diletakkan di etalase yang ada di pojok kanan sekre ini. Mungkin ada yang menaruhnya disana tadi. Dia tampak sangat lega.


“Yeeayy! Ketemu!” Tiba-tiba dia melompat-lompat kegirangan. T-tunggu, bongkahan dada yang ada dibalik sweater rajut warna pink yang dipakainya itu ikut berguncang naik-turun. Penisku tegang. Aku menelan ludah.

0


“C-Cindy... udah yuk...” Aku membalikkan badanku, berusaha meredakan nafsu yang tiba-tiba menyelimuti diriku.


“Loh? Kakak kenapa?”


“Eng-enggak...”


Dude, act normally!


“Kok aneh?” Cindy menarik bahuku, berusaha membalik badanku, namun aku bisa menahannya. “Kak...”


Dan akhirnya aku membiarkannya membalik badanku.


“Iihh... kok berdiri sih kak?” Sepertinya Cindy menyadari sedikit tonjolan di celana jeansku.


“Y-ya... tadi habisnya kamu lompat-lompat... dada kamu mantul-mantul...”


“Dasar, cowok emang ya!”


“Y-ya, cowok mana sih yang enggak sange kalo liat kayak gitu Cin...”


“Huft, yaudah. Cepet aja ya.”


“Eh? M-maksud kam-“


Cindy tiba-tiba melepas kancing celana jeansku, lalu memelorotkannya, begitupun celana dalamku. Penisku yang sudah sangat keras itu langsung mengacung begitu keluar dari celana dalamku. Aku meraih dinding, bersandar disana. “Eh, Cindy, eh, ben-OOOHH..!!”


Dan lagi, kurasakan kelembutan kulitnya itu saat mengocok penisku. Cindy sekarang sudah berjongkok pada lututnya, mulai memanjakanku dengan permainannya. Masih sama seperti sebelumnya, kocokannya masih bisa kunikmati walau memang terasa sedikit ‘sakit’.


Cindy menghentikan kocokannya, lalu lidahnya menjilati kepala penisku.


“Mmmhh...!” Aku menggigit bibir bawahku, sensasi geli-geli basah itu membuatku keenakan. Aku berusaha menahan desahanku agar tidak terdengar keras.


Dia kembali mengocok penisku namun tetap saja lidah itu menjilat-jilat liar selama beberapa menit. Tanganku membelai rambut Cindy kemudian turun mengelus-elus pipinya.


“Ih, kok lama sih kak?”


“Aaahh... eng-enggak tau... mmhhh... terus aja...”


Setelah mendapat sentuhan dari tangan dan lidahnya, kini penisku merasakan sensasi hangat dari mulutnya. Yup, Cindy mengulum penisku. Badanku menegang, reflek aku menjambak rambutnya karena terkejut dengan sensasi itu.


“Ish, apaan sih kak?!” Cindy melepas kulumannya. Sepertinya dia kesakitan mengingat aku menjambaknya kuat.


“M-maaf... habis enak sih... hehe...” Aku tersenyum lalu membelai rambutnya tadi.


Setelah merapikan rambut berantakan yang menutupi sedikit wajahnya, Cindy kembali mengulum penisku. Aku bisa merasakan lidahnya pun ikut menjilat-jilat pelan didalam sana. Setelah beberapa saat, Cindy mulai menggerakkan kepalanya maju-mundur.


Aku sukses dibuatnya merem melek. Aku kembali menggigit bibir bawahku namun lebih keras. Aku berusaha menahan desahanku.


“Mmhhh... Cindy...! Mmmgghhh...!”


Croot


Croot


Aku menembakkan spermaku didalam mulutnya. Sebelumnya aku sudah lebih dulu merangkul erat belakang kepalanya. Cindy tidak bisa menghindar. Ia kembali mengernyitkan dahinya.


“Uhukk... uhukk...” Dia terbatuk setelah menelan spermaku.


“Eh, ini masih... ada dikit. Bersihin... sekalian dong.” Cindy menurut, ia jilati lagi penisku hingga tidak ada lagi sperma yang menempel disana.


Nafasku sengal, wajahku memerah. Pandanganku agak kabur, tapi aku masih bisa menahan posisi berdirku.


“Huft... banyak juga ya kak.” Cindy bangkit berdiri.


“Hehe...” aku mengenakan lagi celanaku yang tadi dipelorotkannya.


“Eh ya ampun!”


“Apa?”


“Pintunya, enggak ditutup!”


“Ah, enggak. Enggak ada yang lihat. Santai lah.”


“Ish, dasar, ahahaha,”


“Hahaha.” Kami tertawa bersama, meninggalkan ruangan itu dan berjalan keluar.

Aku tersenyum kepadanya, Cindy juga membalas senyumanku dengan hangat.


Ah... Perasaan ini muncul lagi...

Cindy...



To be continued...
 
Terakhir diubah:
Put?
Puti?
Wibu?
Lah,di intipin wibu deh.
Kenapa cuma ngintipin? Kok gak ikutan :pandaketawa:
Btw, nice update
 
Status
Please reply by conversation.
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd