Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

Sang Pelaut

Ketika mobil kembali berjalan, aku sandarkan kepalaku. Sejak tadi pagi kepalaku sudah terasa berat. Pusing, tapi, saat kupejamkan mata, di kepalaku berlintasan serpihan-serpihan kenangan.
Aku ingat saat itu ketika rumah tanggaku limbung karena adik-adik iparku ikut campur tangan. Suamiku orang baik, sangat baik malah. Dia pun bertanggung jawab pada aku dan kelima anaknya.

Setelah dipecat dari tempatnya bekerja, suamiku, dengan bermodalkan uang pesangonnya, berwiraswasta dengan membuka warung kecil didepan lorong, sebutan orang Palembang untuk menyebut gang kecil untuk masuk ke perumahan. Sederhana dan kecil warungnya, tapi aku senang karena suamiku tidak malu untuk memulai usaha.

Alhamdulillah, berkat kerja keras dan rezeki dari Yang Diatas, setelah sempat naik turun, usaha suamiku berkembang. Warung mulai terlihat isinya. Beberapa kali pula suamiku meluaskan warungnya agar dapat menampung semua barang dagangannya yang kian beragam banyaknya.

Karena secara finansial sudah mapan, suamiku memberi bantuan kepada keenam adik-adiknya, baik itu untuk modal usaha, modal nikah, maupun untuk bersekolah dan aku, sebagai istri yang solehah, mendukungnya. Toh, kebutuhan untuk anak-anak dan aku telah dipenuhinya, berlebih malah.

Dan, setelah semua adik-adik suamiku sudah di bantu, maka aku pikir, sekarang giliran keluargaku yang perlu juga dibantu, toh aku juga mempunyai peran dalam mendukung kesuksesan suami. Suamiku pun setuju dengan niatku itu. Dia persilakan aku untuk mengajak adik-adikku tinggal di rumah kami, sekalian menemani anak-anak kami.

Dari kampung, aku ajak dua orang adikku. Sudah selesai sekolah mereka dan di Palembang ini berniat untuk mencari kerja. Sesuai keinginan suamiku, adik-adikku itu tinggal di rumahku. Selain menjaga anak-anakku, mereka juga bisa bantu-bantu.

Tapi, apa lacur, tiga ekor adik iparku yang berjenis kelamin perempuan tidak suka aku membantu adik-adikku. Padahal adik-adikku tidak butuh banyak biaya untuk kehidupan mereka. Mereka hanya butuh tempat tinggal sementara dan makan sampai mereka mendapat pekerjaan.

Dasar perempuan-perempuan tidak tahu diri. Padahal dulu aku yang meminta suamiku untuk membawa mereka dari kampung ke Palembang, mencarikan mereka pekerjaan, menikahkan mereka, memberi mereka tempat tinggal sampai suami mereka mapan. Sialan!

Mereka menilai, karena adik-adikku tinggal dengan kakak mereka, adik-adikku akan menghabiskan kekayaan kakaknya itu. Tidak habis pikir aku. Seharusnya mereka melihat bagaimana aku mengurusi kebutuhan adik-adik lelaki mereka yang tinggal di rumahku. Bagaimana aku cuci pakaian mereka, aku beri mereka uang jajan, dan itu tidak mereka anggap?

Sangat marah aku. Sungguh tersinggung aku karena setiap saat mereka menjelek-jelekkan aku dan adik-adikku di depan suamiku. Mereka memprovokasi suamiku dengan semua keburukan keluarga kami. Sangat marah aku.

Dan sayangnya, akibat agitasi dan hasutan tidak masuk di akal perempuan-perempuan itu, suamiku mulai goyah. Wajar jika suamiku mulai terhasut sebab lelaki mana yang sanggup melawan ujaran kebencian tiga adik perempuannya, lelaki mana yang mau di cap lemah karena dikatakan takut istri.

Berubah sikap suamiku sekarang. Dia mulai menjauhi aku. Dengan alasan keamanan, dia memilih menginap di warung dengan alasan agar warung tidak kecurian.

Sebagai seorang istri, aku hanya bisa pasrah sambil berharap suamiku cepat menyadari kesalahannya. Pernah terlintas di kepalaku untuk meminta cerai, tetapi itu tindakan bodoh. Kalau aku bercerai, bagaimana dengan kehidupan anak-anakku, pasti hancur masa depan mereka. Selain itu, pasti senang perempuan-perempuan itu jika aku bercerai. Mereka pasti merasa menang kalau aku menyingkir. Tidak. Tidak mungkin itu.

Aku harus melawan. Harus. Perempuan yang terzalimi mempunyai energi yang tak terkira untuk melawan. Melawan dengan segala cara. Tidak tahu mereka siapa aku. Perlawananku pasti dengan cara yang paling menyakitkan bagi mereka. Bagaimana caranya? Pasti tidak akan mereka bisa bayangkan. Kapan waktu? Waktu yang akan membuktikan. Percayalah.

Dan pagi itu, langit membiru, matahari sudah terik. Di teras belakang rumahku, duduk aku didepan seember besar rendaman pakaian kotor. Maklumlah keluarga besar. Apalagi ada empat orang anak lelaki dengan segala kenakalannya. Aku terus mencuci. Dengan menggunakan gilasan kayu, satu persatu cucian berpindah tempat.

Saat merapikan rambut yang jatuh menutupi wajahku, barulah aku sadar ada seseorang yang berdiri memperhatikan aku. Kutatap balik dia dan tersenyum geli aku melihat lelaki itu gelagapan karena tertangkap basah memelototi paha mulus milikku yang tersaji indah karena bagian bawah daster, untuk menghindari dari basah akibat air cucian, aku ikat naik ke pinggang.

"Ada apa, Amir?"Aku hadapkan dudukku ke arahnya.

Amir adalah adik iparku. Dia menikah dengan adik perempuan suamiku. Karena itu aku memanggil namanya, meskipun usianya lebih tua dariku. Amir hanya diam, tidak menjawab pertanyaanku. Dia memandang aku, memandang pahaku. Timbul isengku melihat tingkah lelaki itu. Maka aku buka bagian bawah daster lebar-lebar dan menguakkan kedua pahaku, sehingga aku yakin dia dapat melihat isinya. Meskipun cuma sebentar aku pamerkan, karena daster aku tutup kembali, hampir pecah tawaku, melihat perubahan di wajah itu. Merah wajahnya. Jakunnya naik turun cepat.

"Aa-miir...."Dengan manja aku panggil dia.

"A-a-a..,"tergagap Amir menjawab karena sepertinya dia masih terpesona dengan keindahan selangkanganku.

Dengan nakal aku selinapkan tanganku masuk ke dalam daster, pura-pura menggaruk selangkangan.

"Ga-tel,"ucapku dengan nada genit.

"Bulunya habis di cukur, baru mau tumbuh lagi, jadi gatel."Dengan tangan masih berada di dalam daster, aku kembali berucap.

Muka Amir semakin berwarna-warni. Senang sekali aku melihatnya. Dengan ember kecil berisi peralatan mandi di tangannya, salah tingkah dia berdiri didepanku.

Sambil menyeringai untuk berusaha menahan tawa, aku melihat Amir memegang gundukan kecil di selangkangannya. Sudah bangunkah?

Dengan tangan tetap menggaruk-garuk selangkangan, kembali aku berucap,"Semalam suamiku minta jatah. Lupa, deh, saya pakai celana dalam."

Tambah salah tingkah dia. Pasti konak Amir mendengar ucapanku. Tapi itu yang aku mau. Aku mau lelaki ini tunduk untukku. Apakah ini awal pembalasan dendamku? Tunggu saja kelanjutannya.

Aku merundukkan badanku sedemikian rupa sehingga dapat kupastikan Amir bisa melihat payudaraku yang mengintip. Ember yang sedari tadi Amir pegang terlepas dan jatuh di lantai. Melangkah dia mendekati aku, tetapi, sayangnya Neng, anak perempuanku yang berusia empat tahun, muncul dari dalam rumah. Menangis dia. Tadi Neng tidur. Karena tidak ada aku, Mimihnya, disampingnya, dia pasti kehilangan aku. Berdiri dia di ambang pintu.

Cepat aku menghampirinya, mengambil Neng dalam pelukanku. Duduk aku di ambang pintu dan memangkunya. Kuturunkan tali daster. Kukeluarkan payudara dan menjejalkan puting susu ke mulut Neng. Dengan lahap Neng mengemut puting susu itu, sementara tangan satunya menyelusup masuk ke daster untuk membawa keluar payudara satunya. Sambil, menyedoti puting susu, Neng memainkan butiran coklat yang ada di gunung lainnya.

Tersenyum aku melihat Amir yang mematung dengan mata melotot mengarah ke kedua gundukan daging mulus di dadaku. Aku pun membiarkan payudaraku menjadi santapan matanya. Tidak aku tutupi. Memang, meski anakku lima orang, tetapi payudaraku, meskipun kecil bak kepunyaan abg, masih ranum terawat, bulat sempurna. Areal kecoklatannya yang mengitari puncaknya tidak begitu luas, tetapi puting susu itu pasti menggoda Amir yang masih terdiam di depanku. Dapat kurasakan nafas birahinya menyerbu aku.

Tapi pertunjukkan harus selesai. Ketika Neng melepaskan puting susu itu, aku kembalikan payudaraku ke tempat semula, takut ada orang lain ikut menikmati indahnya payudaraku.

Anakku berdiri dan menarik aku. Aku berdiri.

Sambil menggendong Neng, aku berucap,"Nanti malam saya tunggu."

"A-apa?"tergagap dia.

"Saya tunggu nanti malam. Pintunya tidak saya kunci."

Lelaki itu terdiam menatap aku. Bingung.

"Jangan lupa nanti malam,"ingatku lagi sebelum menghilang ke dalam rumah.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd