Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Berbagi Kehangatan Bersama Adik Ipar

Menonton Bioskop

Mobil telah menjauhi Pasar Lemabang dan terus melaju pelan karena banyak mobil yang sama berjalan. Di Simpang Gembira, mobil berhenti untuk memberi jalan kendaraan-kendaraan yang dari arah Sekojo. Tanpa sengaja mataku tertumbuk pada satu gedung besar yang berdiri di seberang jalan. Gedung itu dulu adalah gedung bioskop. Bioskop Gembira, namanya. Satu-satunya sarana hiburan di wilayah kami. Sekarang gedung itu sepertinya telah beralih fungsi karena tidak ada poster-poster film yang terpajang didepannya.

Di tahun tujuh puluhan, bioskop adalah salah satu hiburan utama masyarakat Indonesia. Di tahun 70-an, Eyang Soeharto kurang suka film-film luar negeri. Hanya film-film yang sesuai dengan seleranya saja yang bisa ditayangkan di bioskop. Untungnya masyarakat Indonesia selalu sabar dan nerimo. Dengan semua keterbatasan genre film, bioskop tetap ramai. Apalagi ketika film-film lokal yang diputar. Sejak dulu masyarakat Indonesia memang dikenal sebagai pecinta produk dalam negeri.

Kemudian jangan bandingkan bioskop di tahun tujuh puluhan dengan studio film yang dimiliki oleh jaringan bioskop saat ini karena berbeda jauh. Bioskop di tahun tujuh puluhan berada dalam satu gedung tersendiri. Hanya mempunyai satu layar. Besar dan luas ruangan menontonnya sehingga dapat menampung ribuan penonton. Bioskop ini dipenuhi puluhan lampu dan ada banyak kipas angin gantung raksasa yang membuat gedung bioskop menjadi tidak pengap maupun panas.

Karena belum ada sistem nomor kursi, penonton dapat memilih bangku sendiri. Jadi, bagi yang sering menonton di bioskop, pasti punya tempat favorit, terutama pasangan yang sedang di mabuk cinta, agar dapat melampiaskan cinta mereka dengan aman tanpa menarik perhatian para peonton lain.

Aku memang punya hobi menonton film, tapi tidak sering aku menonton di bioskop bersama Amir. Soalnya Amir nakal. Dia lebih suka mengganggu aku, sehingga kalau ada yang bertanya tentang alur cerita filmnya, pasti aku tidak akan bisa menerangkannya.

Awalnya aku yang mengajak Amir menonton bioskop karena bintang favoritku, Rhoma Irama, main. Hanya aku dan Amir. Karena siang hari dan bukan hari libur, maka hanya segelintir orang saja yang datang ke bioskop. Mengikuti pilihan Amir, kami duduk di barisan bangku bagian belakang, dibawah balkon.

Bioskop menggelap karena film mulai diputar. Tapi, belum lima menit berjalan dan Rhoma Irama pun belum mulai bernyanyi, tangan Amir sudah menempel di pahaku, menarik rokku meninggi. Karena niatku memang untuk menonton film, maka aku tahan tangannya. Tapi, Amir mencium pipiku, lama dan dalam. Aku dorong wajah itu menjauh dan kembali aku pusatkan pandangan ke layar bioskop didepan sana, tapi dia rangkulkan tangannya di pundakku, menarik aku mendekat dan kembali menciumi pipiku.

"Amir, saya mau nonton,"ucapku sambil melepaskan ciumannya dari wajahku.

Tapi Amir malah memegang pipiku. Dia arahkan wajahku ke wajahnya. Sangat dekat. Melotot mataku karena dia ambil bibirku. Bibirku dia kulum.

Aku berontak. Malu karena berciuman di tempat umum, di keramaian orang.

"Banyak orang,"ucapku sambil memperbaiki dudukku."Malu."

"Tidak ada yang memperhatikan kita, Ceu,"tukasnya.

"Tapi nanti ada yang lihat,"jawabku lagi.

"Coba Eceu lihat."Didalam rengkuhan tangannya, wajahku dia arahkan ke samping kanan."Apa yang Eceu lihat?"

Kosong. Tidak ada orang yang duduk di sepanjang barisan kursi disebelah kami.

"Sebelah sana."Dialihkannya pandanganku ke depan. Memang di sana terlihat banyak kepala yang nongol dari sandaran kursi-kursi yang berjajar ke depan hingga sampai ke ujung sana, hingga mencapai layar raksasa, tapi tidak ada yang menghadap ke belakang, ke arah kami duduk.

"Dan di sana."Amir menyandarkan diri sehingga pandanganku melewati dia. Di sana, di ujung barisan kursi, terlihat samar satu orang duduk dengan menaikkan kakinya di sandaran kursi didepannya.

"Eceu mau lihat di belakang kita?"tanyanya,"tapi tidak usahlah. Nanti marah mereka kalau mereka tahu sedang kita tonton."

"Eceu masih malu?"Tidak ada alasan bagiku untuk menolak saat dia memiringkan wajahku. Terpejam mata ini ketika bibir-bibir kami menempel dan itu pengalaman pertama aku berciuman di depan umum.

Makin sering Amir mengajakku ke bioskop, makin berani dia mencumbuku dan makin terbiasa aku menerima perlakuannya.

Dan siang ini, aku dan Amir dan Dadan telah berada di dalam bioskop. Dari jauh-jauh hari Amir mengajak aku menonton bioskop. Katanya, film yang dilakoni oleh artis kesayanganku, Rhoma Irama, sedang tayang. Maka, duduk manis aku di bangku bioskop dengan diapit oleh dua orang orang lelaki itu. Amir yang mengatur duduk kami.

Karena film belum mulai, lampu didalam gedung bioskop yang jumlahnya puluhan masih menyala. Masih ada penonton yang masuk, masih ada yang memilih tempat duduk, meski banyak pula yang sudah duduk, siap menonton.

Berbarengan dengan terdengarnya musik yang memenuhi ruang bioskop, layar raksasa didepan kami menyala putih dan gorden yang menutupi layar raksasa tadi terangkat naik, pelan-pelan. Mendadak lampu padam. Ruang bioskop menjadi temaram karena hanya diterangi layar raksasa yang mulai berwarna.

Kain penutup layar naik sempurna. Layar pun menayangkan iklan. Setelah tayangan iklan berakhir, layar kembali menghitam. Gelap suasana dalam gedung. Sepi. Hanya terdengar dengung suara-suara penonton yang saling berbisik. Tapi hanya sebentar. Layar raksasa di depan sana kembali menyala dan mulai menayangkan nama-nama pemain filmnya, nama sutradara, dan nama produsernya dengan disertai soundsystem yang menggemuruh.

Dan bintang film kesukaanku muncul. Gagah sekali artis ini. Janggutnya yang rapi, cambangnya yang tipis, dan bulu dadanya, membuat desiran di dadaku. Macho sekali dia. Paling suka aku membayangkan dipeluk dia.

Tapi, belum sempat Rhoma Irama bernyanyi, bibir Amir sudah menempel di pipiku. Tetap aku menatap layar film, meskipun berulang-ulang pipiku dia cium. Baru aku menggeliat geli ketika telingaku dia jilati. Seperti perempuan lain, telinga adalah salah satu kelemahanku. Bila telingaku disentuh, terangsanglah aku, dan Amir tahu itu. Dia sedot telingaku, dia jilati telingaku, dan aku menikmatinya. Apalagi ketika lidahnya menyelusup di lubang telinga. Hilang sudah kekuatanku. Konsentrasiku tidak lagi ke jalannya film.

Aku berikan bibirku ketika Amir mengejar bibirku. Hangat bibir-bibir kami bertaut, saling mengulum dan sedot. Lidah-lidah kami pun saling sedot dan bergumul.

Aku lepaskan bibir Amir ketika dia elus pahaku. Aku lebarkan dua pahaku ketika jemari Amir mengelus sisi dalam pahaku, ketika tiba di selangkanganku. Kunikmati sentuhan-sentuhannya di kemaluanku yang masih tertutup celana dalam dengan menyandarkan kepala di kursi dan memejamkan mata sementara jari-jariku mencengkeram di pegangan kursi.

Tarikan tangan Dadan di tanganku, menyadarkan aku. Kutatap dia. Dadan menyerahkan bungkus makanan. Sepertinya dia meminta aku untuk membukanya. Maka, aku ambil bungkus makanan itu dari tangan Dadan dan menyobeknya, untuk aku serahkan kembali.

Karena Dadan kembali menatap layar film, karena Amir pun, setelah meninggalkan kemaluanku, sama menatap layar film, maka aku pun menyandarkan diri ke kursi dan menancapkan mata ke layar film dimana Rhoma Irama sedang beraksi.

Tapi, belum lama aku menonton, lelaki disampingku itu ikut beraksi pula. Tangannya jatuh di atas tanganku yang menggeletak di pegangan kursi. Jari-jemari Amir menyelinap di antara jari-jemariku, meremasnya lembut.

Aku biarkan dia tarik lepas tanganku dari pegangan kursi, aku biarkan dia ciumi telapak tanganku, karena mataku tetap tertuju ke layar film, menikmati perkelahian sang bintang film dengan lawannya. Tapi, sungguh terkejut aku ketika tanganku menyentuh sesuatu yang hangat. Spontan mataku berpaling dan kulihat tanganku sudah berada di selangkangannya. Dalam remangnya tempat duduk kami, dapat aku lihat kontol Amir yang panjang. Rupanya Amir sudah mengeluarkan kontolnya.

Amir memaksakan tanganku untuk menggenggam kontolnya. Berdenyut-berdenyut dan keras batang bulat panjang itu. Dengan dibantu Amir, lembut aku remas batang kontolnya. Diam dia menikmati batang bulat panjang miliknya aku kocok-kocok pelan. Ketika aku sentuh kepala kontolnya, tubuh Amir terlonjak.

Selagi aku terus mengocok dan meremas kontolnya, tangan Amir tiba di perutku. Dia raba rokku seperti mencari sesuatu. Masih dengan tatapan ke layar raksasa didepan sana, aku tegakkan tubuhku karena tangan Amir berpindah ke belakang.

Hampir tertawa aku dikarenakan rupanya Amir mencari kancing pengait rok yang aku pakai. Makanya aku biarkan dia lepaskan pengait rok itu. Aku biarkan tangannya masuk ke dalam rokku, menjalar masuk ke dalam celana dalam, meremas pantatku.

"Jangan dilepas, Ceu,"ucap Amir karena aku lepaskan batang bulat panjang itu."Enak."

"Pegal,"jawabku sambil kembali menggenggamnya, kembali meremasnya.

Tangan Amir mencapai pahaku untuk turun menggapai selangkangan. Perlahan jemarinya memainkan bulu jembutku.

"Memeknya hangat, Ceu,"bisik Amir di telingaku. Telapak tangan Amir penuh menutupi kemaluanku. Dia tekan lembut.

Aku miringkan wajah karena wajah Amir miring ke arahku. Kupejamkan mata begitu bibir-bibir kami bertemu. Bibir kami saling sedot, saling kulum. Panas. Sementara bibir-bibir kami bergumul, tanganku tetap menggenggam benda bulat panjang itu dan jari tangan Amir menusuki lubang kemaluanku. Entah apa yang dilakukan Dadan melihat aku, Mimihnya, yang dicumbui oleh Mang Amir, panggilan Dadan untuk Amir.

Lampu-lampu menyala. Terang benderang. Spontan bibir-bibir kami terlepas, begitu pula genggamanku di kontol Amir. Kutarik lepas tangan Amir dari dalam celana dalamku, merapikan kembali rokku dan kemudian bersandar aku di kursi. Tidak ada Rhoma Irama di layar film. Layarnya putih. Hanya ada tulisan: Maaf, ada gangguan.

Kualihkan mata ke Dadan. Pantas saja Dadan tidak banyak mengganggu. Ternyata tidur dia. Syukurlah. Tapi, ketika aku alihkan pandangan ke kananku, kudapati kontol Amir masih bebas merdeka, tegak berdiri. Tidak ada niat dari Amir untuk menyembunyikannya.

"Amir!"teriakku tertahan."Burungnya tutup."

Hanya tersenyum dia."Tidak ada yang lihat Ceu."

"Tutup, Amir,"ucapku lagi khawatir.

Bret! Layar film kembali menyala dan lampu-lampu kembali padam. Ruang bioskop kembali temaram. Kembali Rhoma Irama beraksi. Bernyanyi dia bersama seorang gadis cantik. Kembali pula aku menikmati akting Rhoma Irama, menikmati sosoknya yang macho itu.

"Hei,"teriakku karena pandanganku ke layar film terganggu. Ah, ternyata Amir yang berdiri didepanku. Berkacak pinggang dia. Tapi, melotot aku jadinya karena kontol Amir terjulur panjang. Biar pun gelap tapi bisa aku lihat kepala kontolnya yang bulat dan botak itu.

Belum sempat aku protes, Amir sudah berjongkok di antara dua pahaku. Lekas mataku memantau sekitar kami, tapi tidak ada memerhatikan kami. Hanya ada Dadan disamping kami yang masih tertidur.

Menjengit aku karena jari tangan Amir menekan bagian tengah celana dalamku. Kepala Amir masuk diantara dua pahaku, mencoba menyentuh selangkanganku, tapi gagal. Karena bangku yang aku duduki terlalu sempit, kakiku tidak bisa membuka lebih lebar, maka dua telapak tangannya menyelinap ke bawah pantatku. Dia tarik pantatku maju. Kini duduk aku dipinggir kursi. Kutahan tangan Amir yang berusaha menarik celana dalamku, tapi Amir tetap menaksakan kehendaknya. Akhirnya celana dalam pun meninggalkan selangkanganku. Kuapitkan dua pahaku ketika ada hembusan angin menerpa kemaluanku. Dingin. Rupanya Amir yang meniupnya.

Kembali Amir melebarkan kedua pahaku. Masuk dia. Untuk mempermudah Amir menggapai memekku, dengan bertelekan tangan di pegangan kursi, aku angkat pantatku dan kukuakkan kedua pahaku lebar. Menggelitik memekku karena lidah Amir menyentuhnya. Lidah itu menggapai, menjilatinya dan terpejam mataku menikmati rasa geli itu.

Dua tangan Amir melingkari pantatku. Dia tenggelamkan wajahnya di memekku. Dia hisap, dia sedot memekku. Bibir aku gigit agar desahan tidak keluar terdengar dan Amir tetap mencumbui memekku.

Karena pegal bertelekan di pegangan kursi, pantatku aku turunkan, kembali duduk, sehingga lidah itu terlepas dari memekku. Mendongak dia, menatap aku.

"Capek tangan saya, Amir."Aku kibas-kibaskan lenganku.

Bangkit Amir dari jongkoknya. Duduk dia di tempatnya semula, tapi dia tarik aku berdiri. Aku yang sudah diselimuti birahi ikut saja. Setelah berdiri didepannya, ditariknya aku merunduk. Bersimpuh aku dihadapan dia yang mengangkang. Kontolnya terlihat lebih panjang. Aku sentuh kepala kontolnya dan batang bulat panjang itu menyentak. Kembali aku sentuh kepala kontol itu dan kembali pula menyentak. Sudah basah ujung kepala kontol itu ketika aku elus. Maka aku genggam batang kontol itu dan aku kecup kepala kontolnya. Asin, tapi aku teruskan saja. Aku sedot, aku kulum, dan aku jilat. Dua kaki Amir yang mengapit aku bergerak-gerak mengikuti sedotan mulutku di kontolnya.

Kulumanku di kepala kontolnya terhenti karena dia tahan kepalaku. Mendongak aku menatap dia, menunggu perintah berikutnya. Lalu diberdirikannya aku. Dihadapkannya aku ke depan, menghadap ke layar raksasa. Sekilas kuedarkan pandangan dan tidak ada penonton yang ada di ruangan ini memandang ke arah kami. Syukurlah.

Didudukkannya aku dipangkuannya. Dia tarik rok yang aku kenakan naik. Dapat aku rasakan kontol Amir yang hangat. Menoleh aku untuk melihat anakku, tapi Dadan masih tertidur. Alhamdulillah.

Berpegangan aku di sandaran kursi didepanku ketika Amir mendorong pantatku naik. Dapat aku rasakan ujung kontol itu tegak tepat diambang lubang kemaluan. Dengan perlahan Amir menurunkan pantatku dan, ah! ada kenikmatan yang aku rasakan begitu ujung kepala kontol itu tertelan masuk. Lubang kemaluan menjadi penuh dan semakin sesak karena batang kontol itu terus menusuk masuk.

Amir memegang pinggangku. Aku lepaskan pegangan pada pegangan kursi ketika dia mulai memutar pantatku ke arah kiri, ke belakang, ke kanan, ke depan. Terus dia mengulanginya dan aku tenggelam dalam sensasi tak terkira. Suasana ruang bioskop yang penuh kelebatan sinar warna-warni dari layar film dengan ditingkahi suara-suara dari soundsystem yang menggemuruh membuat birahi membludak. Pengalaman bersetubuh di antara banyak orang sungguh aku nikmati. Cemas tapi aku suka sensasinya.

Coba kutahan desahan ini, tapi,"Dilepas saja desahannya, Ceu."

Tidak. Aku tidak mau. Biar pun suara Rhoma Irama keras memenuhi ruang bioskop, terlalu malu aku untuk melepaskan desahanku. Para penonton pasti akan penasaran mencari tahu sumber erangan itu dan pasti tempat duduk kami akan jadi perhatian. Biar pun temaram suasana, tapi untungnya urat maluku belum putus. Maka, sambil mengigit bibir berusaha agar desahan tidak terdengar, aku nikmati goyangan kontol Amir yang menyerang dari belakang itu.

Dari arah belakang, Amir memelukku. Telapak tangannya tiba di area kemaluanku, membelai bulu-bulu jembut itu, meremasnya lembut. Aku tahan bibirku agar tetap membungkam manakala disentuhnya bibir kemaluanku. Bersaing dengan kontolnya yang masih menancap di lubang kemaluan, dua jari Amir menusuk ke dalam lubang kemaluan, mengobok-oboknya dan itu aku suka.

Pinggangku Amir pegang. Dimajukannya pantatku dan kemudian dimundurkannya kembali, sehingga akhirnya pantatku maju mundur menelan kontol Amir. Cengkeraman tanganku di pegangan kursi menguat, sekuat bibirku yang tetap membungkam meskipun terkadang masih terlepas desahanku, mengikuti pantatku yang Amir gerakan cepat, hingga akhirnya Amir menahan pantatku dan akhirnya dapat aku rasakan semprotan air hangat di lubang kemaluan, berkali-kali.

Cengkeraman tangan Amir di pinggangku terlepas. Hanya terdengar nafas kemenangan Amir di belakangku sementara aku masih terduduk diam dipangkuan Amir dengan batang bulat panjang itu masih tertanam di lubang kemaluanku. Dengan kedua telapak tangan, aku tutupi kemaluanku yang terbuka. Dapat aku rasakan ada cairan hangat mengalir turun di selangkangan.

"Turun, Ceu."Dari arah belakang, Amir mendorong aku."Filmnya hampir selesai."

Mendengar ucapan Amir, cepat-cepat aku meninggalkan pangkuannya. Berdiri aku, merapikan rokku, dan cepat aku kembali duduk di kursiku. Untungnya Dadan masih tertidur sehingga dia pasti tidak melihat kelakuan aku, Mimihnya, dengan Amir yang main kuda-kudaan.

Kutatap layar film didepan sana. Musuh-musuh Rhoma Irama sudah bergelimpangan karena kalah bertarung sementara mata Rhoma membiru, dari bibirnya mengalir darah, dan pakaiannya sobek-sobek. Tak lama kemudian, mobil polisi datang. Para polisi keluar dari mobil dan mulai menangkapi para penjahat. Dari kejauhan berlari seorang perempuan mendapati Rhoma. Berpelukan mereka dan film pun tamat.

Lampu menyala. Ruang bioskop menjadi benderang. Bersamaan dengan itu ruang bioskop menjadi hiruk. Para penonton beranjak meninggalkan kursi. Ada yang memegang saku celana, ada yang merapikan pakaiannya, ada yang menyisir rambutnya.

Kubangunkan Dadan. Kurapikan tasku, memasukkan barang-barang ke dalamnya. Lalu kembali duduk disamping Amir yang juga masih duduk. Adalah kebiasaan kami untuk keluar paling akhir, menunggu pintu keluar sepi.

"Hayo, Ceu."Amir menyentuh tanganku."Sudah sepi."

Aku bangkit dari dudukku. Menjepit tas di ketiak, tetapi,"Ah!"menjerit tertahan aku.

"Ada apa?"Amir menatap aku heran. Begitu pula dengan Dadan.

Sambil memegangi bagian bawah pakaianku, aku bertanya pada Amir."Mana celana dalamku, Amir?"

"Memangnya kenapa?"

"Saya tidak pakai celana dalam,"ucapku kalut sambil kembali duduk.

"Kemana celana dalamnya?"Amir ikut duduk, menatap aku, menatap pahaku.

"Kan tadi Amir yang melepaskannya,"pelan ucapanku,"Amir taruh dimana?"

"Bukannya Eceu yang pegang?"

Menggeleng aku. Rapat-rapat aku pegang rokku."Tolong cari, Amir."

Amir merunduk, memojokkan kepalanya ke bawah kursi yang kami duduki. Sementara itu, aku buka tas tanganku, aku cari di sana, tapi tidak aku temukan.

"Tidak ada."Wajah Amir mendongak.

"Aduh, bagaimana ini?"Kalut aku jadinya. Bagaimana aku bisa pulang dengan nyaman kalau kemaluanku tidak tertutup."Coba cari lagi."

Kembali Amir merunduk. Kepalanya menghilang di bawah kolong kursi, dan, plak, aku pukul kepalanya karena tiba-tiba saja dia muncul disamping pahaku. Tertawa dia.

Dia berdiri. Ruang bioskop telah sepi telah. Hanya ada beberapa petugas yang sedang menyapu.

"Ayo, kita keluar, Ceu."Amir menarik aku berdiri."Nanti kita diusir pula."

"Terus saya harus bagaimana?"Aku menggamit tas tanganku sementara mataku berkeliaran ke bawah kursi untuk menemukan celana dalamku yang entah kemana.

"Kenapa Eceu bingung? Orang 'kan tidak ada yang tahu kalau Eceu tidak pakai kolor."

Manyun aku. Enak di dia, tidak nyaman di aku dong.

"Bagaimana kalau rok saya tertiup angin?"Aku pegangi rokku. Hari ini aku memang berpakaian terusan dengan bawahan tinggi diatas dengkul. Trend pakaian di akhir 70-an.

"Hitung-hitung amal Eceu karena mau memperlihatkan memeknya,"guyon Amir.

Plok! Aku pukul lengannya. Sialan!

"Ayo, Ceu. Penonton jam berikutnya mau masuk nih."

Amir melangkah. Dadan jalan mengekori. Aku pun dengan segan mengikuti mereka. Hati-hati aku melangkah, takut ada angin nakal menyibakkan rokku.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd