Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

BULE: DUE DEATH

Makasi apdetnya hu,

Mungkin bisa dibuatkan index + catatan kecil arti istilah2 yg hadir disini, cth: baskara, setra, swara dll :semangat:
Terima kasih atensinya, Suhu. Baik, saya coba jelaskan secara mendasar, Hu, konsep world building-nya.

Sebagai awalan, ada dua jenis aliran di cerita ini, Putih dan Hitam. Putih diwakili oleh para pendekar Baskara (Cahaya) sedangkan Hitam diwakili oleh penganut Setra (Kegelapan).

Masing masing dari Baskara dan Setra memiliki tipe (bukan kasta), seperti Bule adalah Baskara tipe Adi (ksatria) yang mengandalkan kemampuan kanuragan fisik yang ditunjang oleh kemampuan kebatinan yang berfokus kepada pertarungan seperti tenaga dalam. Keistimewaan tipe Adi adalah dia dapat membuat sebuah Yoni atau daerah kekuasaan yang yang berfungsi sebagai arena laga yang menguntungkan dirinya. Padanan Adi pada Setra adalah Kala. Ada lagi Setra Swara yang memiliki kemampuan untuk memanfaatkan suaranya sebagai alat serang yang sulit dibendung sekaligus memiliki daya pikat seperti hipnotis. Swara biasanya digunakan oleh wanita, kalau pun ada pria yang menggunakannya biasanya ada harganya, yaitu kebiri.

Adalagi tipe support seperti Mbak Iis yang beraliran Baskara tipe Waskita. Waskita artinya waspada, dalam pengertian kasar, pengguna Waskita adalah orang yang menggunakan ilmunya untuk mengumpulkan informasi sebagai keuntungan strategi. Sub tipe Mbak Iis adalah Langgeng, yang artinya Keabadian. Sub tipe ini amat spesial karena bisa dianggap sebagai time bending atau manipulator waktu. Amat jarang yang memilih tipe ini karena dibutuhkan tirakat khusus dan tingkat gagalnya amat tinggi. Selain itu juga penggunaannya berisiko tinggi merenggut nyawa tergantung dengan seberapa banyak waktu yang dimanipulasi.

Sebetulnya masih banyak lagi, Hu, tetapi sementara itu dulu.
 
Terima kasih update cerita si Bule ini, suhu @PeterPawker

Semaleman selesai juga baca secara estafet dari awal hingga update saat ini.

Isi Ceritanya sangat menarik untuk disimak, karena dari awal kisahnya penuh dengan misteri "siapa dan kenapa" dari kondisi para tokoh cerita yang ada di sini - tidak hanya yang protagonis tapi juga antagonis secara perlahan-lahan ditiap episodenya mulai terungkap.

Terlihat penulis juga kadang memberikan tanda ( * ) pada beberapa angle ceritanya. Yang saya pahami - tanda (*) itu jelas bukan dari jalan cerita yang terjadi sesungguhnya saat ini, tapi dari kisah flashback.

Entah, apakah buat penulis ada maksud lain dari pemberian tanda ( * ) tersebut...? Maklum Hu, sekali lagi saya baru selesai membacanya hingga saat ini.

Kalo saya nyimak tentang keahlian bela diri si Bule ini masuk sebagai Baskara ya. Ini berbeda dengan yang dimiliki oleh istri muda ughara dan anak-anak nya termasuk kakak tertua si Bule yang memiliki keahlian sebagai Setra.

Berbeda jenis ilmunya, walaupun dari satu keluarga besar trah ughara. Artinya - yang mungkin bisa saya pahami bahwa Si Bule ini bergurunya secara total kepada Kang Seto hingga menguasai Baskara. Begitu ya...? Atau pada awalnya si Bule memang ini telah dilatih terlebih dahulu oleh ayahnya keahlian ilmu Setra, lalu berpindah haluan karena melihat kelakuan ayahnya yang berkolaborasi dengan Nyai Roro. Jelasnya sangat bertolak belakang antara si Bule dengan keluarga besar trah ughara ini.

Saya juga curiga juga nih, Hu... Jangan-jangan Kang Seto itu keturunan dari Wiyasa, teman pelariannya bersama ughara saat itu. Waktu itu kan Wiyasa belum diceritakan lagi kemana dan dimana Dia sesungguhnya berada...? Jangan jangan Wiyasa juga tersesat dan bertemu dengan tetua yang memiliki keahlian Baskara.
Ini hanya dugaan atau prediksi saya sebagai pembaca lho ya, Hu. ✌

Tentang asal muasal kenapa disebut "Si Bule " - mungkinkah nanti ada ceritanya Hu..?


Sekali lagi, terima kasih untuk ceritanya 🙏🙏🙏
 
Terima kasih update cerita si Bule ini, suhu @PeterPawker

Semaleman selesai juga baca secara estafet dari awal hingga update saat ini.

Isi Ceritanya sangat menarik untuk disimak, karena dari awal kisahnya penuh dengan misteri "siapa dan kenapa" dari kondisi para tokoh cerita yang ada di sini - tidak hanya yang protagonis tapi juga antagonis secara perlahan-lahan ditiap episodenya mulai terungkap.

Terlihat penulis juga kadang memberikan tanda ( * ) pada beberapa angle ceritanya. Yang saya pahami - tanda (*) itu jelas bukan dari jalan cerita yang terjadi sesungguhnya saat ini, tapi dari kisah flashback.

Entah, apakah buat penulis ada maksud lain dari pemberian tanda ( * ) tersebut...? Maklum Hu, sekali lagi saya baru selesai membacanya hingga saat ini.

Kalo saya nyimak tentang keahlian bela diri si Bule ini masuk sebagai Baskara ya. Ini berbeda dengan yang dimiliki oleh istri muda ughara dan anak-anak nya termasuk kakak tertua si Bule yang memiliki keahlian sebagai Setra.

Berbeda jenis ilmunya, walaupun dari satu keluarga besar trah ughara. Artinya - yang mungkin bisa saya pahami bahwa Si Bule ini bergurunya secara total kepada Kang Seto hingga menguasai Baskara. Begitu ya...? Atau pada awalnya si Bule memang ini telah dilatih terlebih dahulu oleh ayahnya keahlian ilmu Setra, lalu berpindah haluan karena melihat kelakuan ayahnya yang berkolaborasi dengan Nyai Roro. Jelasnya sangat bertolak belakang antara si Bule dengan keluarga besar trah ughara ini.

Saya juga curiga juga nih, Hu... Jangan-jangan Kang Seto itu keturunan dari Wiyasa, teman pelariannya bersama ughara saat itu. Waktu itu kan Wiyasa belum diceritakan lagi kemana dan dimana Dia sesungguhnya berada...? Jangan jangan Wiyasa juga tersesat dan bertemu dengan tetua yang memiliki keahlian Baskara.
Ini hanya dugaan atau prediksi saya sebagai pembaca lho ya, Hu. ✌

Tentang asal muasal kenapa disebut "Si Bule " - mungkinkah nanti ada ceritanya Hu..?


Sekali lagi, terima kasih untuk ceritanya 🙏🙏🙏
Super sekali, Suhu! Bisa dibilang ulasan Suhu tepat semua. Saya senang sekali ada yang bersedia repot repot meluangkan waktu untuk membreak down cerita burik ini. Pasti Suhu penggila buku, atau bahkan penulis.

Untuk tanda asterisk *, ini hanya sebuah tanda berakhirnya sebuah scene atau pergantian scene, Hu. Tidak ada fungsi khusus selain itu.

Terima kasih atas atensinya, Hu. Semoga tidak mual membaca cerita burik ini.

🙏
 
Selamat pagi, para Suhu. Izin update kisah si Bule, ya. Usai posting ini, saya balik lagi ke proyek berbayar di KK untuk jangka waktu yang tidak bisa diprediksi. Gara-gara ide dadakan, akhirnya harus ganti cover dan sinopsis. Entah dari mana ide untuk menyatukan dua cerita berbeda pada season satu menjadi sebuah cerita season dua. Mungkin karena vibe-nya mirip, jadi enak aja nyatuinnya.

Selamat membaca, Suhu semua. Semoga suka!

*

BAGIAN 6​

Lima tahun sudah Ugraha meninggalkan gunung Bolo. Usai dia menanamkan jimat pemberian Nyi Roro Bunga Senja, secepat kilat hidupnya berubah. Paginya rumah berukuran besar lengkap dengan perabotan telah menaungi dirinya. Padahal semalam dia tidur beralaskan tanah dan beratapkan langit.

Terang saja para tetangganya bergidik. Tanah seluas seribu depa persegi itu tadinya hanyalah tanah kosong. Siapa pun tahu itu. Dan hanya dalam waktu satu malam, bangunan megah telah berdiri di atasnya.

Tidak ada yang berani terhadap Ugraha. Mereka tidak kenal siapa Ugraha, tetapi mereka tahu pria itu bukanlah orang sembarangan. Sebuah nama disematkan sebagai penghormatan kepada Ugraha, terpilihlah Wisesa.

Ugraha pintar berdagang emas dan batu mulia lainnya. Orang-orang tahu kalau mau membeli emas, beli saja dari Ugraha Wisesa. Selalu saja harganya lebih murah dari pada pedagang lain. Atau kalau mau menjual, jual saja kepada Ugraha. Pria itu selalu memberi harga di atas pedagang lainnya.

Dengan cepat Ugraha menjadi buah bibir. Ketampanannya, kekayaannya, kepintarannya, dan juga kemisteriusannya seperti tidak pernah habis untuk digunjingkan. Terutama kemisteriusannya.

“Rumah sebesar itu ... tidak ada yang menjaga?” tanya seorang pria kepada pelayan yang mengantar pesanannya.

“Katanya ada, tapi bukan manusia,” kata pelayan itu.

“Bukan manusia?” tanya si pria keheranan.

“Katanya begitu. Soalnya dulu pernah ada yang nekat berniat merampok rumah itu. Ketika baru menginjak tanah halaman, perampok itu langsung terpenggal,” kata si pelayan.

“Serem, ya? Bukan Raden Ugraha yang melakukannya?” tanya si pria lagi.

“Saat itu Raden Ugraha sedang melakukan perjalanan ke luar kota. Rumah itu kosong. Pada saat kejadian, Raden Ugraha belum menikah. Beliau tinggal sendirian.” Pelayan itu meminta diri usai menata pesanan.

“Raden Ugraha Wisesa ... gayamu, Ndul!” gumam si pria sambil terkekeh. Kemudian dengan lahap dia menyantap makanan dan minuman yang dipesannya. *

Malamnya si pria berdiri di depan pekarangan rumah Ugraha. Tidak ada orang lain yang berlalu lalang karena malam itu hujan. Andai ada yang berlalu lalang dan memperhatikan, pakaian pria itu sama sekali tidak basah diterpa hujan. Bahkan kalau diperhatikan lebih jauh, seperti ada tabir setebal setengah ruas jari yang membuat air hujan luruh sebelum mengenai tubuh si pria.

“Pantesan!” gumam si pria.

Di hadapannya, tepat di tepi paling luar tanah milik Ugraha yang berbatasan dengan jalan umum, berdiri sesosok makhluk mirip manusia menatap dirinya. Sosok itu berkepala kadal dan menggenggam sebilah pedang lengkung.

“Pantesan apanya?” tanya si kepala kadal kepada si pria. Nadanya jelas mengisyaratkan ketidaksukaan.

“Tuanmu ada?” tanya si pria tidak tampak sedikit pun takut.

“Masuk saja dan cari tau sendiri, Pendekar Baskara,” jawab si kepala kadal.

“Ketauan, ya?” kata si pria tertawa kecil sambil menggaruk kepala. “Aku ini temannya tuanmu, lo.”

“Seperti kataku tadi, masuklah dan cari ....”

Sebelum selesai berkata, si kepala kadal roboh setelah terlebih dahulu kepalanya terbagi dua tepat di antara kedua bibirnya. Tidak ada yang melihat benda apa yang memotongnya. Hanya kelebatan sinar putih yang bahkan tidak sampai satu detik bersinar langsung hilang.

“Baiklah! Permisi, ya,” kata si pria melangkahkan kakinya memasuki pekarangan rumah Ugraha.

Baru saja kakinya menapak tanah pekarangan, berdesingan benda-benda tajam membelah udara malam. Semua terarah kepada pria itu. Namun, seperti air hujan, semua serangan itu tertahan di udara. Bedanya jarak hentinya kini menjadi satu hasta atau sekitar empat puluhan centi.

“Ugraaa-haaa! Yuhuuu!”

Si pria menebaskan tangan di ujung seruannya. Dua bilah pedang dan sebilah tombak tiba-tiba saja rontok didahului oleh erangan. Lagi-lagi ada kilatan cahaya putih berkelebat cepat mengikuti gerakan tangan si pria.

“Kau bisa keluar menemuiku dan menyelamatkan piaraanmu, atau aku yang menemuimu setelah kuhabisi semua piaraanmu,” kata si pria lagi.

“Siapa kau?”

Si pria menundukkan kepala ketika telinganya menangkap bunyi mendecit tidak wajar yang diikuti oleh suara retakan. Dia bisa merasakan ada benda yang mengiris udara sedikit saja di atas rambutnya. Benda itu dapat meluluhlantakkan medan pelindungnya dengan mudah.

“Woi! Woi! Keparat kau, Ugraha! Belum lunas utangmu padaku, sudah kau incar pula nyawaku!” maki si pria sambil bersalto ke belakang. Ubun-ubunnya terasa panas meski tidak terkena benda itu.

“Wiyasa? Kau Wiyasa?”

Tiba-tiba saja semua benda tajam yang menghalagi pria itu lenyap. Muncul pula seorang pria tampan entah dari mana seperti sebuah pertunjukan sulap.

“Siapa lagi? Setan kau, Ugraha!”

“Waaa! Wiyasa! Kemana saja kau, Sialan!”

Kedua sahabat itu saling berpelukan disaksikan ratusan makhluk-makhluk ghaib yang bertugas menjaga rumah Ugraha.

“Ini jadinya gimana? Kok aku jadi bingung, ya?” tanya sesosok manusia berkepala kerbau.

“Ya, mbuhlah,” jawab lainnya.

“Aku waktu itu kebelet pipis. Ngucur belum, eh disergap sama model-model mereka gini,” kata Wiyasa berkisah.

“Kita dikatain model, Cuk! Tahan emosi! Jangan marah!” kata si kepala kerbau.

“Model kuwi opo?” tanya lainnya.

“Ya, embuhlah! Tapi kok rasanya hina banget,” jawab si kepala kerbau.

“Untung saja aku ditolong seseorang dan dibawa pergi. Sama beliau ak diangkat murid dan diajari ilmu kanuragan,” kata Wiyasa mengakhiri ceritanya. Keduanya masuk ke rumah meninggalkan makhluk-makhluk itu.

“Terus, kamu mau ke mana sekarang?” tanya Ugraha.

“Ya ndak tau. Seizin guruku turun gunung, hidupku hanya bergantung dari bayaran mengusir demit. Iya, ngusir tok. Soalnya kalau kumatiin, bisa-bisa gak ada kerjaan lagi aku. Huahahaha!” jawab Ugraha.

“Kok kamu bisa nyasar ke tempat ini?” tanya Ugraha lagi.

“Ya itu! Sampai di dusun ini sih kebetulan aja. Pas makan, aku denger dari pelayan tempat makan kalau rumah ini berhantu. Niatku nawarin jasa ngusir demit, gitu lo. Eh, pas dikasi tau yang punya rumah namanya Ugraha, kok aku punya perasaan kalau demit-demit itu piaraanmu semua.”

Wiyasa pernah mengatakan kepada gurunya bahwa sahabatnya tertinggal di gunung Bolo dan berharap agar diselamatkan. Namun, gurunya mengatakan bahwa Ugraha baik-baik saja. Wiyasa tidak punya pilihan lain selain percaya kepada gurunya. Lagipula apa untungnya bagi gurunya yang jujur itu berbohong?

“Yo wis lek ngono! Kamu tinggal di sini saja. Tak beliin tanah dan rumah di sebelah,” kata Ugraha lagi. Dia merasa saat ini adalah kesempatannya membalas budi baik Wiyasa yang selama itu selalu membantunya.

“Dadi gundikmu? Moooh!” ledek Wiyasa disambut sumpah serapa Ugraha.

“Cangkemmu, Su! Aku sih doyan wedokan!”

Mereka tertawa diselingi caci maki. Berkendi-kendi arak tandas isinya menemani kedua karib itu bercengkerama melepas rindu.

“Aku butuh orang kepercayaan sekaligus pengawal. Aku tidak bisa terus-terusan percaya sama mereka. Rumah ini terlalu kental aroma demitnya sampai aku sulit mencari istri,” keluh Ugraha.

Jadilah Wiyasa menerima tawaran sahabatnya. Pengaruh Baskara milik Wiyasa perlahan membuat para pengawal ghaib yang mengikuti Ugraha dari gunung Bolo itu tersingkir. Padahal merekalah yang membangun rumah Ugraha atas perintah Nyi Roro Bungan Senja. Sampai demit terakhir memilih kembali ke gunung Bolo, maka aura rumah itu berubah total, meskipun pemiliknya adalah pendekar Setra. Mungkin karena Ugraha masih manusia dan tidak menggunakan ilmunya untuk kejahatan. Dia hanya menerimanya sebagai tanda pengabdian kepada Nyi Roro Bunga Senja. Apalagi dengan adanya Wiyasa, semakin teranglah aura rumah itu. *

Rasanya sudah lama sekali semenjak terakhir kali kukunjungi kuburan ini. Agak kagok rasanya meminta maaf karena memang hal itu sengaja kulakukan. Apalagi meminta maaf kepada orang yang telah mati.

“Masih benci sama Kanjeng Gondhang Pambarep?”

Di belakangku telah berdiri Kak, eh, Kang Seto. Hampir mustahil menyembunyikan apa pun darinya. Untung saja dia tidak ember, meskipun kadang pada saat aku memerlukannya membaca pikiran orang lain dia pun tidak akan memberitahukan kepadaku.

“Bingung, Kang. Andai dia tidak mati, saya akan bisa hidup tenang meskipun serba kekurangan,” jawabku. Meskipun artinya sama saja, tetapi aku lebih suka menggunakan kata ‘tidak mati’ ketimbang ‘masih hidup’ untuk menggambarkan perasaanku.

“Tapi, dengan kematiannya, Mas Gon jadi bisa hidup enak,” kata Kang Seto. Rasanya ucapan Kang Seto itu telak menyindirku.

“Apa yang harus saya lakukan, Kang?”

“Selekas mungkin meyakinkan Kanjeng Ibuk agar memihak kepada Mas Gon,” jawabnya lugas.

“Caranya? Mungkin saya bisa menandingi Setra-nya, tetapi saya tidak akan sampai hati melukainya,” kataku.

“Tapi Kanjeng Gondhang Pambarep sanggup melakukannya,” kata Kang Seto.

Kang Seto sedang mabok kecubung? Yang dia bicarakan itu saudara kembarku. Dan saudara kembarku itu adanya di bawah batu nisan alias sudah mati!

“Saya serius, Mas Gon! Asal Mas Gon iklas dijadikan wadah, sisanya biar saya yang atur.”

“Gak bahaya ta, Kang?”

Seriusan! Menjadi wadah ruh itu bukan hal main-main. Apalagi bila ada ganjalan antara yang dijadikan wadah dan ruhnya. Paling parah kalau ruhnya punya ganjalan terhadap si wadah. Bisa betah itu ruh tidak akan mau keluar.

“Asal ada yang ngerti penanganannya, ya tidak akan ada masalah, Mas Gon,” jawab Kang Seto.

Jujur saja, semenjak diruwat oleh Lek Sutarman—bapaknya Kang Seto—dan memilih untuk menjadi Baskara tipe Adi, aku tidak pernah tahu ada tipe Baskara yang mampu melakukan hal itu. Alasannya simpel, karena hal itu adalah ranah Setra, praktik kegelapan. Ya pikir saja sendiri, memanggil ruh lalu memasukkannya ke dalam tubuh manusia hidup untuk mengambil alih kendali tubuh manusia hidup jelas sesat.

“Siapa, Kang?” tanyaku penasaran.

“Mohon maaf, Mas Gon. Saya sendiri.”

Nah, kan? Apa Kang Seto sedang bercanda? Atau seperti kata pepatah, seorang guru tidak akan pernah mengajarkan seluruh ilmunya kepada sang murid?

“Mas Gon percaya kepada saya?” *

“Kamu gak percaya aku, Dek?”

Memangnya sekarang sedang musim minta dipercaya apa, ya? Baru saja tadi pagi Kang Seto bertanya seperti itu, sekarang Mbak Diah menanyakan hal yang sama.

“Percaya tu sama Tuhan, Mbak, bukan sama tante-tante yang doyanannya telanjang sembarangan,” kataku sambil mengunyah nasi goreng buatan Widuri, eh, maksudku ibunya si kembar, ibu tiriku.

“Apa tadi, Dek? Kamu mau mati?” tanya Mbak Diah sambil meletakkan ponselnya. Lah? Di mana salahku? Bahkan saat ini dia juga hanya mengenakan beha saja! Iya! Cuma beha! Ngangkang sambil main ponsel. Memamerkan memek merah mudanya yang mulus ditumbuhi jembut tipis nan halus.

“Mbak tante-tante apa kakak-kakak?”

Dia tidak menjawab pertanyaanku. Tangannya kembali meraih ponselnya. Fiuh! Lega! Ingat, ya! Jangan pernah membuat tante-tante yang suka telanjang sembarangan marah.

“Jadi? Kamu gak percaya sama Mbak?”

Duluuu ... kami tidak seakrab ini. Bahkan kalau kuingat-ingat lagi, dia tidak pernah menganggapku ada. Aku tidak tahu penyebabnya, mungkin karena pengaruh Bapak.

Bapak hanya butuh satu anak lelaki. Masalahnya takdir menetapkan aku dan saudaraku adalah kembar. Aku mendahuluinya keluar dari rahim ibu, menjadikannya menyandang status lebih tua. Katanya sih, karena dia mengalah, mempersilakan aku sebagai yang lebih lemah untuk keluar lebih dahulu. Satu lagi, kami kembar tidak identik. Bahkan tidak ada yang mempercayai kalau kami adalah kembar. Bagaimana ada yang percaya kalau dari kulit saja kami berbeda. Aku putih, dia hitam. Sialnya, keluargaku adalah penggemar berat hitam.

Sudah pernah kuceritakan bagaimana hubunganku dengan Bapak, kan? Bahkan ibuku sendiri pun rasanya sibuk dengan saudaraku. Jangan tanyakan bagaimana perlakuan Mbak Diah kepadaku. Dia amat baik kepada saudara kembarku, tetapi tidak kepadaku. Wanita di mana-mana sama saja. Selalu memilih jantan terkuat.

“Lah, Mbak Diah sendiri percaya gak sama aku?”

“Percaya!” jawabnya tanpa ragu.

“Aku aja nggak percaya sama diriku sendiri, kok Mbak bisa percaya, sih?”

Sebuah benda melesat seperti kilat tepat ke arah kepalaku. Benda itu ponsel yang tadi ada di tangan Mbak Diah. Bisa kukatakan dengan past karena ponsel itu berhenti dan melayang sekitar lima centi di depan wajahku. Kalau yang melempar orang biasa, Baskara-ku bisa menahannya sampai jarak satu meter. Namun, kalau sekelas Mbak Diah lain ceritanya.

“Woi! Niat amat matiin adek sendiri!” Kuraih ponsel itu dan kulemparkan kembali ke pemiliknya. Sebuah lemparan yang lemah saja.

“Kalau gitu aja kamu mati, mana pantes kamu jadi adekku. Apalagi gantiin Kanjeng Romo,” jawabnya enteng sambil menangkap ponselnya. “Jadi? Kamu percaya kan sama aku?”

Apa boleh buat. Aku terpaksa percaya kepadanya hanya karena dia percaya apa yang dikatakan Kang Seto. Kasarnya, kalau orang bertentangan dalam prinsip saja percaya, masa iya aku yang muridnya sendiri tidak percaya. Kualat aku bisa-bisa. *

Pagi berikut di rumah utama. Niat awalku untuk berbicara dengan Widuri terpaksa kutunda. Bukan! Bukan sengeres itu kejadiannya! Hanya saja masakan Widuri terlalu sayang untuk kutolak. Ibunya si kembar itu pintar sekali memasak.

“Enak?” tanyanya yang langsung kujawab dengan anggukan. Mulutk masih penuh dengan nasi uduk.

“Mau yang lebih enak?” tanyanya lagi. Kali ini sambil tersenyum menggoda. Mulutku sudah kosong karena nasi sudah kutelan. Namun, mulutku tidak mampu bersuara. Bahkan kepalaku kebingungan antara mengangguk atau menggeleng. Segera saja kuraih gelas dan menelan isinya.

“Mas Gon lucu banget, sih? Gemesin! Beda sama Mas Mbarep,” katanya sambil menopangkan dagu di tangannya.

Aaah! Iya! Hampir saja aku lupa dengan apa yang harus kubicarakan dengannya. Haduh! Suaranya itu lo! Bikin sange banget.

“Kanjeng Ibuk! Saya mau curhat!”

“Kamu kira Ibuk Mamah Dede apa?”

Iya, ya? Kenapa jadi curhat? Beginilah kalau mikir sambil sange.

“Nanya, maksud saya, Kanjeng Ibuk!” kataku merevisi. Widuri hanya mengangguk saja sambil tersenyum-senyum sendiri.

“Kanjeng Ibuk bersedia bantu saya mengalahkan Nyi Roro?”

Widuri tersedak mendengar pertanyaanku. Padahal aku yang minum, tetapi malah dia yang tersedak. Empati ibu si kembar itu besar sekali memang, meski tidak sebesar teteknya.

“Kamu kenapa beda banget sama Mas Mbarep toh, Mas Gon? Senengane kok mbangkangan?” keluh Widuri sambil mengelap nasi yang bertengger di bibirku.

“Wajar beda to, Kanjeng Ibuk. La wong dari kecil aja dibedain, kok gedenya disuruh sama,” kataku. Wajah ayunya berubah mendengar ucapanku. The truth hurt, Man!

“Emang apa alasannya harus ngalahin Nyi Roro?” tanya Widuri.

“Emangnya Kanjeng Ibuk gak bosen hidup macam ini? Gak pingin keluar dari rumah ini?”

Mana mungkin kuberitahu kalau anakku sedang menjadi tawanan Nyi Roro. Paling tidak belum sekarang. Aku tidak ingin berbagi informasi sepenting itu dengan siapa pin saat ini. Bukankah informasi adalah sumber kekuatan untuk lawan, tetapi selama masih menjadi rahasia, maka menjadi kekuatan bagi pemiliknya?

“Nggak! Ibuk hidup berkecukupan. Mau apa-apa mudah. Tinggal minta, pasti dikasih Nyi Roro. Gak kayak Mas Gon, Ibuk udah ngemis-ngemis ngerendahin harga diri pun masih ditolak.”

“Kalau saya kasih yang Kanjeng Ibuk mau, apakah Kanjeng Ibuk akan membantu saya?”

Widuri tertawa geli mendengar pertanyaanku. Dicubitnya pipiku dengan gemas. Tawanya merdu, tetapi ada yang aneh.

“Mohon maaf, Mas Gon. Tugas Ibuk dari Nyi Roro jelas, membuat Mas Gon menjadi suami Nyi Roro, apa pun caranya. Kalau sekali ngenthu gak cukup untuk membuat Mas Gon berpaling, Ibuk gak keberatan ngenthu lagi, lagi, lagi, sampai Mas Gon mau,” kata Widuri sambil menatapku tajam. Sebuah pernyataan perang yang halus. Tentu saja selain halus juga montok. Eh?

“Cantik-cantik ngomongnya saru, ih!” ledekku berusaha mencairkan suasana. Widuri tertawa mendengarnya.

“Ciri-ciri playboy banget tuh, suka ngebanyol,” Widuri balas meledekku.

“Sok taaauuu!” seruku disambut tawanya yang makin keras.

“Gemesin banget sih, Mas Gon!” serunya sambil berpindah kursi ke sebelahku. Tangannya merengkuh kepalaku dan direngkuhnya ke teteknya. Empuk bangeeet! Selain empuk, tubuhnya juga wangi. Bukan wangi parfum, tetapi lebih mirip wangi melati. Hidungku sudah khatam dengan salah satu benda syarat untuk banyak ritual itu.

“Geliii, Maaas!”

Widuri tertawa kegelian ketika akhirnya seluruh panca inderaku menumpul dan berimbas kepada larutnya diriku kepada pesona seksualnya. Seriusan! Aku bisa merasakan hangat kulitnya, mendengar degup jantungnya, menikmati kekenyalan teteknya, menikmati aroma wangi melati tubuhnya, serta mendengarkan suaranya yang merdu menghipnotis. Jadi apa bedanya bila kutambahkan aku bisa merasakan manisnya keringat di leher MILF yang satu ini dengan lidahku?

“Mau nenen?” tanyanya ketika pandangan kami bertaut. Tanpa menunggu jawabanku, dia lepaskan semua kancing kebaya hijaunya. Tidak ada beha di sana yang melindungi isi kebayanya. Isi di balik kebaya itu langsung tumpah ruah memenuhi mulutku.

“Pelan aja, Maaash! Mmmh!”

Andai bisa kuturuti perkataannya untuk pelan-pelan saja, tetapi hal itu jelas mustahil. Apa yang ada pada sepasang tetek itu benar-benar surgawi, melenakan akal sehatku: montok, kenyal, kencang, dan berpentil coklat muda. Bukankah adalah sebuah penghinaan bila aku sanggup berpelan-pelan saja?

Kedua tanganku bekerja dengan sinkron memberi kenikmatan kepada Widuri, meremas dari dasar tetek hingga memilin pentilnya. Sesekali tanganku berpindah tempat ketika lidah dan mulutku meminta jatah. Sepertinya ibu si kembar itu lebih suka bila aku menjilati pucuk pentil teteknya. Terbukti dengan desahannya yang semakin kuat ketika kulakukan itu.

“Maaash! Ke kamar, yuk?” pinta Widuri sambil mengecup keningku.

Tentu saja permintaan itu segera kupenuhi. Meskipun nikmat, bermain cinta di meja makan bukanlah sebuah kondisi ideal, apalagi bila ada ranjang empuk berukuran king size yang bisa dipergunakan tanpa bayar di ruangan dengan bependingin udara.

Widuri berjalan tanpa memedulikan kebayanya yang terbuka lebar. Pemandangan bagaimana dia melangkah benar-benar membuatku takjub. Ibu tiriku itu penuh pesona dan percaya diri dengan semua yang ada pada dirinya. Sebuah akumulasi kualitas wanita yang amat terdidik di dalam seni memuaskan pria, bahkan hanya lewat visual.

“Kayak yang baru liat cewek telanjang aja. Pasti udah banyak liat yang lebih bagus badannya timbang Widuri,” katanya setelah duduk di tepi ranjang. Dilepasnya kebaya yang dia kenakan, lalu merapikan rambut sepunggungnya yang dia biarkan terurai. Kini, hanya kain batik yang masih menempel di tubuhnya, menutupi bagian pinggang sampai betisnya.

Apa perlunya kujawab tuduhannya itu, kan? Memang benar tubuh telanjangnya bukan tubuh telanjang wanita pertama yang kulihat langsung, tetapi jelas tubuh telanjangnya adalah salah satu yang terbaik kalau tidak bisa kukatakan yang terbaik. Kalau kukatakan pun dia pasti tidak akan percaya. Jadi, bukankah lebih baik kalau kujelaskan langsung dengan tindakan seorang pejantan saja?

Mata Widuri nanar menatapku yang melolosi lembar demi lembar pakaianku. Terutama ketika bagian celana dalam yang sengaja kulambatkan pelolosannya. Jujur saja aku merasa tersanjung melihat binar matanya pada saat kontolku terlepas dan menampakkan diri dari kurungannya.

“Sini! Cepet sini, Maaash!” rengeknya. Kedua tangannya melepasi kain batiknya dengan kasar, lalu memamerkan memek berjembut tipisnya.

“Langsung dulu ya, Mas? Widuri udah nahan dari kemarin-kemarin, lo,” kata Widuri lagi sambil mengocok kontolku lembut. Matanya nanar menatap kontolku yang semakin keras mendengar request itu. Heran memang, padahal aku ingin perlahan mengeksplorasi setiap jengkal tubuh Widuri, tetapi sepertinya si Bule Junior punya kemauan sendiri. Ya sudahlah, kuputuskan untuk memuaskan ibu si kembar terlebih dahulu. Seperti kata pepatah, wanita puas adalah wanita yang baik, maka mari kita puaskan mereka!

Widuri melebarkan pahanya ketika kucari posisi yang tepat di depan memeknya. Sebagai permulaan, missionaris kurasa adalah pilihan yang aman. Aku bisa mendapatkan banyak hal dari posisi ini, seperti reaksinya akan sebuah gerakan.

“Gedeee!” desis Widuri ketika usai kutemukan posisi wenak, kudorong kontolku membelah bibir memeknya perlahan. Sebuah pertanyaan muncul di kepalaku, ini wadon jarang dientot sama Bapak apa gimana? Sempit memeknya jelas bukan hal yang wajar buatku. Aku tidak bisa bilang rasanya seperti perawan, karena jujur saja aku belum pernah memerawani satu orang wanita pun. Aku lebih suka yang sudah berpengalaman, meskipun untuk calon istri tentu saja aku maunya yang segel.

“Sempit bangedh, Buk! Tahan, ya?” kataku mencoba membayangkan betapa sakit memeknya pada saat sempurna kuentot. Widuri mengangguk saja sambil mengangguk.

“Mmmh! Maaash! Pelaaan!” isaknya pada saat kepala kontolku masuk. Benar-benar surgawi memek wanita ini! Bisa kurasakan kontraksi dinding memeknya seperti mulut yang meremas mengisap kontolku dengan lembut. Rasanya hangat sekaligus basah. Seperti candu, membuatku abai dengan rintihannya.

“Maaash! Aaahn!” rintihnya semakin intens ketika separuh batang kontolku berhasil masuk ke dalam memeknya. Sumpah! Aku bukan seorang penggemar BDSM atau pemilik bakat psikopat, tetapi di telingaku isak dan rintihan Widuri benar-benar membuat libidoku meroket tanpa aturan. Ada kepuasan batin melihat wanita penuh kuasa sepertinya tunduk karena syahwat.

“Sakit? Mau udahan?” tanyaku berbasa-basi.

Widuri menggeleng kuat-kuat sambil menutup mulutnya dengan telapak tangan kiri. Sementara tangan kanannya mencubit perutku kuat-kuat. Matanya menatapku penuh hasrat. Dan yang paling seksi, kedua kakinya mengunci erat pantatku. Sebuah penyerahan total tanpa syarat, pengakuan seorang betina kepada pejantannya.

“Iiih!” desah Widuri sambil melotot ketika kutarik kontolku. Cubitannya di perutku semakin kuat. Kakinya pun menekan pantatku, mencegah keluarnya kontolku dari relung memeknya.

“Maaash Nakal, ih!” jeritnya tertahan ketika tanpa aba-aba, kudorong lagi kontolku yang tersisa kepalanya saja di jepitan bibir memeknya. Matanya membeliak lebar, menatapku tidak percaya dengan apa yang kuperbuat.

“Iiih!” jeritnya lagi ketika kuulangi lagi dengan tempo yang lebih cepat dan doronganyang lebih bertenaga. Cubitannya melemah, kakinya tidak lagi mengunci melainkan mengangkang lebar di samping pahaku.


Jaja menelan ludah menyaksikan penampilan Rahma. Meskipun sedikit kecewa karena mengharapkan sebuah selaput keperawanan, dia segera sadar kalau saja ustazah di hadapannya itu benar-benar perawan, tidak akan mungkin dia mendapatkan kesempatan ini. Segara saja dia turut menelanjangi dirinya sendiri.

“Ustazah cantik banget! Seksi banget! Mirip Cita Citata idola saya,” puji Jaja sambil mengocok kontolnya disambut derai cekikikan Rahma.

“Suka coli bayangin Cita Citata ya, Pak?” goda Rahma sambil mengobeli memeknya meniru aksi Jaja.

“Jadi mandinya gak, Ustazah?” Jaja bertanya tidak sabar melihat aksi Rahma. Dia mendekati sang ustazah yang berlagak melindungi memek dan kedua teteknya menggunakan tangan.

“Kok Rahma jadi takut sama Pak Jaja, sih?” tanya Rahma menggoda Jaja. Matanya menatap kontol Jaja yang tegak mengacung. Standar saja ukurannya, tetapi masih sedikit lebih besar ketimbang kontol suaminya. Kisaran lima belas centi dengan diameter tiga sampai empat centi.

“Kalau udah dicoblos juga gak takut lagi, Ustazah. Malah nagih ntar,” kata Jaja. Tangannya membelai pipi Rahma lalu turun mengusapi sisi tetek sang ustazah sebelum meraih tangannya dan menyeretnya ke kamar mandi. Rahma tertawa cekikikan mengikuti seretan Jaja.

“Gak mau! Mandi aja! Rahma gak suka kamar mandinya. Selesai mandi, Pak Jaja boleh entotin Rahma di kamar,” kata Rahma ketika Jaja hendak memeluknya. Kamar mandi rumah Jaja memang kecil dan sederhana. Hanya ada kloset jongkok dan ember untuk menampung air.

Jaja tentu saja tidak memprotes. Setengah mati dia menahan diri untuk tidak merusak mood Rahma. Jangankan hanya disuruh mandi, menguras laut pun akan dia lakukan demi tubuh indah sang ustazah. Beberapa kali Rahma cekikikan meledek Jaja yang tampak gelisah.

“Masih ada waktu waktu, Pak Jaja. Yuk!” kata Rahma setelah mengeringkan diri dan duduk di tepi ranjang Jaja. Pemilik ranjang itu dengan tidak sabar langsung menyergap Rahma. Bibirnya langsung menjajah bibir sang ustazah dengan rakus, sementara tangannya dengan cekatan meremasi kedua tetek Rahma. Perlahan pria itu memaksa tubuh indah sang ustazah rebah di kasur.

“Ngh ... est ... eeeh ... mmmh ...,” desah Rahma menikmati kebuasan Jaja yang seperti macan terlepas dari kandang. Ustazah itu berusaha meladeni permainan lidah Jaja yang berhasil menerobos bibirnya dan menjajah rongga mulutnya. Aroma tembakau rokok murahan menguar dari mulut Jaja, membuat Rahma sedikit mual. Dia lupa menyuruh Jaja sikat gigi. Sudah miskin masih juga merokok, rutuk Rahma di dalam hati. Namun, dia bertahan karena merasa sudah tanggung.

***

Lengkapnya bisa dibaca di KK
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd