mrenges
Semprot Baru
- Daftar
- 29 May 2014
- Post
- 47
- Like diterima
- 90
CATATAN SEORANG WARTAWAN
Indeks
1. Always
2. Andriana Purnama
3. Ajakan Kencan
4. Kencan Pertama
5. Margareta Agustina
6. Ciuman Pertama
7. Rarasati Pratiwi (update 29 Juni)
Always
Desember 2016
Aku sedang terduduk sembari menghisap rokok Sampoerna Mild-ku di meja bar Jaya Pub, sebuah bar tua yang didirikan oleh almarhum Frans Tumbuan. Semasa Om Frans hidup, karena seringnya aku mampir di sana, aku beberapa kali berbincang dengannya. Sekadar untuk bertanya kabar atau mendengar kisah hidupnya. Dan aku banyak belajar dengannya. Buatku, nongkrong di tempat ini ibarat berkelana ke lorong waktu.
Hari itu, Jumat malam, dan aku selalu nyaman menikmati kesendirian di tempat ini. Aneka pernak-pernik lawas terpacak di berbagai sudut dinding. Bar yang didominasi bapak-bapak dan juga segelintir ekspat dari berbagai belahan dunia. Sudah lima tahun aku mengenal bar ini dan masih betah berlama-lama entah sebab apa.
Malam itu, aku hendak menyepi sejenak dari segala hiruk pikuk dan kabar buruk yang menghampiri. Kuhisap rokokku dalam-dalam, mengalirkan asapnya ke paru-paru kemudian kuhembuskan asapnya ke salah satu sudut. Aku menghela nafas. Segelas bir telah tandas dan aku kembali memesan satu gelas minuman yang sama.
Tiga bapak-bapak tua tampak asyik bercengkerama di pojok bersama sekumpulan gadis muda. Di sudut lain, dua orang bule asyik bermain biliard ditemani dua gadis berpakaian amat seksi. Dadanya yang besar hendak melompat dari baju berbelahan rendah.
Di panggung, sebuah band sedang mendendangkan lagu Stairway to Heaven-Led Zeppelin. Entah sudah berapa lagu dia nyanyikan. Sang vokalis menenggak segelas bir kemudian bersuara. "Lagu berikutnya, untuk mereka yang sedang patah hati, untuk mereka yang sedang berusaha bangkit," katanya seraya mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
Lagu itu diputar, Always-Bon Jovi. Aku terdiam, merasa disindir. Lagu yang mengingatkanku pada Andriana Purnama, mantan pacarku yang dengan tega mengkhianatiku saat aku masih berjuang meraih mimpi mengejar pendidikan di London School of Economic.
Setahun lamanya aku membangun mimpi, meraih gelar master dari salah satu perguruan tinggi terfavorit di Britania Raya. Setahun lamanya aku menahan godaan di negara yang cinta dan nafsu hanya dibatasi selaput tipis. Dan semua itu rusak porak poranda saat aku tiba kembali di kotaku, Jakarta.
Andriana ternyata telah memilih jalan berbeda, tak tahan godaan dengan berselingkuh dengan lelaki sialan itu. Dia hamil dan kemudian menikah diam-diam di dua bulan terakhir masa kuliahku. Aku sudah curiga dengan komunikasi kami yang semakin jarang. Meskipun aku masih berbaik sangka, barangkali karena kesibukan kami.
Hingga akhirnya aku menjejakkan kaki di Jakarta dan menghubunginya. Saat berbicara lewat telepon, nada suaranya amat dingin. Tak ada kesan bahwa kami adalah sepasang kekasih yang menahan rindu dibatasi jarak dan waktu. Lalu pertemuan di sebuah restoran di Menteng menjelaskan semuanya.
Dia datang bersama seorang lelaki yang tak kukenal. Seseorang yang pada akhirnya merusak rencana-rencana masa depan yang telah aku susun.
"Aku tahu kamu bingung. Dan aku tahu kamu pasti marah. Aku cuma mau menyampaikan kabar, aku mau menikah bulan depan. Aku tahu ini menyakitkan dan aku terima apa pun pandanganmu soal aku," kata Andriana malam itu.
Aku tercekat, belum memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dan belum menyadari, bahwa inilah awal dari runtuhnya sebuah harapan. Saat kepalaku masih kosong, Andriana memberi penjelaskan kalau mereka telah berpacaran bahkan saat aku masih di Jakarta, bahwa Andriana merasa sudah tak lagi memiliki perasaan yang sama, dan semua alasan-alasan klasik orang yang berselingkuh.
Mataku berkunang-kunang, kepalaku pening seketika. Untungnya aku masih berusaha untuk menahan diri, meskipun ada gemuruh di bagian dada yang tak bisa kujelaskan. Aku segera menarik kursi dan beringsut pergi. Aku akhirnya mengetahui, bagaimana rasanya ditinggalkan, rasanya jatuh dari ketinggian dan terjerembab seketika.
"Semoga kalian berbahagia."
Itulah satu-satunya kalimat yang mampu aku ucapkan. Setelah itu, tak ada lagi Andriana yang ceria dalam hidupku. Tak ada lagi tawanya yang renyah, rajukannya yang manja, hingga celotehannya yang menggemaskan.
Aku butuh waktu untuk kembali menata kehidupanku. Tidak mudah bagi seseorang yang sudah memasuki kepala tiga untuk membentuk perkawanan kecuali lingkaran pekerjaan. Tidak mudah menemukan kawan setelah setahun lamanya terasing di negeri orang, apalagi untuk orang sepertiku yang memang tak aktif di media sosial. Satu-satunya cara untuk kembali menemukan gairah hidup adalah kesibukan di kantor dan mengejar karir setelah ditinggal sekolah.
Setahun berlalu, pelan-pelan Andriana mulai menguap dari kepalaku. Meskipun, tak sekalipun juga ada perempuan yang benar-benar pernah singgah. Sesekali aku mencoba mendekati rekan kerja atau rekan wartawan. Namun aku selalu membandingkan dengan Andriana. Hingga akhirnya, aku pasrah menikmati kesendirian dan pelan-pelan Andrian juga lenyap dengan sendirinya.
Hingga malam ini tiba. Lagu ini, Always Bon Jovi, yang dibawa oleh band sialan itu, seketika membawa ingatanku pada Andriana, betapa aku sangat mencintainya.
Kenangan itu berputar-putar di dalam kepalaku, bagaimana kami bertemu dulu, masa pedekate yang amat menyenangkan hingga akhirnya kami berpacaran. Rencana pernikahan tersusun matang, hingga jarak akhirnya membuyarkan harapan-harapan kami.
***
Perkenalkan, namaku Asta Prawira, 33 tahun, seorang wartawan desk nasional yang menggawangi politik dan hukum di salah satu media terkemuka di ibukota. Aku berperawakan sedang, tinggi 175 cm, berambut ikal dengan badan yang sudah mulai digelayuti lemak di sekitar perut. Sisa-sisa kejayaan masih tampak di lengan, bahu dan dada, warisan hobi olahraga di masa lalu.
Wajahku tidak tampan, meskipun juga tidak bisa dibilang jelek. Sedang-sedang saja. Kulitku kuning langsat, mungkin ini bawaan dari ibuku yang orang Cina dan ayahku orang Jawa asli. Aku memiliki seorang adik perempuan, Anisa Praditya, yang kini bekerja sebagai dokter di Jakarta.
Aku masih melajang, setelah kegagalan pernikahanku dengan Andriana. Kini aku tinggal di sebuah apartemen sederhana di kawasan Kebon Jeruk, dua kamar tidur dengan dapur yang juga sederhana. Apartemen yang aku beli hasil cicilan beasiswa dan tambahan uang berkat kerja sampingan selama di Inggris.
Dan ini adalah kisahku, cerita tentang politik Jakarta dan asmara-asmara yang menaungi kehidupanku.
Indeks
1. Always
2. Andriana Purnama
3. Ajakan Kencan
4. Kencan Pertama
5. Margareta Agustina
6. Ciuman Pertama
7. Rarasati Pratiwi (update 29 Juni)
Always
Desember 2016
Aku sedang terduduk sembari menghisap rokok Sampoerna Mild-ku di meja bar Jaya Pub, sebuah bar tua yang didirikan oleh almarhum Frans Tumbuan. Semasa Om Frans hidup, karena seringnya aku mampir di sana, aku beberapa kali berbincang dengannya. Sekadar untuk bertanya kabar atau mendengar kisah hidupnya. Dan aku banyak belajar dengannya. Buatku, nongkrong di tempat ini ibarat berkelana ke lorong waktu.
Hari itu, Jumat malam, dan aku selalu nyaman menikmati kesendirian di tempat ini. Aneka pernak-pernik lawas terpacak di berbagai sudut dinding. Bar yang didominasi bapak-bapak dan juga segelintir ekspat dari berbagai belahan dunia. Sudah lima tahun aku mengenal bar ini dan masih betah berlama-lama entah sebab apa.
Malam itu, aku hendak menyepi sejenak dari segala hiruk pikuk dan kabar buruk yang menghampiri. Kuhisap rokokku dalam-dalam, mengalirkan asapnya ke paru-paru kemudian kuhembuskan asapnya ke salah satu sudut. Aku menghela nafas. Segelas bir telah tandas dan aku kembali memesan satu gelas minuman yang sama.
Tiga bapak-bapak tua tampak asyik bercengkerama di pojok bersama sekumpulan gadis muda. Di sudut lain, dua orang bule asyik bermain biliard ditemani dua gadis berpakaian amat seksi. Dadanya yang besar hendak melompat dari baju berbelahan rendah.
Di panggung, sebuah band sedang mendendangkan lagu Stairway to Heaven-Led Zeppelin. Entah sudah berapa lagu dia nyanyikan. Sang vokalis menenggak segelas bir kemudian bersuara. "Lagu berikutnya, untuk mereka yang sedang patah hati, untuk mereka yang sedang berusaha bangkit," katanya seraya mengangkat gelasnya tinggi-tinggi.
Lagu itu diputar, Always-Bon Jovi. Aku terdiam, merasa disindir. Lagu yang mengingatkanku pada Andriana Purnama, mantan pacarku yang dengan tega mengkhianatiku saat aku masih berjuang meraih mimpi mengejar pendidikan di London School of Economic.
Setahun lamanya aku membangun mimpi, meraih gelar master dari salah satu perguruan tinggi terfavorit di Britania Raya. Setahun lamanya aku menahan godaan di negara yang cinta dan nafsu hanya dibatasi selaput tipis. Dan semua itu rusak porak poranda saat aku tiba kembali di kotaku, Jakarta.
Andriana ternyata telah memilih jalan berbeda, tak tahan godaan dengan berselingkuh dengan lelaki sialan itu. Dia hamil dan kemudian menikah diam-diam di dua bulan terakhir masa kuliahku. Aku sudah curiga dengan komunikasi kami yang semakin jarang. Meskipun aku masih berbaik sangka, barangkali karena kesibukan kami.
Hingga akhirnya aku menjejakkan kaki di Jakarta dan menghubunginya. Saat berbicara lewat telepon, nada suaranya amat dingin. Tak ada kesan bahwa kami adalah sepasang kekasih yang menahan rindu dibatasi jarak dan waktu. Lalu pertemuan di sebuah restoran di Menteng menjelaskan semuanya.
Dia datang bersama seorang lelaki yang tak kukenal. Seseorang yang pada akhirnya merusak rencana-rencana masa depan yang telah aku susun.
"Aku tahu kamu bingung. Dan aku tahu kamu pasti marah. Aku cuma mau menyampaikan kabar, aku mau menikah bulan depan. Aku tahu ini menyakitkan dan aku terima apa pun pandanganmu soal aku," kata Andriana malam itu.
Aku tercekat, belum memahami apa yang sebenarnya terjadi. Dan belum menyadari, bahwa inilah awal dari runtuhnya sebuah harapan. Saat kepalaku masih kosong, Andriana memberi penjelaskan kalau mereka telah berpacaran bahkan saat aku masih di Jakarta, bahwa Andriana merasa sudah tak lagi memiliki perasaan yang sama, dan semua alasan-alasan klasik orang yang berselingkuh.
Mataku berkunang-kunang, kepalaku pening seketika. Untungnya aku masih berusaha untuk menahan diri, meskipun ada gemuruh di bagian dada yang tak bisa kujelaskan. Aku segera menarik kursi dan beringsut pergi. Aku akhirnya mengetahui, bagaimana rasanya ditinggalkan, rasanya jatuh dari ketinggian dan terjerembab seketika.
"Semoga kalian berbahagia."
Itulah satu-satunya kalimat yang mampu aku ucapkan. Setelah itu, tak ada lagi Andriana yang ceria dalam hidupku. Tak ada lagi tawanya yang renyah, rajukannya yang manja, hingga celotehannya yang menggemaskan.
Aku butuh waktu untuk kembali menata kehidupanku. Tidak mudah bagi seseorang yang sudah memasuki kepala tiga untuk membentuk perkawanan kecuali lingkaran pekerjaan. Tidak mudah menemukan kawan setelah setahun lamanya terasing di negeri orang, apalagi untuk orang sepertiku yang memang tak aktif di media sosial. Satu-satunya cara untuk kembali menemukan gairah hidup adalah kesibukan di kantor dan mengejar karir setelah ditinggal sekolah.
Setahun berlalu, pelan-pelan Andriana mulai menguap dari kepalaku. Meskipun, tak sekalipun juga ada perempuan yang benar-benar pernah singgah. Sesekali aku mencoba mendekati rekan kerja atau rekan wartawan. Namun aku selalu membandingkan dengan Andriana. Hingga akhirnya, aku pasrah menikmati kesendirian dan pelan-pelan Andrian juga lenyap dengan sendirinya.
Hingga malam ini tiba. Lagu ini, Always Bon Jovi, yang dibawa oleh band sialan itu, seketika membawa ingatanku pada Andriana, betapa aku sangat mencintainya.
Kenangan itu berputar-putar di dalam kepalaku, bagaimana kami bertemu dulu, masa pedekate yang amat menyenangkan hingga akhirnya kami berpacaran. Rencana pernikahan tersusun matang, hingga jarak akhirnya membuyarkan harapan-harapan kami.
***
Perkenalkan, namaku Asta Prawira, 33 tahun, seorang wartawan desk nasional yang menggawangi politik dan hukum di salah satu media terkemuka di ibukota. Aku berperawakan sedang, tinggi 175 cm, berambut ikal dengan badan yang sudah mulai digelayuti lemak di sekitar perut. Sisa-sisa kejayaan masih tampak di lengan, bahu dan dada, warisan hobi olahraga di masa lalu.
Wajahku tidak tampan, meskipun juga tidak bisa dibilang jelek. Sedang-sedang saja. Kulitku kuning langsat, mungkin ini bawaan dari ibuku yang orang Cina dan ayahku orang Jawa asli. Aku memiliki seorang adik perempuan, Anisa Praditya, yang kini bekerja sebagai dokter di Jakarta.
Aku masih melajang, setelah kegagalan pernikahanku dengan Andriana. Kini aku tinggal di sebuah apartemen sederhana di kawasan Kebon Jeruk, dua kamar tidur dengan dapur yang juga sederhana. Apartemen yang aku beli hasil cicilan beasiswa dan tambahan uang berkat kerja sampingan selama di Inggris.
Dan ini adalah kisahku, cerita tentang politik Jakarta dan asmara-asmara yang menaungi kehidupanku.
Terakhir diubah: