[PUTARAN KEDUA]
Putaran / Chapter 2 dari Coaster akan saya buat dengan sedikit perbedaan gaya menulis, mohon bantuannya. Terimakasih.
========================================
babak satu : hujan, nadhira, fitriana.
bagian : 1.
Setiap orang bilang, selalu menyukai hujan. Tapi, kenapa mereka masih terus-terusan berlindung ketika hujan – sesuatu yang mereka cintai – datang?
Namaku Tama Andhika, dan aku suka hujan – pun dengan kekasihku yang saat ini berjalan di sampingku, Puti Nadhira. Kalian bisa memanggilnya Pucchi.
“Dari sini kita kemana, kak?” Pucchi sedikit berteriak dibawah riuhnya suara hujan yang turun, membuat beberapa pasang mata melirik dirinya.
“Nyari coklat mau?” lenganku meraih jemarinya, membuatnya mendekat padaku. Ia mengangguk seraya menyunggingkan senyuman yang bisa membuat siapa jatuh cinta itu.
Kami kembali berjalan, menuju sebuah toko coklat di tepi jalan, tempat favoritnya setelah selesai kegiatan.
Kling~
Bel berbunyi saat sebuah pintu kaca kami dorong, membuat seorang yang tengah menjaga etalase berisi beberapa kudapan berbahan dasar coklat itu menoleh.
“Waduh, pasangan kita nih, seperti biasa ya? Hahahaha.” Pria penjaga toko itu menoleh, dengan sebuah apron berwarna coklat, dan sebuah papan nama.
Ben, namanya.
Tidak, bukan Ben-yang-itu, Ben ini seorang Ben yang baik-baik, kok.
“Halo, Kak Ben.” Pucchi sedikit berlari menghampiri pria itu, lalu memeluknya sebentar. Ben tidak menolak meski pelukan itu membuat apron nya sedikit basah.
Aku menyalaminya setelah selesai dengan pelukan Pucchi.
“Baju lo kemarin udah kering tuh, ada 2 kalo gasalah, bisa lah dipake sama Pucchi.” Telunjuknya menunjuk sebuah lemari kaca kecil, berisi beberapa perlengkapan pribadi miliknya, dan juga milikku.
Aku menumpang disini setiap habis hujan, lebih tepatnya. Bukan untuk apa, tetapi Ben lebih dulu menawarkan tempat untuk seseorang yang memang mencintai hujan dengan sungguh-sungguh seperti aku dan Pucchi.
“Thanks, yak. Ntar deh habis ini.” Aku berjalan ke taman belakang, melihat Pucchi berjongkok mengelus seekor kucing yang sepertinya juga sama seperti kami.
“Kak! Lucu kucingnya basah kuyup gini!” Ia menyodorkan gumpalan berbulu itu tepat ke depan wajahku. Aku sedikit terkejut, sejurus kemudian ikut mengelusnya.
“Kakak hari ini gaada urusan?” Suara lembut Pucchi menggema di telingaku, membuat reflek kepalaku menoleh.
“Emm, gaada sih, hari ini paling bantuin Ben doang habis mandi, kenapa?” mata kami bertemu. Bibirnya yang agak tebal itu menyunggingkan senyum.
“Tunggu sampe ada matahari, yuk!” Ia berlari kearah rerumputan, lalu duduk diatasnya. Wajahnya ceria sekali. Aku terkejut menatapnya, lalu tertawa.
“Iya ayok!”
------
Beberapa helai rambut yang masih basah sedang berusaha aku keringkan, sementara Pucchi disana masih asik duduk di atas ayunan, menggoyangkan kakinya, membuat ayunan itu bergerak sedikit.
“Matahari udah muncul, gak mau mandi?” sebuah ayunan di sebelahnya menjadi tempatku duduk. Handuk yang baru saja kugunakan, masih mengalung di leherku.
“Suka bingung gak sih kak?” Pucchi bersuara. Pandangan mata yang dilapisi sebuah kacamata hitam itu mengarah kebawah.
“Semua ini? Nggak tuh.” Tanganku memegang rantai, tempat ayunan ini menggantung.
“Jujur, dalam hati aku masih ngerasa bersalah soal hari itu.”
Aku hanya diam mendengar Pucchi memulai cerita.
“Kayak, gimana ya, ketika kakak tulus banget sama aku, aku malah main-main sendiri.” Jemarinya yang berada di atas pahanya mulai gelisah, saling menautkan satu sama lain.
“Hei, kita udah janji buat gak bahas masalah ini lagi kan?” tubuhku berjongkok di hadapannya, menggenggam tangannya yang sedikit bergetar itu.
Pucchi mengangguk pelan.
“Yang udah, biarin aja udah ya? Sekarang, apapun kedepannya, kita tetaplah kita.” Aku memegang dagu Pucchi, menarik wajahnya sedikit, lalu mencium bibirnya yang agak tebal itu.
Sebuah suara mengagetkanku tepat setelah ciuman kami terlepas.
“Udah, Tam? Yuk kerja.” Ben bersandar kepada pintu pembatas antara bagian dalam toko dengan taman kecil ini.
Aku mengambil apronku, memakainya lalu mengikatnya agar tidak jatuh.
“Semangat!” Pucchi berdiri di belakangku, membuatku harus menoleh lalu tersenyum lebar ke arahnya. Tanganku kuangkat sedikit, seraya berkata : “Semangat!” .
---
“Padahal gak rusuh rusuh banget, tapi kok capek banget ya rasanya.” Tubuh 63 kg dengan tinggi 170cm ini aku hempaskan ke atas kasur.
Hari ini tidak ada yang aneh setelah aku pulang bekerja dan mengatar Pucchi. Katanya, ia menginap di kos-kosan milik temannya, Brielle kalau tidak salah namanya.
Sehingga disinilah aku, sendiri.
Karena bingung akan melakukan apa, langkahku kuarahkan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Setelah selesai dan berganti pakaian menjadi sebuah kaus berwarna hitam polos dan celana pendek hitam, aku duduk di depan komputerku ditemani sekaleng bir.
Beberapa pekerjaan sampingan yang belum sempat selesai, berusaha aku selesaikan atau setidaknya agar terlihat memiliki kemajuan.
Tok Tok Tok
Mendadak pintu kamarku di ketuk. Aku yang kaget segera melangkah perlahan kesana.
Tok tok tok
“Kak Tam, Kak Pucchi, ada orang kaahh?” Suara pengetuk terdengar, aku segera membuka pintu.
“Eh, Kak Tam.” Pengetuk itu sedikit terkejut begitu kepalaku berada di luar.
“Hai, La. Kenapa?” Ya, kalian ingat Nabila Fitriana? Gadis yang tidak sengaja satu apartemen denganku. Lala yang mengetuk kamarku di 30 menit menuju jam 11 malam ini.
Ia terlihat membawa sebuah binder, laptop beserta
chargernya, kotak pensil, dan earphone.
“Emm, internetku mati kak, tapi aku ada tugas yang harus di kumpulin besok, mau tethering dari hape, eh kuotanya pas banget abis. Aku nebeng di sini boleh ya?” rambutnya yang ia ikat asal itu sedikit bergoyang, membuatnya terlihat lucu.
Aku tersenyum sembari mengangguk, lalu membukakan pintu untuknya.
“Makasih kak Taam.” Ia memelukku sebentar sebelum melangkah ke dalam. Pintu kembali ku tutup.
Kulihat Lala sudah duduk di sofa, membuka laptop dan bindernya, lalu terlihat sibuk mengetik. Aku kembali ke kursiku, melanjutkan pekerjaanku. Terjadi keheningan antara kami berdua. Aku yang sedikit canggung dengan situasi ini, memutuskan untuk memutar lagu melalui speaker.
Hey cantik coba kau catat
Keretaku datang pukul empat sore
Tak usah kau tanya aku ceritakan nanti
Aku berdiri mengambil cemilan yang ada di dapur lalu membawanya di meja yang Lala gunakan. Ia menoleh kearahku, lalu tersenyum sebentar.
Hey cantik kemana saja?
Tak ada berita, sedikit cerita
Tak kubaca lagi pesan di ujung malam
Aku memperhatikan layar komputer jinjing 4 huruf milik Lala itu. Terlihat, sebuah surat elektronik baru saja ia kirim. Ia mengangkat tangannya keudara, lalu membanting punggungnya ke sandaran sofa milikku.
Dan Jakarta muram kehilanganmu
Terang lampu kota tak lagi sama
Sudah saatnya kau tengok puing yang tertinggal
Sampai kapan akan selalu berlari?
Hingga kini masih selalu ku nanti-nanti
Aku yang masih berkonsentrasi pada handphoneku terkejut ketika Lala menaruh kepalanya diatas pahaku. Ia melirikku sejenak, tersenyum kecil. Aku membalas senyumannya.
“Ganteng amat sih pacar orang.” Lengannya memegang pipiku. Aku terkejut, tapi segera mengembangkan senyuman.
“Lucu amat sih anak orang.” Aku balas menggodanya sembari mencubit pipinya.
gemash.
Ia tertawa kecil.
Terbawa lagi langkahku ke sana
Mantra apa entah yang istimewa
Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja
“...sesuatu di Jogja..” Lala menggumam.
“Ada apa di Jogja?” Telunjukku menyentil hidungnya.
“Aw! Nyanyi iiihh.”
Kami berdua tertawa.
Dengar lagu lama ini katanya
Izinkan aku pulang ke kotamu
Ku percaya selalu ada sesuatu di Jogja
Kami berdua bernyanyi. Kepala Lala bergoyang-goyang sedikit di pahaku. Mendadak, lengan Lala memegang pipiku lagi.
“Hng? Kenapa, La?” Aku menatap matanya yang sedikit sipit itu. Ia tidak menjawab, melainkan menatapku dalam. Tatapannya sedikit sendu.
“Ganteng amat pacar orang.” Ia berucap, pelan sekali. Kurasakan ia sedikit menarik kepalaku kebawah. Sejurus, bibirnya menyambar bibirku.
Tidak, tidak ada nafsu, namun sedikit lama dan, bagaimana aku mengatakannya.
Tulus.
Hey cantik, bawa aku jalan
Jalan kaki saja menyusuri kota
Ceritakan semua ceritamu padaku
--------------
Sesuatu di Jogja by Adhitia Sofyan