Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
PART 3


Denta Pov

Sisa-sisa embun masih ada yang menempel dipermukaan dedaunan, padahal matahari sudah mencorongkan sinarnya di celah-celah pepohonan. Hari ini rumah kakek kedatangan pamanku, anak kedua kakek yang tinggal di desa sebelah. Pamanku yang bernama Asep Bahtiar ini bicaranya selalu tinggi seolah mengetahui segalanya dan tak mau kalah. ‘Biar salah asal nyaring’ mungkin itulah pameo yang pas untuknya. Tentu aku sangat malas kalau ngobrol dengan orang itu, dan lebih baik aku menyingkir ke dapur bergabung dengan nenek dan bibiku yang bernama Isah.

“Kamu sudah ketemu ibumu?” Tanya bi Isah sambil membolak balikan gorengan yang sudah dimasukkan ke wajan yang berisi minyak panas.

“Belum ... Males ...” Jawabku, enggan menjawab lebih jauh. Telinga mendadak gatal jika ada yang bertanya tentang ibuku.

“Kenapa kamu gak coba temui dia ... Coba berbaiklah dengan ibumu ...” Kalimat itu sudah ribuah kali kudengar namun pada dasarnya aku yang masih enggan menemuinya.

“Nanti saja, bi ... Kalau aku sudah siap ...” Kataku mulai kesal. Kulihat gorengan sudah diangkat bi Isah. Aku pun berjongkok di samping bibiku dan mengambil satu gorengan panas di piring.

“Kata nenek ... Kamu sudah ketemu ayahmu? Gimana perasaanmu?” Tanya bi Isah lagi sembari memulai dengan gorengan yang baru. Sesekali dia membenarkan kayu bakar yang apinya mulai keluar dari dalam lubang tungku.

“Ya ... Gitu aja ... Gak ada yang istimewa ...” Jawabku ogah-ogahan.

“Hhhmm ... Kamu itu ... Gak baik nyimpan dendam sama orangtua ...” Bi Isah mencoba menasehatiku tapi aku tak peduli. Sakit hatiku sudah sangat tidak bisa diobati.

“Bi ... Sudahlah ... Jangan dibahas lagi ... Aku males ...!” Pintaku yang sudah sangat jengah membicarakan perihal orangtuaku.

“Iya ... Gitu aja kok marah ...” Sahut bi Isah sambil tersenyum. “Ta ... Bibi pengen pulang ke rumah orangtua, bisa anter bibi gak?” Tiba-tiba bi Isah berkata demikian.

“Bisa ... Kapan ...?” Tanyaku agak bersemangat karena setahuku orangtua bi Isah bertempat tinggal di kota kabupaten. Sekalian saja aku akan menjumpai Marni di sana.

“Sekarang gimana? Selesai ngegoreng ini ...” Jawab bi Isah sumringah.

“Bebas ...” Balasku.

Seperti halnya saat itu, terasa sangat nyaman, aku memang sangat dekat dengan bi Isah. Selain orangnya baik, ia juga periang, terbuka, dan ceplas ceplos kalau bicara. Dia tak pernah mengeluh walau hidup yang dijalaninya cukup susah. Dan yang pasti, aku pernah tiga tahun diasuh dan dididik olehnya. Selama SMP aku tinggal di rumah bi Isah, karena letak sekolahku sangat dekat dengan rumahnya. Aku merasakan kasih sayang orang ini, bi Isah menyayangiku seperti menyayangi anak-anaknya.

Akhirnya, aku dan bi Isah sudah dalam perjalanan. Ternyata Mang Asep tidak ikut bersama kami. Pamanku itu memilih untuk pulang menggunakan ojeg. Sepanjang perjalanan aku ngobrol banyak dengan bi Isah tentang pertemuanku dengan Dewi dan Dinda. Tentu saja tidak secara detail. Bibiku ini hanya senyam senyum saat mendengar ceritaku dan sesekali bertanya.

“Sebenarnya Dewi itu gak bahagia dengan suaminya yang sekarang ... Dia hanya ingin harta suaminya saja ...” Kata bi Isah setelah ceritaku selesai.

“Jangan suuzon gitu ...” Kataku sambil melirik bi Isah.

“Hi hi hi ... Bukannya suuzon ... Tapi kenyataan ... Si Dewi itu perempuan gila harta ... Hanya uang yang ada di otaknya ...” Ungkap bi Isah begitu yakin. “Kamu punya rokok? Asem banget nih ...!” Lanjut bi Isah yang memang pecandu rokok. Aku ambil dari saku celana dan memberikannya pada bi Isah.

“Tolong bakar bi buat aku ...” Kataku. Bi Isah lantas membakar satu batang rokok lalu memberikannya padaku. Ada bekas lipstik di rokokku tapi aku tetap menghisapnya.

“Denta ... Kamu punya uang lima juta gak? Kalau punya bibi mau pinjem ...” Suara bi Isah mendadak agak sendu.

“Ada ... Coba buka laci itu ...!” Kataku tanpa banyak tanya karena memang aku sudah berniat memberi uang kepadanya. Bi Isah membuka laci di dashboard di depannya lalu mengambil bungkusan coklat dari sana.

“Ini?” Tanyanya sambil melongok isi bungkusan itu. “Ya ampun ... Banyak banget ...! Ini untuk bibi semua?” Candanya dengan nada kaget.

“Kalau gak salah itu ada dua puluh juta ... Bagi dua aja ...” Kataku dengan tetap fokus ke jalanan. Bi Isah segera menghitung uang dan ternyata memang sesuai dengan jumlah yang aku sebutkan.

“Uangnya setengah buat bibi kan?” Tanyanya lagi terdengar sangat senang.

“Iya ... Itu buat bibi ... Setengahnya lagi buat aku beli cewek ...” Kataku sekenanya.

“Heh ...! Kamu suka jajan ya?” Bi Isah mendelik. Matanya mencorong tapi mulutnya tersenyum. Aku tahu kalau bi Isah sedang pura-pura.

“He he he ... Mobil aja harus turun oli, bi ... Apalagi manusia ...” Candaku seraya tersenyum padanya. Kulihat sekilas, bi Isah geleng-geleng kepala.

“Dasar ... Anak sama bapak sama aja ... Sukanya memek ...” Ucap bi Isah nyeplos begitu saja.

“Ha ha ha ...” Aku pun tertawa terbahak-bahak.

Tawa dan canda kami sepanjang perjalanan membuyarkan segala letih dan penat. Hingga tak terasa aku sampai juga di kediaman orangtua bi Isah. Di rumah itu hanya tinggal ibunda bi Isah karena ayah bi Isah telah lama meninggal dunia. Aku pun duduk di teras rumah sembari menikmati kopi dan rokok. Di sini, walaupun tersebut sebagai kota kabupaten, namun suasananya masih terlihat sifat kedesaan. Rumah penduduk berjarak agak berjauhan dengan rata-rata memiliki halaman yang luas serta rimbun oleh pepohonan.

“Denta ...” Tiba-tiba bi Isah datang dari dalam rumah. “Kayaknya kamu pulang sendiri ... Bibi mau menginap di sini ... Si ema gak mau ditinggal, sedang rewel ... Maklum nenek-nenek ...” Lanjut bi Isah.

“Hhhmm ... Kalau gitu aku pulang sekarang ...” Kataku lalu bangkit, bersiap-siap kembali ke kampung.

“Uangnya makasih ya ... Langsung pulang ... Jangan mampir ke Gang Buntu ...” Ucap bi Isah sembari memukul lenganku pelan. Aku pun terkekeh lantaran yang dimaksud bi Isah dengan ‘Gang Buntu’ adalah lokalisasi yang sudah sangat terkenal di kota kabupaten ini.

“He he he ... Iya bi ... Ya udah, aku pamit ya ... Bilangi sama si nenek ...” Kataku sambil menaiki Avanza-ku.

“Iya ...” Jawab bi Isah.

Aku pun segera meluncur meninggalkan rumah orangtua bi Isah. Jalanan cukup padat siang menjelang sore ini, truk dan mobil dan motor saling bersahutan, bunyi mesin terdengar samar dari dalam mobilku. Beberapa menit kemudian, mobilku tidak jalan-jalan seperti mobil-mobil lainnya, padahal tidak biasanya di jalan kabupaten macet seperti ini. Hampir dua jam aku terjebak kemacetan di sini. Ternyata ada kecelakaan lalu lintas yaitu tabrakan beruntun sekitar 4 mobil dan yang parah diurutan paling belakang karena hampir seluruh bagian mobil bagian depannya ringsek parah.

“Sue ...” Gerutuku sambil melihat jam di dashboard yang menunjukkan pukul 17.05 sore.

Kemacetan yang panjang dan lama membuat kerongkonganku terasa kering. Aku pun menepikan mobil di pinggir jalan lalu keluar dari dalamnya. Sebuah warung kelontong adalah tujuanku. Setelah membayar satu botol air mineral, aku pun meneguk air mineral itu sambil menatap ke seberang jalan. Tanpa sadar, kini aku berada di Gang Buntu. Di seberang jalan sana ada sebuah gang sekitar tiga meteran lebarnya. Sejujurnya, aku belum pernah masuk ke dalam gang tersebut. Sering melewati jalan ini namun tak sedikit pun berminat memasuki gang yang terkenal dengan para wanita penghibur berparas cantik.

Timbul keisenganku untuk masuk ke sana. Ya, hanya sekedar iseng untuk mengetahui seperti apa rupa Gang Buntu itu. Aku pun menyebrang dan tanpa ragu memasuki gang. Jejeran rumah di kiri kanan gang lumayan tertata rapi. Tentu saja aku disambut oleh sapaan manja dari wanita-wanita yang duduk di teras rumah. Perlu aku akui, rata-rata wanita yang ada di sini memiliki wajah yang lumayan cantik. Aku terus berjalan sampai ujung gang yang memang buntu. Panjang gang sekitar seratus meteran.

“Nyari siapa kang?” Tiba-tiba suara seorang pria menyapaku dari sebuah warung kopi tepat di ujung gang. Pria itu berbadan kekar dengan tato yang menghabiskan kulit di lengan.

“Em ... Bingung ...” Kataku sambil tersenyum pada si pria.

“Oh ... Baru ya ke sini ... Kalau gitu, ngopi dulu di sini ... Ayo kang ...” Suara si pria mendadak ramah.

Aku pun menghampiri si pria lalu duduk di bangku panjang. Aku memesan kopi dan sebagai penghormatan kepada si pria bertato, kutawarkan kopi juga untuknya. Dia tidak menolak malah memperkenalkan dirinya sebagai keamanan di daerah ini. Pria kekar bertato itu bernama Burhan, lahir dan dibesarkan di Gang Buntu ini. Ternyata orangnya cukup ramah walau gaya bicaranya keras seperti ingin menunjukkan kalau dirinya adalah orang yang paling berkuasa.

“Terlalu pagi kang ... Kalau mau barang yang bagus ... Datengnya agak malam, sekitar jam delapanan ... Tapi jangan terlalu malam juga karena bakal kehabisan ...” Kata Burhan dengan rokok yang ia putar-putar di jari tangannya.

“Bukannya mereka sudah siap ... Bukannya mereka penghuni rumah-rumah ini?” Tanyaku heran. Awalnya aku mengira kalau wanita penghibur di Gang Buntu adalah penghuni rumah.

“Tidak kang ... Perempuannya datang dari luar ... Warga di sini hanya menyewakan tempat ... Tapi ada sih warga yang menjadi penghibur tapi gak banyak ...” Jelas Burhan sambil manggut-manggut.

“Oh gitu ... Jadi ini belum pada datang?” Tanyaku dan dijawab dengan anggukan.

“Kang ... Masuk ke dalem ... Ada perusuh ...!” Burhan tiba-tiba berkata dengan nada khawatir. Laki-laki kekar bertato itu berdiri lalu berjalan ke arah datangnya tiga orang berbadan tinggi besar yang baru saja masuk ke dalam gang.

Aku memperhatikan Burhan yang kini telah berhadapan dengan ketiga orang tinggi besar tersebut. Entah apa yang mereka perbincangkan namun nampaknya ketiga orang tinggi besar tersebut tidak bersahabat dengan Burhan. Benar saja, mereka mulai adu pukul. Satu lawan tiga. Aku tetap berdiri di tempatku sembari melihat mereka bertarung. Ternyata Burhan memang laki-laki tangguh, sejauh ini ia bisa menahan gempuran ketiga lelaki tinggi besar itu. Tetapi tetap saja, Burhan mulai kelihatan kedodoran karena kehabisan tenaga. Tubuhnya beberapa kali terkena pukulan dan tendangan lawan-lawannya.

Aku yang tadinya tidak ingin ikut campur merasa kasihan pada Burhan. Aku pun melangkah mendekati pertarungan mereka karena tak satu pun warga yang berani melerainya. Baru saja aku sampai, seorang dari ketiga pria tinggi besar itu langsung menyerangku dengan pukulannya. Tentu saja serangan sederhana yang hanya mengandalkan tenaga kasar ini merupakan serangan yang sama sekali tidak berbahaya bagiku. Dengan amat mudah, aku mengelak dan menangkis, kemudian satu kali tanganku menyambar sudah berhasil memukul leher dekat pundak kiri lawan dengan tangan kanan yang dimiringkan.

"Ngekkk!"

Laki-laki itu terjungkal, mengaduh dan memijit-mijit lehernya yang terpukul. Akan tetapi ternyata dia bertubuh kuat sekali karena dia bangkit kembali, merogoh saku celana dan mengeluarkan dua buah senjata kalung besi yang ketika digenggamnya melingkari celah-celah jari kedua tangannya sehingga kini kepalannya tertutup oleh ujung-ujung besi yang menonjol dan agak meruncing. Dapat dibayangkan betapa kepala akan dapat pecah dan tubuh akan terluka parah kalau sekali saja terkena pukulan tangan yang diperlengkapi dengan senjata ini.

“Kang ... Mundur ...! Balik ...!” Teriak Burhan sambil berkelit dan memukul lawannya.

Rasanya aku sudah tidak dapat mundur karena si laki-laki yang barusan terjungkal olehku telah menyerang lagi. Dia memukul secara membabi buta, bahkan kedua kakinya yang memakai sepatu boot itu pun ikut pula menyerang. Betapa pun juga, bagiku, gerakan orang ini masih terlalu lambat dan kacau, sangat tidak teratur, pokoknya asal menyerang saja, maka sudah tentu sangat mudah aku hadapi. Aku membiarkan lawan menyerang membabi buta sampai aku mundur empat langkah, kemudian ketika musuh terus menyerbu, aku melangkah ke kiri, membiarkan tubuh lawan agak terdorong ke depan dan dengan gerakan kaki cepat sekali, aku melangkah maju sehingga kini aku berada di sisi belakang lawan. Cepat kakiku bergerak menendang kuat lutut kanan lawan, dibarengi dengan tamparan jari tangan terbuka ke arah tengkuk. Pria itu terjungkal dan tak mampu berdiri lagi karena tendangan ke arah lututnya itu menjadikan kakinya salah urat.

“Anjing ...!” Tiba-tiba seorang pria tinggi besar yang lain menyerangku. Dia mencabut belati, kemudian tanpa banyak cakap lagi dia menyerangku dengan belatinya yang mengkilap.

Serangan belati yang menyambar ke arah perutku itu merupakan serangan yang mudah sekali aku hindari. Saat belati menyambar untuk ke sekian kalinya, aku hanya memiringkan sedikit tubuh, pada saat belati itu meluncur dekat dada, aku cepat menggerakkan tanganku yang dimiringkan, membacok ke arah lengan yang memegang belati itu.

"Dukkk ... plak!" Belati terpental dan pukulan ke arah lengan itu disusul tamparanku yang mengenai bawah telinga lawan. Laki-laki itu terpelanting dan mengaduh-aduh.

Aku yang ingin segera menyelesaikan pertarungan, segera menyambar tubuh pria itu yang tubuhnya terbungkuk. Tendanganku telak mengenai ulu hatinya. Itu adalah tendangan geledekku, yang terkena pastilah muntah-muntah dan sesak nafas. Pria itu perlahan jatuh ke jalan plesteran semen. Dia berkali-kali mengeluarkan sesuatu dari mulutnya sambil memegangi ulu hatinya. Aku pun melirik pada Burhan yang sedang memberi bogem mentah pada lawannya yang sudah tak berdaya.

“Sudah kang ...! Bisa mati ...! Berabe nanti ...” Aku memperingati Burhan dengan memegang bahunya. Burhan pun menyudahi pukulan. Terlihat darah di punggung tangan kanannya.

“Pergi dari sini, anjing!!!” Jangan pernah datang lagi!!!” Bentak Burhan.

Ketiga pria itu pun pergi tertatih-tatih meninggalkan gang dan semua warga tampak tersenyum gembira bahkan ada yang bertepuk tangan. Burhan merangkul bahuku dan kami kembali ke warung kopi miliknya. Kami duduk di bangku panjang, Burhan langsung menggenggam tanganku erat ala koboi.

“Terima kasih saudaraku ... Terima kasih ...” Katanya dengan masih tetap menggenggam tanganku.

“Siapa mereka?” Tanyaku sembari mengurai genggamannya. Kopi yang sudah agak dingin kuseruput lalu membakar rokok untuk sekedar menurunkan tensi ketegangan.

“Mereka itu yang ingin menguasai Gang Buntu ... Biasa preman yang kurang penghasilan ...” Jawab Burhan sambil memandangku seperti keheranan.

“Oh ...” Responku singkat.

“Sepertinya akang jago silat ... Belajar di mana?” Tanya Burhan sambil membakar rokoknya.

“Aku belajar sama kakek ... Kebetulan kakek guru silat ...” Jawabku sejujurnya.

“Pantesan lihai banget ... Dua orang tumbang cuma sebentar ...” Puji Burhan yang kujawab dengan senyuman. Aku pun menghembuskan asap lalu mematikan rokok di asbak.

“Kang ... Aku pulang dulu ... Lain kali main lagi ke sini ...” Kataku seraya berdiri.

“Eh ... Kok cepet-cepet amat ... Gak mau maen dulu sama cewek sini?” Burhan menahan tanganku seperti tidak rela kalau aku pergi.

“Lain kali saja, kang ...” Sahutku sambil tersenyum.

“Serius? Nanti dulu lah ... Sejam atau dua jam nongkrong dulu di sini ...” Burhan semakin erat menahan tanganku. Dia benar-benar tidak mengijinkan aku pulang.

“Lain ....” Ucapanku tidak tuntas. Lidahku seperti kebas. Seorang wanita cantik tiba-tiba datang ke warung kopi dan duduk di sebelah Burhan.

Wanita cantik ini memiliki pipi merah muda alami, hidung bangir dengan mata agak sipit. Harus kuakui, dia sangat cantik, seperti bidadari yang turun dari langit. Mataku tak bosan-bosan memandangi wajahnya. Aku betul-betul ingin menghafalkan detil demi detil keindahan di sana. Kecantikan yang sempurna dibalik sebuah kecantikan. Aku terpana melihatnya. Kami pun saling pandang sejenak. Kemudian seulas senyum pun menghiasi bibir wanita cantik itu.

Gairahku benar-benar terusik melihat kecantikan wanita ini. Sikap dan senyumannya yang manja dan genit membuatku makin terlena. Aku terbuai dan masuk ke dalam kubangan nafsu birahi. Jujur, aku sendiri sangat terangsang dan ingin menyetubuhinya.

“Gimana? Jadi pulang?” Burhan meledekku.

“Gak jadi ...” Jawabku sambil tersenyum malu.

“Tika temani saudaraku ini ... Service yang baik ... Kasih yang terbaik ... Supaya dia balik lagi ke sini ... Ha ha ha ...” Burhan berucap yang terdengar ngaco sembari menepuk-nepuk bahuku.

“Hi hi hi ... Siap boss ...” Jawab wanita yang dipanggil Tika oleh Burhan. Wanita itu kemudian menatapku lagi. Tatapannya sungguh indah. Aku ingin bersamanya.

“Tika ... Nama yang cantik ... Secantik orangnya ...” Kataku sembari berpindah duduk. Kini aku duduk di sampingnya.

“Gombal ...” Ucapnya dengan bibir agak mengerucut sepertinya ia ingin menunjukkan bahwa ia tidak mempan digombali seperti itu.

“Itu bukan gombal ... Tapi kenyataan ... Kamu memang cantik ...” Kataku yang berhasil membuatnya menoleh kepadaku dan tersenyum manis.

“Jangan ngegombal terus ... Nanti aku kangen ...” Katanya seraya menutup mulutku dengan telunjuknya. Perkataan dan perbuatan itu justru membuatku berani menarik tangan lalu mendaratkan tubuhnya dalam pelukanku.

“Hadeuuhh ... Si akang ... Sudah sana ngamar aja ... Ha ha ha ...” Burhan lagi-lagi mencandaiku. Namun kali ini candanya benar.

Obrolan ringan pun terjadi setelah saling mengenalkan diri. Sengaja aku memperkenalkan diri dengan nama ‘Iwan’ agar identitas asliku tetap aman. Tentunya aku tidak ingin orang yang mengenalku tahu kalau aku pernah main di Gang Buntu ini. Aku dan Tika akhirnya menyewa sebuah kamar di rumah Burhan. Kamar yang kami sewa berada di lantai dua. Sebuah kamar yang cukup luas, bersih dan tertata rapi. Tempat tidur ukuran besar dan sebuah lemari berisikan handuk dan peralatan mandi. Tika menyuruhku mandi terlebih dahulu karena memang aturan main di kompleks pelacuran ini mengharuskan para pengunjung mandi terlebih dahulu sebelum ‘mengencani’ para wanita penghibur di sini. Bagiku sangat kebetulan, karena memang aku sangat ingin mandi.

Selesai mandi, aku kembali ke kamar hanya dengan melilitkan handuk di tubuh, pakaian aku jinjing saja. Saat aku masuk kamar, mataku seketika disuguhi penampakan makhluk cantik yang hanya berbalut bra dan celana dalam berwarna krem. Udara dingin tak mampu membuat tubuhku menggigil, justru debaran di dadaku mengakibatkan aliran darahku menghangat hingga kejantananku menggeliat. Lekuk-lekuk tubuhnya yang seksi terlihat jelas, indah dan putih mulus. Bodynya sungguh solid, dengan sepasang buah dada yang begitu berisi. Body yang menjadi idamanku selama ini.

Tika yang sedang sibuk dengan smartphone-nya aku hampiri dan duduk di sampingnya. Tak lama, Tika meletakkan smartphone di meja kecil samping tempat tidur lantas ia memandangku sambil tersenyum sangat manis. Kulihat ada lesung pipi walau kecil yang menambah kecantikannya semakin tampak jelas. Aku sentuh wajahnya dengan tanganku, terasa sangat halus. Pipinya memerah, sangat indah. Hati dan pikiran melambung tinggi hingga tingkat imajinasi yang tertinggi.

“Akang ternyata romantis juga ...” Katanya sembari mengambil tanganku yang sedang mengelus pipinya.

“Aku bukan tipe laki-laki romantis ... Tapi karena kamu yang membuatku seperti itu ...” Ucapku pelan dan lembut. Aku sangat terpukau dengan kecantikannya.

“Ih ... Akang ...” Tika merangkulku. Saat kulitku bersentuhan dengan kulitnya, nafsuku bergejolak, dan wanita ini menyerahkan diri sepenuhnya sesuai keinginanku.

Perlahan-lahan kubuka branya dan kulihat puting payudaranya yang besar, mencuat dengan warnya coklat agak ketuaan. Kutangkup buah dadanya dengan kedua tanganku, meremasnya sambil memposisikan tubuhku semakin merapat padanya. Kupandangi wajah Tika, betapa cantik dan seksinya wanita ini, lalu aku kecup bibirnya. Mulutku mengecup dan mengulum bibir Tika yang hangat dan basah. Tika pun membalas ciumanku. Bibir kami saling mengecap, lidah kami bermain dengan apik dan tanganku semakin liar menjamah payudaranya.

Tangan Tika pun melepaskan lilitan handukku lalu tangan halusnya mengelus-elus kejantananku yang sudah tegak berdiri, kemudian mengocoknya pelan. Aku yang tak mau kalah, tangan kananku langsung saja menelusup ke selangkangannya. Tanganku terus menelusup ke lubang vagina Tika dan mempermainkan jariku di sana. Tika menjepitkan tanganku dengan kedua pahanya. Kini jariku sudah berada di dalam lubang Tika dan menyentuh sesuatu benda kecil. Aku merasakan Tika menggelinjang dan mengeluarkan suara desisan. Perlahan, Tika merenggangkan jepitannya pada tanganku. Aku semakin leluasa mempermainkan jariku di lubang wanita ini. Aku merasa lubang itu semakin licin dan basah. Tika pun selalu mengeluarkan suara desisan.

Gejolak birahiku sudah tidak dapat dikendalikan lagi. Akhirnya aku mendorong tubuh wanita tersebut, dan membuatnya berbaring terlentang di atas kasur. Aku menarik kasar celana dalam yang ia gunakan, menyingkirkan dalamannya hingga vagina tembem itu terekspos. Vagina yang telah basah itu sangat mulus tanpa bulu, aku hanya berdecak kagum saat melihat lipatan vaginanya berkedut. Tika langsung membuka kakinya lebar, tentu aku juga langsung menahan pergelangan kakinya dan merendahkan wajahku ke arah vagina merah itu. Menghirup aroma memabukan itu, sebelum menjilati lelehan cairan vaginanya hingga bersih, kemudian menyeruput sumber cairan itu lalu menusukkan lidahku ke dalamnya.

"Ooohh ... hnaaaah ...!" Dia meronta-ronta seketika, di saat lidahku masuk dan mengobrak-abrik vaginanya sehingga ia semakin basah dan kebanjiran. Cairan itu bagai obat perangsang bagiku, tak kuasa menahan gejolak nafsuku, akupun menghentikan jilatanku, ia hanya menatapku kesal sebelum ia tersenyum bahagia saat penisku menyentuh liang senggemanya.

"Aaaahhh ... Oooohh ...! Sa-sangath...dalam...!" Sekali hentakkan kuat penisku tertanam seutuhnya, membuatku melenguh saat merasakan pijatan dari liang vagina Tika. Ia juga menjerit liar saat penisku mulai bergerak, memang dengan tempo pelan namun setiap tusukkannya mampu mencapai ujung vaginanya, membuat Tika meracau dengan lidah terjulur.

"Ahhh... Aakhhh...! Enak...! Percepath...!" Mendengarnya, aku langsung mempercepat genjotanku dengan liar dan penuh nafsu.

Kami sama-sama mengerang, kemudian tubuh kami sama-sama bergoyang mengejar gesekan nikmat antara penis dan vagina. Kami sama-sama bergerak, tempo kami bersesuaian hingga membuat gesekan terasa sangat nikmat. Dengan tempo cepat aku memacu birahi kami. Tak lama, Tika mulai gelisah, serangan nikmat yang kulancarkan perlahan mulai meruntuhkan benteng-benteng sarafnya. Desahan, raungan dan rintihan nikmatnya silih ganti meramaikan suasana remang-remang kamar sewaan.

Beberapa menit berlalu, tempoku makin cepat. Suara penisku yang keluar masuk menembus vaginannya juga makin keras bahkan lendir dari sela-sela vaginanya menjadi busa-busa makin membuatku bersemangat. Tika terguncang-guncang menahan nikmat. Tampak ia memejamkan mata sambil terus tersenyum penuh kepuasan, sebelum vaginanya terasa menyempit dan meremas penisku dengan kuat, diiringi lenguhan singkat dan vaginanya menembakan cairan hangat yang membasahi penisku.

"Aaahhhh...kelu...aarhn!" Kepala Tika terdongak kebelakang bersama kelopak mata yang sedikit terbuka diikuti lenguhan kenikmatan keluar dari bibir tipisnya.

Aku pun menghentikan genjotanku. Penisku yang tegang luar biasa kubiarkan diam tertanam dalam vagina Tika. Penisku merasa hangat luar biasa karena terkena semprotan cairan cintanya. Kulihat mata wanita di bawahku kemudian memejam beberapa saat dalam menikmati puncak orgasmenya. Setelah sekitar satu menit berlangsung, kelopak matanya pun membuka, memandangi wajahku. Sementara jepitan dinding vaginanya pada penisku berangsur-angsur melemah.

“Kamu luar biasa ... Sayang ...” Lirih wanita cantik itu sambil mengusap-usap wajahku yang penuh keringat dengan handuk kecil yang telah ia sediakan sebelumnya.

“Kamu juga ... Memekmu legit banget ...” Bisikku setengah bercanda.

“Ih ... Emangnya dodol ...!” Tika mencubit hidungku.

“He he he ... Rasanya enak sekali, sayang ... Aku sepertinya gak akan pernah bosen sama memekmu ...” Kataku yang setengah jujur. Sebenarnya bukan rasa vaginanya yang aku suka, tapi kecantikan wanita ini yang membuatku lupa daratan.

“Kamu belum keluar ya? Ayo kita lanjutkan ...!” Kata Tika sembari mendorong tubuhku sehingga penyatuan tubuh kami terlepas. Ia langsung membalikkan tubuhnya, menungging ke arahku lalu menggoyangkan pantatnya dengan nakal. "Jangan menatapnya terus, cepat tusukan kontol kamu ...!" Lanjutnya sangat genit.

Aku hanya tersenyum, sebelum meremas pantat wanitaku ini, ia tampak mendongak bersiap menyambut kehadiran penisku di dalam tubuhnya. Aku pun berlutut di belakangnya, kutunggingkan pantat Tika dengan kedua tanganku dan aku mengarahkan penisku ke bibir vaginanya. Dengan hentakkan kuat penisku kembali memenuhi vagina Tika. Sekuat tenaga kuhujam-hujam penisku dengan lebih ganas lagi ke dalam liang senggamanya. Tubuhnya terdorong saat penisku menghujam keluar masuk dengan tenaga maksimal. Ia meracau dan mendesah kuat.

"Aaaah, Emmhh, Akhhhh, Aaaah!"

Plok... Plak...

Plak... Plok...

Irama yang makin cepat dan tekanan yang makin kuat membuat seluruh batang kejantananku benar-benar merasakan remasan kuat dinding-dinding kewanitaan Tika yang sangat basah. Ternyata bibir vaginanya ikut tertarik mengikuti gerakan pantatku, begitu aku mundurkan maka bibir vagina itu mencuat ke atas karena ikut tertarik. Sebaliknya, jika kumajukan lagi pantatku, maka bibir itu pun ikut mencuat ke bawah dan terbenam. Kupercepat lagi gerakan maju mundurku, dan semakin lama aku merasakan liang vagina Tika semakin licin. Akupun makin semangat menggenjot liang nikmat itu sampai akhirnya tubuh Tika yang lemas hanya bisa terguncang-guncang mengikuti gerakanku. Dan setelah hampir 15 menit berselang, Tika akhirnya tak tahan lagi.

“Saayyaanghh ... Aakkkhhh …” Desah pelepasannya. Cairan cinta putih dan hangat pun merembes deras keluar dari celah-celah liang vaginanya yang masih digenjot olehku, bunyi kecipak pun makin keras terdengar.

Hanya beberapa detik kemudian, gairahku sudah sampai ujungnya. Kini hasrat syahwatku siap meledak. Spermaku semakin mendesak ingin keluar. Aku cengkram pinggulnya dan aku genjot lebih cepat menjelajahi liang kewanitaaan Tika. Dan akhirnya, aku klimaks, dengan tubuhku mengejang seperti terkena sengatan elektrik. Spermaku menyembur kuat berkali-kali di dasar liang vagina Tika. Tubuhku rasanya langsung luruh, tenagaku terkuras habis-habisan.

Sesaat setelahnya, kami berbaring di atas kasur bertilam sprei merah marun. Tubuh kami bersimbah peluh, nafas kami masih memburu. Aku masih merasakan sisa dari sensasi persetubuhan panas kami. Kepuasan dan kenikmatan masih saja terasa meskipun persetubuhan sudah berakhir. Dan sekarang kami saling tatap. Mulut kami membuka tersenyum dan napas yang keluar sedikit memburu.

“Kamu masih mau melanjutkan?” Tanya Tika sembari membalikkan badan menghadapku.

“Kayaknya aku harus pulang ... Besok aku akan ke sini lagi ... Kamu jangan terima dulu tamu ya ...” Kataku sambil menoel hidung bangirnya.

“Iya aku tunggu ... “ Tika pun bergerak turun dari kasur lalu melilitkan handuk di tubuhnya kemudian keluar kamar.

Sejenak aku duduk di pinggir tempat tidur. Rasanya sangat malas untuk pulang, tapi aku harus pulang karena besok akan ada acara di paguron (tempat latihan silat, red) kakekku. Segera saja aku berpakaian dan merapihkan diri. Kulirik jam di dinding sudah menunjukkan pukul 19.15 petang. Ya, aku harus segera pulang. Aku keluarkan dompet dari saku celanaku dan mengeluarkan uang merah sepuluh lembar. Kutaruh uang itu di mejak kecil samping tempat tidur. Tak lama, Tika pun kembali ke kamar.

“Aih ... Banyak sekali kang ... Terima kasih ...” Tika menggenggam uang dariku dengan wajah sumringah. “Kalau gitu, aku mau pulang saja ... Sudah cukup buat seminggu ini ... Hi hi hi ...” Katanya lagi lalu mencium pipiku.

“Berarti dengan uang segitu ... Kamu gak ngorder seminggu dong ...” Kataku nebak-nebak saja.

“Iya kang ... Kalau punya uang segini mah ... Bisa gak ngorder seminggu ... Aku mending tinggal di rumah, ngurus anak ...” Sahutnya sambil mengenakan pakaiannya.

“Hhhhmm ...” Gumamku dan tiba-tiba saja punya ide. Aku keluarkan lagi dompet lalu mengeluarkan sepuluh lembar lagi uang berwarna merah. “Ini aku tambah ... Berarti kamu gak ngorder selama dua minggu ...” Kataku lagi.

“Kang ...” Tika menatapku setengah tertegun.

“Ambil saja ... Tapi harus janji ... Dua minggu kamu gak boleh ke sini ... Besok atau lusa aku akan mengunjungimu ...” Tegasku sambil mengambil tangannya dan meletakkan uang itu di telapak tangannya.

“I..iya kang ... Terima kasih ...” Katanya agak bergetar.

Aku pun menunggu Tika berdandan dan merapikan diri. Setelah itu, kami turun ke lantai satu lalu keluar rumah Burhan. Setelah ngobrol sebentar dan memberikan tips pada orang itu, aku dan Tika langsung keluar gang dan menuju mobilku. Mobil pun melaju, aku anar dulu Tika ke rumahnya, walaupun hanya sampai gang masuk ke rumahnya. Setelah bertukar nomor kontak, aku pun membesut kendaraan membelah jalanan malam untuk kembali ke rumah kakek.​

-----ooo-----


Badanku cukup berkeringat setelah hampir satu jam mengikuti gerakan ketua murid paguron melakukan gerakan-gerakan silat. Ditambah paparan sinar matahari pagi yang cukup panas semakin meleleh saja keringatku. Ya, hari ini adalah hari jadi paguron kakek dan kami akan merayakannya dengan kerja bakti membersihkan jalan desa. Tapi sebelumnya seluruh murid paguron harus melakukan olah tubuh terlebih dahulu. Paguron kakek beraliran ‘Cikalong’ yang sangat menitik beratkan pada ketahanan tubuh serta kekuatan pukulan dan tendangan, maka tidak aneh jika olah tubuh kami cukup berat dan pasti mengeluarkan banyak keringat.

“Selesai ...!” Teriak kepala murid yang bernama Ahmad. Kami pun menjura sebagai salam penutup latihan. “Sekarang bergerak ke jalan desa ...!” Teriak Ahmad lagi.

Murid paguron yang tidak kurang dari dua puluh orang dengan berbagai lapisan usia segera bubar menuju jalan desa. Sementara aku menghampiri kakek yang sedang berdiri di teras gedung padepokannya. Sikap kakek kalau sedang di paguron tampak gagah dan berwibawa, sepasang matanya mencorong seperti mata harimau, tarikan mulutnya membayangkan kekerasan dan keteguhan hati. Pakaiannya berbentuk sederhana bermode pangsi. Sungguh seorang yang gagah perkasa dan mudah diketahui bahwa orang dengan sikap seperti ini sudah pasti memiliki ilmu silat yang sangat mumpuni.

“Kamu tidak pernah melatih silatmu ... Gerakanmu tak bertenaga dan lambat ...” Kakek langsung menyambar dengan kata-kata teguran tatkala aku berada di depannya.

“Ya kek ... Mana sempat ... Aku sibuk ngurus bengkel ...” Kilahku agak ngelemes karena malu.

“Bukan itu ...! Karena kamu malas ... Hanya setengah jam saja, masa tidak punya waktu ...!” Kakek malah menaikan tensi suaranya.

“Maaf kek ... Iya nanti disempetin latihan ...” Percuma melawan kalau kakek sudah begini, mendingan mengalah untuk menghindar.

“Bagus ... Sekarang ikuti mereka ke jalan desa ... Atur mereka biar kerjanya pada bener ...!” Kini kakek memerintah dan tanpa berlama-lama aku segera ke jalan desa.

Kakekku yang bernama Abah Minta memang seorang jawara tua yang terkenal dan sulit dicari tandingannya. Seorang yang sangat lembut di rumah namun garang di luar. Orang-orang di sekitar desa bahkan sampai desa-desa sekitar tak ada yang tidak mengenalnya. Pernah sekelompok warga yang akan membuat keributan ‘dibabat’ oleh kakek sendirian. Kakek juga sangat mengayomi seluruh anak cucunya, jika ada yang tersakiti sangat dijamin akan ‘dihakimi’ kakek dengan caranya sendiri.

Selang sebentar, kerja bakti mulai, setelah diantara murid paguron dan warga saling sapa serta saling ucapkan salam. Sasaran utama, bersihkan rumput liar di sepanjang pinggir jalan desa menuju makam. Kerja sama, sambil sesekali terdengar canda tawa riang ria diantara warga. Tua muda, membaur jadi satu. Semua guyub rukun, tidak ada tingkatan yang tersusun. Belum lama kami kerja, datang makanan kiriman dari warga. Makanan dan minuman sudah siap diserang, jadikan perut kenyang. Jadi, untuk sebagian orang, acara kerja bakti berubah menjadi acar kerja makan.

Sebenarnya tampak sekali kerja bakti ini hanya seremonial belaka. Orang-orang yang serius membersihkan jalan desa adalah murid-murid paguron kakekku. Mereka serius dan gesit membersihkan dan memperbaiki jalan desa hingga jam sepuluh siang kerja bakti pun selesai. Setelah mendapat instruksi bubar dari kepala murid, semuanya pun membubarkan diri pulang ke rumah masing-masing, termasuk aku.

Sesaat sampai di rumah, aku melihat sedan putih terparkir di pinggir jalan depan rumah kakek. Ternyata Dinda berada di ruang depan sedang ngobrol dengan nenek. Dinda menjerit dan menghindar ketika aku akan sentuh tangannya karena memang tanganku masih belepotan tanah. Aku tertawa melihat adikku yang bersikap seperti anak kotaan. Aku langsung ke pancuran untuk membersihkan badan. Tak lama, aku sudah kembali menjumpai adikku setelah berpakaian dan berdandan rapi.

“Kang ... Anter ke kota kabupaten ya ...” Kata Dinda sambil memandangku.

“Ngapain?” Tanyaku dan duduk di sebelah nenek.

“Aku pengen service mobil ... Temenin ya ...” Rajuknya setengah memelas.

“Iya ...” Jawabku singkat.

“Duh ... Nenek seneng banget liat kalian akur begini ...” Ucap nenek sambil tersenyum gembira. “Coba cucu-cucu nenek seperti kalian, pasti rame rumah nenek ...” Lanjutnya.

“Iya sih nek ... Harusnya cucu tertua yang punya inisiatif ngumpulin cucu-cucu nenek ... Bener gak nek?” Ucap Dinda dengan matanya melirik sekilas kepadaku. Aku tidak merespon karena tahu Dinda sedang menyindirku.

“Hi hi hi ... Mana mau dia begitu ...” Malah nenek yang menjawab sesuai dengan pikiranku.

Beberapa menit kemudian, aku dan Dinda berpamitan kepada nenek dan kami pun langsung berangkat ke kota kabupaten. Aku yang membawa mobil sedan putih adikku. Rasanya mempunyai mobil pendek di wilayah ini kurang cocok karena kerap terjadi benturan body bawah mobil dengan jalan desa yang berkerikil. Namun, setelah masuk jalan kabupaten, kendaraan ini mulai terasa enak dipakai.

Sepanjang perjalanan, Dinda terus bicara sementara aku menjadi pendengar setia. Selain cantik, adikku ternyata orangnya humble, lincah, dan sedikit genit. Jika dilihat dari penampilannya, ia wanita yang cukup anggun, badannya tinggi semampai dengan warna kulit putih kekuning-kuningan, rambut panjang terurai dan mempunyai bola mata warna coklat serta hidungnya mancung. Dia pasti mewarisi kecantikannya dari ibunya.

“Kang ... Kenapa akang gak kuliah saja ...?” Tanya Dinda di sela mempermainkan smartphone-nya.

“Males ... Udah gak keotakan ... Mending cari duit ...” Jawabku pasti.

“Penting loh kang ... Lagi pula, keren kan kalau nama kita punya titel ...” Katanya lagi kini menoleh ke arahku.

“Keren gimana? Orang kan gak tau kita punya titel atau nggak ...!” Aku tersenyum mendengar pernyataan Dinda yang tidak masuk akal bagiku.

“Ih, si akang mah ... Gak bisa dibilangin ...!” Dinda sewot sambil cemberut.

“He he he ... Kamu aja yang kuliah ... Akang mah cukup segini aja ... Lagian malu, udah tua ...” Kataku mengungkapkan alasan kenapa aku enggan melanjutkan pendidikan.

“Nah ini ... Karena gak gaul ... Ada kelas untuk karyawan kok kang ... Nanti akan kuliah dengan orang-orang yang sudah bekerja, bahkan sama kakek-kakek ...” Jelas Dinda membuatku agak tertarik.

“Masa? Emang ada kuliah khusus untuk karyawan atau orang tua?” Tanyaku penasaran dan ingin tahu.

“Ada kang ... Kalau mau, nanti kuliah tempatku ya ...?!” Nada Dinda agak berharap.

“Ya ... Nanti akang pikir-pikir dulu ...” Kataku dan memang aku baru ingat kalau Dinda kuliah di ibukota di mana aku tinggal sekarang.

Sampai akhirnya aku dan Dinda sampai di sebuah mall besar, salah satu mall terkenal di kota kabupaten ini. Mobil terparkir di lahan parkir di depan mall. Kami pun jalan memasuki mall tersebut. Suasana mall tidak begitu ramai mungkin karena bukan hari libur, kebanyakan hanya remaja yang sekedar cuci mata dan makan di restoran. Tiba-tiba, tanganku ditarik Dinda masuk ke dalam sebuah salon.

“Waduh ... Kok ke sini?” Tanyaku kaget. Bisa lama menunggu kalau cewek sudah masuk ke salon.

“Hai tante ... Apakabar ...?” Dinda menyapa seorang wanita paruh baya yang sedikit menor.

“Hai ... Anak tante ... Kemana aja ... Tante baik ... Bagaimana kabarmu nak ...?” Jawab wanita itu dengan wajah sumringah dan jalan dengan gaya yang kemayu.

“Baik tante ... Ini tante ... Tolong permak kakakku ... Biar keliatan macho ...” Kata Dinda yang sukses membuatku terkejut.

“Dinda ...!” Aku ingin protes tapi tangan si wanita paruh baya langsung menyambar lenganku. Aku tak berkutik, mengikuti saja tarikan tangannya.

“Em ... Kakak ketemu gede kan ...?” Genit si wanita sembari mendudukan aku secara paksa di kursi rias.

“Bukan tante ... Ini bener-bener kakakku ... Kakak seayah beda ibu ...” Jawab Dinda sambil tersenyum padaku lewat kaca rias besar di depanku. Aku sebenarnya ingin protes keras, tapi malu dengan orang-orang yang ada di salon ini.

“Oh ... Ini toh kakakmu yang sering kamu omongin ... Em, ganteng juga ...” Kata wanita paruh baya itu sambil menoel daguku genit. Aku pun cukup melambung dipuji demikian. Seumur-umur baru wanita ini yang mengatakan kalau aku ganteng. Lumayan lah.

Setelah mendengar ucapan wanita salon ini, aku melirik adikku yang ternyata ia memang sering membicarakanku kepada siapa saja. Terbukti dari omongan si wanita salon tadi yang menyatakan kalau Dinda sering membicarakan diriku dengan wanita tersebut. Sekarang aku semakin percaya kalau Dinda memang menghendaki bertemu denganku sudah sejak lama. Apapun motivasinya aku sangat menghargai keinginan adikku itu.

Di salon ini, aku pasrah akan diapakan oleh Dinda. Rambut dan mukaku rasanya sudah ‘diobrak-abrik’ adikku ini sesuai dengan seleranya. Dan yang jelas, aku sangat ingin segera selesai. Akhirnya, keinginanku terkabul juga, ‘permak kepalaku’ selesai. Setelah Dinda membayar ongkos permak, kami pun keluar salon. Aku hanya menghela nafas panjang, ketika Dinda mengajakku nonton bioskop. Aku tak bisa berbuat banyak, aku hanya menuruti keinginannya saja.

Film yang aku tonton adalah drama percintaan. Sungguh aku merasa bosan, tidak ada yang menarik. Tidak hanya bosan, aku bahkan mengantuk. Aku menoleh ke wajah Dinda dan aku geleng-geleng kepala saat melihat mimik muka Dinda yang sendu dan ada sedikit air mata yang mengalir di pipinya. Rupanya adikku ini sangat menghayati film yang sedang ditontonnya. Bahkan saat aku senggol tangannya, Dinda sama sekali tidak bereaksi, ia tetap konsentrasi pada layar bioskop.

Satu jam setengah terlewati, aku bernafas lega karena film bioskop selesai juga. Aku dan Dinda keluar dari bioskop dengan lengan Dinda yang melingkar di lenganku, mungkin ia masih terobsesi dengan film yang baru saja ia nikmati. Kami pun menuju lantai teratas mall di mana food court berada. Kami memutuskan untuk mengisi perut di sana. Setelah sampai, kami makan sambil ngobrol ringan. Berkali-kali aku memergoki laki-laki yang mencuri pandang pada Dinda. Memang aku akui, kecantikan Dinda membuat mata setiap lelaki tidak berkedip jika melihatnya.

“Kang ... Mau kemana lagi kita sekarang?” Tanya Dinda yang membuatku sangat heran.

“Loh ... Bukannya mau service mobil?” Tanyaku sambil melotot padanya.

“Nanti aja ah servicenya ... Males nunggu di bengkel ... Mending kita main ... Kemana yuk?!” Katanya tanpa beban, membuat aku geleng-geleng kepala.

“Tau mau gini mah ... Akang tadi di rumah aja ...” Kesalku tak mampu lagi ditahan.

“Ih, akang mah ... Gitu deh ...” Dinda langsung memasang muka cemberut, sehingga aku bingung harus bagaimana menghadapinya. Jujur, aku tidak memiliki pengalaman menghadapi adik seperti ini.

“Ya udah ... Terserah kamu ... Sekarang mau kemana?” Akhirnya aku menyerah.

“Nah ... Gitu dong ...” Wajahnya tiba-tiba sumringah. “Gimana kalau kita ke ...” Ucapan Dinda terputus gara-gara smartphone-nya berdering. Ia ambil smartphone dari saku celananya. Setelah melihat layar sebentar, ia menempelkan alat komunikasi itu di telinganya.

“Ya mah ... Ada apa?” Ucap Dinda dan ternyata ibunya yang menelepon.

“.......” Tiba-tiba raut muka Dinda berubah drastis. Mukanya langsung mendung berat.

“Iya ... Iya ... Aku pulang sekarang ...” Kata Dinda tampak panik.

“Kang ... Kita harus ke rumah sakit sekarang juga ...!” Ucap Dinda agak memekik dan gelisah.

“Ke rumah sakit? Kenapa?” Tanyaku limayan terkejut juga.

“Papah ada yang ngebacok ... Papah terluka parah ...” Kata Dinda bergetar seperti sedang menahan tangis.

“Papah ...” Gumamku dan langsung terbayang Pak Tatang, ayah tiri Dinda. “Pak Tatang?” Tanyaku lagi sambil berjalan di belakang Dinda yang telah duluan meninggalkanku.

“Iya ... Buruan ...!” Katanya sambil setengah berlari.

Kami berlari larian kecil untuk sampai area parkir. Setelah masuk mobil, kami langsung meninggalkan mall. Aku yang di balik kemudi hanya fokus menatap jalan ke depan, karena memang tak ada obrolan antara aku dan Dinda. Kami diam dengan pikiran masing-masing. Tidak setengah jam, akhirnya kami sampai di rumah sakit. Dinda langsung saja keluar mobil dan berlari memasuki rumah sakit. Aku yang harus mengunci pintu mobil agak tertinggal tapi sekilas aku melihat Dinda masih di meja informasi. Aku pun berlari cepat untuk mengejar Dinda yang telah selesai dengan pegawai informasi. Untung Dinda masih dalam jarak pandang sehingga aku masih bisa mengikutinya walau jaraknya agak jauh.

Ternyata ruang operasi yang aku tuju. Aku menghentikan lariku lalu berjalan saat aku melihat orang-orang yang aku kenal berkumpul di depan sebuah ruangan. Langkahku pun terhenti di depan ruang operasi nampak beberapa orang sedang menangis. Semua sanak saudara Tatang berkumpul, tak terkecuali Dewi. Semuanya menangis bahkan saudara laki-laki Tatang pun menangis. Hanya aku yang tidak menangis.

Tak lama berselang, Dewi sudah berada di sampingku. Tiba-tiba saja tangannya menggenggam tanganku sangat kuat dan terasa sekali bergetar. Aku terkejut karena genggamannya semakin erat. Aku lihat wajahnya dan tampak rona merah di sana. Bulir-bulir keringat mulai membasahi keningnya. Terdengar suara nafasnya yang berat seperti menahan sesuatu.

“Denta ... Akuuu ... Ingiinn ...” Bisiknya terdengar sangat parau.

Untuk kedua kalinya aku terperanjat. Aku lupa kalau Dewi sedang terpengaruh sugestiku yang kutanam beberapa hari yang lalu. Segera saja, aku geser cincin ajaibku hingga berada di telapak tangan dan jempolku menekan mata cincin agak kuat.

“Semua sugestiku padamu ... Hilang sekarang juga ...” Kuucapkan kata-kata penyembuhan dari hipnotisku dengan berbisik di telinganya.

Seperti yang sadar dari bangun tidur, Dewi menepiskan tangannya dari tanganku. Wanita itu menatapku sejenak lalu berjalan ke depan pintu operasi. Dewi berbaur dengan yang lain namun sesekali ia menatapku. Aku pun pura-pura tidak tahu dan tidak memperdulikannya. Dalam situasi dan kondisi seperti ini, aku harus bisa menjaga sikap.

Kulihat pintu operasi terbuka, beberapa dokter keluar. Teriak tangis langsung menggema ketika dokter menyatakan kalau nyawa Tatang tidak bisa diselamatkan karena lukanya terlalu parah dan kehabisan darah. Dinda menangis di dadaku. Walau berstatus anak tiri, ia tampak terpukul. Kupeluk dan kuusap kepala Dinda berusaha memberikan kekuatan batin untuknya.

Akhirnya kubawa Dinda keluar dari rumah sakit. Aku putuskan membawa Dinda pulang ke rumahnya. Aku berpikir ada anggota keluarga yang mengurusi jenazah Tatang hingga datang di rumah duka. Mobil sedan putih ini kupacu dengan kecepatan tinggi namun saat sampai di jalan desa aku harus melajukan pelan. Dan akhirnya, aku pun sampai di rumah Dinda yang sudah ramai oleh para tetangga. Aku bawa Dinda ke dalam rumah karena adikku ini tak berhenti menangis. Karena adikku tak mau aku tinggal, terpaksa aku harus terus bersamanya. Aku baru bisa bernafas lega, saat kakek dan nenek datang. Kini posisiku diganti nenek dan aku bisa membantu warga mempersiapkan kedatangan jenazah.

“Kakek mencium yang tidak beres dari kematian Tatang.” Bisik Kakek padaku saat kami duduk berdua di halaman belakang rumah besar ini.

“Tidak beres gimana, kek?” Tanyaku penasaran.

“Orang yang menganiaya Tatang ... Sepengetahuan kakek ... Mereka itu tidak punya masalah dengan keluarga ini ... Tapi menurut pengakuannya, dia membacok Tatang karena sakit hati ditagih-tagih terus sama Tatang ... Kakek sudah bicara dengan keluarga yang ngebacok ... Mereka tidak pernah mempunyai hutang pada Tatang ... Lagi pula, kenapa pengawalnya sampai bisa membiarkan Tatang dibacok ... Sangat aneh ...” Jelas Kakek panjang lebar.

“Hhhhmm ... Kalau menurut kakek ... Sebenarnya apa yang sedang terjadi?” Tanyaku lagi.

“Kakek belum yakin ...” Jawab kakek sambil berdiri karena terdengar seseorang berteriak kalau jenazah datang.

Aku dan kakek segera ke depan rumah menyambut kedatangan jenazah. Suasana haru biru menguasai rumah ini. Ketika mobil jenazah berhenti tepat di depan rumah duka, suara tangis yang memilukan hati mulai bersahut-sahutan. Tak terasa mataku mulai berkaca-kaca. Apalagi ketika mendengar Dinda dan Hesti berteriak histeris memanggil ayahnya. Belum lagi suara tangis bersahut-sahutan oleh semua keluarga besarnya. Ya, sungguh memilukan dan aku hanya bisa terdiam.

Suasana penuh duka yang tak lagi sanggup digambarkan terlihat memayungi kediaman keluarga Dewi. Terlebih setelah Tatang dikebumikan, seluruh anggota keluarga terlihat lemas dan linglung, tak ada tawa bermekar di bibir mereka, hanya ada kesedihan yang berlarut-larut. Bahkan Hesti terus menangis seperti tidak rela. Kematian ayahnya seolah-oleh menjemput terlalu awal menurut jalan pikirannya. Sementara Dinda terlihat terus melamun seperti sedang meratapi kepergian ayah tirinya.

“Sudahlah ... Tidak baik diingetin terus ... Terima saja dengan ikhlas ...” Kataku pada Dinda yang sedang menyenderkan tubuhnya padaku di ruang tengah.

“Aku merasa kehilangan kang ... Walau aku hanya anak tiri, tapi kasih sayang papah sangat terasa ... Bahkan aku rasa kasih sayangnya padaku melebihi pada anak kandungnya sendiri ...” Keluh Dinda.

“Kamu yang kuat saja ... Hari sudah malam ... Sebaiknya kamu tidur, tenangkan pikiran ...” Kataku.

Tak lama, Dinda pun masuk ke dalam kamarnya dan aku memutuskan untuk pulang. Dengan diantar saudara, aku pun meluncur pulang ke rumah kakek. Sesampainya di rumah, kurebahkan tubuh di atas kasur. Sejenak merenung. Entah butuh waktu berapa lama sampai akhirnya mataku benar-benar terkatup rapat. Aku terlelap masuk ke dalam alam mimpi teramat dalam.

Bersambung
Mantab jiwa :mantap::beer:
Terima kasih master atas updatenya:Peace::halo:
Semoga sehat selalu

Ceritanya panjang:baris:
Alurnya halus :n1:
Mulai ada konflik :pedang:
Berikut kesan² ane, mohon maap bila ada salah-salah kata :ampun:

Pertama, penggambaran suasana tempat tinggal Denta dan juga kakek neneknya, sangat asri. Terbukti, rebus air saja masih pake kayu. Ane lagi bayangin minum teh atau kopi hasil seduhan air yang dimasak pake kayu bakar.. hmm...
Ane rasa kakek nenek Denta, badannya masih sangat fit/kencang. Maklum hidupnya sehat dan juga sering olah fisik.

Kedua, kakek nenek denta ini dari jalur ayah? Ini prediksi dari percakapan bi ijah. Ane awalnya berfikir kalo Denta mau garap Bi Ijah, ternyata malah sebaliknya. Denta begitu menghargai Bi Ijah. Inget budi baiknya selama dia masih bayi. Bi ijah sendiri juga sepertinya sayang sama Denta, nyatanya dia memberi wanti² ke Denta soal Dewi

Ketiga, Denta bener² punya jiwa kesetiakawanan yang baik. Buktinya dia mau menolong Burhan yang dikeroyok. Dan di scene ini ane baru ngerti kalo Denta mau juga memakai jasa perempuan lokalisasi. Maklum awalnya ane mikir "wah Denta ni dari keluarga terpandang. Gak melulu soal harta, tapi silsilah keluarganya yang emang terkenal baik. Gak mungkin asal cari tampungan mani"

Keempat, Denta harusnya ngikut sama omongan Kakek Minta. Masak baru olah fisik sebentar aja ngos-ngosan. Udah disindir, malah ane ngira Kakek Minta udah tau kebiasaan buruk Denta, sampe² malas latihan. Silat sih jago, tapi kalo jarang latihan ya sama aja loyo

Kelima, Denta perlu aktifin cincinnya lagi. Kasih siraman mani sama batin ke Dewi. Kasihan ditinggal suami. Tapi ya perlu hati², jangan² emang Dewi punya niatan rebut harta Tatang sedari awal. :kretek:

Keenam, Kakek Minta ini orang yang sangat berpengalaman, analisisnya jeli. Tidak mudah percaya sama orang
 
Mantab jiwa :mantap::beer:
Terima kasih master atas updatenya:Peace::halo:
Semoga sehat selalu

Ceritanya panjang:baris:
Alurnya halus :n1:
Mulai ada konflik :pedang:
Berikut kesan² ane, mohon maap bila ada salah-salah kata :ampun:

Pertama, penggambaran suasana tempat tinggal Denta dan juga kakek neneknya, sangat asri. Terbukti, rebus air saja masih pake kayu. Ane lagi bayangin minum teh atau kopi hasil seduhan air yang dimasak pake kayu bakar.. hmm...
Ane rasa kakek nenek Denta, badannya masih sangat fit/kencang. Maklum hidupnya sehat dan juga sering olah fisik.

Kedua, kakek nenek denta ini dari jalur ayah? Ini prediksi dari percakapan bi ijah. Ane awalnya berfikir kalo Denta mau garap Bi Ijah, ternyata malah sebaliknya. Denta begitu menghargai Bi Ijah. Inget budi baiknya selama dia masih bayi. Bi ijah sendiri juga sepertinya sayang sama Denta, nyatanya dia memberi wanti² ke Denta soal Dewi

Ketiga, Denta bener² punya jiwa kesetiakawanan yang baik. Buktinya dia mau menolong Burhan yang dikeroyok. Dan di scene ini ane baru ngerti kalo Denta mau juga memakai jasa perempuan lokalisasi. Maklum awalnya ane mikir "wah Denta ni dari keluarga terpandang. Gak melulu soal harta, tapi silsilah keluarganya yang emang terkenal baik. Gak mungkin asal cari tampungan mani"

Keempat, Denta harusnya ngikut sama omongan Kakek Minta. Masak baru olah fisik sebentar aja ngos-ngosan. Udah disindir, malah ane ngira Kakek Minta udah tau kebiasaan buruk Denta, sampe² malas latihan. Silat sih jago, tapi kalo jarang latihan ya sama aja loyo

Kelima, Denta perlu aktifin cincinnya lagi. Kasih siraman mani sama batin ke Dewi. Kasihan ditinggal suami. Tapi ya perlu hati², jangan² emang Dewi punya niatan rebut harta Tatang sedari awal. :kretek:

Keenam, Kakek Minta ini orang yang sangat berpengalaman, analisisnya jeli. Tidak mudah percaya sama orang

Kalau dr kacamata ane sih bukan setia kawan bang pas bantu Burhan (wong baru kenal).

Lebih berjiwa ksatria. Karena tidak membiarkan ketidak adilan atau tindakan sewenang wenang.

Lagipula 1 lawan 3. Dan Burhan kewalahan. Lawannya pun preman. Lagi mo enak enak kok diganggu. Hahaha...

Lanjutkan ceritanya bang...
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd