Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG HIPNOTIS

Status
Please reply by conversation.
PART 11

Denta Pov

Perjalanan enam jam dari desa kelahiranku membuat aku tiba di Jakarta sekitar pukul 12.00 siang. Sebentar saja aku mampir di bengkel milikku untuk melakukan pengecekan, selanjutnya bergerak lagi menuju rumah tempat tinggalku. Rumah yang akhir-akhir ini sering aku tinggal tampak agak kotor, maklum ‘ibu negara’ sedang mudik ke kampungnya. Sambil menikmati air mineral dingin, aku duduk di ruang tengah sambil menonton acara di televisi.

Acara televisi akhir-akhir ini didominasi oleh berita aksi kejahatan yang semakin tidak terkendali di negeri ini. Aku pikir, aparat hukum sudah sangat kewalahan menangani kejahatan yang semakin hari semakin merajalela. Aku bisa memakluminya karena negara ini sekarang bukan lagi negara transit perdagangan obat bius dan narkotika tetapi juga sebagai pasar yang sangat potensial bagi barang haram tersebut. Maka tidak heran jika di negara ini tumbuh subur triad-triad yang menguasai perdagangan narkotika.

Alhasil, Jakarta kini bisa disebut sebagai kota tiranopolis atau kota yang penuh kekerasan. Masyarakatnya selalu dalam keadaan mencekam. Hari ke hari hanya masalah dan masalah. Kejahatan merajalela, namun tidak ada tindakan hukum yang semestinya. Hukum tidak lagi ditegakkan sehingga narkoba, prostitusi, dan kejahatan tumbuh subur di kota ini. Ditambah lagi, warga Jakarta sekarang ini seolah sudah tidak peduli dengan apa yang terjadi pada sekitarnya.

“Jaman edan!” Gerutuku sambil mematikan televisi berlayar tipis 32 inciku.

Aku pun memutuskan untuk masuk ke kamar tidur, mandi adalah solusi yang bagus di siang yang panas ini. Aku beranjak ke kamar mandi untuk membersihkan badan, tak sabar rasanya ingin diguyur air yang dingin nan segar. “Byurr!” Aku mengguyur tubuhku dengan beberapa gayung air. Lalu, menggosokkan sabun ke badanku dan sehabis itu mengguyur badanku lagi. Tak lama ritual mandi aku akhiri, kemudian berdandan ala kadarnya karena aku tak berniat pergi keluar.

Saat aku hendak merebahkan diri di kasur, tiba-tiba smartphone-ku berdering. Aku ambil alat komunikasi itu dari meja kecil di samping tempat tidur. Setelah melihat identitas si penelepon, barulah aku menggeser item berwarna hijau di layar smartphone.

“Hallo ... Aku baru datang ...” Sapaku pada Irwan di sana.

“Oh ... Sayangnya kamu harus segera bergabung ke sini ... Sudah ada tugas dari pimpinan ...” Ucap Irwan terdengar agak ragu.

“Hhhmm ... Baiklah ... Aku meluncur sekarang ...” Kataku menyetujui perintah Irwan. Aku sebenarnya tidak menyangka kalau Irwan secepat itu memasukan aku ke dalam komplotannya.

“Aku kirim alamatnya ... Datanglah ke alamat itu ...” Lanjut Irwan.

“Siap ...” Jawabku.

Tak ada lagi percakapan, sambungan telepon pun terputus begitu saja. Terpaksa aku mengganti pakaian lagi. Kemeja lengan panjang dengan celana katun berwarna hitam menjadi pilihanku. Setelah merasa siap, aku pun mengambil kunci mobilku dan mengendarainya menuju alamat yang baru saja Irwan kirim ke smartphone-ku. Lumayan juga jarak yang harus aku lalui, belum lagi kemacetan Jakarta yang selalu menjadi penghambat perjalanan setiap orang. Akhirnya, setelah dua jam lebih di jalanan, aku pun sampai di sebuah ruko yang di kaca depan ruko tertulis nama perusahaan jasa ekspedisi. Ternyata aku sudah ditunggu oleh Irwan di sana. Kami pun memasuki sebuah ruangan dan kami sudah duduk berhadapan di sofa.

“Ta ... Sebenarnya ... Apa yang akan kamu lakukan ...?” Irwan bertanya dengan nada pesimis. Aku hanya dapat melihat keraguan diraut wajahnya seakan-akan meragukan kemampuanku.

“Bantu saja aku ... Supaya aku bisa dekat dengan pimpinanmu ...” Jawabku dengan menatap kedua mata kawanku tajam. “Jangan pernah meragukan aku ...!” Kembali aku bersuara penuh penekanan.

“Bagaimana aku tidak ragu ... Aku sama sekali tidak tahu apa yang akan kamu lakukan ... Itu membuatku bingung ...” Irwan mengeluh sambil menghembuskan nafas keras.

“Jadi begini rencanaku ... Aku ingin menyingkirkan dulu satu per satu orang-orang terdekat dari pimpinan ... Setelah itu, aku akan masuk dan menjadi orang kepercayaannya ... Itu dulu yang perlu kamu ketahui ...” Aku mengatakan rencana awal dengan misiku pada Irwan.

“Hhhmm ... Begitu ya ...” Respon Irwan sambil manggut-manggut. Tampaknya kawanku itu mulai mengerti meski masih tetap memperlihatkan wajah ragunya.

“Tadi kamu bilang ada tugas ... Tugas apa?” Aku mengalihkan tema pembicaraan dengan bertanya kerjaan yang harus aku lakukan.

“Oh, iya ... Ada pengedar yang gak nyetor pada kami ... Mereka mendagangkan barang-barang kami, tapi sepertinya mereka sengaja tidak menyetor dan sudah berani menantang kami ...” Jelas Irwan mulai serius.

“Mereka ...? Mereka ini siapa ...?” Tanyaku ingin kejelasan.

“Mereka ini sekelompok preman yang menguasai pasar baru ... Tugasmu adalah membawa pimpinan mereka pada Hans ...” Irwan melanjutkan penjelasannya. Kemudian Irwan memberikan sebuah foto padaku. Sebuah wajah sangar yang terdapat luka gores di pipi sebelah kanannya. “Namanya Giri ... Dia yang harus kamu bawa ke markas ...” Lanjut Irwan.

“Okay ...” Kataku singkat saja sambil berdiri dan keluar dari ruangannya.

Tak lama, aku pun mengarahkan kendaraan menuju Pasar Baru. Awalnya, perjalanan dari kantor Irwan menuju Pasar Baru baik-baik saja. Namun, di setengah perjalanan, masalah pun dimulai. Mobil bergerak begitu lambat. Kemacetan selalu saja mengurangi kesenangan para pejalan dan pengembara. Aku benci kemacetan di Jakarta yang makin-makin parahnya. Belum lagi banjir yang datang seperti pemilu, lima tahunan. Tapi memang Jakarta menjanjikan banyak hal untuk mereka yang mengejar karier, uang, dan kehidupan metropolitan.

Akhirnya aku sampai juga di Pasar Baru pukul 17.00 sore. Lebih dari dua jam perjalanan kutempuh yang cukup menguras emosi. Setelah bertanya ke beberapa orang, di dalam pasar terdapat sebuah ruangan yang bisa disebut pos keamanan. Mataku langsung saja melihat seraut wajah yang sama persis dengan wajah yang ada pada foto di tanganku. Aku lempar foto itu sembarang lalu mendekati kepala preman tersebut bersama dua orang lain yang sedang menikmati rokok mereka.

“Maaf, saudara-saudara ...” Kataku setelah berada di depan pos keamanan. Ketiga orang yang sedang asik itu pun memandangku dengan tatapan tidak bersahabat.

“Ya ... Ada apa?” Salah satu anak buah Giri berdiri dan menghadapkan wajah garangnya padaku.

“Aku mau bicara dengan pemimpinmu ... Ada urusan yang harus segera diselesaikan ...” Jawabku dengan sikap waspada dan berjaga- jaga.

“Ya ... Urusan apa? Ngomong yang jelas!” Orang itu langsung nyerongot seperti ingin memperlihatkan kekuasaannya padaku.

“Sorry bro ... Aku gak ada urusan denganmu ... Aku hanya ingin bicara dengan Giri ...” Kataku dengan nada mulai menaik. Aku balas tatapannya dengan geram pula.

“Eh ...! Malah ngotot ...!” Ucap orang itu yang kelihatannya mulai naik pitam. “Loe tau, siapa yang lagi loe hadepin?” Suaranya begitu keras sembari berjalan ke arahku.

“Ya ... Orang yang punya utang tapi gak bayar ...” Kataku santai.

"Ha ha ha ... Mau ada yang jadi jagoan ya di sini?" Ucap sang preman yang berjalan ke arahku itu. Pandangan matanya tajam menusuk ke arahku. Jaraknya hanya sekitar satu meteran di depanku.

Aku berdiri terdiam. Kedua bahuku aku lemaskan, tangan menjuntai ke bawah. Preman pasar itu semakin mendekatiku dan ia langsung mencengkram kerah bajuku dengan tangan kanannya.

"Lu mau jadi jagoan di sini?!!" Hardik sang preman lagi. Cengkraman kerah bajuku semakin diperkeras.

“Lepasin ...! Kita gak ada masalah ...” Kataku santai.

"Eeh ...! Lu siapa hah ...! Seenaknya aja main perintah ...! Lu mau gua hajar?!!" Hardik si preman lebih keras sambil mendorongku ke belakang. Cengkramannya tidak ia lepaskan.

DEUGHH!!!

Aku terdiam. Tiba-tiba pusarku terasa menghangat. Rasa hangatnya bergerak naik. Alirannya terasa lebih cepat memenuhi seluruh tubuhku. Dadaku semakin bergemuruh. Secara reflek tangan kiriku menangkap tangan kanan yang mencengkeram kerahku, lalu memutarnya dengan cepat dan menariknya ke atas lebih tinggi dari kepalaku. Bersamaan dengan itu, tangan kananku bergerak cepat ikut membantu menguatkan pegangan tangan kiriku pada tangan preman itu. Lalu menekuknya ke arah pinggang kanan si preman sehingga ia menjadi terbungkuk. Setelah itu kaki kiriku aku geser ke belakang dengan cepat sambil kedua tanganku menarik tangan si preman tersebut ke arah lutut kiriku. Gerakan ini membuat tubuh si preman terbanting dengan lengan terpuntir dan kepalanya berada di bawah lutut kiriku!

BUGGH!!!

Ia terbanting keras.

"Uuuughh!!" Teriak preman ini. Tidak berhenti sampai di situ, aku memutar lengannya sambil mengunci siku preman tersebut dengan lutut kiriku.

"Aaaaaakkh!" Preman itu berteriak kesakitan. Gerakanku masih berlanjut. Tangan kananku aku lepas dan langsung memukul urat leher besar di sebelah kanan. Preman itu tampak lemas. Ia pingsan!

Ah tidak! Aku lupa! Aku tidak boleh melakukan ini! Urat leher besar kanan adalah daerah sensitif, yang kalau terkena serangan keras akibatnya bisa menghentikan aliran darah dan bahkan bisa menyebabkan kematian. Ah, sial. Aku merasa bersalah.

Sesaat aku jadi teringat saat latihan bersama kakek. Saat itu, kakek mengajariku mengenai titik-titik rawan di dalam tubuh manusia. Titik-titik dimana apabila serangan kita diarahkan kepadanya akan bisa membawa rasa sakit dan penderitaan berat bagi lawan. Kakek pernah berkata bahwa ketika gerakan dilakukan, maka ia umumnya terdiri dari alat penyasar serangan dan sasaran serangan. Alat penyasar disesuaikan dengan bentuk gerakan. Ada yang berupa kepalan tangan utuh, ujung jari, sisi telapak tangan, punggung telapak tangan, ujung siku, telapak tangan, atau yang lainnya. Sedangkan sasaran serangan adalah titik-titik pada tubuh yang sudah diidentifikasi sedemikian rupa. Beberapa titik menyebabkan rasa sakit yang biasa-biasa saja, tapi beberapa menyebabkan rasa sakit yang sangat dahsyat, beberapa malah bisa menyebabkan kematian.

Kakekku selalu mengingatkan, bahwa pelajaran mengetahui titik-titik rawan tubuh janganlah melulu ditafsirkan sebagai cara untuk mengalahkan lawan dengan cepat. Tapi lebih jauh dari itu, pengetahuan terhadap titik-titik rawan tubuh juga bisa digunakan untuk mengobati seseorang, atau lebih jauh lagi bahkan dapat meningkatkan kemampuan kita. Tergantung ingin digunakan bagaimana pengetahuan tersebut. Kakek juga mengingatkan, bahwa pada mereka yang sudah terlatih fisik dan olah nafas, maka titik-titik rawan ini bisa sedemikian kuat, bahkan bisa disembunyikan, atau lebih jauh lagi bisa digeser. Kakek menambahkan, bahwa yang digeser atau disembunyikan bukanlah fisik dari titik tersebut, tetapi rasa yang ada di dalamnya. Jadi, tidak semua titik-titik ini menjadi rawan. Tergantung dengan siapa kita berhadapan. Tetap waspada, dan jangan lengah. Begitulah pesan kakek. Meski demikian, kakek tidak pernah bosan mengingatkan agar sebisa mungkin menahan amarah dan menahan emosi.

Maafkan aku kakek, aku sudah melanggar nasehatmu. Aku terpaksa melakukan ini. Tubuhku seperti bergerak sendiri. Mengikuti naluriku. Mengikuti 'theg' di hatiku. Aku ingin memberi pelajaran pada orang-orang songong ini. Aku berdiri kembali, membiarkan preman ini tergeletak pingsan di sebelah kiriku. Aku menoleh pada preman yang satunya.

"Hei ...! Lu apain temen gua hah ...! Bangsat lu ...!!!" Teriak preman yang satunya. Ia berlari menuju ke arahku dengan wajah gaharnya.

Tiba-tiba ia meloncat sambil menendang dengan kaki kanannya. Tendangannya cukup keras. Aku menggeser kaki kananku melebar ke arah kanan sambil menekuk lutut kanan. Bersamaan dengan itu aku memutar pinggang sedemikian rupa sehingga tubuhku yang tadinya menghadap ke depan menjadi menghadap ke kanan. Ini adalah posisi leyek depan. Posisi yang bisa digunakan menghindar. Tendangan lawan otomatis tidak mengenai tubuhku. Aku pun melanjutkan gerakan.

Aku gerakkan tangan kiriku untuk melakukan tangkisan bawah, bergerak mengayun dengan lintasan dari atas ke bawah dan mengenai pergelangan kaki kanan preman tersebut. Sesaat setelah terasa mengena aku langsung mencengkram celana yang terpegang oleh tangan kiriku. Aku memutar tumit kaki kananku empat puluh lima derajat dan menarik kaki kiriku dengan cara menyeret memendek sehingga kaki kanan preman itu mendekat ke badanku. Ini adalah sikap leyek belakang. Tangan kananku melakukan gerakan yang disebut dengan ‘Hanca Siku’ yakni salah satu serangan tangan dimana punggung siku digunakan sebagai alat penyasarnya. Adapun sasarannya adalah sendi lutut kaki preman tersebut.

"Aaaaakkhhh!!!" Preman itu berteriak.

Seranganku mengenai persendian lutut kanannya dengan keras. Meskipun aku sudah mengurangi tenagaku, tetapi tak urung tetap membuat preman itu berteriak kesakitan. Kalau saja aku lepas kendali, aku pasti sudah mematahkan persendian lutut preman itu. Beruntung aku teringat pesan kakek agar tetap terkendali dan terkontrol meskipun dalam situasi sesulit apapun. Aku harus membereskan preman ini dengan cepat.

Gerakanku berlanjut. Kaki kananku aku geser mendekati tubuh preman itu sambil aku melakukan serangan yang disebut dengan ‘Hanca Ujung Siku’. Serangan ini aku arahkan pada ulu hatinya. Sesuai dengan namanya, alat penyasarnya adalah ujung siku.

BUUUUKKKK!!

Preman itu tidak bersuara. Ulu hatinya terkena seranganku dengan telak. Ia terjatuh, mengaduh. Berguling-guling sebentar sambil memegangi ulu hatinya, lalu pingsan! Aku terkejut. Apakah aku sekeras itu memukul? Rasanya biasa saja.

Aku terngiang ucapan kakekku bahwa ketika seseorang sudah melatih tata gerak dengan pengulangan yang sangat banyak sedemikian rupa, maka gerakannya akan menjadi sangat akurat, sangat bertenaga. Apalagi kalau pada saat yang bersamaan juga ia melatih olah nafas dan digabungkan dengan penerapan tata geraknya. Maka efeknya bisa sangat dahsyat. Tanpa olah nafas saja efeknya bisa sangat membahayakan, apalagi digabung secara bersamaan. Aku tertegun. Masih dengan posisi ujung siku tangan kananku membentuk serangan.

Dua preman sudah roboh. Aku pun berdiri tegak menghadap pimpinan preman. Giri tampak cukup tenang. Ia terlihat lebih percaya diri dibanding anak buahnya. Ia juga lebih tegap dan kuat dibanding anak buahnya. Ia berjalan mendekatiku dan berhenti kira-kira satu meter di depanku.

"Hhhmm ... Elo keliatannya boleh juga ..." Ucap Giri kalem tampak sangat percaya diri. Aku terdiam. Tidak menanggapi ucapannya. Tenang itu biasanya menghanyutkan. Begitu kata kakek saat memberikan nasehat kepadaku. Berhati-hatilah terhadap orang yang tenang, sebab bisa jadi ia menyimpan sesuatu.

“Lebih baik kita bicara baik-baik ... Dan selesaikan masalah dengan baik-baik ...” Ucapku memulai. Pusarku kembali menghangat. Aku mulai waspada. Pimpinan preman ini mulai berjalan mengitariku. Aku semakin waspada.

“Hah ...! Gak usah banyak omong ...! Terima saja ini ... huh ...!" Teriak Giri yang serta merta langsung menyerang dengan pukulan lurus ke arah kepalaku. Kuda-kudanya terlihat begitu lebar dengan kaki kanan di depan dan sedikit ditekuk.

Tidak mau kepalaku jadi sasaran serangan lawan, aku melangkah ke samping menghindari serangan pukulan dengan sikap leyek dengan tangan kiriku melakukan gerakan tangkisan bernama ‘Tangkisan Atas’, yakni tangkisan dengan menggunakan sisi telapak tangan yang sedikit ditekuk ke arah luar.

TAAAKKK!!

Aku berhasil menangkisnya.

"Huh ...! Gerakan ini lagi! Sudah aku baca!" Ucap Giri. Ia langsung mengganti serangannya dengan melangkah maju dan melakukan pukulan yang kedua dengan tangan kirinya. Sementara tangan kanannya ia simpan di pinggang kanan. Dari gerakan serangannya aku baru tahu kalau pimpinan preman ini memiliki sedikit ilmu bela diri.

Melihat ini, kaki kiriku aku gerakkan memutar ke arah belakang kaki kananku sehingga sedikit melewatinya. Putaran ini sekaligus dibarengi putaran pinggangku dengan tangan kananku melakukan gerakan tangkisan dengan punggung tangan. Gerak langkah ini disebut dengan ‘Srimpet’, sedangkan gerak tangkisannya disebut dengan ‘Potongan’.

PLAKK!!

Punggung tanganku berhasil menangkis serangan pukulannya. Kaki kananku secara reflek berusaha menendang ke arah tubuh pimpinan preman itu dengan keras dengan ‘Tendangan Samping’ menggunakan sisi telapak kaki kananku. Giri menggeser tubuhnya ke arah kiri. Ia berusaha menjauh. Aku tidak tinggal diam. Aku langsung mendekatinya dan melakukan serangan ‘Pukulan Datar’, yakni sebuah pukulan lurus dengan kepalan tangan yang aku arahkan di dadanya.

BUUUUGGHH!!

Seranganku mengenainya. Pimpinan preman itu terdorong mundur. Ia tampaknya tidak merasa kesakitan seperti dua anak buahnya tadi. Padahal pukulanku cukup keras mengenai dadanya. Meski sedikit di atas ulu hatinya. Aku yakin cukup keras. Tapi rupanya belum cukup keras.

"Lumayan ...! Pantas lu berani sok jagoan ...!" Ucap pimpinan preman tersebut. Ia tidak mengelus dadanya atau mengurut dadanya. Ia terlihat biasa saja. Kepalanya manggut-manggut. Wajahnya kini terlihat serius. Tangannya kirinya terlihat masuk ke kantong celana sedangkan tangan kanannya mengelus-elus dagunya yang tidak berjenggot.

Aku kembali berdiri dengan kaki sejajar bahu. Jarak kami hanya sekitar satu setengah meter. Tiba-tiba tangan kiri pimpinan preman itu bergerak ke arah wajahku dan melemparkan sesuatu. Sekilas terlihat seperti pasir-pasir yang dilemparkan. Aku tidak tahu apa yang dilemparkan, apakah pasir atau bukan.

"Terima ini!" Ucap Giri mendadak.

"Uuuuhh ...!" Aku mencoba menutup kedua mata dengan tanganku. Tapi terlambat. Sebagian pasir mengenai mataku. Perih terasa. Aku langsung mundur tiga langkah. Mencoba menjaga jarak, sambil tanganku berusaha mengusap-usap kedua mataku yang perih.

"Uuuhh ... Bahaya ini ... Perihnya tetap terasa ...!" Batinku dalam hati.

Aku hanya mendengar suara langkah kaki di depanku. Tiba-tiba dadaku terasa nyeri karena ditendang oleh pimpinan preman itu.

BUUUGGGH!!

Aku terpental sampai tiga meteran. Jatuh berguling-guling di lantai beton. Aku langsung berusaha berdiri, dengan masih memejamkan mata. Serangan itu tidak begitu sakit aku rasakan. Aku lebih mengkhawatirkan mataku. Uuh, sial. Mataku masih perih.

Di saat seperti ini, aku teringat kembali latihan bersama kakek. Kakek mengajarkanku suatu materi yang ia sebut dengan ‘Getaran Tutup Mata’. Kata kakek, ini adalah salah satu seni rahasia dari aliran bela dirinya. Memungkinkan orang yang melatihnya mampu mengembangkan daya kepekaan sedemikian rupa sehingga ia tidak membutuhkan daya lihat optik seperti mata. Penglihatannya diganti dengan rasa. Rasa adalah penglihatannya. Sebuah daya kepekaan sedemikian rupa untuk menangkap gelombang, untuk menangkap getaran. Sebab getaran adalah gelombang. Semua yang bergetar akan memancarkan gelombang. Dan itu bisa kita rasakan, kata kakek. Air, batu, kayu, sungai, cahaya matahari, kulit, urat, otot, darah, semua memiliki getaran pada tingkatannya masing-masing. Dan semuanya memancarkan gelombang. Itulah yang dirasakan.

Aku kemudian menjadi lebih tenang. Aku pusatkan konsentrasi pada rasa. Pada warna hitam di 'pandangan' mataku. Aku mencoba menembus selubung penghalang rasa seperti yang pernah diajarkan oleh kakekku. Perlahan, pori-pori kulitku mulai membesar seiring dengan guratan abstrak putih mulai terbentuk. Gambaran seperti siaran televisi rusak mulai terlihat. Hitam dan putih. Terbayang dan berbayang. Semua yang berada di sebelah kananku, di sebelah kiriku, di depanku, di belakangku, di atasku, menjadi begitu sangat terasa. Setiap langkah dari pimpinan preman itu sangat terasa. Aliran udara di sekitar tubuhnya. Bahkan hingga detak jantungnya pun terasa sekali. Sosok pimpinan preman di depanku 'terlihat' mendekat. Jaraknya semakin dekat. Aku terdiam. Waspada.

"Mampus lu ...!" Teriak Giri sambil kaki kanannya menendang keras ke arahku. Aku menggeser kakiku ke arah kanan. Serangan kaki itu luput. Pemuda itu kaget karena serangannya gagal.

"Sialan lu! Nih, gua beri lagi!" Hardik pimpinan preman itu. Ia kemudian menendang kembali dengan kaki kirinya. Aku kembali menggeser kakiku, menjauh sedikit dari serangannya. Serangan kedua itu luput lagi.

"Kurang ajar! Nih ...!!!" Giri terlihat maju merangsek sambil memukul dengan tangan kanannya dengan arah lintasan memutar ke arah pelipis mata kananku. Tapi sebelum serangan itu sampai ke pelipis kananku, aku maju menyongsong serangannya sambil melakukan ‘Tangkisan Atas’ dan ‘Pukulan Datar’ secara bersamaan. Sasaran dari pukulan datarku adalah hidung pimpinan preman itu.

PLAKK!! DHUESSS!!!

Pimpinan preman itu terjerembab dan jatuh terlentang. Ia terjatuh dan mengaduh sambil memegangi hidungnya. Darah 'terlihat' mengucur dari hidungnya. Giliranku untuk merangsek. Secepat kilat aku memburu tubuh terlentang itu dengan “Lompatan Harimau’. Tak ayal, lututku mendarat sempurna di perutnya. Suara lenguhan kesakitan terdengar jelas di telingaku. Aku menerkam Giri, lalu menumbuki mukanya hingga terasa muka orang ini menjadi lembek di kepalan tanganku.

“Hentikan ...!!! Bisa mati dia ...!!!” Jeritan suara wanita itu membuatku menghentikan aksi menumbuk muka. Aku pun menoleh ke arah sumber suara, namun hanya bayangan hitam yang kulihat dengan latar putih. Mataku sama sekali belum normal.

“Bawa dia ...! Cepat ...!” Kembali terdengar suara wanita itu. Tak lama, tubuhku didorong oleh seseorang hingga bergeser ke samping ‘korbanku’. Beberapa orang yang masih berbentuk bayangan hitam tampak membawa pimpinan preman yang baru aku robohkan itu.

“Eh ... Si..siapa kamu ...?” Tanyaku kaget bercampur heran dengan wanita di depanku ini. Sayangnya, mataku belum bisa melihatnya jelas.

“Kami suruhan Hans ...” Ucap si wanita dan langsung saja meninggalkanku.

Mendengar jawabannya itu, aku pun membiarkan mereka pergi, itung-itung membantu tugasku untuk membawa Giri ke hadapan Hans. Beberapa detik berselang, seseorang memberiku sebotol besar air mineral. Aku basuh muka dan mataku. Aku bersihkan kotoran yang menempel di mata. Aku mengerjap, meredakan perih di mataku yang kelilipan tadi. Dengan begitu aku bisa melihat lagi dengan jelas.

“Terima kasih ...” Kataku pada si pemberi air mineral yang kugunakan membersihkan muka dan mata.

“Sama-sama, bang ...” Jawab seorang pria paruh baya. Aku melihat banyak orang berkerumun di sekitarku. Rupanya kejadian barusan mengundang orang-orang.

Aku pun segera pergi dari lokasi dan kembali ke kantor Irwan. Sepanjang perjalanan, aku memikirkan sosok wanita yang tidak sempat kulihat mukanya tadi. Dari caranya memerintah, aku berkeyakinan kalau wanita itu adalah seseorang yang cukup berkedudukan di komplotan Hans. Wanita itu bisa memerintah orang dan dipatuhi. Namun, apa peduliku. Sekarang yang terpenting adalah misiku berhasil. Aku berharap dengan mengalahkan Giri, aku bisa mendekatkan diri kepada pemimpin kelompok ini. Setelah dua jam perjalanan, aku sampai di kantor Irwan, namun kawanku itu tidak berada di tempat. Akhirnya aku putuskan untuk pulang ke rumah dan lebih baik beristirahat di atas tempat tidur.​

-----ooo-----

Author Pov

Malam baru saja menjelang, hawa dingin pun sendari tadi menerjang. Lampu-lampu pinggiran jalan mulai terpancar. Beberapa kendaraan baik roda dua, empat atau bahkan enam masih berkutik di sepanjang jalan. Kemacetan Kota Jakarta memang tak bisa dikurangi barang sejenak, membuat siapa pun harus sangat profesional menempatkan jadwal pertemuan.

Irwan sangat tergesa-gesa memasuki sebuah ruangan. Pria itu sangat sadar kalau dirinya sudah telat menghadiri pertemuan dadakan yang diadakan di kediaman pimpinannya. “Semangat!” Kata Irwan pada dirinya sendiri. Kemudian, ia memutar kenop pintu dan memasuki ruangan yang telah penuh oleh orang-orang penting. Langsung saja, semua orang yang ada dalam ruangan menoleh ke arah ambang pintu. Saat melihat kedatangan pria itu, wajah yang hadir seperti lega dan tersenyum.

“Ok ... Sekarang kita mulai ...” Kata pimpinan pertemuan yang tak lain adalah Hans. Ternyata rapat belum dimulai lantaran menunggu orang kepercayaan sang pimpinan.

“Tujuanku mengundang kalian secara mendadak berkaitan dengan hancurnya Kartel Medellin di Jerman.” Hans menahan ucapannya sambil memperhatikan satu per satu orang-orang kepercayaannya yang ada di ruangan itu.

“Saya juga sudah mendengarnya ... Medellin adalah penghasil brand narkoba terkenal di dunia, Gorilas. Saya tidak tahu detailnya, hanya saja sangat 'lucu' kalau merek narkoba nomor satu dapat dengan mudahnya hancur karena satu kasus saja.” Ungkap salah seorang peserta pertemuan.

“Kasus apa?” Seseorang yang lain bertanya.

“Jadi begini ...” Hans bersuara. “Seperti yang kita ketahui, Gorilas merupakan salah satu brand narkoba yang terkenal di seluruh dunia. Laba penjualannya pun terbilang fantastis, hingga mencapai tiga kali laba penjualan perusahaan minyak dan tambang di setiap bulannya. Hanya dalam waktu kurang dari tiga setengah tahun, Gorilas sudah berhasil menguasai pasar dunia. Cepatnya Medellin dalam mengambil perhatian dunia konon karena ia selalu berhasil membuat narkoba jenis baru setiap 6 hingga 8 bulan sekali. Kejeniusan Schwerin von Krosigk dalam meracik obat memang patut diakui. Semua produk Gorilas yang ia luncurkan selalu berhasil menjadi produk pilihan favorit. Pelanggannya juga ada dari berbagai macam kalangan, muda-tua, kaya-miskin, pengemis-mafia, semuanya. Medellin merupakan satu-satunya bandar yang mampu menjual narkoba dengan harga relatif murah namun kualitas produknya mengandung kemurnian hingga mencapai 98%.” Papar Hans panjang lebar.

“Krosigk terbunuh, Medellin hancur.” Sambung Irwan yang pernah juga mendengar kasus tersebut beberapa bulan yang lalu.

“Dia tidak benar-benar terbunuh ... Orang itu masih hidup, dan berdasarkan kabar burung yang beredar, orang itu sekarang berada di sini ... Di Jakarta ...” Sanggah Hans yang membuat semua yang hadir terperanjat. “Aku membutuhkan tenaganya ... Agar kita bisa produksi narkoba sendiri ... Aku perintahkan ...! Buru dia secepat-cepatnya, sebelum orang lain menangkapnya ...!” Lanjut Hans tegas.

Lima orang tangan kanan Hans pun segera membubarkan diri, termasuk Irwan. Sesaat setelah di luar ruangan, bahu Irwan dipegang seseorang. Irwan tak perlu menoleh karena sudah mengetahui pemilik tangan tersebut. Lagi-lagi ia merasa enggan dengan wanita yang kini berjalan di sampingnya. Selalu saja ada masalah bila berhubungan kerja dengannya misalnya tidak solid dalam tim kerja, semaunya sendiri dan mau enaknya saja.

“Aku akan bekerja sendiri.” Irwan langsung berkata seolah ia tahu apa yang dipikirkan wanita itu.

“Silahkan ... Aku akan bersama kakakku.” Irwan tersentak kaget karena ucapannya begitu ringan tanpa ada beban sedikit pun.

“Bukannya kau akan merahasiakan jati dirimu padanya?” Tanya Irwan dengan nada tak senang. Ucapan pria itu begitu lirih seolah berusaha keras menekan perasaannya yang terasa ingin meledak.

“Kamu kan banyak anak buah, sementara aku kebanyakan perempuan ... Aku butuh orang kuat seperti kakakku ...” Senyum miring pun dia sunggingkan dengan angkuh.

Irwan melajukan langkahnya lebih cepat. Berjalan tanpa berniat mengucapkan selamat tinggal dengan manis karena hatinya geram. Percuma berdebat dengan wanita itu hanya akan membuang waktunya saja. Sesampainya di mobil, Irwan menunjukkan amarahnya bahkan hingga membanting pintu mobil, kemudian melajukan mobilnya langsung dengan kecepatan tinggi. Sambil geleng-geleng kepala Irwan merasa tidak terlalu membutuhkan tenaga Denta sebab jaringannya cukup solid untuk misi semacam ini.

Sementara itu, si wanita terus memperlihatkan senyumnya melihat Irwan yang kesal. Wanita itu pun mengambil smartphone-nya dari saku celana. Dan mulai memencet tombol di layar alat komunikasi pipihnya. Tak lama, sambungan telepon terhubung.

“Sis ... Bergerak sekarang ...!” Ucap si wanita terdengar memberikan perintah.

Baik ...” Jawab lawan bicara si wanita lalu sambungan telepon terputus.

Sambil memasukan smartphone-nya, si wanita berjalan ke arah mobil sedan putih miliknya. Beberapa detik berselang, sedan putih itu meninggalkan rumah megah tersebut. Ia membesut kendaraannya ke sebuah nightclub di mana ia biasa nongkrong sekedar untuk menghilangkan penat dan menghibur diri.​

-----ooo-----

Denta Pov

Jari telunjukku mengetuk-ngetuk stir mobil mengikuti alunan musik yang terdengar samar. Aku mendengarkan lagu favoritku untuk menghilangkan kejenuhan saat terjebak macet. Sesekali aku membuka kaca mobilku berharap ada sesuatu yang menarik terjadi ditengah kemacetan ini. Dan ternyata harapanku tidak sia-sia. Sebuah mobil sedan merah berhenti persis di samping kananku. Jiwa ‘merepet’ begitu melihat dua makhluk cantik itu memandangiku dengan muka nyengir-nyengir bandel.

“Sendirian saja, handsome ...?” Salah satu dari mereka yang berada di sebelah kiri mobil itu menyapaku. Karuan saja aku menjadi salah tingkah saat disapa segenit itu.

“Eh ... I..iya ... Pada mau kemana?” Tanyaku agak gelagapan namun akhirnya aku bisa menguasai diri. Aku coba mengakrabkan diri pada mereka, padahal dibalik itu ada sesuatu yang sedang aku pikirkan. “Kayaknya mereka bisa diprospek nih ...” Pikiran kotor mulai menguasai otakku.

“Ikutin kita aja ... Kita mau senang-senang ... Hi hi hi ...” Katanya dan langsung saja mobil sedan merah itu bergerak mendahuluiku karena jalanan sudah mulai longgar.

Tentu aku tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Bagaikan air yang mengalir deras, hasratku seperti banjir yang meluap. Kedua wanita itu benar-benar menantang kelelakianku. Aku ikuti terus mobil itu dan setelah hampir satu jam, aku sampai di pelataran parkir sebuah nightclub. Aku turun dari mobil dan langsung disambut oleh dua makhluk cantik itu.

“Hai ...” Sapa wanita berperawakan tinggi. Dan aku sangat mengetahui kalau ia adalah artis sinetron di sebuah televisi swasta. “Rina ...” Katanya lagi sambil mengulurkan tangannya.

“Denta ...” Kataku kemudian sembari menjabat tangannya si artis sinetron.

“Siska ...” Wanita yang satu lagi tak kalah cantik dan molek, tapi berperawakan lebih pendek.

“Denta ...” Aku pun menjabat tangan wanita yang bernama siska.

“Yuk ... Kita masuk ...!” Ucap Siska dengan tangannya kini melingkar di lengan kiriku. Tak sampai di situ, kini lengan kananku pun kini sudah dilingkari tangan Rina.

Aku tak pernah membayangkan sama sekali akan terjebak diantara dua makhluk cantik ini. Dan semua khayalan mesumku membuat pikiranku semakin keruh saja. Syaraf-syarafku menjadi lebih peka dengan aroma parfum mereka dan libidoku semakin tidak bisa diatur apalagi setiap kali payudara mereka bersinggungan dengan lenganku. Seketika itu pula membuat darah kelelakianku seperti mendidih, namun aku masih dapat menahannya.

“Kita langsung ke atas saja ... Di bawah terlalu ramai ...” Kata Rina sambil menarikku ke sebuah tangga dan aku pun tak menolaknya.

Aku pikir akan berhenti di lantai dua, tapi nyatanya aku masih meniti anak tangga lagi menuju lantai tiga. Sempat aku bertanya kepada kedua wanita cantik ini namun hanya senyuman genit yang aku terima. Timbul perasaan heran yang berlanjut dengan kecurigaan. Rasanya aku sedang ‘digiring’ oleh mereka. Dan kecurigaanku semakin nyata ketika aku dan kedua wanita ini sudah berdiri di hadapan pintu sebuah kamar.

“Kalian memang sengaja membawaku ke sini, kan?” Tanyaku penuh selidik sambil menahan langkah. Aku mulai mengurai pelukan mereka. Aku kini sadar kalau hidupku tidak senormal kemarin. Sekarang aku berada dalam lingkaran kehidupan mafia yang penuh dengan ketidakpastian dan bahaya.

“Seseorang sedang menunggu kamu di dalam ...” Ungkap Siska sambil tersenyum. Dan terbukti dugaanku, ternyata memang aku sengaja dibawa mereka ke tempat ini.

“Hhhhmm ... Apakah ini perangkap?” Tanyaku lagi. Walau dengan nada bercanda namun paling tidak aku bisa menilai dari jawaban mereka.

“Bukan ... Masuklah ...! Kami tunggu kamu di bawah ...” Ucap Siska lagi. Kedua wanita cantik itu pun berlalu dari hadapanku.

Aku coba atur nafas, walau kurang berhasil membuat pikiranku cukup tenang. Aku mengetuk pintu tiga kali dengan irama cepat namun redam. Tak lama terdengar teriakan dari dalam yang menyuruhku masuk. Tanpa berpikir panjang lagi, aku memutar knop pintu dengan mantap, kemudian secara perlahan masuk lebih jauh ke dalam. Pintu sengaja aku buka lebar-lebar.

DEUGH!!!!

Aku terkejut sangat, jantungku seperti berhenti sepersekian detik. Darahku seperti berhenti mengalir ketika ia menatapku lamat-lamat. Apa yang aku lihat benar-benar membuat bulu kudukku merinding. Badanku terasa kaku saat bertatap dengannya. Jujur, aku tak mampu mengakuinya.

“Kang ...” Sapanya lembut.

“Dinda ...” Gumamku masih tak percaya.

Dinda berjalan mendekatiku nyaris seperti harimau betina sejati yang siap melindungi wilayahnya. Aku mematung, nafasku tercekat. Kami berdiri saling berhadapan dengan jarak yang sangat dekat. Lalu, ia mengambil kedua tanganku, menarikku untuk lebih mendekat kepadanya.

“Akang jangan bengong begitu!” Tutur adikku pelan.

“Aku gak percaya kalau kamu menjadi bagian dari komplotan Hans.” Kataku berdasarkan atas felling dan sedikit menebak.

“Sekarang akang harus percaya.” Ucap Dinda dan membuatku yakin kalau tebakanku benar adanya. Aku tatap matanya dalam-dalam dengan serius. Namun semua keterkejutanku belum juga selesai.

“Aku gak nyangka sama sekali ...” Gumamku cukup pelan sambil menggeleng-gelengkan kepala namun aku yakin Dinda mendengarnya.

“Ceritanya sangat panjang ... Nanti aku ceritakan ... Sekarang ada sesuatu yang ingin aku katakan sama akang.” Katanya sembari menendang pintu hingga tertutup, kemudian menarikku untuk duduk di sofa.

“Apakah kamu nyaman dengan kehidupanmu yang sekarang ini?” Tanyaku ingin tahu kenapa adikku hidup di lingkungan mafia yang membahayakan dirinya.

“Aku sangat menikmati kehidupanku ... Jangan khawatirkan aku ... Aku bisa menjaga diri ...” Tegasnya tanpa sedikit pun rasa ragu. Dinda menggiringku untuk duduk bersebelahan di atas sofa panjang. “Kang ... Jawab dengan jujur ... Atas alasan apa, akang sampai mau bergabung dengan kami?” Tanya Dinda kemudian.

“Hhhhmm ...” Aku bergumam sambil memikirkan jawaban yang tepat. “Cari uang ...” Jawabku singkat dan cukup logis.

“Akang jangan bohong ... Aku tau kalau akang sedang menyembunyikan sesuatu ...” Dinda terus menatap kedua mataku, seperti mengetahui isi kepalaku.

“Serius ... Aku memang bermaksud mencari uang di sini ...” Aku berusaha bertahan. Rasa-rasanya aku harus berhati-hati dengan adikku ini. Aku berprasangka kalau ia adalah anggota yang sangat loyal pada pimpinannya.

“Bukan karena sakit hati?” Pertanyaan menyelidik terlontar dari mulutnya.

“Sakit hati karena apa? Aku gak masalah dengan komplotan ini ... Aku datang ke sini karena tergiur oleh ajakan Irwan ... Aku ingin seperti dia ... Punya uang banyak dan harta melimpah ...” Kataku seyakin mungkin agar tidak menimbulkan kecurigaan sedikit pun.

“Aku pegang kata-kata akang dan aku percaya dengan kata-kata akang ... Tapi aku berharap akang jangan buat masalah di sini ... Jadilah anggota yang baik ...” Pintanya bersungguh-sungguh. Dengan sangat terpaksa aku tersenyum dan menganggukan kepala. Belum saatnya aku berkonfrontasi dengan adikku, tapi pada saatnya nanti aku akan balikkan semuanya.

“Kalau tidak ada lagi yang dibicarakan ... Bagaimana kalau kita ke bawah ...” Ajakku pada Dinda.

“Sebentar kang ... Ada satu lagi yang akan aku bicarakan ...” Dinda menahan laju tubuhku yang hendak berdiri. Aku pun duduk kembali menghadapnya.

“Ada apa?” Tanyaku penasaran.

“Mulai besok ... Akang bermarkas di sini bersamaku ... Jangan lagi ke kantor Irwan ... Besok ada tugas yang harus kita kerjakan ...” Ujar Dinda.

“Hanya itu?” Tanyaku sembari memijit hidung adikku. Dinda menjawabnya dengan anggukan kecil. “Beres!” Kataku lagi sambil berdiri lalu meninggalkan ruangannya.

Aku harus bisa berdamai dengan situasi yang diluar dugaan seperti saat ini. Memang idealnya seperti itu. Sekarang, aku hanya ingin melihat bagaimana waktu bekerja. Aku hanya ingin melihat bagaimana skenario waktu yang akan membuat alur cerita tersendiri. Namun setelahnya, aku bisa memprediksikan sendiri akhir dari skenario itu. Perlu banyak pertimbangan, aku perlu waktu yang tepat sampai aku menentukan akhir dari petualanganku di tempat ini.

Suasana hingar bingar menyambut, saat kakiku menginjakan lantai satu gedung nightclub. Dalam sekejap, suara musik menderu telinga, lampu berwarna-warni menghentak tubuhku. Selama sepersekian detik aku terpukau. Baru kali ini aku melihat keramaian yang begitu menyenangkan. Di detik berikutnya aku terus bergerak masuk. Pandangan mataku beralih pada lantai dansa, sebuah tempat datar yang lebih rendah beberapa anak tangga dari tempatku sekarang, berbentuk elips dan dibatasi dengan palang besi hitam yang terpasang di setiap sisi lantai tempatku berdiri. Mataku mendapati tubuh-tubuh tertimpa beragam warna cahaya yang terus bergerak dalam keagungan musik. Senyum, gerakan, kebahagiaan, aroma alkohol, musik, tawa, dansa, cahaya, nafsu dan bahkan aroma rokok, semuanya bergabung jadi satu.

Aku kembali memendarkan pandangan, mencari wajah-wajah yang mungkin aku kenal, atau siapapun, siapapun yang sekiranya bisa aku ajak turun ke sana. Tapi tidak, aku malah memutuskan meneruskan langkah menuju sebuah meja panjang yang berada di ujung barat, tempat dimana para bartender meracik minuman pengunjung. Jujur, aku sangat jarang menyentuh tempat seperti ini, apalagi sendirian - tapi sudahlah.

Tak sampai semenit setelahnya, kedua kaki berlapis sepatu hitamku telah berhadapan dengan sang meja kayu. Aku letakkan siku di atas meja, memandang pada kursi logam tinggi yang menunggu setia di sisi kanan. Aku pun duduk di atas kursi dengan alas berbentuk bulat itu. Dengan seulas senyum tipis, aku memanggil sekaligus memesan pada sang bartender, "Wine, please ...!" Aku tak butuh minuman lain yang lebih keras dari itu. Mengakhiri malam dengan hangover dan memulai pagi dengan sakit kepala bukanlah hal yang aku inginkan malam ini.

Segera setelah gelas kaca ramping berisi minuman alkohol itu sampai ke tangan kanan, aku berbalik dan menyandarkan punggung di meja bartender. Pandangan mata kembali ke lantai dansa. Lagi-lagi aku memandangi orang-orang yang tengah tenggelam dalam musik di tempat itu. Hampir semua orang yang tengah menggerakkan tubuhnya di sana berpasang-pasangan. Tak jarang iris mataku ini mendapati beberapa pasang muda-mudi yang terus berdansa dengan sensual, saling merayu satu sama lain lewat gerakan erotis mereka. Ketika aku asik dengan lamunanku, sebuah tangan memegang pundakku. Tentu saja aku reflek menoleh ke arah si pemilik tangan.

“Hai ...!” Kataku agak memekik karena suaraku tak ingin kalah dengan kerasnya suara musik.

“Aku tunggu di lantai dua loh ... Ternyata kamu ada di sini ...” Ucap Rina dengan gaya kemayunya yang sungguh menggemaskan.

“Oh ... Aku kira kalian menungguku di sini?” Tanyaku sembari turun dari tempat duduk tinggiku. “Ayo!” Ajakku pada wanita cantik itu.

Kami pun naik ke lantai dua. Di lantai ini suasananya lebih tenang daripada di lantai satu. Dan kini aku duduk diapit oleh dua wanita seksi. Banyak berkelakar, obrolan pun mengalir dengan natural dan nyaman. Kami bertiga terus berbincang-bincang ringan, dengan ditemani minuman beralkohol cukup tinggi yang telah disediakan.

“Kalau boleh aku tahu ... Kenapa kalian bergabung dengan Hans ...?” Tanyaku pada kedua wanita yang sudah berada dalam rangkulanku.

“Enak aja ... Hidup terjamin ...” Jawab Siska sekenanya.

“Kalau aku sih awalnya coba-coba aja ... Eh, ternyata keterusan ...” Rina berkomentar agak lain.

“Keterusan apa ayo ...? Keterusan enak ya ...?” Candaku mulai memancing pembicaraan ke arah yang aku mau.

“Ihk ... Emangnya enak apa?” Rina pun bereaksi genit.

“Enak dikontolin si Hans kan?” Kataku vulgar.

“Hi hi hi ... Sembarangan kalau ngomong ... Hans mana mau sama kita-kita ... Dia maunya sama ema-ema ...” Siska menyanggah pernyataanku.

“Ha ha ha ...” Kami pun tertawa terbahak-bahak.

Kata demi kata pun terus kami obrolkan sampai pada akhirnya tidak terasa obrolan kami pun mulai masuk ke kata-kata yang berbau sex. Obrolan kami pun semakin lama mulai menjadi-jadi saja. Aku yang masih sadar sepenuhnya mulai melancarkan aksi jahil. Tanganku meraba-raba, menggapai apa pun yang ada di tubuh mereka. Tanganku mulai bergerak ke tubuh depan kedua wanita itu, lalu tanganku bergeser ke tulang rusuk mereka dan berhenti sebelum mencapai payudara mereka. Aku memberinya kesempatan untuk protes sembari mengusap perut mereka dengan lembut menggunakan ibu jari. Mereka rupanya menjawab pertanyaan dalam diamku dengan melengkungan tubuh, dan memintaku untuk lanjut. Aku tidak ragu-ragu lagi menggerakkan tanganku dan memegang payudara mereka, berhenti bergerak sejenak untuk memastikan safe word tidak terucap.

“Bagaimana kalau kita lanjutkan di kamar?” Ucap Rina pelan.

Mungkin di antara kami bertiga, akulah yang paling bersemangat. Tanpa perlu menjawab, aku langsung berdiri dan menarik kedua wanita itu. Mereka pun tertawa lirih melihat tingkahku. Akhirnya kami menaiki tangga menuju lantai tiga dan tak lama kami memasuki sebuah kamar dengan tempat tidur berukuran king size. Kami pun sudah terbalut bara birahi yang menggebu, birahi kami bertiga telah menutup sebagian perasaan-perasaan kami yang lain.

Rina dan Siska berloncatan ke atas kasur. Aku tak langsung mengikuti mereka ke atas kasur. Aku berdiri di pinggir tempat tidur menyaksikan aksi kedua wanita cantik itu. Aku lihat Rina meraih tangan Siska lalu meletakkan tangannya tersebut di selangkangannya, Rina membuka kedua kakinya, dan mengangkat roknya. Tangan Siska lalu ia gerakkan di vaginanya. Siska hanya tersenyum dengan ulah temannya ini, ia pun lalu mengikuti kemauan Rina. Tangannya bergerak perlahan mengelus-elus vagina Rina. Tak lama kemudian Rina pun mulai beraksi, tangan kanannya menyelusup ke dalam pakaian Siska dan menyelinap ke dalam bra Siska. Payudara Siska langsung diremas-remasnya, sementara tangan kirinya mengusap-usap punggung Siska.

“Eeehh ... Ooohhh .… Aaaahh …” Mereka mendesah-desah. Kerlingan nakal pun mengiringi aktivitas mereka di atas kasur. Aku pun segera melucuti pakaian sendiri.

Tangan Siska pun semakin aktif bermain di vagina Rina. Hasrat birahi kedua wanita ini dengan perlahan semakin bangkit, tampak dari permainan mereka yang semakin menjadi. Tak begitu lama, tubuh mereka berdua sudah telanjang, dari posisi duduk sekarang posisi mereka sudah bergulingan di atas ranjang. Siska terbaring mendesah-desah menikmati jilatan-jilatan lidah Rina di vaginanya dan hisapan-hisapan yang mendera kelentitnya. Tubuh Siska menggelinjang menikmati serangan-serangan Rina di vagina dan kelentitnya.

“Oooohhh … Sssshhh … Aaaahhh … Ssshhh ... Aaahhh …. Oooohhh …” Siska mendesah.

“Hhhmmm … Sssllrrppp … Sssllrrppp ... Sssslrrppp ... Sssllrrrppp ...” Suara jilatan Rina pada vagina Siska terdengar begitu jelas.

“Ooohh … Aaaahhh ... Eenaaaakk …” Siska mendesah lagi.

Tak lama kemudian Rina memutar tubuhnya sambil mulutnya tetap bermain di selangkangan Siska. Rina menempatkan bagian selangkangannya tepat di atas muka Siska. Tangan saling meremas tubuh masing-masing, lidah mereka saling menjelajah, mereka saling merangsang, mengoreki vagina, memberi stimulus dan merasakan nikmat seksual dari yang mereka lakukan.

Aku yang melihat pemandangan itu semakin terangsang, penisku semakin mengeras dan siap bertempur. Namun aku masih bersabar menunggu kode dari kedua wanita itu, walaupun hatiku ingin segera memasukkan penisku ke memek-memek itu. Nafasku sudah agak memburu tanda nafsu birahi semakin meninggi. Sementara itu, di ranjang aksi kedua wanita ini semakin menggila. Keduanya saling menghisap dan mengerang silih berganti.

Akhirnya Rina memberi kode kepadaku untuk masuk ke arena pertempuran. Kedatanganku tidak diketahui oleh Siska yang saat itu sibuk menikmati jilatan dan hisapan Rina dan juga sibuk dengan aksi mulutnya di vagina Rina. Dengan pelan-pelan aku naik ke atas ranjang. Aku melihat vagina Siska yang sedang dijilati oleh Rina. Lubang vagina Siska sengaja Rina buka sehingga terlihat jelas kemerahan. Aku melihat dalaman lubang itu berdenyut-denyut, saat Rina menghisap kelentitnya. Dengan perlahan aku menyelipkan kepala penisnya ke lubang tersebut.

“Sleeeppppp ……….!” Kepala penisku terjepit di lubang vagina Siska.

Siska yang merasakan lesakan di lubang kemaluannya tersentak, tapi ia tidak bisa bergerak banyak karena tubuhnya sedang ditindih oleh tubuh Rina. Tubuhnya yang mungil tidak dapat berbuat apa-apa, dan ia tidak mengetahui apa yang mengganjal di lubang kemaluannya itu. Aku mengejan keenakan karena ujung kepala penisku terasa basah dan hangat. Ternyata vagina Siska lumayan menggigit.

“Ooouughhh ...” Lenguh Siska dan semakin keras lenguhannya saat aku mulai meneroboskan penisku ke dalam lubang vagina wanita itu.

Perlahan tapi pasti batang kemaluanku menyeruak lubang vagina Siska, sedikit demi sedikit penisku mulai terbenam dalam lubang memek Siska. Siska memejamkan matanya saat perlahan batang penisku semakin masuk ke dalam lubang nikmatnya. Aku menggeliat saat kurasakan jepitan dinding vaginanya mulai terasa memijat-mijat kemaluanku.

“Bleesssssssss ….!” Dengan sekali hentak aku dorong masuk semua batang kemaluanku sehingga terbenam seluruhnya di dalam lubang kenikmatan Siska.

“Aaaagghhh … Memekmu sempit juga …” Kataku mengerang keenakan merasakan jepitan ketat vagina Siska.

“Oooghhh ... Aaahhh … Hmmmm … Aaaaghhh …” Siska mengerang merasakan penisku yang memenuhi rongga kewanitaannya. Aku mendiamkan penisku dalam jepitan vagina Siska. Sementara itu, Rina mulai kembali menjilati kelentit temannya.

“Ooohhh …. Ssshhh …. Ooohhh …. Sshhhh ….” Erangan Siska terdengar lagi.

Aku sendiri merasakan memek Siska berdenyut-denyut, seolah meremas-remas penisku dengan lembut. Dengan tidak menunggu lebih lama lagi, aku mulai mengeluar masukkan penisku di lubang vagina Siska. Pinggul Siska pun mengikuti pergerakan penisku yang keluar masuk dalam jepitan kemaluannya.

Sssrtttt …. Bleeessss …. Srrttttt …. Bleeeesss …. Sssrrttt …. Bleeessss …..

Rina yang masih asyik menjilati kelentit Siska, melihat bagaimana kejantananku keluar masuk di vagina Siska dengan perlahan, dan ia pun pasti mendengar suara desahan keenakan dari temannya itu. Rina kemudian bangkit dari posisinya, ia pun berbaring di samping Siska, sambil tangannya bermain di payudara Siska. Kedua buah dada Siska silih berganti ia remas-remas dan ia hisap-hisap. Jilatannya bermain di kedua putingnya, gigitan-gigitan lembut ia lakukan juga di kedua puting tersebut. Akibatnya erangan dan desahan nikmat Siska semakin kerap terdengar. Siska tampak keenakan, matanya kadang terpejam kadang mendelik, mulutnya mendesah dan mengerang.

“Ooouughh …. Eeenaaakk … Aaaaghhh …. Sssshhh ... Yaaaaaahhh ….” Siska mendesah keenakan.

Nampak kepala Siska bergoyang ke kiri dan ke kanan, kadang-kadang terangkat saat lesakan penisku masuk lebih dalam di lubang vaginanya. Lenguhan dan desahannya semakin sering terdengar, gairah birahinya seperti terlampiaskan malam ini. Gejolak birahinya meledak-ledak menikmati sodokan-sodokan penisku. Setelah kugenjot surang lebih sepuluh menit, aku rasakan puncak pendakian birahi wanita ini akan segera tercapai.

“Ooohhh …. Terussss …. Genjot memekkkuuu … yang cepaaatt … Yaaah … Beegitttuuu … Aaaakuuuu … Oooghhhh … mmmau..kheluuarrrrr… Oooohh......!!!” Siska mengerang sejadi-jadinya merasakan nikmatnya digenjot olehku.

Mendengar erangan Siska, aku semakin mempercepat keluar masuk Penisku di dalam lubang vaginanya, dan saat aku merasakan kedutan kuat di batang kemaluan, aku pun menekan penisku sekuat-kuatnya ke dalam lubang kenikmatan Siska. Dan akhirnya ...

“Sssssrrrrrrr …. Sssrrrrr ……. Sssrrrrrrr ….. Sssssrrrrrr ……” Lubang vagina Siska menyemburkan lahar kenikmatannya banyak sekali. Terasa batang penisku tersiram cairan hangat di dalam sana.

“Ooouugghhh … Eeenaaaakkk ….. Nikkmaaattt …. Aaaaaccchhh ...!” Siska mengerang keenakan saat puncak birahinya berhasil ia capai. Aku mendiamkan sejenak Penisku dalam lubang vagina Siska untuk memberi kesempatan kepada wanita itu menikmati puncak kenikmatan yang diraihnya. Dan aku merasakan memek Siska berkedut-kedut dengan kuat seiring dengan menyemburnya cairan kenikmatannya.

Beberap detik berselang, aku cabut penisku dari liang senggama Siska. Aku beralih pada Rina yang sudah terlentang dengan kedua paha dibuka selebar-lebarnya, ia memintaku untuk segera memasukkan senjataku ke dalam vaginanya. Aku mengambil ancang-ancang untuk memasukkan batang kemaluanku ke dalam vaginanya yang sudah basah. Secara perlahanlahan, aku membenamkan rudalku sedalam-dalamnya, hingga akhirnya seluruh batang kemaluanku amblas ke dalam vaginanya. Beberapa saat kemudian, Rina sudah mulai terbiasa dengan penisku, malah ia mulai memutar pinggulnya, sehingga semakin menambah kenikmatan pergumulan kami.

“Oh .. oh … ya ... ya … ya … oh … ya ...” Mulutnya mulai mengeluarkan kata-kata yang tidak kumengerti maksudnya.

Aku semakin bersemangat untuk memainkan senjataku dengan cepat. Permainanku diimbangi Rina dengan menjepit pantatku dengan kedua kakinya. Aku merasakan senjataku semakin mentok saja mengenai ujung rahimnya. Penisku berkali-kali menghujam vagina Rina membuat wajah Rina semakin terlihat ayu menahan kenikmatan dari penisku. Sampai belasan menit berlalu dengan posisi itu, akhirnya kurasakan tubuh Rina mengejang sesaat dan terasa pula denyutan kontraksi otot vaginanya pada batang penisku yang masih tegang. "Ouhhss.. eehgghh," Rina rupanya sudah sampai orgasme, tubuhnya semakin tegang dan pinggulnya mendesak naik seperti ingin terus merasakan sensasi orgasmenya.

Tak lama, aku menjamah Siska yang tampak sudah siap kembali. Sejenak aku meremas-remas dan menjilati serta menghisap puting susunya secara bergantian. Setelah birahinya terkumpul, kami melanjutkan kembali dengan lebih menggebu-gebu. Kami berganti posisi dengan cara sambil duduk. Siska semakin terlena, karena posisi tersebut membuat penisku semakin bergesekan dengan klitorisnya, sehingga hal itu membuat Siska semakin terbakar birahinya.

Siska menggerakkan pinggulnya yang montok ke atas ke bawah, dan memutarnya ke kiri dan ke kanan. Sedangkan tanganku terus meremas-remas sepasang payudara yang lumayan besar dan kencang. Siska dengan sangat bernafsu menekan pantatnya kuat-kuat, sehingga penisku seluruhnya amblas ditelan vaginanya. Kali ini Siska yang memegang peranan, aku menurutinya saja, karena kulihat dengan posisinya yang di atas ia sangat bergairah sekali. Aku lumat puting susunya, perbuatanku semakin membuat Siska mabuk kepayang. Ia memeluk kepalaku ke arah payudaranya. Pantatnya semakin cepat ditarik dan diputar-putar. Hingga akhirnya ia mencapai orgasme yang kedua kalinya dan terkulai lemas memeluk tubuhku.

Tak berselang lama, aku beralih lagi pada Rina. Aku yang belum mencapai klimaks membuat keputusan berganti posisi dengan dogie style. Rina mengambil posisi menungging, kemudian kuarahkan senjataku ke vaginanya lewat belakang. Aku sangat bernafsu sekali melihat pantatnya yang lebar dan sexy. Tangan kananku memegang dan menepuk-nepuk pantatnya, sedangkan tangan kiriku meremas-remas payudaranya. Gerakan tersebut kulakukan secara bergantian. Ternyata posisi tersebut membuat Rina kembali bergairah.

Kali ini Rina mulai memberikan perlawanan. Ia menggoyang-goyangkan pantatnya maju mundur berlawanan dengan arah goyangan pantatku. Ketika Aku mendorong pantatku ia menyodorkan pantatnya ke belakang, dan ketika aku menarik pantatku ke belakang ia menarik pantatnya ke depan. Irama nafas kami semakin cepat, kami melakukan goyangan dengan cepat, sehingga setiap kali kucabut dan menyodok vaginya dengan penisku timbul bunyi akibat vagina Rina yang banjir oleh lendir birahinya. Beberapa menit kemudian, aku merasakan gerakan Rina yang bergoyang-goyang pelan dan tegang, sedangkan punggungnya terlihat melengkung karena ia mengalami orgasme. Pada saat yang bersamaan, aku pun merasa aliran darahku mengumpul di bagian pangkal penisku, dan segera kucabut penisku dari vaginanya ‘croot … croot ..., croot ...,’ kumuntahkan spermaku di luar vagina Rina sementara tubuh tegangku mendekap erat tubuh Rina.

Setelah kenikmatan itu mereda, aku rebahkan tubuhku telentang di atas kasur, sedangkan Siska dan Rina merangkak menempatkan tubuh mereka di samping kiri dan kananku. Kami berpelukan sambil menghayati kenikmatan yang barusan kami lakukan.

“Selain tampan, kamu pintar membahagiakan wanita di atas ranjang.” Kata Rina sambil mempermainkan bulu-bulu di dadaku.

“Kamu menikmatinya, Rin?” Tanyaku sambil membelai rambutnya.

“Iya ... Bahkan aku pengen lagi ...” Katanya manja.

Malam itu kami lanjutkan persetubuhan ini. Berkali-kali kuantar Siska dan Rina ke puncak kenikmatannya. Kedua wanita itu mengakui permainan seks-ku membuat mereka ketagihan, tak pernah mereka merasakan orgasme sedahsyat yang aku berikan pada mereka. Permainan kami semakin lama bertambah panas, karena ternyata keduanya mulai ketagihan dengan keperkasaanku di atas ranjang. Dan akhirnya, kami terus melakukannya. Malam ini, aku buat Siska dan Rina merasakan pengalaman yang tidak akan pernah mereka lupakan.​

-----ooo-----

Author Pov

Dinda menatap layar komputernya dengan serius bahkan jarang sekali berkedip dengan nafasnya yang terasa berat akibat menahan hasrat kewanitaannya. Wanita itu sedang menyaksikan adegan ranjang yang dipentaskan oleh Denta bersama kedua anak buahnya. Ternyata, tanpa sepengetahuan ketiga orang yang terbuai oleh nafsu hewani mereka, kamar yang mereka pakai terpasang kamera pengintai dan hanya Dinda yang mengetahuinya.

Dinda merasa kagum dengan keperkasaan yang dimiliki oleh kakaknya. Sudah lewat tiga jam kakaknya belum mau berhenti menggagahi kedua partnernya itu. Dengan mata bergairah, dipandanginya setiap adegan yang terpampang di layar komputernya. Tanpa disadari, Dinda sangat mengagumi tubuh Denta yang coklat kehitaman, tidak seperti tubuhnya yang baginya terlalu putih. Terlebih saat melihat kokohnya kejantanan Denta yang gagah perkasa mampu menaklukan Siska dan Rina. Sebuah denyut birahi terasa di kewanitaannya setiap kali Dinda memandang tubuh lelaki itu.​

-----ooo-----

Denta Pov

Perlahan aku membuka mata, mulai terlihat walau agak samar sebuah langit-langit yang berwarna putih. Kemudian aku mulai merasakan hawa sejuk semilir angin yang berasal dari sebuah jendela berukuran sedang. Mataku mengitari seluruh ruangan dan tak nampak lagi kedua wanita yang menemaniku semalam. Kurenggangkan otot-otot tubuhku sejenak berusaha mengumpulkan seluruh tenaga yang ada. Tepat saat itu seekor burung dara singgah pada tiang balkon, kepalanya menggeleng sedikit sembari menatapku. Kami saling berpandangan sesaat sebelum akhirnya burung itu kembali terbang pergi, “perkenalan yang cukup singkat,” kekehku pelan.

“Sudah bangun?” Tiba-tiba Dinda muncul di pintu kamar membawa setumpuk pakaian bersih. Adikku meletakkan pakaian itu di meja samping tempat tidur, lalu ia duduk di pinggir ranjang sambil menatapku dan tersenyum. “Aku harap akang gak kehabisan tenaga untuk tugas hari ini gara-gara semalam.” Adikku mengulum senyumnya penuh arti.

“Ah ... Aku malah merasa segar dan bersemangat ...” Kataku sambil mengambil celana dalamku lalu memakainya di depan Dinda. “Ini pakaian untukku?” Tanyaku kemudian sambil menunjuk pakaian yang baru saja dibawa Dinda.

“Iya ... Cepatlah bersiap-siap ... Kita akan hunting seseorang ...” Ucap Dinda sembari bergerak meninggalkan kamar.

Secepatnya aku berjalan ke kamar mandi dan menikmati dinginnya air yang sudah berada di atas 09.00 pagi. Singkat cerita, setelah selesai mandi dan berpakaian, aku langsung menuju ruang adikku. Dinda menggumam sendiri sambil mengamati selembar foto yang sepertinya sengaja ia buat besar. Ia pun menoleh ke arahku yang baru saja masuk ke ruangannya lalu memperlihatkan foto tersebut padaku.

“Orang ini yang akan kita cari ...” Katanya sesaat setelah aku berdiri di sampingnya. Aku melihat sebuah wajah orang bule dengan kepala yang hampir tak berambut. “Namanya Schwerin von Krosigk ... Dia adalah ahli peracik narkotika yang paling dicari oleh gembong-gembong mafia ... Termasuk Hans ...” Jelasnya lumayan dapat dimengerti.

“Ayo ... Kita cari sekarang ...!” Kataku tanpa mau banyak bertanya lagi.

Aku mendahului Dinda melangkah keluar ruangannya. Dinda pun menyusulku tak lama kemudian. Kami berjalan berdampingan keluar gedung nightclub yang ternyata Dinda lah pemiliknya. Tak lama, kami sudah berada di jalanan ibukota yang selalu padat. Dinda menyuruhku mengarahkan mobil ke sebuah wilayah yang dikenal dengan Kota Cina. Tak memakan waktu lama, karena jarak yang tak begitu jauh, kami pun sampai di sebuah perkampungan yang mayoritas penghuninya adalah keturunan tionghoa.

“Kita akan menemui informan handal tapi sulit dan berbahaya ... Namanya Bao-yu ... Akang harus hati-hati dan harus bisa menahan emosi ...” Aku diberi nasehat oleh adikku setelah kami keluar dari mobil.

Sekarang ini, kami berjalan mendekati sebuah restoran cina dan memasukinya. Cukup ramai suasana di dalam restoran, tiba-tiba saja Dinda melangkah ke ujung restoran, aku pun mengekor di belakangnya. Di sana terlihat seorang pria bermata sipit sedang duduk menikmati semangkok mie. Wajah pria itu sangat dingin dan penampilannya benar-benar jauh dari kesan baik. Aura mencekam terasa sangat tajam melalui matanya yang gelap.

“Siang koh ...” Dinda langsung menyapa si pria sipit tersebut sambil duduk di kursi depan mejanya. Pria itu tak menanggapi, ia terus saja menikmati mie-nya. “Aku memerlukan bantuan enkoh ...” Lanjut Dinda tenang.

“Menyingkir ...! Sana ...!” Hardik Bao-yu. Ekspresinya tampak mengungkapkan ketidaksenangannya dan itu bertambah.

“Hi hi hi ... Aku gak bakalan pergi kalau koh belum menjawab pertanyaanku ...” Ucap Dinda sembari mengeluarkan foto dari balik jaketnya lalu meletakkan foto itu di atas meja. Bao-yu hanya meliriknya sebentar dan ia melanjutkan makannya. Suasana sejenak hening.

“Kalian lebih baik menyingkir dari hadapanku ... Aku tidak punya informasi apapun tentang orang itu ...” Ucap Bao-yu setelah menghabiskan makanannya.

“Berapa pun akan aku bayar dengan informasi ini.” Ucap Dinda masih dengan sangat tenang. Diam-diam aku memuji keberanian adikku ini.

“Kalian memang menyebalkan ... Enyah dari sini, sebelum pistolku membelah kepalamu ...!” Suara Bao-yu menggeram pertanda ia benar-benar marah.

Melihat gelagat yang kurang baik, langsung saja aku geser cincin ajaibku ke telapak tangan lalu menekan batu cincin dengan jempolku sangat kuat. Aku gunakan kekuatanku agar usaha kami tidak sia-sia.

“Koh ...!” Kataku agak kuat dengan suara yang ditekan. Saat wajah pria sipit itu menatapku, terasa cincin menghangat yang berarti pria itu sudah berada dalam penguasanku. “Jawab dengan jujur ... Di mana kami bisa menemui orang yang ada di foto itu?” Aku bertanya dengan kata-kata ajaibku.

“Hhhhmm ... Dia ada di Bali ... Menginap di sebuah resort yang bernama Kemayan ... Daerah Kuta ...” Jawabnya meluncur begitu saja dari mulutnya. Seketika itu juga, Dinda tersenyum lalu berdiri dan meninggalkan kami berdua.

“Setelah sepuluh menit dari sekarang ... Kamu lupa dengan kedatangan kami ... Dan lupa kalau kamu telah memberikan informasi tentang orang ini pada kami ... Paham ...!” Kataku agak pelan sambil mengambil foto di atas meja. Bao-yu pun menganggukkan kepala.

Aku segera meninggalkan pria sipit itu dan menggeser kembali cincinku pada posisi semula. Aku hampiri Dinda yang telah menunggu di mobil. Setelah membuka pintu otomatis mobil, kami pun masuk ke dalamnya. Segera saja aku lajukan kendaraanku kembali ke ‘kantor’ Dinda. Dari ujung mataku, aku bisa melihat Dinda yang menatapku serius dengan raut wajah heran. Membuat alis mataku mengkerut melihatnya.

“Jangan melihatku seperti itu.” Aku tegur Dinda karena aku menjadi salah tingkah.

“Kekuatan akang memang luar biasa ...” Kata Dinda yang sukses membuatku terhenyak.

“Aku gak punya kekuatan apa-apa ...” Aku coba menyanggah.

“Gak usah berbohong padaku, kang ... Aku tau apa yang akang punya ...” Katanya sangat yakin.

Aku langsung mati kutu dan diam seperti laki-laki terbodoh di dunia. Aku memilih untuk mundur atau mengalah daripada melanjutkan perdebatan. Sebenarnya aku tidak yakin kalau Dinda mengetahui kemampuan hipnotisku, namun kalau aku melayaninya berdebat sangat dipastikan sesuatu yang selama aku sembunyikan akan diketahuinya. Biarlah, aku akan membiarkan ini mengambang. Dan sesungguhnya aku merasa tidak keberatan kalaupun Dinda mengetahui kemampuan hipnotisku.

Bersambung

WARNING: Typo ada dimana-mana. Maaf tidak diedit lagi.

Sambungannya ada di sini ...
 
Terakhir diubah:
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd