Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Terima kasih pada para suhu sekalian sudah mau membaca dan me-react tulisan Nubi.

Namun, Nubi minta maaf, karena untuk minggu ini mungkin belum ada update. Sedang sibuk-sibuknya di RL, plus ada beberapa project non-semprot Nubi yang harus dilanjutkan. Karena itu, mungkin akan baru diupdate minggu depan.

Terima kasih atas pengertian para suhu semua, ya.
sebelum2nya thread juga alasannya sama dan ujung2nyavilang
mending lu bilang " update 1 bulan sekali": gak usah gengsi
 
Chapter 6 - Perbandingan

Sudah beberapa kali aku bertemu dengan Chris. Diawali dengan makan siang bersama, lalu kembali ke apartemen Chris, dan menghabiskan waktu dari siang hingga malam dengan sex. Setelahnya, kadang kami menyempatkan untuk makan malam bersama sebelum dia mengantarku kembali ke mobilku yang terparkir di mall tempat kami janjian.

Kegiatan sex kami pun juga sangat panas. Entah bagaimana, Chris bisa mendapatkan banyak sekali lingerie dan kostum yang sangat sensual. Dengan ukuran yang pas sesuai dengan tubuhku. Aku tidak ambil pusing, kunikmati saja hubungan terlarang ini dengannya. Setiap kali aku diberikan puncak kenikmatan dengannya, dan setiap kali dia menumpahkan benihnya ke dalam rahimku. Memang, Chris tidak pernah menyiapkan kondom setiap kali kami bercinta, dan aku tidak bisa menolak. Bukan, aku tidak menolak. Ada perasaan senang setiap kali aku menyambut kehangatannya.

Aku tetap menjaga hubunganku dengan Malvin. Namun, entah kenapa itu lebih seperti sebuah kewajiban. Sex dengannya hanyalah seperti tanggung jawab, sebuah tugas bagiku untuk memuaskan Malvin yang telah kukhianati. Tapi melakukan hubungan intim dengan dua lelaki berbeda hanya membuatku membandingkan Chris dan Malvin. Sangat berbeda. Dari perasaanku ke mereka berdua, bagaimana perasaan keduanya kepadaku, fisik, materi, dan bahkan kemampuan sex.

Aku tahu bahwa ini tidak boleh, tapi aku tidak punya pilihan. Itulah alasanku untuk tetap berhubungan dengan Chris, karena aku tahu, dia bisa saja membuat bisnis milik Malvin bermasalah. Mengetahui hal itu, aku tidak mungkin menyusahkan Malvin, karena dia adalah calon suamiku.

Seperti hari ini. Setelah kami selesai ibadah mingguan, aku dan Malvin sempat berjalan-jalan menikmati hari libur. Berpacaran, makan siang bersama, dan berjalan mencuci mata di mall, menikmati masa muda yang sebentar lagi akan berlalu. Malvin terlihat menikmatinya, namun aku tidak sesenang dia, tidak lebih senang ketika aku bertemu dengan Chris setiap minggunya.

Selesai kencan, Malvin membawaku ke rumahnya. Kelihatannya dia ingin menagih bercinta denganku lagi. Aku melihat isi tasku, memastikan bahwa persediaan obat kontrasepsi milikku ada di dalamnya. Setelah semakin sering menerima benih-benih cinta dan cairan sperma milik Chris dan Malvin, aku memang selalu membawa itu setiap kali bertemu dengan salah satu dari mereka berdua.

Seperti hari ini. Aku bahkan belum sempat duduk di sofa ketika tiba-tiba, dengan sedikit kasar, Malvin memelukku dari belakang, dan meremas payudaraku dengan sedikit keras dari luar dress tebal berwarna biruku. Aku memang suka sekali dengan seks yang sedikit kasar (seperti yang dilakukan Chris), namun tetap saja untuk intro dan foreplay, sebagai wanita aku ingin diperlakukan penuh cinta dan membangun mood. Aku hanya menahan saja diperlakukan seperti ini.

Malvin memelukku semakin keras. Remasannya membuat payudaraku sedikit tidak nyaman tertekan oleh bra-ku. “Ko, jangan di sini, ke kamar saja”, bujukku. Malvin melepas pelukannya, dan dengan tersenyum mesum, segera berjalan ke kamarnya dan membuka pintunya, tidak sabar mempersilakanku masuk. Aku berjalan saja, memasrahkan diriku untuk dinikmati oleh Malvin.

Aku duduk di kasur. Dengan perlahan, aku menurunkan resleting dressku di belakang, menampakan punggungku yang mulus, terbalut tali bra yang sewarna dengan dressku. Perlahan, aku berdiri, sehingga dress itu turun jatuh ke lantai, menampakkan tubuhku yang sekarang hanya berlapiskan bra biru dan celana dalam kain putih. Kedua kain itu juga aku lepaskan, sehingga kini aku telanjang bulat.

Malvin juga telah melepaskan seluruh pakaiannya. Tampak penisnya tegak, mengacung dengan sedikit lemah. Tidak seperti kontol Chris. Memang setelah berkali-kali bercinta dengannya, aku mau tidak mau jadi sering membandingkan mereka berdua. Perbedaan mereka dalam memperlakukanku, bagaimana mereka merangsangku untuk bercinta, dan kemampuan mereka dalam memuaskanku.

Malvin menarikku untuk memeluknya. Kami berciuman, bibir dan lidahnya tidak sabaran menjelajahi bibirku. Tangannya kembali meremas payudaraku dengan penuh nafsu, namun sedikit tidak peduli denganku. Dia menidurkanku, lalu menindihku. Mulutnya turun, mencumbu puting payudaraku yang masih bersembunyi. “Rene”, kata Malvin. “Kamu yakin puting kamu tidak kenapa-kenapa?”, tanyanya, namun masih sibuk menjilati dan mengemut payudaraku. “Iya, Ko, tidak kenapa-kenapa, cuma kurang sensitif saja”, kataku. Aku tentu saja tidak akan berkata bahwa Malvin tidak cukup merangsangku, meskipun dia berusaha.

Sembari mencoba memainkan payudaraku, jemari Malvin turun, mengelus bibir vaginaku. Setelah merasakan bahwa liang kewanitaanku melembap, jarinya masuk perlahan, sembari jempolnya mengelus pelan klitorisku. Membuatnya semakin basah. Tapi, tidak adanya ekspektasi bagiku untuk dipuaskan. Tubuhku hanya siap untuk berhubungan intim, namun tidak membangkitkan gairahku seperti dengan Chris.

“Ko, masukkin”, kataku, dengan suara seolah-olah sudah sangat terangsang, untuk membuat ini cepat selesai. Jujur saja, semakin ke sini, aku merasa bahwa Malvin semakin egois. Baik dalam kehidupan sehari-hari, maupun ketika kami berhubungan intim. Mungkin hanya perasaanku saja, karena aku membandingkan diri Malvin dengan apa yang Chris lakukan kepadaku. Ini memang tidak boleh, tetapi tetap saja, wanita manapun pasti akan memilih Chris sekarang, yang unggul segalanya. Baik dari materi, sikap, dan afeksinya. Meskipun berbeda keturunan.

Malvin kembali naik, menindihku. Kedua tangannya bertumpu di samping kepalaku, sementara aku memegang penisnya, mengarahkannya ke lubang surgawiku. Dia mulai mendorong pinggulnya, memasukkan batang kelaki-lakiannya itu, sampai kurasakan batang penisnya masuk semua. Tapi tanpa bisa membuat liang vaginaku terasa penuh, ataupun menggesek bagian sensitifku.

Dia langsung menggoyang cepat pinggulnya, memajumundurkan penisnya dengan cepat. Efeknya sedikit terasa, aku mendesah lebih keras agar Malvin tenggelam dalam nafsunya, dan cepat selesai. Tidak butuh waktu yang lama, sebelum dia mengerang dan mengeluarkan cairan maninya di dalam vaginaku. Dia sempat terjatuh menindihku, kuelus pelan-pelan kepalanya sembari kurasakan penisnya mengecil dan lepas dari tubuhku. Tidak ada pillow talk, dia hanya berbaring kelelahan sementara aku bangun ke kamar mandi untuk membersihkan tubuhku.

Sisa waktu itu hanya digunakan kami untuk nonton TV kembali, sementara aku membaca tulisan-tulisan yang kubuka di ponselku.

***
“Ah, Chris, terus”, erangku di sela-sela mengocok dan mengemut kontol Chris. Saat ini, pakaian yang kukenakan sudah berantakan. Sebuah mini cheongsam, dengan kancing depan terbuka menunjukkan payudara kencang dengan puting yang sudah tegang, dan rok terbelahnya yang sudah tersingkap. Aku dan Chris saling memberikan oral sex satu sama lain dengan posisi 69, dengan aku yang berada di atas.

Seperti biasa, setelah makan siang di luar, kami berdua kembali ke apartemen milik Chris. Selama perjalanan, aku dan dia bercakap-cakap. Kami berdua rasanya mulai kembali dekat, meskipun hubungan ini terasa awkward. Begitu juga di apartemennya, setelah berganti “kostum” menjadi pakaian yang dipilih Chris (aku sudah tidak canggung lagi memakai pakaian kurang bahan di depannya), kami duduk bersebelahan di sofa dan mengobrol lagi. Chris mendengarku berkeluh kesah dengan beberapa hal, termasuk yang pribadi. Terkadang juga sembari memberikan saran yang cukup masuk akal. Entah kapan kami mulai berciuman, dan bercumbu di atas ranjang.

Memekku terasa geli dan enak. Setiap kali aku merasa terlalu keenakan akibat jemari dan jilatan Chris, kucoba kuangkat bagian bawah tubuhku, namun tertahan oleh pegangan tangannya. Aku hanya pasrah menikmati perlakuan lidah Chris pada memekku yang sudah basah ini, sambil mencoba untuk membalas perbuatannya dengan melayani kontol besar yang mengacung tegang di depanku ini. Semakin aku merasa enak, semakin aku liar menservis batang kontol Chris, yang dibalas dengan jilatan dan elusan liar di liang memekku. Lingkaran kenikmatan yang sebentar lagi akan membawaku ke puncak.

“Chris, jangan terusin, ah… aku nggak mau nyampe pakai oral….. pakai kontol kamu aja plis”, mohonku yang sudah terangsang hebat. Aku sudah tidak bisa fokus menyepong kontolnya (sebuah kata baru yang aku pelajari dari Chris), hanya mendesah dan mengerang keras. Setengah berteriak. Chris bukannya berhenti, malah menjadi semakin liar menjilat memekku itu. Aku berteriak keras, tidak dapat menahan suaraku. Sudah tidak peduli lagi, akupun menyambut orgasme hanya dari jilmek saja. Kutekan selangkanganku ke muka Chris, sambil pahaku menjepit kepalanya.

Aku lemas, mencoba untuk berbaring di sebelah Chris. Lengannya menjadi bantal sandaran untuk kepalaku, sedangkan tangan satunya lagi mengelus-elus kepalaku dengan mesra. Badanku penuh keringat, meskipun kami bahkan belum memulai permainan yang sebenarnya. Tapi ketika pahaku tidak sengaja menggesek kontol Chris, memekku kembali berdenyut, seakan kurang puas jika tidak dimasukkan batang perkasa itu.

Tanganku turun membelai kontolnya. Batang yang basah karena kusepong tadi berdenyut. Chris tersenyum, mengecup keningku lalu kembali menikmati kocokan tanganku. Aku juga merasa nakal, pandanganku mengerling menatapnya penuh gairah. Tanganku kubasahi dengan cairan pre-cumnya yang keluar, kujilat cairan itu dari tanganku, lalu kembali memberikan handjob. Chris tersenyum, namun kulihat ekspresinya sedikit gelisah. Aku yakin, dia tidak sabar untuk menyetubuhiku, namun tidak mau memaksaku. Padahal jika kontolnya sudah masuk ke dalam memekku, aku yakin dia akan menjadi liar dan membawaku ke puncak.

Aku kembali tersenyum, lalu bangkit menaiki Chris lagi. Kali ini aku arahkan kontolnya ke lubang memekku yang sudah basah. Kepala kontolnya menyeruak masuk, perlahan mengisi memekku sampai terasa penuh. Sampai memekku terasa mentok, sebuah perasaan yang kurindukan. Kugoyangkan pinggulku dengan pelan, perlahan mengisi lagi kenikmatan untukku dan Chris.

Chris tidak hanya diam. Tangannya ikut meremas payudaraku dan memainkan putingku, membuatku semakin bernafsu. Kupercepat goyanganku, membuat kepala kontol Chris menabrak pintu rahimku dan menggesek area sensitifku. Desahan dan erangan keluar dari mulut kami berdua. Wajah Chris sangat puas, melihat bahwa dirinya bisa berhubungan seks dengan seorang wanita chinese yang masih mengenakan cheongsam. Dan tanpa (sedikit) rasa paksaan, wanita itu menggoyang pinggulnya untuk memuaskan batang kontolnya.

Chris juga bangun, sehingga kini aku dipangkuannya. Tangan satunya memegang dan meremas bokongku, sembari membantu menaikturunkan badanku. Selain itu, payudara dan putingku juga dirangsangnya dengan jari-jemarinya. Terakhir, bibir dan lidahnya mengunci bibirku, membuat erangan kami berdua tertahan. Permainan kami semakin liar, aku bisa merasakan bahwa kami berdua akan mencapai puncak kenikmatan.

“AH, CHRIS, TERUS, FUCK, KONTOL KAMU ENAK BANGET”, erangan keras yang binal keluar dari mulutku yang kemudian kembali dicium liar oleh Chris. Kedua tangannya kini memegang pinggang dan bokongku, membantu ku bergoyang menikmati kontolnya. Chris juga ikut membantu menusuk dari bawah, membuatku blingsatan, dan hanya beberapa detik setelah itu, “AHHH, CHRIS, SAYANG, AKU SAMPE!”, erangku setengah berteriak. Liang memeku berdenyut keras, dan kurasakan rahimku menghangat mengeluarkan cairan orgasme. Kontol Chris yang dipijat oleh memekku yang masih menikmati orgasme juga mulai berkedut. “LING SAYANG, AKU JUGA SAMPE!”, erangnya perlahan. Kepala kontolnya menabrak pintu rahimku, dan cairan cinta yang hangat milik Chris tersembur masuk ke dalamnya, membuatku kembali mengalami orgasme kecil. Kami mengatur nafas sejenak, sebelum berciuman mesra tanpa gairah, dan perlahan aku lepaskan kontolnya dari liang vaginaku dan kembali berbaring di sebelah Chris. Kami berdua masih berada di awang-awang, menikmati sisa orgasme dari hubungan intim yang kami lakukan.

Pillow talk kami juga mulai terbuka satu sama lain, meskipun lebih ke arah aku yang komplain masalah-masalah pribadi, dan Chris kerap memuji dan mengatakan bahwa dia mencintaiku. Hatiku mulai terbuka untuk Chris, dan aku seperti mempersilahkan dia untuk masuk kembali. Tidak apa-apa, Ling, ini demi keluargaku dan Malvin juga, batinku selalu membela Chris. Selama aku tidak mengucapkan kata cinta kepada Chris, atau memutuskan hubungan dengan Malvin, aku masih setia, bukan?

Aku sendiri menyadari, setiap kali aku berbicara mengenai keluargaku, atau tentang Malvin, ekspresi Chris menjadi sedikit dingin. Namun, dia tetap mendengarkanku, dan terkadang bertanya-tanya mengenai mereka, sehingga aku kadang mendapat konflik, apakah aku boleh menceritakan hal-hal itu. Tetapi Chris sendiri yang terkadang bertanya soal mereka. Aku bisa merasakan sedikit rasa benci, tidak, lebih ke rasa cemburu mungkin.

Kami kembali berhubungan intim sekali lagi sebelum Chris mengajakku makan malam bersama dan mengantarku kembali.

***
Sudah sekitar 2 atau 3 bulan semenjak aku “berselingkuh” dengan Chris. Bisnis Malvin kini menjadi semakin maju, dengan bantuan dari investor dan beberapa partner, yang aku tahu kebanyakan adalah bantuan dari Chris. Malvin menjadi semakin sibuk, dan suka uring-uringan juga mengurusi masalah-masalah yang ada di dalam perusahannya. Apalagi di masa kritis seperti ini, ketika sedang menyiapkan pijakan untuk bisnisnya melompat tinggi. Semakin sering dia mengajakku keluar hanya untuk seks saja, tanpa ada kencan atau apapun. Bahkan terkadang tidak peduli bahwa aku sedang lelah juga sehabis bekerja di klinik, atau ketika aku sedang tidak mood. Seolah-olah aku sebagai tunangannya hanyalah alat penampung sperma saja, membuatku sedikit muak dan jengkel. Padahal aku juga ingin diperhatikan, dan sesekali mendengar keluh kesahnya sebagai pasangan. Yang sekarang digantikan oleh Chris.

Terakhir kami bertemu, Malvin juga memberi kabar bahwa dia harus berpergian selama dua minggu, mengelilingi Jawa dan sekitarnya untuk membantu tender ke beberapa klien luar kota, sekaligus jika memungkinkan, mencari tempat untuk kantor kedua. Para investor langsung meminta ke Malvin untuk ikut serta langsung, untuk menunjukkan “ketulusan dan kesungguhan” kepada para calon klien.

Malvin sendiri mengatur jadwal, agar kota terakhir yang dikunjunginya dalam perjalanan bisnis ini, adalah kota tempat keluarganya tinggal. Dia juga mengajakku untuk menemaninya, namun aku menolaknya. Selain karena aku tidak mungkin meninggalkan klinikku selama itu, aku juga tidak ingin tidak bertemu dengan Chris dalam waktu yang lama. Seolah hatiku sudah lupa siapa pasanganku yang sebenarnya. Tapi aku berjanji, aku akan menyusul Malvin ketika dia berkunjung ke kota orangtuanya.

Entah apa yang akan terjadi selama beberapa hari tanpa Malvin ini. Aku merasa cemas, namun entah kenapa hati dan tubuhku berkata lain...
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
User di-banned, maka konten otomatis dihapus.
User is banned, content is deleted automatically.
 
Siap, suhu semua, thank you atas respon positifnya ya!

sebelum2nya thread juga alasannya sama dan ujung2nyavilang
mending lu bilang " update 1 bulan sekali": gak usah gengsi
Noted, Hu.

makasih update :ampun:
marvin kurang jago :p
Lebih ke ngga sabaran, sama lawannya Chris sih ya. Irene juga ekspektasinya tinggi karena pertamanya keenakan dengan Chris, hahaha.

inspirasinya dari mana?
Kebetulan Nubi kadang suka liat beberapa video genre NTR atau hitam putih, Hu. Plus gara-gara mantan dulu, sekarang Nubi sukanya sama yang Asian gitu.
 
Bimabet
Chapter 7 - Getaran Kenikmatan

Hari ini, aku sengaja tidak praktek. Aku mengantar Malvin ke bandara untuk perjalanan bisnisnya. Sedikit sekali rasa rindu ketika mengetahui bahwa aku tidak akan bertemu tunanganku selama lebih dari dua minggu. Aku menemaninya makan siang dan menunggu di bagian luar bandar udara. Kami berciuman kecil sebelum Malvin masuk ke gate untuk segera boarding. “Sampai jumpa ya Rene, telpon saja kalau kangen”, kata Malvin, yang kujawab dengan anggukan kecil yang tanpa arti.

Setelah memastikan bahwa Malvin telah berangkat, aku mengambil ponselku dan memanggil seseorang. Tidak lama kemudian, sebuah mobil hitam yang tidak asing mendekat. Memang, tadi pada saat aku dan Malvin berangkat, kami memang tidak menggunakan mobil pribadi. Aku tidak tahan menyetir terlalu lama, sehingga kami menggunakan jasa taksi online.

Ketika mobil itu berhenti di depanku, pengendaranya sengaja keluar. Tubuh tingginya itu sengaja membungkuk, dengan tangan yang sedikit kekar kecoklatan itu memegang gagang pintu mobil dan membukakan pintu untukku. Wajah coklatnya tersenyum, senang sekali melihatku. Akupun masuk dan segera duduk di kursi depan, sementara pria tadi, yang tidak lain adalah Chris, segera menjalankan mobilnya.

Kami mengobrol santai sembari Chris menyetir. Pembicaraan dari biasa-biasa saja, pekerjaan, berita, sampai ke arah yang sedikit nakal. Aku sudah nyaman dengan kehadirannya, yang (aku tidak mau mengakui bahwa) mengisi lagi hatiku dengan rasa cinta. Kami sempat mencuri-curi ciuman ketika mengantre di gerbang tol, layaknya remaja yang baru dimabuk cinta. Meski, aku tahu ini tidak boleh.

Karena aku sudah makan siang, kami memutuskan untuk langsung saja ke apartemen Chris. Dalam perjalanan, entah bagaimana pembicaraan kami, tiba-tiba kami membahas manfaat going commando, alias tidak mengenakan pakaian dalam.

“Itu memang lebih sehat sih, penis dan payudara jadi nggak tertekan. Dan mitos bahwa nanti payudara mengendur memang masih belum dibuktikan sih. Tapi untuk yang ukurannya besar, pasti jadi berat dan susah bergerak”, jelasku, masuk dalam mode dokter.

“Kalau Ling, tidur nggak pakai dalaman dong?”, tanya Chris, tanpa maksud apa-apa.

“Masih kok, cuma cari yang enak dipakai saja. Rasanya agak malu kalau nggak pakai bra sama celana dalam”, jawabku sedikit malu, yang disambut dengan kekeh Chris. Tawanya juga akhirnya membuatku nyengir saja.

“Ling kan dokter, masa enggak nurut nasehat sendiri?”, kata Chris menggodaku. Namun tiba-tiba ekspresinya berubah menjadi nakal, yang aku kenal betul karena itulah ekspresinya ketika memberikanku kostum atau lingerie sebelum kami bercinta. Aku merinding, takut sekaligus bergairah menunggu apa yang akan kami lakukan.

“Kalau sekarang Ling lepas daleman aja gimana?”, tanyanya setengah bercanda. Tapi aku bisa merasakan harapan dari nada bicaranya.

“Chris, enggak ah, aku kan bukan eksib”, jawabku dengan cepat menolak.

“Ayolah, katanya lebih sehat. Lagian ini bukan eksib kok, kan Ling masih pakai baju”, mintanya lagi.

“Enggak deh Chris, malu”, kataku lagi. Aku bisa merasakan bahwa mukaku memerah. Aku tidak bisa membayangkan tidak memakai pakaian dalam, lambang pertahanan terakhirku sebagai seorang wanita. Apalagi di luar rumahku.

“Kenapa harus malu? Kan kita enggak di tempat rame. Enggak ada yang tahu kok”, bujuk Chris. Jika soal negosiasi atau berargumen menggunakan logika, Chris jauh lebih baik, sehingga sering dia bisa mendapatkan apa yang dia mau. Meski yang kusuka, dia tahu kapan untuk tidak melakukan hal itu. Dan waktu ini bukanlah salah satunya.

Karena bujukan Chris, aku pun luluh juga. Dia berjanji tidak akan melakukan yang aneh-aneh sampai kami tiba di apartemennya.

Saat itu, aku sedang memakai pakaian formal dengan atasan berwarna putih, dengan rok berupa span berwarna hitam selutut. Perlahan, kulepas tiga kancing depan kemejaku, menunjukkan bra putihku yang tipis. Setelah kedua tali bahu, kuputar bra ku itu dan kulepaskan kaitnya, sebelum kusimpan langsung ke tas kecil yang kubawa. Aku segera mengancingkan kemejakku lagi, entah kenapa ada rasa takut bercampur gairah meskipun aku yakin bahwa tidak ada yang bisa melihat adegan ini selain Chris yang sedang fokus menyetir.

“Sudah, Chris”, kataku malu, sambil kedua tanganku bersilang di dadaku. Seolah aku tidak memakai atasan apapun, dan dadaku bebas dilihat semua orang di dunia. Memekku juga rasanya senang, kurasakan bagian kewanitaanku itu mulai melembap, mengetahui apa yang akan terjadi nanti di apartemen Chris.

Chris hanya berkata santai, “Celana dalamnya juga dong”. Membuatku terbelalak. Tanganku bergetar, sebelum kunaikkan kedua kakiku sedikit, merapat. Kedua tanganku masuk ke dalam rokku, membuatnya tersingkat hingga menampilkan bagian atas pahaku. Merasa kesulitan, aku kemudian melepas ritsleting rokku, dan mengangkat pinggangku sedikit untuk melepas celana dalamku. Kain putih halus itu turun dibimbing kedua tanganku hingga mata kaki. Aku bisa melihat adanya cairan khas wanita, sedikit, tapi aku tentu malu. Segera kusimpan celana dalam itu, takut bahwa Chris sadar bahwa aku basah. Setelah aku bersikeras bahwa aku bukanlah eksibisionis.

Chris bersikap biasa. Namun aku bertambah malu, dan sensitif. Aku bahkan bisa merasakan putingku yang tersembunyi itu, menyembul, membuat jiplakan kecil di kemejaku. Memekku juga sudah mulai basah, aku entah kenapa membayangkan akan dientot di luar ruangan oleh Chris, tidak tahu siapa yang melihat. Sifat Chris yang biasa saja juga membuatku semakin malu. Aku mencoba untuk tidak mengindahkan rasa malu dan gairah ini, dan berkonsentrasi berbicara dengan Chris.

Tidak butuh waktu lama untuk tiba di apartemen Chris. Dari berjalan ke parkiran, aku berjalan dekat sekali dengan Chris. Aku menggandeng lengannya dengan satu tangan, mencoba menyembunyikan diriku. Takut bahwa ada orang lain yang tahu bahwa aku tidak memakai apapun lagi di balik dua helai kain yang kukenakan. Aku menarik rok ku kebawah, takut tersingkap meskipun rokku itu bentuknya span.

Chris hanya tersenyum melihatku, aku bisa merasakan keisengan di matanya. Namun dia tidak melakukan apapun, tidak sesuai sangkaanku. Dia mengantarku dengan hati-hati sampai ke tempat tinggalnya, membuatku lega. Tidak perlu takut lagi dengan aksi “eksib” ini.

Meskipun begitu, Chris tetap tidak memperbolehkan aku mengenakan kembali bra dan celana dalamku. Aku entah kenapa merasa tidak seaneh tadi, apa karena sudah terbiasa? Apapun itu, aku mengikuti sarannya. Kami kembali mengobrol hal-hal yang ringan, dan terkadang menjurus. Terutama karena aku yang tidak memakai dalaman. Aku bisa melihat tonjolan di celananya Chris.

Melihat arah mataku, Chris tersenyum. Dia berdiri, lalu membuka baju dan celananya. Melepas semua kain yang melekat di tubuhnya, menampakkan kontolnya yang tegang mengeras. Aku merasa semakin bergairah, rasa hangat dan cair mengalir di dalam memekku. Aku juga mulai membuka semua pakaianku, sehingga kami berdua telanjang di sofa.

Chris tidak langsung menyerangku. Dia duduk kembali, memberikan isyarat bagiku untuk duduk di sebelahnya. Menyenderkan kepalaku ke bahunya, dan mengelus-elus rambutku. Akan terasa sangat romantis, jika kami tidak bugil, dan baik kontol Chris maupun memekku tidak dalam keadaan siap bercinta.

Perlahan, aku mendekat. Bibirku menyentuh bibirnya pelan, yang tidak lama segera berubah menjadi cumbuan liar. Bibir kami saling mencoba mendominasi percintaan ini. Tangan kami juga ikut merangsang pasangan masing-masing. Kurasakan kontol Chris sudah basah dengan cairan pelumasnya, sementara aku menikmati permainan jari Chris di klitorisku dan memekku.

Kami berpindah ke kamarnya. Aku berbaring di ranjang, menunggu kehangatan dari Chris. Tapi dirinya malah berjalan ke lemari, mengambil sesuatu. Aku terkesiap, tidak mampu berkata-kata dengan apa yang dipegang oleh Chris.

Benda itu berbentuk lonjong, berwarna pink. Ukurannya sedang, lebih ke arah kecil. Ya, sebuah alat pemuas gairah sex wanita, vibrator. Remote tanpa kabel juga terlihat. Aku merinding, teringat bagaimana aku pernah melakukan masturbasi menggunakan getaran ponselku sendiri.

Chris mendekat. Perlahan, kami bercumbu lagi, sementara benda itu kudengar bergetar. Aku melenguh tertahan, melepas ciuman kami ketika getaran itu terasa di bibir memekku. Chris membiarkanku terbiasa sejenak, sebelum kembali memburu bibirku dan mengajak lidahku menari. Kubalas dengan gairah yang luar biasa, dengan sebuah sensasi baru namun tak asing menyerang bagian sensitifku. Chris juga terkadang membuat vibrator itu “menyentuh” klitorisku, membuatku mengejang. Tangan kirinya yang menyangga tubuhnya, turut memainkan kecepatan vibratornya, membuatku kelabakan.

“Sayang, masukkin”, rayuku, tidak sabar ingin dipuaskan. Aku sudah tidak tahan, tidak malu lagi menunjukkan sisi binalku di depan Chris. Aku mengangkang, melebarkan pahaku dan memamerkan memekku yang sudah basah dan siap menampung kontol Chris.

Chris menindihku, kembali berciuman. Namun tidak mengindahkanku, kembali dimainkannya memek dan klitorisku dengan vibrator. Aku melenguh makin keras, hingga tiba-tiba kurasakan getaran itu masuk ke dalam memekku. Aku mendesah, menjerit keras atas sensasi baru ini.

Meski tidak bisa membuat memekku terasa penuh, tapi getarannya menimbulkan perasaan yang aneh namun nikmat. Terasa memekku berdenyut, seolah memijat vibrator itu untuk keluar. Tapi Chris menahannya, dan terkadang menekannya untuk masuk lagi lebih dalam jika vibrator itu hampir jatuh keluar. Aku sedikit tersiksa dalam kenikmatan, nafsuku naik dengan cepat, namun orgasme tidak kunjung datang. Bahkan lebih jauh dibandingkan dengan seks bersama Malvin, karena kenikmatan yang kurasakan lebih nikmat.

Aku mengejang, vibrator itu terlepas dari memekku yang sudah sangat basah. Aku memejamkan mata dan menarik nafas terengah-engah, masih meresapi kenikmatan yang kudapatkan. Namun, kurasakan Chris menindihku, dan sebuah batang keras yang tidak asing masuk, menggantikan vibrator.

“AAAHHHHHH”, teriakku keras, menyambut orgasme yang tumpah ruah seiring tekanan yang diberikan kontol Chris kepada rahimku. Jalaran kenikmatan dapat kurasakan tidak hanya melalui memekku, tetapi merambat ke seluruh tubuhku. Aku lemas, Chris juga sepertinya paham karena dia tidak menggerakkan batang kenikmatan miliknya. Membiarkan aku beristirahat sebentar.

“Chris, lagi”, kataku manja, masih sambil terengah-engah. Yang langsung disambut dengan genjotan kontol Chris secara perlahan. Aku mendesah, menandakan bahwa rahimku siap digempur lebih keras. Chris juga mulai menggoyang dengan cepat. Kami saling beradu, berlomba untuk bisa mencapai kepuasan masing-masing dan pasangan kami dalam percintaan yang kasar namun penuh cinta ini.

“CHRIS, AKU NYAMPE LAGI”, desahku keras, menyambut orgasme keduaku kali ini. “TAHAN, LING, AKU JUGA BENTAR LAGI MAU SAMPE”, balas Chris, dengan genjotan kontol yang sangat cepat. Menabrak-nabrak rahim dan menggesek titik paling sensitifku. Ciuman kontolnya di mulut rahimku membuatku mencapai orgasme dengan cepat, dan teriakan kencang menjadi penanda merdu untuk Chris. Dia pun juga menusuk dalam-dalam memekku dan menumpahkan cairan spermanya ke dalam rahimku, yang terasa penuh dan hangat.

Kami berdua terengah-engah. Terutama aku, yang sudah dua kali mencapai puncak kenikmatan. Tapi dapat kurasakan bahwa kontol milik Chris (dan memekku) masih ingin merasakan kenikmatan. Kembali kami bercumbu lembut, mencoba mendinginkan gairah kami yang panas sebelum masuk ronde ketiga.

***
Kami berbaring kelelahan. Aku sudah keluar empat kali, dan merasakan hangatnya cairan sperma milik Chris dua kali. Tidak hanya itu, berbagai gaya kembali kami coba hari ini. Aku yang sedang berbaring di lengan Chris mulai bangun, mencium Chris sekali lagi, lalu mulai berjalan menuju kamar mandi milik Chris. Membersihkan diri dengan rapi. Chris bahkan sudah menyiapkan sabun, conditioner, dan lotion yang biasa kupakai. Selama aku mengeringkan tubuh dan memakai lotion, gantian Chris yang mandi sekarang.

Kami berdua sekarang sudah memakai pakaian masing-masing. Tapi ada sedikit kenakalan dari Chris.

Ketika aku ingin memakai pakaian dalam, Chris memberiku pilihan, untuk kembali going commando, atau boleh memakai celana dalam, dengan satu syarat.

Aku berjalan dengan canggung, mencoba mengikut Chris yang berjalan di depanku. Di dalam lift, sambil menunggu kami sampai di lantai basement tempat Chris parkir, tiba-tiba kurasakan getaran yang sedikit menyengat di memekku. Aku langsung berlutut, tidak tahan dengan serangan yang menggelikan dan memberi kenikmatan.

Chris hanya menyengir. Di tangannya terdapat sebuah remote yang tidak asing, karena baru saja aku lihat tadi. Ya, saat ini Chris sedang mengendalikan vibrator yang berada di dalam celana dalamku. Memberikan getaran kenikmatan langsung ke bibir memekku ini. Aku sendiri yakin bahwa ketika pulang nanti, celana dalamku akan sangat basah.

Pintu lift terbuka. Aku langsung berdiri, mencoba untuk tidak menghiraukan getaran yang menggaruk memekku yang gatal. Dengan pelan, kugaet lengan Chris agar dia tidak berjalan terlalu cepat, membuat cara berjalan kami tampak aneh. Kami berjalan perlahan, melewati seorang janitor yang tengah membersihkan parkiran basement.

Jantungku berdegup dengan kencang. Lagi-lagi ada sebuah perasaan aneh yang menjalar ke tubuhku, seperti tadi ketika dalam perjalanan dari bandara. Takut orang lain mengetahui kenakalan yang sedang kulakukan, namun bercampur dengan gairah luar biasa. Aku seolah melihat, bahwa mata janitor itu melihatku dengan tatapan yang menelanjangi. Yang akan menyerang tubuhku jika aku lengah. Kupeluk dengan lebih erat lengan Chris.

Menyadari hal itu, Chris langsung mengelus kepalaku. Lengannya yang kugaet itu sedikit melepaskan diri, lalu melingkar memeluk pinggangku. Membuatku sedikit merasa aman. Sampai akhirnya kami sampai ke mobil Chris.

Aku sedang membuka pintu, mencoba masuk ketika tiba-tiba getaran vibrator itu menjadi semakin kencang. Kembali aku berlutut, tidak tahan dengan rasa geli bercampur nikmat itu. Aku menatap Chris dengan pandangan kesal, sekaligus malu, yang diikuti dengan matinya getaran kenikmatan itu di memekku.

Ketika kami sudah berada di dalam mobil, aku segera menarik kerah Chris untuk kearahku, dan kucium liar bibirnya, yang langsung dibalas liar oleh Chris. Kami saling berpagut dan kembali bercumbu. Dirabanya payudaraku dengan halus dari luar kemeja yang kukenakan, membuatku baru ingat bahwa aku sama sekali tidak memakai apapun dibalik kemejaku itu. Rangsangan dari vibrator itu sampai membuatku tidak peduli dengan keadaan tubuh bagian atasku.

Kembali Chris menyalakan vibrator itu, sembari tangannya ikut menari mengarahkan mainan seks itu ke arah klitorisku. Aku kembali bernafsu, tanganku kuarahkan ke selangkangan Chris yang kurasakan kembali mengeras. Kubuka ritsleting celananya dan kubebaskan kontol gagah itu dari sarangnya, dan segera kuberikan servis menggunakan bibir, lidah, dan mulutku.

Tanganku satu lagi kini memainkan memekku sendiri, dibantu dengan vibrator berwarna pink itu. Membuatku menjadi semakin liar dalam menghisap batang kekar Chris, dan tidak butuh waktu yang lama sampai kontol itu mengeluarkan cairannya di dalam mulut dan tenggorokanku. Aku menelan cairan kelaki-lakian milik Chris itu, dan membersihkan sisa-sisa sperma di pinggiran bibirku.

Jari Chris kembali menari mengarahkan kenikmatan di dalam memekku, sembari aku menekan vibrator ke klitorisku. Aku mengerang tertahan, mencoba untuk tidak membuat keributan di tempat yang bukan ruang pribadi ini. Akhirnya kembali kunikmati orgasme kecil, dan segera kulepas vibrator itu dari memekku.

Kepalaku terasa sedikit ringan, kelelahan dibanjiri oleh hormon kenikmatan berkali-kali dari tadi siang. Chris menunggu aku siap kembali, baru menstarter mobilnya. Tidak banyak percakapan yang kami lakukan, karena aku sendiri kelelahan. Sesampainya di rumahku, Chris menahanku yang ingin membuka pintu mobil.

“Ling, kalau besok kita coba tinggal bareng, bagaimana?”.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd