Sambugan...
Part 14: Kegalauan Pras
Wira, seorang remaja yang sedang ditempa nasib. Bukan hanya hidupnya, tapi juga harga diri dan trahnya, trah Suromenggolo yang perkasa, sedang dipertaruhkan. Hanya ada dua pilihan, menjadi kuat atau menyerah pada takdir.
Ki Nogoireng tahu itu semua terlalu berat untuk bocah Wira. Terlebih ia sadari darah jiwa bocah itu terlampau lemah, bahkan yang paling lemah dari semua keturunan Suromenggolo yang pernah ia temui. Fisiknya pun tidak bisa diandalkan. Maka satu-satunya cara hanyalah memberikan latihan keras, yang akan menempa bukan hanya fisik, tetapi juga jiwanya. Walau itu semua sangat beresiko, karena jika Wira gagal, maka hanya kematian yang dia dapatkan.
Ketika mengeluarkan ajian mbelah rogo, Ki Nogo sempat ragu. Ia takut iblis yang ada dalam diri Wira terlampau kuat. Bukannya meningkatkan ilmu, bisa-bisa Wira celaka. Tetapi Ki Nogo tak punya pilihan lain. Akhirnya munculah si bocah bajang yang sekarang sedang Wira hadapi.
Jlubbbbbb…..
Injakan butho galak si bocah bajang telak mengenai perut Wira. Wira menjerit sejadi-jadinya, lalu kemudian ia muntah darah. Air matanya menetes deras. Jurus itu telah menghantam perut Wira sangat keras.
Tidak berhenti sampai di situ, si bocah lalu menyerang Wira secara bertubi-tubi. Ia menendang sekujur tubuh Wira. Puncaknya, ia mundur ke belakang untuk kemudian mengambil sebuah batu sebesar anak sapi. Ia angkat kedua batu itu tinggi-tinggi untuk kemudian ia bermaksud meremukan kepala Wira.
Tapi tak dinyana, di tengah penderitaan yang sedang ia alami, Wira masih sempat berpikir cerdik, tepat ketika bocah bajang itu berdiri untuk menghantamkan batu itu, Wira mengambil segenggam pasir dengan tangan kirinya dan melemparkannya ke muka si bocah.
Jap….jap…..jap
Si bocah menjatuhkan batu itu ke tanah, Wira sempat menghindar. Lalu dengan sisa tenaga yang ia miliki, ia menyerang dengan jurus labrakan simo gendheng. Ia padukan itu dengan jurus barunya, Nogo Sakti mbleak Meki dan puncaknya ia gunakan jurus tusbolan maut menusuk rembulan untuk menusuk leher si bocah dengan dua jari telunjuk yang ia gabungkan menjadi satu.
Si Bocah meraung. Darah mengucur keluar dari lubang di lehernya. Darahnya hitam, bukan merah. Akhinrya tamatlah riwayat bocah bajang itu.
“Bagus Wira, kau memang pendekar cerdik!”
Ki Nogoireng berseru senang. Wira hanya bisa tersenyum simpul, lalu ambruk. Semua shaktinya habis terkuras.
Jika Wira ambruk di tengah medan laga, maka Ratri juga ambruk. Bedanya ia ambruk di kasur empuk di tengah tiga orang lelaki yang sebelumnya tidak ia kenal. Yang pertama adalah seorang model yang sedang naik daun. Yang kedua seorang polisi berpangkat cukup tinggi. Yang ketiga, seorang pengusaha besar sekaligus tokoh politik kenamaan.
“Masih capek nona?”
Abdul Rozak, pria itu berbisik. Sambil berbisik ia remas tete Ratri.
Ratri menggeleng anggun. Rozak tersenyum. Ia lalu mengarahkan mulutnya untuk kemudian dipagut oleh mulut Ratri. Dua insan pecandu birahi itu berpacu dengan penuh semanggat. Sambil memagut, Ratri mendesah, membuat nafsu Rozak makin membuncah.
Rozak mengecek tititnya. Setelah dirasa sudah cukup berdiri, Rozak berputar. Ia kemudian menyedoti meki Ratri, sedang Ratri mengulum kontol Rozak. Kontol kecil. Tidak seimbang dengan nafsunya yang raksasa. Baru dua menit, kontol cebol Rozak ingin muntah. Rozak menghentikan pergerakannya. Ia kemudian memerintahkan Nicky Tarto untuk beraksi.
Model berwajah oriental itu langsung paham. Ia terjang Ratri. Dengan gaya anjing kawin ia ewe ibunda dari Wira yang sedang menyabung nyawa itu. Berdua, mereka menyabung birahi.
Cukup lama Nicky mengimbangi goyangan Ratri yang dahsyat, tetapi ia nampaknya juga akan kalah. Sepanjang siang ini, sudah empat kali ia klimaks, dua diantaranya karena Ratri. Sedang Ratri, baru sekali muncrat, itu setelah mulutnya dipaksa menyepong kontol Nicky, susunya diremas Rozak dan mekinya disodok Bachtyar, si aparat berawajah bengis.
“Uh……..ehhhhh………….yeassssss………”
Ratri menggila, ia kini bergoyang di atas Nicky yang terlentang. Di sebelahnya, Rozak juga bergoyang, di atas tubuh Bachtyar yang asik terlentang sambil sesekali mengocok kontol politikus itu.
Rumah bordil yang dikelola Pras berkembang dengan pesat. Ini berbanding lurus dengan tambang pasir di daerah Dorosewu yang juga makin berkembang. PT MBU, yang dimiliki oleh Sinto Artawan membuat Dorosewu bukan hanya menjadi tambang pasir, tapi juga calon kota baru.
Tapi walau begitu ada yang membuat Pras galau. Selain kepergian Wira, juga adalah kedatangan seorang dari Suromenggolo. Dia seorang lurah sekaligus salah satu petinggi PKK. Wajahnya bengis, dengan luka codet di pipi. Dia adalah Broto atau yang setelah bergabung dengan Laskar Mentari Kembar mengubah namanya menjadi Qadir Jalal Ahmad.
“Langsung saja, aku kesini mewakili PKK dan PT MBU.”
“Cihhh, sejak kapan MBU bergabung dengan PKK”
“Jangan memotong, bangsat! Aku tahu kau memang pendekar hebat Dorosewu, dan bahkan jika duelpun aku akan kalah. Tapi jika kau kurang ajar terhadapku, makam kakakmu akan aku bongkar dan semua istrimu akan aku bakar hidup-hidup!”
Tensi menegang. Kali ini Pras berhadapan dengan sesama bajingan. Bedanya bajingan yang tidak punya nurani sedikitpun.
“Jadi apa maumu?”
“Tenang, kita akan bicarakan itu nanti. Tapi aku mau ngenthu istrimu dulu.”
Sambil berbicara, mulunya tersenyum, nyengir anjing.
“Mereka masih ada tamu.”
“Oh…..”
Dua jam setelah itu, Qadir masuk kamar. Di sana sudah ada Raisa dan Isyana. Raisya memakai bra tanpa cawet. Tangan dan kakinya masih terikat di empat penjuru dipan. Sedang Isyana memakai kaus putih dan cawet bermotif macan. Ia sedang duduk sambil minum setelah sepagian di entot dua belas kuli tambang pasir PT MBU.
“Apa hanya ini?”
“Ya”
“Aku dengar kau punya tiga lonte?”
“yang satu lonte pocokan. Sedang disewa oleh seorang pengusaha di rumahnya.”
“O…..baiklah.”
Inti dari percakapan itu adalah perintah dari Qadir, yang nampaknya akan dipromosikan menjadi direktur PT MBU, untuk membersihkan para petani yang menolah perluasan lahan garapan PT MBU.
Sinto Artawan memang berniat menyatukan Suromenggolo, Dorosewu, Awar-Awar Jati, Oro-oro sempit, dan Paten Gunung, Magersari Indah, Jurangombo, Madukismo, Mejanten, dan Canting untuk dijadikan sebuah kota mandiri dengan nama Artakarta. Sebuah proyek rahasia yang menelan biaya biliunan dolar.
Sayang di daerah Awar-awar, para petani bersatu untuk menolak. Mereka bahkan tidak takut pada para centeng yang dikirim Qadir Jalal. Bahkan kabarnya, se-batalyon tentara APN hancur dan para tentaranya tewas ketika berniat menangkap para petani itu. Pemimpin para tani itu bernama Bambang Kijang.
“Bunuh Bambang Kijang, aku akan selesaikan sisanya.”
Rasa galau Pras bertambah ketika dia tahu, Bambang ternyata juga masih keturunan Suromenggolo.