Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Karena Hasrat Harus Dibayar Tuntas

Status
Please reply by conversation.
Sebelumnya....


Dengan satu kali tendangan, gembok itu hancur. Wira membuka pintu sel itu. Semua orang kecuali Ratri mundur ketakutan. Hawa kematian masih terpancar kuat dari Wira. Sangat kuat. Sampai akhirnya hawa kematian yang mengerikan itu menghilang, sejurus ketika Ratri keluar dan memeluk tubuh Wira.

“Ibu………”

“Wira………….”

Aura kematian WIra menghilang. Berganti menjadi aura bocah yang rindu belaian kasih ibunya.

Wira memegang wajah Ratri dengan lembut, lalu mengusap mata indah itu.

“Ibu………”

“Wira………….”

Wira memandang mesra wajah ibunya. Mesra dan dalam. Ada cinta disana. Ada rindu yang tertahan. Lalu membuncah. Wira kemudian mendekatkan bibirnya. Tanpa diperintah, mereka berciuman mesra.

Sangat mesra.

Seakan sudah tak sabar, Wira menggigit agak kasar bibir Ratri. Ratri tersentak. Wira tersenyu. Ia kini ganti mengecup kening Ratri, lalu pipinya, lalu lehernya,

Sedang tangan kanan Wira memegang pinggang Ratri, tangan kirinya mengelus dan meremas susu Ratri.

“Ibu….ah..ah…….”

Ratri diam tapi mencoba mengimbagi gerakan Wira. Dua menit kemudian Ratri menggandeng tangan Wira. Ia tersenyum. Wira mengangguk.

“Mari ibu kita pulang…”

Ratri tersenyum.

Nampaknya kisah ini akan berakhir bahagia. Setidaknya sebelum seseorang memanggil nama Wira.

Seperti tersentak, Wira menoleh.

Tampaklah si pemilik suara. Seorang yang tadi memanggil Wira. Wira terkejut. Ia ternganga. Tampak seorang wanita berada diantara beberapa orang. Ia masih terpenjara dalam sel.

Wira begitu mengenal orang itu. Ya seorang yang sangat tidak asing.

“Ibu?”


Rahasia Besar (1)

Wira menoleh kaget.

“Ibu...”

Air muka Wira berubah pucat. Pikirannya seketika menjadi kacau. Aura kematiannya kembali menyeruak dari tubuhnya, tapi kali ini bercampur aura yang lain, aura kekalahan.

“Wira, ini ibu nak, ibumu...” Wanita yang masih berdiri di dalam jeruji penjara itu berujar sambil berkaca-kaca. Entah karena kagum, entah karena sadar, sebentar lagi akan timbul suatu yang tidak ia inginkan. Suatu yang akan membalikkan keadaan. Suatu kesialan yang akan mengancam dirinya dan anak kesayangannya.

Benar saja.

Wira seperti terhipnotis. Kesadarannya hilang sepersekian detik. Masih belum begitu sadar, ia palingkan mukanya, untuk menatap kembali wanita yang kini ada dihadapannya. Wanita yang baru saja ia bebaskan. Wanita yang beberapa detik lalu ingin ia lumat diatas ranjang sambil berdendang lagu-lagu cinta.

Wira, ksatria lanang jagad yang dianggap sang takdir. Sang pahlawan yang ditunggu-tunggu bangsa Suromenggolo selama berabad-abad. Seorang sakti yang sudah diramalkan Ki Garda Nuswantoro, Empu Jinak Kinanti, Pangeran Jayabaya, bahkan Prabu Jaya Mangkunusa yang bertahta di keraton Medhang Mantingan.

Bukankah ada tertulis dari rahim wanita yang hidup menderita dan menanggung aib, dari garis keturunan Prabu Purbo Sambung Macan dari Trah Suromenggolo wangsa Simo akan muncul dia yang akan memimpin Suromenggolo dan bangsa-bangsa di Nusantara untuk mengusir kekuasaan asing yang selama beradab-abad menista tanah suci Dwipa Nuswantara. Seorang lelaki bertato naga yang tinggi besar dan beranting serta bergelang di lengan, tangan dan kakinya. Dari tubuhnya terpancar aroma kematian, dari tangannya menggenggam Keris Sakti yang didalamnya terdapat rajah Padmasusastra Mulyawisetra, pemilik ilmu sekti Kematian Tak Dapat Di Tunda.

Ya, Wira, dialah sang takdir yang akan menggenapi ramalan para suci. Setidaknya itu yang terpikirkan oleh Wira sendiri.

Tapi tampaknya hidup memiliki misterinya sendiri.

Begitu Wira menoleh, untuk melihat kembali wanita yang baru saja ia peluk, maka sebenarnya kisah petaka dirinya dan ibunya akan ditulis kembali.

Wanita itu, yang sebelumnya ia kenal sebagai Ratri Pandanwangi, ternyata hanyalah sebuah ilusi. Wajah cantik Ratri dengan pipinya yang mulus sedikit tembem serta hidung mungil itu, hanyalah hasil dari sebuah jurus, sebuah ajian.

Ajian rudarupo namanya.

Ajian yang hanya dimiliki oleh orang-orang berilmu tinggi, yang membuat seseorang bisa beralih rupa menjadi siapa saja dan mampu menipu siapa saja.

Lalu lihatlah, pipi itu luruh, seperti semen basah yang tersapu air hujan. Juga hidung, mulut dan mata mungil itu. Semua berganti, beralih rupa. Wajah cantik itu hilang dalam sekejap, berganti dengan wajah seorang pria bangkotan yang tersenyum licik. Wajah dari Jalal Ahmad alias Broto si begal jahanam.

Wira sempat melihat wajah durjana nan laknat itu menyunggingkan senyum keparatnya. Ya, itulah satu-satunya pemandangan laknat terakhir yang dilihat Wira. Satu-satunya hal terakhir yang ia pandang dengan mata kepalanya sebelum akhirnya Jalal mencucukkan dua jari telunjuknya ke dua bola mata Wira.

“Jurus tusbolan jari-jari jahanam!” Jalal memekik menyebut nama jurusnya sambil menghujamkan dua jari hinanya ke mata Wira.

“Argh..................Mataku.....”

“Hahaha..... mampus kau bocah tengil. Sekarang ucapkan selamat tinggal pada dunia yang indah ini, dunia yang sebentar lagi akan jadi milik Jalal Ahmad. Akulah penguasa dunia, hahahaha....” Jalal memekik sombong. Orang-orang yang melihat kejadian itu turut bersorak.

“Hidup Ki Jalal!”

“Hidup Ki Jalal”

Semua memekik, dan pekikan itu makin keras membahana begitu kemudian Jalal mengangkat tangan kirinya yang mengepal. Kemudian...

Buk!!!!!

Ia menjotos muka Wira. Ksatria andalan umat Semproters itu terpelanting. Darah mengucur dari bibirnya. Ini pertama kalinya ia roboh sejak ia menjadi Sang Takdir, ksatria Suromenggolo yang dinantikan berabad-abad.

“Semua bersorak untuk pemimpin kita, Ki Jalal Ahmad!”

“Hidup Ki Jalal!”

Semua pendukung Jalal yang sebelumnya nampak seperti anjing buduk karena ditawan para wanita perkasa Laskar Teratai Hitam menyeruak. Mereka menari dan berlompatan, seoalah seperti sudah memenangkan perang.

Lalu bagaimana dengan Wira?

Setelah tercucuk matanya, iapun menjadi buta. Rasa perih dari tusbolan jari-jari jahanam itu masih terasa. Ditambah pukulan telah di mukanya. Ia terus meraung kesakitan sambil berguling-guling.

Lalu datanglah Ratri.

‘Wira, anakku sayang.... Kau harus kuat Wira...”

“Ah....Ibu....mataku.....”

“Kuat Wira, kau harus kuat. Kau sekarang satu-satunya harapan kami. Kau harus bangkit.”

Wira bukannya tidak mendengar, tapi tiba-tiba menjadi buta bukanlah perkara mudah. Rasa perih masih ia rasakan. Ia terus berguling-guling kesana kemari.

Air mata Wira dan Ratri masing-masing membasahi pipi mereka, bedanya selain air mata, dari matanya Wira juga mengalirkan darah segar. Dua bola matanya hancur.

Lalu sorak-sorai itu menjadi sepi. Sunyi. Jalal memberi tanda agar semua diam. Semua suarapun sirna, kecuali suara Wira yang mengerang kesakitan sambil terus memegangi matanya.

Akankah semua berakhir menyedihkan.

“Wira, anakku sayang, kekasihku, kau pasti kuat. Kau tidak boleh kalah Wira, demi ibu, demi dendam ibu dan demi keluarga kita.”

Belasan kali Ratri mengucapkan itu. Bukannya menjadi penyemangat, justru itu membuat Wira menjadi kacau. Ia seperti sosok yang penuh luka dan kemudian datang seseorang menumpahkan anggur di sekujur lukanya. Ya, sang pelaku adalah ibunya sendiri. Yang hanya memikirkan dirinya, hidupnya, tanpa pernah memikirkan Wira.

Sejak lahir Wira memang telah dianggap sebagai suatu sarana bagi Ratri dalam mengikat Hardjo Pandji Suromenggolo, suami Ratri sekaligus pewaris darah trah Suromenggolo dari Wangsa Singa.

“Bangkit Wira, kau jangan jadi lemah, ayo Wira, demi ibu, demi dendam ibu, demi keluarga kita!”

Terus menerus Ratri memberondong kalimat itu. Wira yang sudah mulai menguasai dirinya, tiba-tiba menjerit.

“Diam kau!”

Ibunya terkejut. Hening menyelimuti diri Ratri. Untuk pertama kalinya, Wira, lelaki yang ia lahirkan sekaligus lelaki terakhir warga desanya yang belum pernah mengentotnya, berani membentaknya.

Lalu Wira menunjukkan kemarahannya.

“Kau selalu menyuruhku, memerintahku, menuntutku. Sekarang jawab aku, apa pernah kau menuruti kemauanku?”

“Wira, tetapi....”

“Diam, anjing!”

“Wira?!” Ibunya kini ikut terpancing emosinya.

“Diam kau, dasar perek sialan, anjing betina lemah! Apa kau belum puas menuntutku ini dan itu, memaksaku melakukan semua kemauanmu? Hah? Bangsat, wanita keparat! Tidakkah kau tahu hampir mati aku menguasai semua jurus Suromenggolo dari enam Wangsa!”

Wira kemudian mengingat bagaimana hampir mati ia ditempa Kakek Nogo untuk menguasai semua jurus Suramenggala dari wangsa Singa, Menjangan, Lodaya, Naga, Merak, dan Turangga.

Wira melanjutkan.

“Kau memang wanita tak tahu diri. Menghilang sekehendak hati, pergi sesuka tempikmu sendiri. Pernahkah kau menganggap aku sebagai anakmu, anak yang harus dilindungi? Heh! Jawab, anjing, jawab! Dasar lonte bangsat!”

Tak terasa air mata Ratri kembali menetas. Entah kenapa kini ia hanya membeku, mematung seperti arca candi Vajrisewu.

“Kau hanya menuntutku menjadi kuat agar aku bisa membalas dendammu. Tapi kau sendiri menganggapku hanya sebagai alat. Kau masih mengatakan dirimu ibu? Setelah kau melontekan pepek dan anusmu itu, kau masih menganggapku anakmu? Asal kau tahu, hormatku padamu sudah berkurang. Kau, selain ibu, kau adalah lonte!”

“Cukup Bowo, jangan main tik tok terus!”

Eh salah

“Cukup Wira, cukup!”

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Wira, si buta yang menyedihkan.

“Ayo tampar lagi, tampar. Biar seluruh dunia tahu, aku anakmu, satu-satunya yang tidak mencicipi tempikmu, tapi justru terus merasakan tamparanmu. Tampar terus, perek!”

Wira mendengus.

“Bagiku, kau lonte!”

Sebuah pedang menusuk jantung Ratri. Sebuah luka tapi tak berdarah. Ratri ndlosor di hadapan Wira.

“Lihat, aku buta, lonte. Aku tak bisa lagi menggunakan jurus Kematian tak dapat di tunda karena aku tak bisa melihat posisi musuhku. Juga jurus semburan api karena aku tak memilliki bola mata lagi untuk memancarkan api. Bahkan bertarung dengan anak kecil yang mengkentotimu setiap hari di sekolah saja aku belum tentu menang. Aku sudah kalah. Tak perlu kau tuntut aku lagi. Kalau perlu, pergilah, pergi. Tinggalkan aku. Biarkan aku menjemput takdirku sendiri.”

Wira membusungkan dada. Inilah karakter Bangsa Suromenggolo sejati.

Sedang Ratri hanya bisa sesenggukan sambil mengamini semua yang diucapkan Wira.

Akankah semua ini hanya berakhir seperti ini?


 
Wira di operasi di singapura dulu aja om.. Novel baswedan aja sembuh operasi disana kq
 
Waduh sia2 dong wir menguasi seluruh ilmu kalah cuma satu gebrakan masa cuma segitu aja wir bagkit dan hancurkan semau nya thx suhu atas updatean nya
 
Bimabet
Makasih suhu tante ratrinya
Waduh.... Pahlawan semproten... Kita, Harapan bangsa lagi kesulitan..... baru aja mau lihat dan ngerasain ratri malah udah buta duluan kasian wira, percuma berjuang mati2an dari pertama.....
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd