Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Lockdown Corona: Bella

Lockdown Corona: Bella
Ditulis oleh Giaraini, untuk Kakak-Kakak Semprot tercinta.

Kalo mau copas, copas judul sama penulisnya, ya.

Part VIII
Bandung, 11 Mei 2020

---

Aku menoleh ke arah Kak Zaki. Kakak iparku itu tampak terjepit dalam himpitan kedua paha putihku. Dia lantas tersenyum ke arahku, senyuman senang, senyuman yang menyindir.

Serta-merta, aku mengambil bantal dan menutupkannya di wajahku.
"Aku malu. Aku malu. Aku malu!" Teriakku dalam hati.
Rasanya malu sekali.

Kak Zaki terdengar tertawa, hingga berselang beberapa waktu kemudian dia menghampiriku. Perlahan, dia mengangkat bantal yang menutupi wajahku.

"Haha. Kenapa?"
"Enak banget yaa?"
Tanyanya menggodaku.

Dengan sedikit tawa dan malu, aku berusaha tersenyum ke arahnya.

"Loooh kok."
"Kok."
"Kok malah nangiiis?"
Kak Zaki bertanya dengan panik.

"Haha." Aku berusaha tertawa sambil menutup wajahku dengan tanganku.
"Enggak kok." Jawabku sambil menyeka air mataku, dan berusaha tetap tersenyum.

"Kenapa ih?"
"Cerita, cerita."
Pintanya, kemudian merebahkan tubuhnya di sampingku dan merangkul kepalaku.

"Gak kenapa-napa."

"Ayo. Cerita aja."

"Aku cuma malu."
Jawabku.

"Bukan sedih atau marah?"

Aku menggeleng.

"Tapi enak?" Tanyanya, hendak memastikan.

Aku membenamkan wajahku ke bahunya sambil tertawa-tawa.

"Gimana? Enak?" Tanyanya lagi, penasaran.

Masih di rangkulannya, aku mengangguk.
"Enak banget." Jawabku terpaksa jujur, walau pun rasanya malu sekali untuk mengakui itu tapi aku tak ingin Kak Zaki salah paham.

Aku tak tahu kenapa aku bisa tiba-tiba menangis. Bukan karena aku sakit hati, bukan karena merasa dicabuli, merasa berdosa, atau merasa takut, dan bukan pula karena merasa sedih.

Agar dia tak panik, aku pun akhirnya berusaha untuk menceritakannya. Bahwa tadi adalah klimaks yang terheboh yang pernah aku alami, dan aku sama sekali tak pernah menyangka rasanya bisa seenak itu. Aku bilang, sekali pun pernah masturbasi, tapi rasanya tak ada yang pernah seperti itu.

"Jadi, kamu itu shock. Iya?"

Aku mengangguk sambil menyeka kembali mataku yang masih terasa basah.

"Saking enaknya?"

Aku mengangguk lagi.
Kemudian, aku ceritakan soal gaya pacaranku yang tak pernah sejauh itu. Aku jelaskan bagaimana aku dididik dari kecil, bagimana lingkunganku, dan bagaimana keseharianku membuatku punya pendirian dan batasannya sendiri.

"Gak pernah telanjang? Gak pernah tidur bareng? Pelukan begini?" Tanyanya seraya menunjukku yang sedang dirangkulnya.

"Telanjang gak pernah. Tidur bareng iya, tapi cuman tiduran. Pelukan, ciuman, pegang-pegang, handjob, blowjob. Sejauh itu aja." Jelasku.

"Blowjob?"

Aku mengangguk.

Wajahnya pun mendadak sumringah. Dari raut wajahnya, aku tahu apa yang dia pikirkan.
"Kak Zaki mau?" Tanyaku, sedikit memberanikan diri.

Wajahnya berbinar dan tersenyum-senyum.
"Cowok mana di muka bumi ini yang bisa menolak tawaran kayak gitu?" Jawabnya.
"Apalagi dari cewek secakep kamu."

"Tapi aku gak sepintar Kak Della."
Ujarku, khawatir tak bisa memuaskannya seperti dia memuaskanku tadi.

"Gampang. Itu bisa aku ajarin." Ujarnya sambil terkekeh.

Walau pun malu, aku memberanikan diri untuk membuka sabuk dan celananya. Sampai saat aku hendak melepas celana dalamnya, Kak Zaki menahanku.

"Jangan buru-buru." Pintanya.

"Oh. Oke." Pikirku dalam hati. Nampaknya Kak Zaki ingin aku bermanja-manja dengan barang miliknya itu terlebih dahulu.

Maka kemudian kusentuh, kubelai, dan kupijat bagian celana dalam yang menggembung ini. Celana dalamnya cukup tebal sehingga tak begitu jelas bagian penis dan biji kemaluannya, apalagi dengan penis yang masih lemah seperti itu.
"Kenapa celana dalem cowok mesti setebal ini?" Pikirku.
Tebalnya celana dalamnya mengingatkanku pada bra-bra padless katun punyaku, sangat berbeda jauh dengan celana dalamku yang malah sangat tipis.

Tapi dengan usapanku, perlahan-lahan benda yang tadinya terasa lembek itu sekarang mulai terasa kenyal. Bentuk penisnya yang berbatang mulai terasa olehku. Dari kenyal, kemudian mulai terasa liat, volumenya pun perlahan bertambah, semakin tebal dan semakin mengembang.

Hingga beberapa waktu kemudian, lonjoran batangnya mulai terasa dan bisa kulihat dari bentuknya yang mulai lurus. Tanganku yang membelai-belainya seolah pompa angin yang sedang meniup balon cacing. Menebal dan mengembang, sampai pada akhirnya penisnya mengeras.

Aku tersenyum-senyum sendiri mendapati metamorfosis kemaluannya yang sangat menggemaskan ini. Dari lembek seperti onggokan kulit kemudian menjadi padat seperti daging, dari daging menjadi otot, dari otot menjadi tulang, dari tulang mengeras seperti menjadi besi.

Sebelum kepenasaranku berakhir, Kak Zaki mengarahkan kepalaku untuk menciuminya. Hawa hangat selangkangannya terasa menerpa wajahku saat bibirku mulai menempel ke celana dalamnya. Seiring dengan hawa hangat itu, menguap pula aroma maskulin dari celana dalamnya yang agak lembab berkeringat ini. Baunya seperti campuran bau permukaan kulit yang agak kecut dan sedikit wangi hujan di tengah hutan. Aroma jantan yang mengingatkanku pada seekor rusa di tengah rimba, maskulin, nostalgic, dan sangat menggoda.

Sekali pun aku jadi lumayan terangsang, pikiranku masih maju-mundur ketika itu. Terkadang jadi sadar jika ini adalah penis suaminya kakak kandungku, tapi terkadang gemas karena diam-diam sisi feminimku tergelitik melihat kemachoan kemaluan Kak Zaki.

Baru saja aku melakukan beberapa ciuman, tiba-tiba aku disapa oleh kepala penisnya yang muncul dari karet pinggang celana dalamnya. Kepala penis bertopi dengan belahan lubang kencing di tengahnya. Rupanya, celana dalam Kak Zaki sudah tak muat lagi untuk penisnya.

Aku pun menarik karet celananya turun perlahan-lahan, dan Kak Zaki pun turut membantuku meloloskannya dari kedua kakinya.

"Hhmhhh." Keluhku gemas, melihat kemaluan Kak Zaki yang kini sudah telanjang di hadapanku.

Dua kantung bijinya menggelayut, berpegangan pada batang pangkal kemaluan yang kokoh, yang menancap pada selangkangannya. Dilatari rambut kemaluan yang terpotong rapi, batangnya melonjor dengan kekar. Kulitnya yang berawarna gelap dan kemerahan, dengan sejumlah urat-urat nadi yang meregang, mencengkram ke sekujur batang kemaluannya. Tak terbayang olehku, bagaimana rasanya memiliki kemaluan dengan urat-urat dan batang seperti itu, aku saja yang punya klitoris yang sangat kecil, rasanya sudah kewalahan. Bagian lehernya yang menampakkan bekas luka sunat, hanya membuatnya tambah terlihat jantan. Di bagian ujungnya, kepala penis dengan lubang kencingnya itu terlihat tebal, kenyal, mengkilat, dan kencang. Aku semakin merasa gemas dibuatnya, bahkan otot-otot kemaluanku terasa berkedut-kedut karenanya.

"Kamu suka?" Tanyanya, mungkin karena melihat raut geregetan di wajahku.

Aku mengangguk sambil kubelai-belai dengan tanganku. Sesekali, tanduk pejantan ini mengejat-ngejat seperti keenakan.

"Apa yang kamu suka?" Tanyanya lagi.

"Hhmmhhh. Gemesin." Ujarku sambil menghela nafas.

Tanpa harus diperintah, aku pun mulai menciuminya. Begitu panas. Begitu berotot. Begitu menggoda.

Rupanya aku tak cukup tahan dengan penisnya yang sangat mengguggah selera ini. Tanpa aba-aba, kulahap habis sebatang-batangnya ke dalam mulutku. Walau pun sempat tersangkut di bibir dan gigiku, aku berusaha sebisanya untuk mendekapnya dengan dinding mulut dan bibirku. Aku basahi dan kupijat-pijat dengan lidahku.

"Argghhhh!!"
Kak Zaki sempat terdengar merintih. Aku pun menatapnya, raut wajahnya tampak kesakitan, tapi dia tak melarang mulutku yang masih mengulum penisnya.

Khawatir aku salah cara atau mungkin dia terluka karena gigiku, aku pun berhenti untuk sesaat.
"Kenapa? Sakit?" Tanyaku.

Kak Zaki menggeleng.
"Mulut kamu itu mungil banget."
"Sempit. Aku jadi keenakan."


Mendengar itu, aku jadi tertawa. Tapi lekas-lekas aku kembali memasukkan penisnya ke dalam mulutku. Dan seperti pengalamanku memblowjob sebelumnya, kuhisap, kupijat, kutarik dan kuulur keluar-masuk mulutku.

Selagi aku menghisapi kemaluannya, dinding bibir kemaluanku terasa menghangat oleh cairan pelumas dari dalam rongga vaginaku. Kemaluan keras yang tebal ini terasa penuh di mulutku, otot-otot dan urat-uratnya yang kekar terasa bergerinjul-gerinjul di mulutku, dan aku tak bisa berhenti berpikir apa jadinya kalau batang penis ini berada dalam rongga kemaluanku. Gelikah? Gatalkah? Karena pikiran liarku itu, aku berusaha sebisa mungkin mengencang-ngencangkan otot-otot kemaluanku agar cairan vaginaku yang meleleh karena terangsang ini tidak luber. Aku sadar di bawah sana aku sedang tidak memakai celana dalam.

"Bell." Panggilnya, di antara kecipak mulutku dan kemaluannya yang basah dengan air liurku.

"Kalo dikeluarin di mulut, kamu pernah?"

Aku tak menjawab, walau pun pernah tapi terlalu memalukan untuk kujawab. Tapi mungkin itu yang Kak Zaki mau.
"Kak Zaki mau?" Tanyaku, membuka mulut sekalian mengusir pegal yang mulai terasa di rahangku.

Dia hanya menjawab dengan senyuman.
"Kalo keluarin di muka?"

"Belum pernah."
Jawabku.
"Tapi Kak Zaki mau?"

Dari dulu, aku menganggap hal itu berlebihan sehingga setiap pacarku meminta, pasti aku tolak. Tapi, mengingat aku tadi sudah dibuat orgasme dengan sebegitu dahsyatnya, aku pikir mungkin ini cara yang tepat untuk membalasnya.

Dia mengangguk senang.

Berselang sekitar lima menit kemudian, aku mendapati tangan Kak Zaki di kepalaku. Dari gerakannya, dia seolah memintaku untuk menggerakan kepalaku lebih cepat. Aku pun mulai mengabaikan hisapan dan pijatan lidahku, kubiarkan mulutku dan penis Kak Zaki bercumbu sesuai dengan gerakan tangannya.

Seiring bertambah cepatnya gerakan, kecipak-kecipuk basahnya mulut dan penis sudah mulai tak terkontrol, air liurku bahkan sudah meluber ke pangkal kemaluannya. Gerakannya pun bertambah cepat, bertambah cepat, bertambah cepat …

"Bel. Aku mau keluar." Ujarnya dengan nafas terengah-engah. Lalu bangun berlutut di hadapanku.

Diraihnya kepalaku dan dimasukkannya lagi penisnya ke mulutku, disusul dengan beberapa gerakan menusuk dari pantatnya.

Lalu tiba-tiba Kak Zaki terdiam dan membenamkan penisnya di mulutku, sangat dalam hingga menyentuh bagian amandel di tenggorokanku. Bersamaan dengan itu, batang penisnya terasa mendorong sesuatu hingga penisnya terasa melonjak. Sebuah lonjakan yang disertai lontaran cairan yang cukup keras menghantam tenggorokanku. Cairan yang hangat dan terasa lengket, berbarengan itu, aku bisa kudengar suara lenguhan dan dengusan dari hidungnya.

Berselang sepersekian detik, batang penis itu terasa memompa kembali dan menghantamkan kembali cairannya yang kedua. Sebagian memercik ke jalur pernafasanku hingga aku tersedak, sebagian lainnya lumer di lidahku bagian dalam.

Sebelum cairan ketiga keluar, Kak Zaki sudah lebih dulu mencabut penisnya, dan mengarahkannya ke wajahku. Refleks, aku memejamkan mata. Dan benar saja, lontaran berikutnya terasa menghantam kelopak mataku yang tertutup. Cairan itu terasa panas seperti layaknya lava, memercik ke beberapa bagian di wajahku, sebelum perlahan mengalir ke pipiku.

Lontaran-lontaran berikutnya terasa lebih sedikit, tapi tetap saja, lemparannya membuat aku kalang-kabut. Dahi, pipi, dan hidungku bahkan jadi sasarannya.

Sebelum semuanya berakhir sama sekali, Kak Zaki sempat mengocok penisnya dengan tangannya. Aku hanya tau dari suara dan goyangan tubuhnya, aku tak dapat melihatnya karena mataku rapat oleh cairan yang terasa panas dan lengket itu.

Beberapa waktu kemudian, dia meraih kembali kepalaku dan membenamkan penisnya kembali di mulutku, disusul sejumlah lontaran yang sama kencangnya seperti di awal. Tapi kali ini dia tak mencabutnya, Kak Zaki membiarkan penisnya di dalam mulutku sampai semua lontaran cairannya selesai.

Dengan sisa-sisa kedutan di penisnya, aku berusaha membantu menghabiskan ejakulasinya itu dengan hisapan-hisapan di mulutku. Sampai tak tersisa lagi cairan panas dari kepala penisnya, kutelan habis cairan panas yang menggenang di mulutku itu.

Dengan hati-hati, ditariknya penisnya keluar dari mulutku. Aku pun menyeka sisa-sisa sperma yang lengket di mataku, dan kemudian melihat Kak Zaki yang telanjang itu tidur terlentang dengan nafas yang terengah-engah.

Dengan lemah, dia membuka matanya dan melirik ke arahku sambil tersenyum.

"Enak banget, Bell." Ujarnya.

"Enak sih. Tapi ini?" Protesku sambil menunjuk wajahku yang berlumuran spermanya.

Semerbak wangi pandan dan vanilla sangat jelas tercium di hidungku, terutama karena sebagian spermanya masuk ke lubang hidungku.

"Suka tapi, kan?" Tanyanya.

Aku tersenyum dan mencolek spermanya dari pipi dan daguku dengan telunjukku.

"Suka." Jawabku sambil menghisap sperma yang ada di telunjukku.
"Sperma Kak Zaki enak."

---


Astaganaga, masih Bersambung aja. Mau sampe kapan kayak gini terus?


Index
Saya suka yang incest begini
 
Holy s*it!
Author fav gw kembali nih....
Gw udh ngikutin sejak kisah Alya & Ivan sama Andin & Rangga, masih tetep konsisten dengan genre slow but sure yang dibalut pemilihan diksi dan tata bahasa yg rapi. Gw percaya lo di dunia nyata bukan penulis kaleng-kaleng. Tolong jangan cepet-cepet ya tamatnya!

PS: sekalian izin buat Author utk nyimpen karya tulis ini. Thanks!
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd