Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MAYA ISTRIKU (COVER)

Siapa pasangan ideal menurut (harapan) kalian?

  • Gio - Maya

  • Gio - Frieska

  • Bazam - Maya

  • Anto - Maya

  • Gio - Farin


Hasil hanya dapat dilihat setelah memilih.
BAGIAN 33

K O N S U L T A S I


POV GIO

Cigetih, Senin, 5 Februari 2024….


Hari ini aku lagi-lagi tidak masuk kerja, karena kali ini harus mendampingi istriku mengunjungi Psikolog. Sesampai di tempat praktek tersebut, suasana sepi, aku sempat ragu apakah klinik ini sudah buka apa belum. Tidak ada pasien lain, bahkan pintunya pun tertutup… tak ada juga petugas resepsionis atau apapun lah itu sebutannya.

Aku mengetuk pintu depan, hatiku berdebar-debar. Di sebelahku, Maya, istriku, berdiri dengan tatapan kosong, seperti memiliki kekhawatiran yang sama dengan yang kurasakan.

Masalah yang kami hadapi tidak pernah terlintas dalam pikiranku sebelumnya. Maya, istri yang begitu kucintai ini, telah mulai mengalami perubahan perilaku sampai tahap yang begitu mencemaskan. Ekshibionis yang berujung pada Hypersex.

Ketika pintu terbuka, seorang lelaki muda mungkin seusiaku cukup ramah menyambut kami dengan senyuman hangat, lumayan membantu menenangkan kegelisahan yang kurasakan.

Lelaki itu mengenalkan diri sebagai dr. Anto, dan ternyata dia adalah Pskiater, bukan Psikolog…. Tahu kan bedanya? Tak perlu aku jelaskan lagi ya, aku lagi capek!

Kami dipersilahkan duduk di ruang tunggu depan, lebih mirip ruang tamu biasa sih. Maya terlihat tegang, aku duduk di sampingnya, mencoba memberikan dukungan semampuku. Untungnya sang dokter terlihat ramah, dengan berbasa-basi sedikit sebelum dia menyampaikan maksud kedatangan kami.

Sang dokter menerangkan sebuah metode terapi perilaku kognitif, yaitu terapi yang mengedepankan kenyamanan dan keamanan bagi pasiennya, sehingga diharapkan pasien bisa terbuka dalam menyampaikan perasaan dan pikirannya. Terapi ini berbasis pada dialog antara pasien dan sang dokter.

Sang dokter bertanya, siapa yang memerlukan jasanya? Aku menunjuk istriku, lalu kemudian aku pun mengatakan kalau mungkin aku perlu ditangani juga. Dokter Anto tersenyum dan meminta kami untuk duluan masuk ke ruang pemeriksaan.

Langkahku berat bercampur gelisah saat aku mengikuti Maya masuk ke dalam ruang pemeriksaan.

Ada dua buah kursi besar yang berhadapan, kursi yang dilapisi kain biru tua. Ruangan ini, tampak bersih, harum, dan nyaman, namun ketegangan kembali kurasakan begitu memasuki ruangan ini. Aku tak bisa membayangkan apa yang ada dalam benak Maya saat ini, tetapi aku berjanji akan selalu berada di sampingnya, tidak peduli apa yang terjadi atau yang dia ucapkan nanti.

Pintu terbuka, dan dokter Anto masuk dengan ekspresi tenang mempersilakan kami agar lebih santai. Dokter itu memandang kami dengan pandangan yang penuh empati, mencoba menenangkan kami dengan senyuman hangatnya.

Kini dokter Anto meminta istriku untuk duduk di kursi biru itu, menyandar dengan sikap tubuh serileks mungkin. Sementara aku menunggu di kursi panjang, masih di ruangan yang sama. Aku bisa merasakan tekanan yang menghinggapi perasaan Maya ketika istriku itu duduk di depan psikiater dengan raut wajah tegang dan penuh kecemasan, meskipun posisi duduknya sudah setengah berbaring dan terlihat nyaman.

"Bu Maya… atau saya panggilnya cukup Maya saja ya…" Psikiater itu meminta izin dan memulai dengan suara lembut, "Apa yang membawa kamu ke sini di hari ini?"

Dengan perlahan, Maya mulai berbicara. Suaranya terdengar gemetar, mencerminkan suasana dalam hatinya. Dia menceritakan tentang perubahan-perubahan yang dia rasakan dalam dirinya sendiri, tentang dorongan-dorongan yang tak terkendali, dan tentang perasaan bersalah yang merasuki setiap langkahnya.

Sementara itu, aku hanya bisa duduk diam, mendengarkan dengan hati yang hancur. Aku ingin sekali menangisi penderitaannya, tapi aku harus tetap kuat untuk Maya. Dia membutuhkanku, butuh dukungan dengan cinta yang tak terbatas.

Percakapan diantara mereka terus berlanjut, di awal Maya masih sempat terlihat ragu, pskiater pun memintanya untuk tidak memaksakan jika belum siap, Maya sempat melirik ke arahku…. aku mengangguk untuk memberinya kekuatan. Akhirnya Maya mulai membeberkan rahasia-rahasianya yang tak pernah dia bagikan sebelumnya, meskipun aku sendiri sudah tahu semuanya, termasuk dia sudah berani menceritakan tentang Kang Bazam dan lelaki-lelaki lainnya, hanya ada 2 hal yang tidak dia ceritakan…. Yang pertama adalah kejadian kemarin malam, yang melibatkan 3 orang itu, dia tidak menceritakannya. Sementara masalah yang kedua, yang selama ini cukup mengganggu pikiranku yaitu kemungkinan dia sedang hamil karena sampai hari ini istriku belum menstruasi, ini pun tidak dia ungkapkan, mungkin karena dia menganggap hal itu belum pasti.

Jadi intinya, hanya ada 1 nama ‘baru’ yang baru kudengar dari mulutnya dan selama ini tak pernah dia ceritakan kepadaku, yaitu… Kang Bazam.

Maya mulai menangis, dan berkali-kali meminta maaf atas sikapnya itu kepadaku, berkali-kali juga dia mengatakan bahwa dia mencintaiku, cinta yang sangat besar. namun aku merasakan….. beban yang selama ini ia pikul sendiri itu kini telah keluar dari jiwanya.

Psikiater mendengarkan dengan penuh perhatian, mencatat setiap detail yang Maya ceritakan. Kemudian, dia memulai percakapan tentang kemungkinan penyebab untuk masalah ini.

Psikiater bersikap penuh dengan kesabaran. Dia mendengarkan setiap kata dengan penuh perhatian, tak ada nada penghakiman, tak ada kesan menyalahkan, dokter Anto terus membimbing Maya membuka lorong-lorong gelap yang telah menghantui pikirannya.

Hampir 2 jam Maya menumpahkan semua bebannya, dokter Anto pun mulai memberikan beberapa opsi solusi, dan meminta Maya untuk memilih pilihan yang menurut istriku itu membuatnya nyaman. Sampai akhirnya dokter menawarkan kepadaku untuk berganti posisi tempat duduk dengan istriku, justru aku yang tidak siap…. Ada ego lelaki yang muncul, aku belum siap rahasia burukku terungkap di hadapan istriku. Aku hanya bilang di hari ini hanya mendampingi istriku saja.

Setelah beberapa saat diskusi yang mendalam, psikiater itu menyimpulkan bahwa hypersex bisa disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk ketidakseimbangan hormon, stres, atau trauma emosional. Dia merekomendasikan tetap melakukan terapi dengan metode kognitif, serta pemeriksaan kesehatan lengkap untuk meninjau faktor-faktor fisik yang mungkin berperan juga, meskipun untuk pemeriksaan fisik ini baru akan dilakukan setelah 3 kali pertemuan dan harus dirujuk ke Rumah Sakit Umum.

Dokter Anto pun memberikan beberapa langkah yang sangat bermanfaat untukku, intinya agar aku bisa menerima segala kekurangan istriku dan harus selalu siap mendampingi istriku ini sampai kapanpun. Dia menekankan pentingnya komunikasi terbuka, empati, dan kesabaran dalam menghadapi situasi ini. Aku pun mengangguk setuju.

Kami meninggalkan ruang konsultasi itu dengan perasaan lega, dokter Anto pun memberikan beberapa obat untuk Maya.

Kami langsung pulang, karena hari ini Bu Farin dan Om Hartowo akan datang lagi untuk makan-makan di rumahku. Sepanjang perjalanan pulang, Maya meraih tanganku dengan erat. Lagi-lagi dia meminta maaf…. khususnya untuk kisahnya bersama Kang Bazam, dia akhirnya menceritakan lagi kepadaku, sama persis seperti yang dia ceritakan di hadapan pskiater. Maya mengaku bahwa dia itu memang mantannya, tapi Maya berjanji akan meninggalkan dia dan tak akan menghubunginya lagi. Aku memaafkannya dan cukup merasa lega.

Dia tampaknya takut dengan semua yang diceritakannya hari ini di hadapan pskiater akan membuatku marah. Tidak, Maya….. meskipun marah… rasa marahku itu tidak akan kutumpahkan kepadamu, tapi pada setiap lelaki yang sudah menyetubuhimu, meski itu belum semuanya kulakukan.

Melihatku tersenyum, membuat matanya bercahaya dengan harapan yang baru ia temukan lagi.


÷÷÷÷÷÷​



Kami sudah tiba di rumah sebelum Bu Farin datang. Tentu saja Maya langsung sibuk membersihkan rumah, sepertinya takut kalau ibunya ngomel lagi mengenai keadaan rumah kami.

Sementara aku, duduk bersantai di depan TV. Setelah beberapa menit waktu dihabiskan Maya untuk membereskan rumah, dia pun bergabung denganku untuk istirahat dengan terpaan angin dari AC.

Suara mobil di depan rumah menarik perhatian kami berdua. Kami berdua lalu berdiri karena sepertinya ada yang datang ke rumah. Maya lalu mengintip dibalik jendela dan berkata, “Oh!”

Sedangkan aku langsung membuka pintu depan. Ya, yang datang itu memang Bu Farin dan Om Hartowo. Tiba-tiba pintu belakang mobil Om Hartowo terbuka juga, siapa dia……?

“HAH?!?! FRIESKA!!!!” Hampir saja aku berteriak dan pingsan di depan pintu karena yang kulihat benar-benar perempuan yang kusayangi itu.

“Hmm, anak Mamaaaaa!” Bu Farin merangkul Maya seolah rindu padahal baru kemarin bertemu, ibu mertuaku memainkan hidungnya di pipi istriku itu, Bu Farin memang sampai saat ini masih sering menganggap Maya sebagai anak kecil.

Akhirnya Bu Farin tersenyum dan berkata, “Mulai hari ini, rumahmu ada yang ngurus…”

“Yang ngurus?”
Aku kebingungan.

“Ngurus?” Timpal Maya.

“Kalian kenal Frieska kan?” Tanya Bu Farin.

Mataku melotot dengan mulut menganga.

“Halo...” Frieska tersenyum menyapa kami semua setelah dia melangkah mencapai teras rumahku.

“Halo Fries… kok bisa sama Mama?” Tanya Maya kepada Frieska.

“Iya tadi Mama sebelum kesini, mampir dulu ke rumah Wak Ami… dan ngeliat Frieska… katanya lagi nganggur, Mama inget rumah kamu yang selalu berantakan ini, nggak ada salahnya diurus sama Frieska, kan….? Dan untungnya dia juga mau…” Bu Farin menyambar untuk memberi penjelasan.

“Yuk Fries, masuk… anak kamu sekarang udah sebesar apa?” Ujar Maya tanpa menjawab pertanyaan ibunya itu. Kini istriku menggandeng pundak Frieska masuk ke dalam rumah, dua perempuan yang kucintai ini terlihat akrab meskipun mereka jarang bertemu.

Dan jujur saja aku masih shock, tak menyangka Frieska nekat datang ke rumah ini dan mau menjadi….. ART! Keringat dinginku mulai bercucuran.

Bu Farin, Maya, dan Frieska langsung masuk ke dapur… rencananya kami memang mau makan-makan…. Botram, begitulah orang Sunda menyebut istilah ini. Makan beramai-ramai sekeluarga atau bersama teman-teman, meskipun menunya sederhana khas kampung, nasi liwet, goreng ikan, jengkol goreng, karedok, lalaban, sambel, tumis kangkung… kurang lebih seperti itu lah.

Sementara kulihat Om Hartowo langsung menguasai remote TV di ruang keluarga. Aku benci lelaki ini, dan aku memilih merokok di teras depan, selain malas mengobrol dengan calon ayah tiriku itu, aku juga masih tegang yang akan kuhadapi kedepannya dengan keberadaan Frieska disini, sebenarnya aku ingin menolak, tapi tak enak pada Bu Farin, begitu juga kulihat Maya langsung welcome dengan kehadiran Frieska.

Kemudian Maya memanggilku dari arah dapur, dengan perasaan dag-dig-dug aku mendatangi dia. Ternyata mereka sedang membicarakan masalah pekerjaan Frieska disini. Untuk urusan gaji, Bu Farin yang akan mengurusnya. Katanya Frieska tidak bisa sampai menginap, karena tidak mungkin meninggalkan anaknya semalaman, jadi dia hanya bisa sampai jam 5 sore saja, dan datang pada jam 7 pagi kesini menggunakan ojek. Semua tampak memaklumi, sementara aku hanya diam. Setelah membicarakan ini-itu, akhirnya Frieska sudah resmi bekerja di rumahku sebagai ART. Maka dari itu, bertambahlah penghuni untuk rumah ini.

“Kalau gitu Mama sama Maya belanja dulu. Maya kamu tahu kan tempat penjualnya disini?”

“Iya, Mah...”
Maya mengangguk.

Setelah itu Maya mengajak Frieska untuk ikut. Tapi Bu Farin mencegahnya, dia menyuruh Frieska untuk beres-beres dan menggeserkan kursi di ruang tengah untuk kami nanti makan sambil lesehan di atas karpet.

Maya, Bu Farin, dan Om Hartowo pergi menyisakan aku dan Frieska saja di rumah ini.

Setelah mereka pergi, Frieska memandangku dan tersenyum tipis, ia berjalan dan langsung duduk di pangkuanku.

“Kenapa Ayang kesini?” Tanyaku masih tak percaya.

“Hm...”
Frieska mengelus pelan pipiku dengan ujung jarinya, “Aku bisa jaga Kak Maya sewaktu Ayang berangkat ke kantor….”

“Hah? Sampe segitunya pengorbanan kamu buat nolong aku dan Maya?!”

“Iya, kita kan keluarga!”
Jawabnya sambil tersenyum.

Aku terdiam. Benar juga katanya. Jadi aku bisa tenang bekerja di kantor tanpa harus khawatir dengan keadaan di rumah.

“Ga tau ya kalau Kak Maya keluar rumah, pokoknya kalau dia masih di rumah. Bakalan aman kok...”

“Makasih, Sayang...”

“Sama-sama… tadi gimana ke psikolog-nya?”

“Bukan Psikolog ternyata…. Tapi pskiater…”

“Oh… nggak jadi berarti?”

“Jadi lah… untung juga itu Pskiater, jadi bisa ngasih obat juga…”


Frieska menoleh dan tersenyum kepadaku.

“Ayang diperiksa juga?”

Aku terdiam lalu menggeleng.

“Ya udah nggak apa-apa… yang penting Kak Maya aja dulu yang sembuh...” Frieska mengelus rambutku.

“Kenapa kamu nggak cemburu sama Maya? Tumben… biasanya dikit-dikit ngambek….”

“Iya… pikir-pikir kenapa aku harus cemburu… toh sampai kapanpun Kak Maya bakalan terus ada di hidup Ayang, kan?”

“Tapi...”
Dia melanjutkan dengan memandangku sambil melotot, “Awas aja kalo Ayang minta aku ‘gituan’ disini! Nggak boleh ya… meskipun ada kesempatan!”

“Yeee… siapa juga yang mikirin itu!!!”


Frieska menahan tawa dan membaringkan kepalanya di pundakku.

“Tapi kalo di luar boleh, asalkan jangan disini.”

“Kenapa emangnya?”

“Nggak enak aja….”

“Terserah...”
Jawabku sambil mencubit gemas pipinya.


÷÷÷÷÷÷​



POV BAZAM

Tak ada yang lebih nikmat selain kenikmatan yang kurasakan semalam. Kekasihku benar-benar binal… belum pernah kulihat dia senakal dan se-erotis semalam, saat dia menikmati 3 kontol sekaligus. Semua ukurannya besar, itu pasti disukai oleh Maya. Begitu juga dengan permainan kami yang membuat Maya kelojotan, aku sendiri tak menyangka jika 2 bandot tua itu memiliki energi yang masih lumayan besar.

Semakin Maya menikmati, semakin besar pula aku terbakar gairah. Nafsu yang bercampur dengan cemburu dan malam kemarin aku benar-benar cemburu karena Maya terlihat lebih menikmati saat bermain dengan lelaki-lelaki tua itu dibandingkan denganku. Ketika aku sedang berada dalam ‘permainan’, aku ikut larut dalam nafsu… tapi setelahnya, ada perasaan cemburu, kesal, marah, dan yang pasti dendam pada 2 lelaki itu.

Jujur saja aku merasa khawatir dengan Hartowo, semakin hari dia semakin dekat dengan Maya… aku takut kekasihku berpaling padanya. Tapi sayangnya, pada Hartowo aku masih belum menemukan cara yang tepat untuk melampiaskan marahku, tapi lain halnya dengan Joko…. Aku sudah merencanakan sesuatu!!! Ketua Ormas yang merupakan sahabat sejak lama dari Hartowo itu akan segera mendapatkan ganjarannya…. dan dia kupastikan tak akan bisa lagi menikmati tubuh kekasihku.

Dan bayangan indah tubuh Maya, ekspresi nakalnya, desah dan gelinjangnya terus membayangi pikiranku di hari ini. Maka di jam makan siang aku sengaja pulang ke mess, atau lebih tepatnya mendatangi Maya untuk meminta ‘jatah’.

Sejak tadi aku mengirim pesan padanya namun tak dibalas, bukan hanya tak dibalas tapi nomor teleponku pun sudah diblok!!! Apakah dia benar-benar mau ‘bertobat’? atau jangan-jangan dia masih marah padaku sejak kasus Ciraos yang dia anggap aku ingkar janji karena tak bisa melindunginya? Masa bodoh!!! Semarah apapun dia, kalau sudah melihat ‘barangku’, dia pasti bertekuk lutut dan mengejar bagai anjing yang kehausan, seperti yang dia lakukan semalam…. Kemarin dia sebenarnya masih marah, tapi dia tetap saja rela memeknya kujebol dengan kontolku ini.

Namun betapa terkejutnya dengan apa yang kulihat di siang ini, ketika aku mengintip di jendela… ternyata ada Gio! Dan suami dari kekasihku itu sedang memangku seorang perempuan muda dengan sangat mesra, wajah perempuan itu tak asing bagiku, karena aku sudah pernah melihatnya sesaat sebelum peristiwa Marco! Ada apa dengan Gio? Berani-beraninya dia berbuat mesum dan menyelingkuhi istrinya di rumah sendiri! Lalu kemana Maya di siang ini?

Apakah Maya sedang pergi ke Psikolog seperti yang pernah dia ceritakan? Lalu ketika Maya berobat, suaminya asyik-asyikan dengan perempuan lain? Hmmm.. Maya, sudahlah hentikan rencanamu untuk sembuh! Lebih baik kita teruskan petualangan liar yang sangat nikmat ini, lebih baik kamu memilih aku daripada lelaki yang terlihat lugu ternyata brengsek di belakangmu!!!


÷÷÷÷÷÷​



POV GIO


Beberapa menit kemudian Bu Farin dan Om Hartowo kembali, tapi tidak dengan Maya. Yang tentu saja membuatku bertanya, “Maya mana, Mam?”

“Tadi dia bilang sakit perut waktu di toko Pak… Pak siapa tadi, Mas?”
Jawab Bu Farin lalu bertanya pada Om Hartowo.

“Pak Joko…. Dia temen lama Om lho, Gio… kamu kalo ada apa-apa disini minta bantuan aja sama dia… anak buahnya banyak, Ormas-nya dulu Om yang bina.” Ucap Om Hartowo.

Hmmm…. jadi rupanya hubungan diantara mereka seperti itu, yang membuat Pak Joko kemarin ikut ramai-ramai menyetubuhi istriku.

“Maya barusan suruh Mama pulang duluan aja soalnya mau ke toilet dulu….” Ucap ibu mertuaku.

Mendengar itu aku terdiam. Tak akan jadi masalah kalau Maya meminjam toilet toko yang dimaksud, yang menjadi masalah adalah PAK JOKO! Pemilik warung itu kini sudah berubah status jadi bajingan di daftarku!

“Kamu kenapa?” Tanya ibu mertuaku.

“Oh... Ng-nggak...”

Ibu mertuaku segera menuju dapur untuk menaruh belanjaannya.

Sementara Frieska tampak menyadari keadaan ini, dia perlahan mendekatiku dan berbisik, “Cepet susul Kak Maya!”

Aku menatapnya dan Frieska menatapku tajam. Seolah dia mengerti situasi ini dari raut wajahku dan menyuruhku tegas dalam situasi seperti ini. Aku berpamitan dengan orang di rumahku dan segera pergi untuk menjemput Maya menggunakan sepeda motorku.

Sesampainya di sana, aku sudah melihat Maya keluar dari toko itu bersama Pak Joko.

“Loh, Papah...” Sambut Maya, “Kok kesini?”

“Jemput lah...”
Jawabku.

“Wah! Untung udah selesai hahaha!” Pak Joko tertawa.

“Selesai apanya, Pak?”

Pak Joko menjawab dengan alasan-alasan yang sepertinya dibuat-buat. Dia lalu bercerita tentang topik lain dan aku mengamati perilaku mereka berdua. Pak Joko dan Maya sama-sama berkeringat walau tak banyak. Dan aku melihat Maya yang berdiri di samping motorku dari tadi sibuk merapikan rok dan bajunya, seolah-olah dia baru memakainya lagi. Sedangkan pak Joko.... sepertinya dia tidak memakai celana dalam, karena resleting celananya itu terbuka dan sekilas terlihat penis tuanya itu ‘mengintip’ dari dalam, bahkan ikat pinggangnya masih belum terpasang sempurna meski pengait celananya sudah tertutup.

Sial! Aku tahu, pasti tadi Maya melayani pak Joko di toko ini! Sialan kamu, Maya! Apa kamu sudah menjadi semudah ini untuk ‘dipakai’?? Lalu untuk apa tadi kita sama-sama ke Pskiater jika kau masih mengikuti hawa nafsumu?!?!!? Ini baru beberapa jam saja sejak kamu konsultasi ke pskiater… kenapa kamu melakukan ini lagi?!?!?!​



÷÷÷÷÷÷​
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd