Bagian VI
" Baru pulang mbak "
" Iya bu Zain, baru pulang dari rumah sakit "
" Gimana keadaan ibu ? "
" Alhamdulilah, tadi sore ibu sadar "
" Alhamdulilah, semoga lekas sembuh dan dapat bekerja kembali ya "
" Amin bu, terimakasih, mohon doanya "
" Maaf mbak Mita, ibu mohon maaf sebelumnya, untuk uang kontrakannya bagaimana, hari ini mbak janji melunasi lo, hihihi "
Ya Tuhan ternyata basa basi, bu Zainal, pemilik rumah yang kutempati ini hanya basa basi menanyakan keadaan ibuku. Tanpa perasaan ia membuatku malu, menagih tanggunganku di depan Raka, di depan tamuku.
Sebenarnya aku tahu, hari ini aku harus membayar tiga bulan tunggakan kontrakan rumahku. Tapi apa daya saldo ATM tinggal 1 juta. Si brengsek dr. Raffi ternyata hanya mentransfer untuk mbak Ningsih dan mbak Hani, tidak pada ku.
" Bu, saya mohon maaf, saya minta waktu 1 minggu lagi, isya' Allah akan saya lunasi "
" Jangan gitu dong mbak Mita, janji tetap janji, sudah tiga bulan ini saya memberi toleransi "
Judes, jutek itu ekspresi wajah yang kutangkap dari wajah bu Zainal, aku harus bagaimana ?
Ya Tuhan, kemana lagi aku harus mencari uang kontrakan ini, selain pada dr Raffi.
" Sekali lagi aja saya minta tolong, beri waktu saya satu minggu "
" Ah gimana sih mbak Mita itu, selalu ingkar janji "
" Ok ini yg terakhir kali, kalau satu minggu lagi tidak mbak tepati, dengan terpaksa saya minta mbak angkat kaki "
Tegas jelas ancamannya, aku semakin bingung di buatnya.
" Jangan bilang saya kejam ya, saya cukup sabar, saya cukup bertoleransi, assalamualaikum "
Belum sempat ku jawab salamnya, tiba tiba Raka menyela.
" Eh .. tan tunggu, maaf tunggakan kontrakannya berapa ya ? "
" Dikit kok mas sebenarnya, delapan ratus kali tiga bulan, dua koma empat mas "
" Ok kalau gitu biar saya bayar dulu "
" Eh.. Ka jangan, itu kewajibanku "
Aku tak mau Raka terlibat terlalu jauh dalam kehidupanku.
" Udah kamu diam, kamu tenang. Biar aku bayar dulu, urusanmu sama aku "
Ia kemudian membuka tasnya, mengambil amplop coklat yang terlihat tebal, lalu memberikan sebagian pada bu Zainal.
" Ini empat koma delapan, silahkan di hitung dulu "
" E.. iya mas pas empat koma delapan "
" Berarti aman ya tan untuk tiga bulan ke depan "
Raka tersenyum manis pada pemilik kontrakanku itu.
" Iya.. mas, aman sudah lunas, hehehe "
Kulihat ekspresi bu Zainal langsung berubah, dari jutek menjadi ceria ditambah sedikit genit raut mukanya.
" Baiklah, terimakasih tante "
" Eh.. kok malah mas ganteng yang terimakasih harusnya saya dong, hihihi "
" Sama sama tan "
" Ih beruntung banget mbak Mita punya pacar kayak mas ini, udah ganteng baik lagi, kalau saya punya suami seperti mas, nggak perlu repot malam malam nagih kontrakan kayak gini, hihihi "
Raka hanya senyum senyum saja, tidak menjawab apa apa.
" Ya udah saya pamit dulu ya mas ganteng, sering sering dolan kemari, nanti tante bikinkan kopi, hihihi, assalamualaikum "
Loh siapa tuan rumahnya, siapa yang di pamiti, matanya ngerling lagi, dasar ibu ibu genit.
............
Awalnya aku tersinggung saat Raka memintaku tidak sekolah hari ini. Jangan karena dia menolongku dari pagi sampai malam tadi terus dia berhak mengatur hidupku ini.
" Ibumu butuh kamu, bukan mbak Ningsih bukan pula mbak Hani "
Akhirnya aku memahaminya. Luar biasa Raka, aku sama sekali tidak menduga dia begitu dewasa.
Setelah mengganti pakaian seragam, setelah menelpon memohon izin pada guru wali kelasku, Raka mengantarku ke rumah sakit, di perjalanan ia membelikan sarapan untukku.
" Kamu harus terlihat segar dan ceria, agar ibumu gembira "
Aku hanya mengangguk.
" Terimakasih, Ka "
Raka dan ninjanya berlalu menuju sekolahku. Aku beranjak, berjalan menuju ruang ICU.
.........
" Assalamualaikum"
" Waalaikumsalam, loh Mit, kok disini, nggak sekolah kamu "
" Hari ini biar saya yang jaga ibu, mbak Narsih istirahat dulu, nanti tolong bilang ke mbak Hani datangnya malam saja sekitar jam tujuh "
" Oh begitu ya, ya udah mbak siap siap pulang, nanti ku sampaikan sama Hani pesanmu itu "
" Iya mbak, hati hati dijalan "
" Assalamualaikum "
" Waalaikumsalam "
Usai mbak Ningsih berlalu dari ruang tunggu, aku beranjak menuju meja perawat ruang ICU.
" Maaf sus, kalau waktunya ibu sarapan minta tolong biar saya aja yang nyuapi "
" Oh iya iya mbak Mita, paling setengah jam lagi catering datang "
.....................
Rasanya begitu bahagia melihat senyum ibuku, senyum pahlawanku, senyum perempuan yang seorang diri membesarkanku.
Sehat selalu ya bu..
Tindakan operasi pengangkatan rahim harus dilaksanakan, saat ditemukan bejolan daging sebesar bola tennis di rahim ibuku. Kangker Rahim begitu yang disampaikan dr. Raffi padaku.
Operasi 6 bulan lalu sukses. Perut ibuku yang membesar melebihi perempuan hamil 9 bulan perlahan kempes.
Aku sangat bahagia. Pengorbananku yang tak seberapa dibandingkan pengorbanan ibu membesarkan diriku itu, tidak sia sia. Ibuku kembali mampu beraktifitas seperti sedia kala.
Tapi cobaan itu datang lagi padaku, sebulan lalu. Berawal dari keluhan sakit perut yang teramat sangat, ibuku pingsan, pingsan selama satu bulan. Tapi syukurlah, alhamdulilah kemarin ibu telah sadar.
Aku tersenyum menyambut senyum hangatnya.
Ku usap bibirnya dengan tisu, bubur saring di mangkok kecil ini telah habis tidak tersisa.
Alhamdulilah, Terimakasih ya Tuhan...
" Mita.. nggak sekolah nduk ? "
" Lah ini kan hari minggu, masa ibu lupa sih, hihihi "
Maafkan Mita, bohong sama ibu......
" Loh hari minggu to ini, ibu sampai lupa hari "
Ia tersenyum malu.
" Hihihi, belum juga tua udah pikun, hihihi "
Candaku mencoba mencairkan suasana.
Ibu hanya tersenyum, ku elus elus telapak tangannya.
" Gimana perutnya bu "
" Udah enteng, nggak sakit lagi, cuma badan ibu aja yang lemes masih kaku kaku "
" Ya, wajarlah lemes dan kaku kaku, namanya juga orang sakit, hihihi "
" Nduk, Ibu pengin pulang, nggak enak tidur disini "
" Sabar ya bu, pulih dulu kondisinya, baru nanti pulang, buru buru amat sih, hihihi "
" Kalau lama lama, banyak nanti kan biayanya "
" Nggak usah mikir biaya, BPJS ini bu, gratis tis tis tis, hihihi "
Andai waktu itu ibu punya BPJS, pasti tidak kuserahkan tubuhku ini pada dr. Raffi.
Ah sudahlah, yang sudah biarlah sudah.
.................
" Baik kalau itu yang dokter mau, saya setuju dengan satu syarat semua pelayanan medis ibu harus yang terbaik, mulai dari operasi, obat dan perawatan harus yang nomer satu "
" Hehehe, pasti dong cantik, om pastikan semua tindakan medis yang terbaik untuk ibumu "
" Terimakasih dok "
" Loh loh loh, kok panggil dok sih, panggil OM kayak biasanya aja cantik, kalau perlu kamu boleh kok seperti Sherly panggil Papa, biar enak kedengarannya, hehehe "
" Iya, terimakasih dok "
Ke esokan harinya, Di ruang tunggu operasi itu aku diam. Aku berjanji, aku harus tetap sekolah, aku harus terus pintar berprestasi agar dapat menjadi dokter, dokter lulusan Universitas terbaik negeri ini.
Karena hanya dengan itulah, aku dapat merawat ibuku. Dan karena itulah kelak suamiku pasti akan dapat menerima kekuranganku ini.
.............