Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Taiyou no Uta ~Sebuah Lagu untuk Matahari~

Zacky Lee

Semprot Kecil
Daftar
12 Mar 2013
Post
91
Like diterima
12
Lokasi
BBM 313642AC
Bimabet
Taiyou no Uta


45db10245853368.jpg


Sinopsis
Kaoru seorang gadis penderita penyakit Xeroderma Pigmentosum atau biasa disingkat XP. Penderita penyakit yang mengakibatkan Kulit sangat sensitif terhadap sinar ultraviolet yang berada dalam sinar matahari. Apabila terekspos sedikit saja, maka akan timbul bercak-bercak coklat yang berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker. Penyakit ini mengakibatkan penderitanya tidak dapat terpapar sinar mentari langsung.
Dengan kehidupan tersebut Kaoru menjalani kehidupan seolah terbalik dari kehidupan orang biasanya, kehidupan orang - orang dimana ketika siang ia tidur namun ketika malam dia memulai kegiatanya yaitu menyanyi di sekitar sebuah stasiun. Dia seolah sendirian dimana dia tidak memiliki banyak teman.
Namun Disela kesendirianya itu dia menyukai seorang pemuda yang setiap pagi berdiri di halte didepan rumahnya. Dia adalah seorang cowok kurus yang senantiasa menyematkan sebilah papan seluncur di badan samping skuternya itu. Dia tahu dia jatuh cinta kepada pemuda tersebut.
Akhirnya dia mempunyai kesempatan untuk berkenalan dengan pemuda tersebut . Tidak disangka pemuda tersebut ternyata jatuh cinta juga terhadap dirinya . Akhirnya mereka pun berpacaran , di tahap pacaran ini mereka banyak melakukan hal erotis mulai dari menyentuh hingga hilangnya keperawanan Kaoru . Namun penyakit Kaoru membuat tubuhnya semakin lemah , akankah Kaoru bertahan dan hidup bahagia dengan pemuda tersebut ?.
Dari Penulis:
Cerita ini terilhami dari sebuah film yang berjudul " Taiyou No Uta" . Film yang menurut saya sangat bagus . Di cerita ini saya akan menambahkan unsur-unsur erotis yang tidak ada di film ini sehingga menjadikannya cerita erotic romantis. Di cerita ini akan ada sedikit perubahan pada akhir cerita sehingga sedikit berbeda dengan yang ada di Film , semoga dengan ada sedikit perubahan yang ada tidak membuat para pembaca kecewa . Kemudian dengan kemampuan aku yang sedikit dapat membawakan cerita ini dengan baik dan dapat menyentuh .
Semoga kisah ini bisa seperti kisah-kisah sebelumnya, yang bisa membuat kalian semua tersenyum, marah, menangis dan larut dalam emosi tokoh-tokohnya.
Salam Hangat dan Peluk Erat,
Mr Zack
Pin bb ( 313642AC) yang punya BB bisa Di Add. Tidak menerima add dari cowok gay dan hohoba, maaf. Hahahaha :bata:


Semoga cerita yang pernah saya tulis ini dan diramu ulang bisa menjadi bagus. Buat para Suhu mohon bimbingannya karena saya masih newbie dan belajar menulis. Semoga banyak komentar yang membangun dari para Suhu dan pembaca.:galau:

Salam hangat
Mr zack
 
Terakhir diubah oleh moderator:
BAB 1
Aku, Gadis yang Hidup dalam Gelap
Perlahan tapi pasti, matahari mulai muncul dari kaki langit. Burung-burung yang terbang mencari makan menandakan bahwa kehidupan di Kamakura—sebuah kota kecil di pinggir laut—sudah dimulai. Kereta api berwarna hijau dengan garis putih kecoklatan melintasi jalan, membawa orang-orang pergi ke tempat kerja dan sekolah. Beberapa penduduk lokal yang memang sudah terbiasa berseluncur di pagi hari mengeluarkan papan seluncur mereka untuk beratraksi di atas ombak, sementara sebagian besar lainnya memenuhi jalan-jalan sempit kota. Begitulah keadaannya di kota ini; dari matahari terbit hingga terbenam kembali, semuanya sibuk dengan aktivitas mereka masing-masing. Tiada yang berubah.

Tanpa terasa, satu hari telah berlalu, dan matahari—sekali lagi—kembali tenggelam di barat. Aku membuka mata beberapa saat setelah jam wekerku mulai mengeluarkan suara deringnya, membuat kamarku yang senyap menjadi bising. Tanganku meraih-raih jam bulat berwarna kuning itu, dan dengan segera, kupencet tombolnya untuk mengakhiri suara dering yang telah membuatku terjaga. Jendela kamar lantas kubuka lebar-lebar. Setelah menghirup udara malam yang dingin dan sejuk sebanyak mungkin, aku lalu menggeliat perlahan. Kubiarkan angin malam yang berhembus lewat jendela mengibarkan rambut hitam panjangku.

Tak lama setelah itu, aku sudah berganti baju, dari kaos biruku yang kugunakan tidur seharian menjadi sweter abu-abu. Aku lantas mengambil kotak gitarku dan berlari turun ke bawah—ke ruang keluarga. Kudapati Otousan dan Okaasan berada di sana. Otousan tengah mengguntingi kuku jari-jari kakinya, sementara Okaasan tengah menyiapkan makan malam.

“Itu dia, Kaoru ada di sini,” ujar Otousan saat melihatku menaruh kotak gitarku di samping pintu geser. Perlahan, aku lantas memasuki ruang keluarga dan mengambil krim tabir surya dari atas lemari dan lantas mulai melumurkannya di tangan dan wajahku. Menyadari aku tengah melakukan hal itu, Okaasan beralih dari kesibukannya menata meja.

“Malam ini kamu pergi juga?” tanya Okaasan kepadaku, yang kujawab dengan anggukan.

“Setiap malam membuat lagu terus,” Otousan menimpali tanpa memandangku (dan ia terus melihat ke arah jempolnya!), “itu yang kaulakukan, kan?”

Aku bergumam perlahan menanggapi pertanyaan Otousan. Yah, siapa pun tahu kalau itu berarti sama dengan “ya.”

“Apa itu ada maknanya?” tanya Otousan lagi kepadaku.

“Apa ada yang salah dengan itu?” aku membalas pertanyaan Otousan.

Setelah selesai dengan acara gunting kukunya, Otousan lalu bangkit dari kursi. “Apa boleh buat. Karena hari ini aku libur,” ia berkata kepada Okaasan, “aku akan pergi melihatnya tampil.”

“Akan kubunuh kalau datang,” aku berkata cepat-cepat sambil terus melulurkan tabir surya di lenganku.

Otousan tampak sedikit terkejut mendengar kata-kataku, tapi dia akhirnya mengerti. Sepertinya, dia tahu kalau putrinya tidak ingin dilihat. “Ya sudah kalau begitu.”

Aku kemudian menggosok-gosokkan kedua tanganku, memastikan kalau tabir surya yang kukenakan sudah sepenuhnya terserap ke dalam kulit. “Kau tahu kapan matahari akan terbit, kan?”
Okaasan lantas bertanya kepadaku, yang—sekali lagi—kubalas dengan gumaman. “Jangan cuma menjawab dengan ‘hem’ saja,” tegurnya.

“Jam 4.40 pagi,” kataku. Sesuai permintaannya, aku menjawab dengan kata-kata.

“Kalau begitu, pastikan kamu sudah ada di rumah sebelum jam empat,” tambah Okaasan lagi.

Sementara Okaasan meletakkan semangkuk besar sup, aku beranjak ke tempat duduk. “Aku mengerti,” jawabku perlahan.

“Juga jangan pergi terlalu jauh,” Okaasan kembali menasihati.Aku, yang kini tengah memegangi gelas selagi Otousan menuangkan air ke dalamnya, hanya menjawab dengan jawaban standar, “Iya, iya.”

Setelah itu, Otousan memulai makan malam bersama dengan ucapan itadakimasu (semacam ucapan selamat makan), dan aku lantas mulai menyantap makanan yang ada di depanku.
***

Saat-saat setelah makan malam merupakan saat yang menyenangkan bagiku. Pada saat itu, aku akan keluar rumah, dan—seperti kata Otousan—membuat lagu. Tapi, sebenarnya aku lebih sering menyanyikan lagu yang kubuat itu ketimbang membuat lagu baru. Seperti saat ini. Setelah makan malam, aku membawa kotak gitarku keluar melewati gerbang rumah bersamaku. Aku menunggu sejenak saat palang pengaman kereta api menutup, dan setelah palang itu kembali membuka, aku melanjutkan perjalananku melewati sebuah gang perumahan dan pertokoan yang sepi bernama Yamacho-ri. Kemudian, aku melangkahkan kakiku menuju tempat biasanya aku bermain—depan stasiun. Di tempat ini, biasanya aku akan duduk di lantai dan mulai membuka kotak gitarku untuk kemudian memainkannya. Beberapa batang puntung rokok yang mengotori lantai kusapu dengan menggunakan sepatuku. Lantai ini akan kupakai, jadi wajar saja kalau aku meminggirkan puntung-puntung rokok itu. Ketika aku tengah membersihkan lantai yang akan kugunakan dari puntung rokok dan sampah, aku melihat sepasang polisi mendekati tempatku berada dengan mobil patroli mereka. Memang bukan merupakan hal yang wajar jika seorang gadis seusiaku terlihat berada di luar rumah jam-jam segini.

“Apa dia tersesat?” samar-samar, aku mendengar polisi yang lebih muda bertanya kepada polisi senior di sampingnya.

“Tak apa, kamu tak perlu mencemaskan gadis itu,” jawab sang polisi senior. “Orang tuanya sudah memberitahukan sebelumnya.”

“Memberitahukan apa?”

“Bagaimana mengatakannya, ya...,” polisi senior itu menahan kalimatnya, mencari penjelasan yang paling mudah, “XP adalah sejenis alergi. Kalau terkena matahari, maka penderitanya bisa mati.”

“Hah?” polisi yang lebih muda terkejut. Tidak heran. Ada berapa banyak alergi di dunia ini yang dapat membuatmu meninggal hanya karena terkena sinar matahari?
“Itulah sebabnya ia hanya dapat keluar di malam hari.”

Aku tersenyum mendengar percakapan mereka, tapi aku tidak memedulikannya. Alih-alih begitu, aku tetap membersihkan puntung-puntung rokok atau sampah lain yang mengotori lantai. Setelah merasa kalau lantai itu sudah cukup bersih, aku kemudian duduk di situ dan membuka kotak gitarku. Kunyalakan sebatang lilin yang sengaja kubawa dari rumah, sekadar untuk menemaniku bermain gitar. Setelah itu, aku menyetem gitarku, menggenjrengnya sekali, dan kemudian mulai menyanyikan lagu ciptaanku.
♪ Dare no tame ni ikite iru no?
Saenai hibi wo sugoshite, yeah
Yoasa mo itami mo
Dono kurai, kanjiteru no?
Tarinai kinou ni obore
Yume ni kaita kyou
Soraenakutemo, yeah, yeah
Yoake mae no matataku hoshi wa
Kiete itta no?
Asu e itta no?
Tomorrow never knows..., It’s happy line!

(Demi siapakah aku hidup?
Hari-hari berawan telah berlalu
Rasa lemah ini, rasa sakit ini
Seberapa banyak yang kau rasakan?
Aku menenggelamkan diriku dalam hari kemarin dengan sia-sia
Kutulis mimpiku hari ini
Meskipun itu belum selesai, yeah, yeah
Bintang-bintang yang berkelap-kelip sebelum fajar
Apakah mereka benar-benar hilang?
Atau mereka akan kembali lagi besok?
Hari esok tiada yang tahu... Ini adalah ucapan bahagia!) ♪
Dapat dilihat di
[video=youtube;vWoYcxEZvrI]http://www.youtube.com/watch?v=vWoYcxEZvrI[/video]
***
Namaku Amane Kaoru. Enam belas tahun. Selama ini, semenjak lahir, aku hanya bisa keluar malam dan tidak bisa keluar saat siang ketika matahari bersinar. Aku menderita sebuah penyakit kulit bernama Xeroderma Pigmentosum atau biasa disingkat XP. Kulitku sangat sensitif terhadap sinar ultraviolet yang berada dalam sinar matahari. Apabila terekspos sedikit saja, maka akan timbul bercak-bercak coklat yang berisiko tinggi untuk berkembang menjadi kanker. Lebih-lebih jika aku seharian berada di luar, bisa dibayangkan bagaimana dampaknya, kan?

Meskipun aku tidak bisa beraktivitas di siang hari, setidaknya aku masih punya sesuatu untuk dilakukan pada malam hari. Ya, jika malam sudah tiba, aku akan keluar membawa gitarku dan mulai bernyanyi di sini—di depan stasiun—sendirian. Aku suka mengarang-ngarang lagu dan, tentu saja, memainkannya dengan gitarku. Cita-citaku yang paling utama adalah masuk dapur rekaman dan merilis album yang berisikan lagu ciptaanku sendiri; meskipun sepertinya itu mustahil, ya? Aku telah menjalani kehidupan seperti ini selama bertahun-tahun, dan kurasa, aku cukup menikmatinya. Namun, hari esok memang tak bisa ditebak. Siapa yang tahu kalau keesokan harinya, hidupku akan mulai berubah?
***
Catatan:
Otousan: Ayah
Okaasan: Ibu

Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura.
 
Terakhir diubah:
BAB 2
Misaki dan Pertemuan Pertamaku dengan Cowok Itu

Dalam gelapnya dini hari, aku berjalan melintasi jembatan menuju rumahku. Aku sudah harus berada di rumah sebelum terbit matahari, ingat? Kemudian, aku melewatinya; halte bus yang biasa dipakai cowok berskuter dan berpapan seluncur untuk menunggu kedua temannya. Kakiku lantas kuarahkan menuju ke halte itu. Kutaruh kotak gitarku di samping bangku halte, lalu duduk di sana. Tanpa kusadari, tanganku mulai mengelus-elus bangku yang berwarna biru itu.

Di sinilah ia biasa duduk, cowok itu. Kupandangi bangku itu sejenak, dan tanpa berpikir panjang, kurebahkan diriku di atas bangku. Terasa sejuk dan nyaman. Ketika tengah tidur-tiduran itu, sekonyong-konyong mataku melihat papan penanda bus untuk berhenti Papan itu! Papan yang selalu membuat pandanganku dari jendela kamar ke bangku halte terhalang. Aku bangkit dari bangku, dan tak lama setelahnya, menggeser penanda itu beberapa meter ke kiri. Beres! Mulai sekarang, aku bisa melihatnya dengan lebih leluasa.

Ketika tengah menyapukan pandanganku ke sekitar (sambil setengah berharap cowok itu akan segera datang), aku tiba-tiba saja mendengar alarm jam tanganku berbunyi. Ah, itu dia. Isyarat bahwa fajar sudah akan tiba, sekaligus petunjuk untukku agar segera pulang. Aku mengecek jam tanganku untuk memastikan sudah jam berapa sekarang. Jam empat, ya....sebaiknya aku segera kembali ke rumah kalau tidak mau terpapar sinar matahari.
***

Pagi ini, di balik tirai beralumunium yang berfungsi mencegah sinar UV, aku kembali duduk-duduk di samping jendela. Seperti biasa, aku mendapati cowok itu sudah berada di depan halte bus dengan skuter dan papan selancarnya. Kali ini, aku dapat mengamatinya dengan lebih bebas karena tidak ada lagi papan yang menghalangiku. Kuperhatikan ia menunduk seperti tengah memainkan sesuatu (mungkin tangannya), dan ketika sadar kalau papan penanda bus yang biasa telah berpindah sekitar lima meter dari posisi normal, ia bergegas menghampiri papan itu sembari celingukan.
Aku tertawa tertahan melihat cowok itu bingung sendiri. Setelah aku melihatnya berlalu dengan kedua temannya tak berapa lama kemudian, aku lantas menutup jendela dan beranjak ke tempat tidur. Samar-samar, kudengar suara gaduh di lantai satu. Otousan adalah pemilik sebuah restoran kecil pinggir pantai, jadi dia pastilah tengah mempersiapkan berbagai hal bersama Okaasan untuk membuka restorannya itu. Namun, aku sudah terbiasa dengan kegaduhan itu, jadi aku tidak peduli dan memilih untuk bersiap-siap tidur.
Hari ini, Misaki memberitahuku kalau ia akan mampir. Ia adalah sepupuku sekaligus sahabatku selama ini, tapi karena penyakitku ini, aku tidak bisa bersama-sama dengannya ke sekolah. Dia cewek yang baik bagiku, tapi mungkin tidak bagi guru di sekolahnya. Bayangkan, ia sering membolos hanya untuk menemaniku! Seperti saat ini, ia datang ke rumah pada saat ia seharusnya berada di sekolah.
“Hei, hei, hei,” Otousan menghalangi dengan kakinya saat Misaki—masih dengan seragam sekolah—sudah berada di serambi.

“Osh!” jawab Misaki. Itu merupakan kata-kata favoritnya untuk menanggapi sesuatu.

“Jangan bilang ‘Osh’ ke aku,” jawab Otousan, “kamu bolos lagi, kan?”

“Osh! Kaoru mana?”

“Dia sedang tidur,” Otousan kembali menjawab dengan kaki kanannya masih terangkat, “kalau kamu membangunkannya sekarang, dia akan membunuhmu.”

“Kalau aku yang membangunkannya, tidak akan apa-apa,” balas Misaki.

Mendengar Misaki berkata seperti itu, Otousan lantas menurunkan kakinya, membuat cewek berkaca mata merah itu dapat lewat. “Kalau begitu, ya sana,” tambahnya. Ia lantas keluar rumah, sementara Misaki beringsut ke dalam.

“Obasan, ada yang baru lagi?” ujar Misaki ketika ia mendapati sesuatu tergantung di sisi lemari. Sebuah pakaian khusus berwarna abu-abu yang dapat menghalangi sinar UV. Aku harus mengenakan pakaian itu apabila hendak keluar rumah di siang hari, dan rasanya, ehm, tidak terlalu nyaman. Jujur saja, dengan tudung kepala khusus yang dilengkapi plastik untuk menerawang keluar, aku merasa seperti peneliti di reaktor nuklir jika mengenakan pakaian itu.

“Yang lama sudah kekecilan buat dia,” jawab Okaasan.

“Yah, tentu saja...,” gumam Misaki sambil meraih ujung pakaian itu.

“Kurasa sebaiknya jangan disentuh,” kata Okaasan tiba-tiba. Ia sudah membawa dua buah keranjang yang berisikan perlengkapan retoran. Kemudian, sambil mengenakan sepatu, Okaasan melanjutkan, “Kaoru akan mengetahuinya. Oh, Misaki-chan,” ia berbalik ke arah Misaki yang kini sudah melepaskan pakaian khususku, “aku tidak ingin mengatakan ini, tapi jangan habiskan barang yang ada di kulkas, ya.”

“Baik,” seru Misaki, yang sekaligus mengiringi kepergian Okaasan ke restoran.
Setelah itu, dengan setengah berlari, ia menaiki tangga dan bergegas menuju kamarku.
Kalau tadi Otousan bilang ke Misaki kalau aku sedang tidur, maka ia sebenarnya salah. Aku sudah bangun sejak setengah jam lalu, dan wajahku merengut saat melihat seorang supir bus dengan bersusah payah mengembalikan papan penanda bus yang semalam kupindahkan. Misaki menerobos masuk ke kamarku saat aku masih memandang ke luar, dan ia dengan tergopoh-gopoh menghampiriku sambil bertanya apa yang kulihat.

“Bukan, bukan apa-apa,” jawabku. Namun, Misaki tampak tidak percaya begitu saja; ia tetap menyapukan pandangannya ke luar. Aku lantas beranjak dari sisi jendela, sementara Misaki masih melongok-longok, berusaha mencari tahu apa yang sedari tadi kuperhatikan.

***
Malam kembali datang menemuiku, dan di atas sana, bulan keperakan terlihat menggantung. Seperti biasa, aku akan pergi keluar saat malam tiba untuk memainkan gitarku di depan stasiun. Namun, kali ini aku tidak sendirian karena ada Misaki bersamaku. Kami bersepeda bersama menuju depan stasiun lewat Yamacho-ri yang selalu kulalui tiap malam. Misaki yang duduk di depan, dan dia mengendarai sepedaku seperti orang mabuk. Lihat saja, ia terus bergerak oleng ke kanan-kiri! Mentang-mentang sepi, ia bertingkah seakan jalan sempit ini adalah miliknya. Masih untung kami berdua tidak terjembab akibat ulahnya itu.

Ketika akhirnya kami tiba di depan stasiun (untunglah!), aku dengan segera membuka kotak gitarku dan mulai menyanyikan lagu yang kubuat. Misaki, mengenakan tanktop abu-abu dan rok kotak-kotak selutut, lamat-lamat menemaniku bernyanyi bersama malam ini. Yah, setidaknya, aku tidak hanya diiringi oleh sebatang lilin seperti kemarin malam.

♪ Dare no tame ni ikite iru no?
Saenai hibi wo sugoshite, yeah
Yoasa mo itami mo
Dono kurai, kanjiteru no?
Tarinai kinou ni obore
Yume ni kaita kyou
Soraenakutemo, yeah, yeah
Yoake mae no matataku hoshi wa
Kiete itta no?
Asu e itta no?
Tomorrow never knows..., It’s happy line!

(Demi siapakah aku hidup?
Hari-hari berawan telah berlalu
Rasa lemah ini, rasa sakit ini
Seberapa banyak yang kau rasakan?
Aku menenggelamkan diriku dalam hari kemarin dengan sia-sia
Kutulis mimpiku hari ini
Meskipun itu belum selesai, yeah, yeah
Bintang-bintang yang berkelap-kelip sebelum fajar
Apakah mereka benar-benar hilang?
Atau mereka akan kembali lagi besok?
Hari esok tiada yang tahu... Ini adalah ucapan bahagia!) ♪
Dapat dilihat di
[video=youtube;vWoYcxEZvrI]http://www.youtube.com/watch?v=vWoYcxEZvrI[/video]
***

Petikan terakhir gitarku sontak terhenti ketika aku mendapati seseorang berjalan melintas di depanku. Dia...cowok itu! Cowok yang setiap pagi hanya bisa kuperhatikan dari lantai dua kamarku semata. Aku terus memandangi cowok itu sampai ia lenyap dari pandanganku. Bahkan ketika ia tidak ada lagi di depanku, mataku masih terus mengarah ke tempat terakhir ia terlihat. Tentu saja perilakuku tadi memantik rasa penasaran Misaki.

“Kenalanmu?” tanyanya padaku.

Alih-alih menjawab, aku menyerahkan gitarku ke Misaki dan lalu mulai berlari mengejar cowok itu. Meskipun Misaki sempat protes dan bertanya (lebih tepatnya lagi: berteriak) ke mana aku mau pergi, tapi aku tidak peduli. Apa pun yang terjadi, aku harus bisa mengejarnya! Aku harus dapat berbicara dengannya karena mungkin ini merupakan satu-satunya kesempatanku untuk melakukan hal itu.

Aku terus menderapkan sepatuku menuju ke arah cowok itu berjalan sampai akhirnya kudapati ia tengah melewati sebuah terowongan. Dengan tergopoh-gopoh, aku lantas turut menelusuri terowongan tersebut. Aku sempat berhenti sebentar untuk mengambil nafas dan melihat ke arah mana cowok itu melangkah, dan sebentar kemudian, aku melanjutkan berlari.
Jalan-jalan gravel, toko yang sudah tutup, dan kedai mie udon yang tidak terlalu ramai telah kulewati satu persatu. Nafasku terengah-engah dan kakiku terasa penat, tapi aku tidak berkeinginan untuk berhenti. Tidak, tidak sampai aku bertemu dengan cowok itu! Aku kemudian melintasi pertigaan, dan sesaat setelah aku melewati belokannya, aku kembali ke situ. Benar saja, cowok itu ternyata berbelok, dan ia kini tengah menunggui kereta api lewat. Kesempatan emas! Kakiku dengan segera melaju cepat ke arahnya untuk menyusul cowok itu. Aku mempercepat langkahku saat kulihat pintu palang kereta api sudah kembali membuka. Jangan sampai dia pergi lagi, tegasku dalam hati. Namun, tiba-tiba aku sadar kalau aku sudah terlalu dekat untuk mengerem. Bisa ditebak, tubuhku dengan frontal menabrak punggung cowok itu, membuatnya terjungkal ke aspal. Cowok itu mengerang sejenak tatkala lengannya membentur besi rel kereta api. Dengan ekspresi kesakitan, ia memegangi lengannya itu.

“Aku Amane Kaoru,” ujarku masih dengan nafas tak stabil akibat berlari. Aku sudah sejak lama sekali menantikan pertemuan ini, jadi tanpa membuang waktu, aku segera memperkenalkan diri.

“Apa?” tanya cowok itu kebingungan.

“Aku Amane Kaoru,” untuk kedua kalinya, aku kembali menyebutkan namaku.

“Heh?” cowok itu berseru. Ia tampak semakin bingung. Yang ada di pikirannya sekarang mungkin adalah ‘Ada apa dengan cewek ini?’.

“Aku Amane Kaoru,” aku kembali mengulangi kata-kataku.

“Eh, bagaimana...?”

“Umurku enam belas tahun, tinggal bersama orang tuaku, hobiku adalah musik, dan kepribadianku sedikit cepat emosi,” ucapku bertubi-tubi. Aku maju sedikit demi sedikit, dan sebagai balasan, cowok itu mundur sedikit demi sedikit pula. “Oh ya, aku juga tidak punya pacar!”

“Heh?” cowok itu kembali berseru kaget sesaat setelah aku mengutarakan kalimat terakhir tadi—yang lebih mirip pernyataan suka secara tidak langsung. Namun, aku tidak peduli. Aku memang merasakan hal itu dalam hatiku, dan itulah sebabnya aku terus berbicara. Pokoknya, aku harus membuat ia tahu sebanyak mungkin mengenai diriku dan bagaimana perasaanku terhadapnya!

“Aku selalu memperhatikanmu selama ini,” kataku terang-terangan, “dan aku tidak punya pacar!” aku menegaskan kembali statusku. Kemudian, aku berhenti sejenak untuk mengambil nafas. Kombinasi antara berlari dan berbicara terus-menerus tanpa henti ternyata memberikan efek yang buruk bagi nafasku.
Melihatku tidak memberondongnya dengan kalimat apa pun lagi, cowok itu kemudian membalas,

“Oh, begitu rupanya. Tunggu sebentar, aku....”

“Aku juga belum punya pacar sebelumnya,” potongku cepat, takut kalau ia lantas berubah pikiran mengenaiku (meskipun aku tidak yakin mengenai apa yang ada di dalam pikirannya itu).

“Ya, ya, sebentar dulu...,” ujar cowok itu berusaha menenangkanku. Namun, itu tidak akan berhasil; aku terlalu bersemangat karena sudah dapat berbicara dengannya!

“Binatang favoritku adalah cheetah,” aku melanjutkan, “untuk makanan, aku suka pisang, dan musisi favoritku...,” aku mengangkat tanganku, kemudian mulai menghitung satu persatu, “ada banyak sekali. Harus kumulai dari mana?”

“Kaoru!”
Dengan tergesa, Misaki datang menghampiriku. Ia lantas meraih tanganku, meminta maaf kepada cowok itu, dan lalu cepat-cepat meninggalkannya dalam kondisi masih terduduk di jalan aspal.

“Kenapa?” seruku kepada Misaki setelah kami sudah berbelok di pertigaan. Kenapa, sih, Misaki ini? Apa maksudnya dia ikut campur?

“Apanya yang ‘kenapa’?” balas Misaki. Ia masih terus menuntunku dan memegangi tanganku, tapi dengan segera, aku menampikkan tangannya.

“Jangan menghalangiku!” sergahku kesal. Tentu saja hatiku menjadi dongkol. Setelah akhirnya aku dapat bertemu dengan cowok itu, sepupuku ini justru datang dan menggiringku pergi darinya!

“Apa? Menghalangi?” Misaki menjawab dengan intonasi suara meninggi. “Aku baru saja menyelamatkanmu tadi!”

“Eh?”

“Apanya yang ‘eh?’” balas Misaki. Ia berhenti sejenak, kemudian melanjutkan berkata, “Kamu barusan terlihat seperti orang bingung, tahu,” aku mendengar ia tertawa kecil, “dan apa maksudnya dengan ‘aku suka pisang?’ Itu sangat tidak profesional!”

Aku terdiam sebentar. Setelah kupikir-pikir, perkataan Misaki ada benarnya juga. Aku justru terlihat seperti orang bodoh saking bersemangatnya tadi. Aduh, jangan-jangan cowok itu justru mengira aku orang aneh! Sambil memikirkan hal itu, aku kemudian beralih dari Misaki dan mulai berjalan mendahuluinya. “Kurasa begitu,” gumamku perlahan. Melihatku berjalan pergi, Misaki kemudian bergegas menyusulku.

“Hei, kamu belum pernah bicara dengan cowok sejak SD, kan?” tanya Misaki saat ia sudah berhasil menjajariku. “Jadi, ada apa dengan cowok itu?”

Pada mulanya, aku tidak menjawab. Namun, ketika kami sudah kembali ke kamarku, aku lantas menceritakan segalanya mengenai cowok itu, mulai dari bagaimana aku selalu memperhatikannya dari lantai dua setiap pagi sampai apa yang kurasakan kepadanya. Sebagai tambahan, Misaki lalu kuminta untuk duduk bersamaku di sisi jendela sampai cowok itu kembali datang di halte bus keesokan paginya. Berdua, yang kami lakukan hanyalah memandangi cowok itu lewat jendela kamar sampai akhirnya kedua temannya datang. Ia lalu mulai bercanda dengan mereka sebagaimana biasanya.

“Ia sepertinya satu SMA denganku...,” komentar Misaki akhirnya setelah melihat cowok itu lebih detail, “tapi aku rasanya tidak mengenalnya.”

“Itu karena kamu sering bolos, Bodoh!” ucapku. Tentu saja. Bagaimana mungkin kamu bisa mengenal teman sekolahmu kalau kamu tidak pernah masuk?
Misaki tertawa kecil mendengar kata-kataku. “Betul juga,” sahutnya, ”tapi, tapi, seperti yang kubilang, kamu tidak tahu apa-apa tentang dia, kan?”

“Itu karena yang kulakukan hanyalah memperhatikannya dari sini,” jawabku lirih. Sebuah jawaban yang benar-benar menggambarkan keadaanku, karena tentu saja aku tidak akan dapat menemuinya di siang hari. “Aku penasaran, orangnya seperti apa, yah?” aku berkata kepada diriku sendiri sambil terus memandangi cowok itu. “Apa dia jago dalam berselancar?”Setelah itu, sepi. Misaki tidak menjawab kata-kataku barusan, dan aku tidak mengatakan apa pun lagi. Selama beberapa saat, kami hanya memperhatikan ketiga cowok yang ada di halte bus itu bercanda satu sama lain.

“Kalau begitu...,” ujar Misaki akhirnya, “kenapa tidak kamu pakai saja pakaian yang digantung di bawah itu?”

Apa? Menemui cowok itu dengan mengenakan pakaian seperti itu? “Tidak!” aku menolak cepat-cepat. “Kalau dia melihatku seperti itu, dia akan membenciku!” tambahku memberikan alasan. Kurasa itu wajar; cowok mana yang senang melihat ada cewek yang mendekatinya dengan pakaian aneh seperti itu? Misaki, aku tahu kalau kamu berusaha memberikan saran, tapi sepertinya aku tidak akan bisa melakukan saranmu ini.
Misaki terdiam sejenak setelah aku menyangkal idenya barusan. Kemudian, ia mulai berbicara lagi, “Yah mau bagaimana lagi,” ia menatapku sambil tersenyum, “sudah lama aku tidak ke sekolah, tapi aku akan pergi dan mencari tahu lebih banyak untukmu!”
“Benarkah?” tanyaku tidak percaya. Misaki membalas dengan anggukan mantap. Dasar. Kalau kamu memang berkesempatan untuk berangkat ke sekolah, Misaki, seharusnya kamu menggunakan ksempatan itu untuk belajar!


Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura.
 
Terakhir diubah:
Taiyo no Uta, Midnight Sun..

Ini J-Dorama itu kan? Yang main YUI, ya ga, ya ga? :huh:

Keren ini Dorama nya.. :jempol:

Hahaha iya suhu, ceritanya bagus penasaran bkin versi tulisnya ditambah sedikit xxx, jadi dech softcore. Walau ada xxxnya semoga tidak merubah isi dari cerita yang berakhir tragis.
 
Berakhir tragis ? T_T

Semoga diberi kekuatan hingga tamat suhu

(҂'̀_'́ )9
 
Berakhir tragis ? T_T

Semoga diberi kekuatan hingga tamat suhu

(҂'̀_'́ )9

Huhuhu aku masih newbie blom berpengalaman. But aku berharap disini bisa mengembangkan kemampuan menulis. Belajar dari 0. Hehehe
 
BAB 3
Namanya Fujishiro Kouji

Keesokan harinya menjadi hari yang paling menyenangkan sekaligus menyebalkan buatku. Menyenangkan karena Misaki ternyata betul-betul melaksanakan ucapannya kemarin. Bayangkan saja, ia rela membawa sebuah handycam ke sekolah hanya untuk merekam cowok itu supaya dapat dipertunjukkan kepadaku! Lewat pintu kelas yang terbuka sedikit (ralat, lewat pintu kelas yang ia buka sedikit), Misaki mengambil gambar cowok itu di saat pelajaran tengah berlangsung (artinya, dia sama saja bolos). Sedangkan menjadi hari yang menyebalkan karena aku harus pergi ke rumah sakit. Namun, seperti biasa, aku menolak saat Otousan dan Okaasan hendak mengantarku ke sana, padahal aku harus melakukan pemeriksaan badan. Aku memang membenci rumah sakit sejak dulu. Bahkan bisa kubilang rumah sakit merupakan tempat nomor satu yang kubenci sedunia. Lagipula, aku merasa sehat-sehat saja, jadi buat apa ke sana? Penyakit XP, sejauh yang kutahu, memang belum ada obatnya, tapi selama aku tidak terpapar sinar UV, kurasa tidak akan menjadi masalah. Pada akhirnya, Otousan dan Okaasan pergi menemui dokter tanpaku.

Misaki datang ke rumah sore harinya dengan masih mengenakan seragam sekolah, seperti biasa. Sesuai janjinya, ia membawa serta hasil rekaman handycam-nya. Aku dengan segera lantas menyambungkan handycam Misaki dengan TV yang ada di kamarku, dan gambar cowok itu—yang tengah duduk di kursi dekat jendela—langsung tertampang di hadapanku. Sepertinya, ia tidak terlalu antusias mengikuti pelajaran.

"Namanya Fujishiro Kouji," Misaki mulai memperkenalkan cowok itu. Namun, ia tidak benar-benar menonton bersamaku dan lebih memilih membuka-buka majalah remaja yang sudah lama tak kubaca. "Keren, kan?" tambahnya sambil meraih sebuah kipas angin.

"Fujishiro Kouji," aku mengulangi dua kata terakhir yang Misaki ucapkan sembari tersenyum. Jadi itu namanya? Sebaiknya aku memanggilnya apa, ya? Fujishiro-san atau Kouji-kun? "Dia sedang tidur, ya?" tanyaku kepada Misaki ketika untuk kesekian kalinya, aku melihat kepalanya terangguk-angguk tanda ia hampir tertidur.

"Tidak, kok," balas Misaki sambil terus membaca. "Sepertinya, ia terlihat agak bodoh."Mataku terus menatap layar TV, bahkan setelah gambar di situ sudah beralih menjadi koridor sekolah. Jadi itu SMA, ya? Ceweknya mengenakan seragam model pelaut dan rok hitam selutut seperti yang dikenakan Misaki, sedangkan cowoknya memakai kemeja putih dan celana panjang hitam seperti yang cowok itu—Kouji—kenakan. "Oh, tempatnya lebih bagus dari yang kubayangkan," aku mengomentari SMA tempat Misaki bersekolah.

"Betul juga," kata Misaki, "ini pertama kalinya kamu melihat SMA, kan?"

"He-eh," aku berkata tanpa menoleh. Tanpa berkedip, aku terus memperhatikan rekaman Misaki yang kembali memperlihatkan interior sekolahnya. "Semua orang terlihat sangat menikmatinya," ucapku.

"Heh?" Misaki berseru kaget sesaat setelah aku berkata demikian. "Tidak ada gunanya pergi ke tempat seperti itu!"

Misaki akhirnya berhenti mengambil gambar interior sekolahnya dan kembali ke Kouji. Namun, kali ini ia tidaklah sendirian; ada dua cowok lain yang bersamanya. Menyadari hal itu, Misaki lantas melempar majalah yang tengah ia baca dan merosot ke sampingku untuk menjelaskan siapa mereka.

"Well, kelihatannya tiga orang ini selalu bersama-sama," ujar Misaki menerangkan. Aku mengangguk sejenak, menunggu kata-katanya berikutnya. "Yang ini, temannya yang pertama," ia menunjuk cowok memiliki rambut panjang yang disemir cokelat, "namanya Onishi Yuuta," tambahnya. Kemudian, ia beralih ke cowok yang lain. Berbeda dengan yang pertama, kali ini cowok itu berambut hitam dengan gaya spiky, "Dan yang ini, temannya yang kedua, Satsuo Haruo," ia menambahkan.

Rekaman lantas berganti memperlihatkan Kouji masuk ke WC. Benar-benar deh, Misaki. Apa sih yang kamu pikirkan sampai-sampai menguntit seorang cowok yang hendak ke WC segala? Meskipun begitu, aku tetap dengan sabar terus melihat layar TV, menanti apa yang akan terjadi selanjutnya. Kulihat dua orang teman cowok itu—Yuuta dan Haruo—berjalan melewati toilet, dan tak lama berselang, Kouji keluar sambil mengangkat kedua tangannya. "Aku tak yakin dia mencuci tangannya," komentarku saat menyaksikan adegan itu.

"Sepertinya dia mencucinya," balas Misaki setelah kami melihat Kouji mengibas-ngibaskan tangannya. Kouji melihat sekeliling, dan saat menyadari kedua temannya ada di dekat situ, ia bergegas menghampiri mereka. Tiba-tiba, ia memegang kepala cowok berambut panjang (Yuuta, ya?), dan—coba tebak—ia menggosok-gosokkan tangannya (yup, tangan yang barusan ia gunakan dari WC) ke rambut Yuuta!

"Ah, mengerikan," ujarku sambil tersenyum melihat tingkahnya itu. Kouji lantas melakukan hal yang sama kepada Haruo, membuat kedua temannya itu dengan segera langsung mengejarnya. Setelah itu, rekaman berakhir, dan layar TV-ku berubah menjadi biru. Sudah selesai? Cepat juga, ya.

"Nah, demikian perkenalannya," kata Misaki.

Aku berpikir sejenak mengenai apa yang harus kukatakan untuk menilai Kouji setelah melihat video Misaki barusan. Akhirnya, setelah menimbang-nimbang apa saja perbuatannya sedari tadi, aku sampai pada satu kesimpulan. "Setelah dipikir-pikir," ujarku, "dia terlihat seperti orang bodoh."

Misaki langsung menoleh kepadaku begitu aku selesai mengucapkan pernyatan itu. Sepertinya, ia tidak menyangka aku akan mengeluarkan komentar seperti itu terhadap Kouji mengingat aku sangat berkeinginan untuk mengenalnya. Tapi mau bagaimana lagi, kelakuannya memang seperti orang bodoh, sih!
***

Ketika aku pergi keluar malam harinya, aku membawa serta handycam Misaki bersamaku. Aku masih ingin melihat video tentang Kouji yang telah ia rekamkan, dan itulah mengapa sepanjang perjalanan melintasi Yamacho-ri, aku berjalan sambil tertunduk mengamati handycam. Tampak Kouji tengah melewati jalan yang sama denganku, hanya saja, di dalam video itu hari masih siang dan Kouji menggunakan payung karena gerimis (omong-omong, apa Misaki tidak takut handycam-nya rusak, ya?). Senyum kecilku muncul saat melihat gambar Kouji di situ. Aku berjalan di tempat yang sama dengannya, pikirku.

Aku menyempatkan diri untuk mampir ke halte bus yang biasa sepulangnya dari depan stasiun. Tanganku masih memegangi handycam Misaki, dan aku masih memperhatikan tingkah Kouji yang berhasil ia rekam. Handycam itu kini menampilkan Kouji tengah duduk di bangku berwarna biru yang sama dengan yang kududuki. Kemudian, aku melihat ia mengambil botol plastik dan lalu mulai minum dari botol itu. Aku lantas juga meminum sebotol Pocari Sweat yang kubawa dari rumah. Aku melakukan hal yang sama dengannya, pikirku. Setelah itu, aku kembali berkonsentrasi pada handycam Misaki. Namun, saat kusadari baterai handycam tersebut sudah mencapai titik kritis, aku menutup handycam itu dan mematikannya.

Aku kemudian beralih memandangi langit malam yang gelap. Bulan besar yang sudah kuakrabi tampak berada di sana, seakan berbalik memandangiku. Sambil tetap menengadah ke atas, aku mulai menyenandungkan sebuah lagu yang kubuat. Tak lama, aku sudah berinisiatif untuk membuka kotak gitarku dan memainkan lagu tersebut. Lagu itu bisa kubilang masih jauh dari sempurna; liriknya baru kutemukan sebagian dan aku belum memberikan judul baginya. Aku terus bernyanyi sambil memetik gitarku sampai aku menyadari ada seseorang. Seseorang yang tingkahnya sejak tadi kuperhatikan lewat handycam. Orang itu... Kouji! Ia kini tengah berada di atas skuter miliknya dengan mesin dan lampu masih dihidupkan. Di kepalanya, sebuah helm lucu bercatkan bendera Inggris terpasang. Kami saling memandang selama beberapa saat tanpa bersuara, tapi akhirnya aku memberanikan diri untuk menyapanya terlebih dahulu.

"Se...selamat malam," ujarku gugup. Duh, bagaimana ini? Apa yang harus kulakukan?

"Selamat malam juga," balas Kouji, "kamu cewek yang waktu itu, kan?"

Ah, dia ingat! Ralat, kenapa dia masih mengingatnya? Oh ya, tentu saja; tidak banyak cewek yang menghantamnya dari belakang dan berbicara terus-menerus bagaikan rangkaian gerbong kereta api, jadi tidak heran kalau ia masih mengingatku. "Eh, ya," kataku membenarkan, "yang waktu itu...maaf, ya," tambahku. Kalau aku mengingat hal itu lagi, rasanya benar-benar memalukan!

"Tidak mengapa," jawab Kouji. Setelah itu, ia terdiam selama beberapa saat. "Oh, ya, apa yang kaulakukan di sini?"

"Aku baru pulang dari bernyanyi," aku menjawab sambil memperlihatkan gitarku. "Aku sering bernyanyi di depan stasiun kereta," ucapku menambahkan.

"Ah, jadi kamu salah satu dari mereka yang bernyanyi di jalanan?"

"Ya, semacam itulah."

"Benarkah?" ujar Kouji. Ia lantas mematikan mesin skuter dan lalu menanggalkan helmnya. "Lagu yang kaumainkan tadi bagus juga. Apa judulnya?"

"Aku belum memutuskannya," jawabku. Seperti yang kubilang, lagu ini belum benar-benar selesai, kan?

Kouji tampak terpana mengetahui aku membuat laguku sendiri. "Jadi kamu yang menulisnya sendiri?" tanyanya kagum, yang kubalas dengan anggukan. "Wah, hebat sekali!"

"Benarkah?" tanyaku gembira. Senang rasanya dipuji oleh seseorang yang selama ini hanya bisa kupandangi dari jauh. Sebagai balasan (dan untuk menyambung pembicaraan), aku lantas bertanya kepada Kouji, "Apa itu...papan seluncur?" Pertanyaan bodoh. Dilihat dari mana pun, tentu saja itu adalah papan seluncur! "Eh...papan seluncurmu keren," tambahku cepat-cepat.

"Kamu tahu papan ini?" balas Kouji. Ia terlihat senang setelah kupuji seperti itu. "Aku membelinya setelah lama memilih," ujarnya sambil mengambil papan seluncur itu dari skuternya. Dibawanya papan seluncur itu ke hadapanku, kemudian ia melanjutkan berkata, "Sampai sekarang, masih menjadi yang terbaik bagiku. Yah, meskipun ini barang bekas."
Aku terdiam menanggapi perkataan Kouji. Ia terlihat bersemangat ketika membicarakan papan seluncur, sama halnya jika akau mulai berbicara tentang lagu. Ah, kuharap pembicaraan kami malam ini yang berawal menyenangkan akan berujung manis.

"Kalau punyamu bagaimana?" Kouji bertanya padaku.

"Eh?"

"Itu juga barang bekas?"

Sedetik kemudian, aku langsung sadar kalau yang Kouji maksudkan adalah gitarku. Sebenarnya, ini bukanlah barang bekas; aku membelinya langsung dari toko. Namun, aku tidak enak kalau mengatakan seperti itu. Salah-salah aku justru dikira sombong. Karena itu, alih-alih menjawab, aku kemudian memasukkan gitarku kembali ke dalam kotaknya dan lalu menyenderkannya ke motor Kouji supaya ia tak bertanya-tanya lagi. Selepas itu, aku kembali duduk sementara Kouji membeli sesuatu di mesin penjual otomatis. Ia kemudian duduk di bangku yang sama denganku setelah mendapatkan minumannya.

Jantungku berdetak dua kali lebih kencang di saat Kouji menghempaskan diri di bangku itu. Ya, aku sadar aku kini berada dalam situasi apa: dalam keremangan malam yang sunyi, aku tengah duduk berdua bersama Kouji. Fujishiro Kouji, cowok yang selama ini hanya bisa kupandangi dari jauh. Cowok yang ingin sekali kuajak berbicara berdua saja, hanya saja baru kali ini aku berkesempatan untuk melakukan hal itu (jangan hitung kejadian yang kemarin; itu sama sekali bukan bicara berdua!). Dan yang paling penting, Kouji—yang pernah kubilang telihat seperti orang bodoh itu—adalah cowok yang kusukai. Aku memang memendam perasaan itu; aku selalu memperhatikannya, berusaha mengetahui tentang dirinya, dan—seperti sekarang ini—menjadi gugup ketika bersama dengannya.

Selama beberapa menit, kami hanya terduduk dalam diam. Kouji hanya menatapi skuternya sambil memegangi minuman, sementara aku... hem, pada awalnya aku memang memilih untuk melihat ke arah lain, tapi tak lama kemudian, mataku sudah beralih memperhatikan wajahnya. Aku belum pernah dapat melihat wajah Kouji sampai sedekat ini, dan ketika aku melakukan hal itu, aku merasakan mukaku menjadi panas!

"Kamu tinggal di sekitar sini?" Kouji tiba-tiba bertanya sambil menoleh, membuatku terkaget. Dengan segera, aku mengalihkan pandanganku supaya tidak terlihat kalau aku memandanginya sedari tadi.

"Aku tinggal di rumah yang berada tinggi di sana," jawabku sembari menunjuk rumahku sendiri.

"Di sana? Benarkah?" tanya Kouji heran. "Setiap hari aku lewat jalan ini, loh!"

"Ya, aku tahu."

"Hah? kamu tahu?" untuk kedua kalinya, Kouji tampak terkejut. "Oh, ya, kamu sering melihatku dari atas, ya...."

"He-eh," balasku.

Kouji terkekeh sejenak setelah aku menjawab kalimatnya. "Sedikit memalukan juga," katanya, "mulai sekarang, aku tidak bisa melakukan hal aneh lagi," ia menambahkan sembari memandang ke arahku.

Dipandangi seperti itu membuat dadaku kembali berdegup-degup. Tidak, aku tidak sanggup memandangi wajah tersenyum itu; aku terlalu malu untuk melakukannya. Karena itu, aku menundukkan kepalaku dalam-dalam, berusaha agar mataku tidak menatap mata Kouji. Aku tidak lagi memiliki kata-kata untuk kuungkapkan, dan kurasa Kouji juga tidak. Jadilah kami duduk di bangku halte ini tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Tidak mengapa, bagiku, begini saja sudah cukup. Dapat duduk bersampingan dengan Kouji saja rasanya sudah dapat membuatku sangat bahagia! Seandainya saja keadaan seperti ini dapat berlangsung terus....

Piip...piip...piip....

Suara itu! Kenapa alarm itu harus berbunyi di saat-saat seperti ini, sih? Aku memang berkeinginan untuk duduk di sini lebih lama lagi, tapi aku tahu konsekuensinya jika aku melakukan hal itu. Kumatikan alarm jam tanganku, dan dengan berat hati, aku kemudian berkata kepada Kouji, "Baiklah, aku harus segera pergi."

"Eh? Ya sudah kalau begitu...."

Aku lantas beranjak dari bangku dan mengambil kotak gitarku yang tersandar di skuter Kouji. Kemudian, aku mengucapkan salam perpisahan singkat dengan cowok itu sebelum akhirnya berjalan meninggalkannya. Namun, baru beberapa langkah berjalan, aku mendengar Kouji memanggilku, membuatku menghentikan langkah dan berbalik ke arahnya.

"Kalau aku bisa, aku akan datang." seru Kouji dari halte bus itu, "ke street performance-mu."

Apa? Kouji hendak melihatku tampil? Hatiku serasa mau meledak saking senangnya mendengar hal itu, dan senyumku langsung terkembang lebar. "Jangan hanya bilang tapi tidak datang!" balasku.

Mendengarku berkata seperti itu, Kouji tertawa perlahan. "Kalau sudah libur, aku pasti akan datang!" ia kembali menjawab.
Wajahku kembali menampakkan senyum; aku tahu itu. Kuanggukkan kepala sekali tanda setuju, dan Kouji juga mengangguk memberikan kepastian. Ini merupakan sebuah janji tak terucap antara aku dan dia bahwa kami akan bertemu kembali! Aku lantas berbalik untuk melanjutkan perjalananku ke rumah. Namun, hanya selang beberapa langkah, aku kembali menoleh ke belakang untuk melihat sosok Kouji untuk terakhir kalinya. Dapat kulihat ia tengah melambaikan tangannya padaku, dan aku pun lantas membalas lambaiannya sebelum akhirnya beranjak pergi.Aku belum pernah merasa sebahagia ini sebelumnya. Harus kuakui, malam ini adalah malam paling indah dari seluruh malam yang telah kulalui. Dan karena dialah—Fujishiro Kouji—aku dapat merasakah malam seindah ini. Entah untuk keberapa kalinya seulas senyum kembali terlukis di wajahku, dan kemudian, aku berlari menuju rumah dengan diliputi oleh kegembiraan. Percakapan kecil kami malam ini memiliki akhir yang menyenangkan seperti harapanku.
***
Bersambung.

Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura.
 
Terakhir diubah:
cukup rapi tulisan nya suhu :jempol:

jadi malu sendiri kalo liat penulis baru yang hebat macam ini :sendirian:

roman roman nya bakalan jadi penerus tante vamela nih :ha:

jejepunan . :hore:

saya masih newbie, Please jangan dipanggil Suhu. Koko elmo tuch yang dah dewa. hahahaha :Peace: saya barusan di forum ini jadi mohon bimbingannya
 
Ini enaknya di Tuntasin sampai tamat apa nda yaw, hmm apa dipending beberapa hari terlebih dulu? hmmm
 
BAB 4
My Special Street Performance

Pada suatu malam di musim panas, aku terbangun dari tidurku dengan perasaan tidak biasa. Hari ini adalah tanggal 20, dan artinya, liburan musim panas sudah dimulai. Itu berarti pula, Kouji akan datang menonton street performance-ku seperti yang pernah ia janjikan tempo hari! Aku sudah menanti-nantikan hari ini, dan bahkan aku memberikan tanda khusus di kalender yang tergantung di lantai satu. Dengan gembira, aku berjalan ke depan stasiun tempat aku biasa bermain sembari menenteng kotak gitarku (yang entah kenapa jadi terasa ringan). Namun, ketika aku menjejakkan kakiku di sana....

“Thank you, Kamakura! Terima kasih telah mendukungku! Aku Dynamite Yamazaki, dan tolong dengarkan dua laguku ini! Nama lagunya adalah ‘Ore no Namae wa Global Standard—Namaku Global Standard’. 1, 2, 3, 4...!”

Seorang lelaki yang menamakan dirinya Dynamite Yamazaki (atau apa pun itu, aku tak peduli) sudah berada di sana terlebih dahulu. Ia mengenakan topi pet, kaos hitam bertuliskanSpeedway di dadanya, dan—ini yang lebih buruk lagi—di tangannya terdapat gitar listrik bising yang membuat telingaku merana. Lebih-lebih ketika ia mulai memainkan lagunya (Global Standard? Kukira namanya Dynamite Yamazaki?), aku lebih baik disuruh mencuci piring di restoran milik Otousan selama seminggu penuh daripada harus mendengarkan lagu berantakan itu. Maksudku, selain lagunya yang memang amat sangat hancur, caranya menggunakan gitar listrik itu, loh... benar-benar payah dan tanpa selera sama sekali! Sayangnya, karena tempat yang dipakainya itu merupakan satu-satunya tempatku tampil, maka aku mau tak mau harus menunggu sampai si Dinamit resek ini selesai dengan penampilannya. Mana katanya dia punya dua lagu, lagi. Benar-benar menyebalkan, rasanya dia ingin kubunuh!

“Hei!”

Aku tengah duduk termangu (dengan hati yang kesal) sambil menyaksikan penampilan Dinamit itu ketika aku mendengar seseorang memanggilku. Kouji! Dia ternyata benar-benar datang seperti janjinya kemarin! Yah, setidaknya kedatangan Kouji dapat membuat hatiku sedikit terhibur. Meskipun begitu, tetap saja ada yang mengganjal. Bukankah dia datang untuk melihatstreet performance-ku?

“Ada apa?” tanya Kouji.

“Dia mengambil tempatku.”

Kouji menoleh sejenak untuk melihat yang kumaksud dengan dia (tentu saja, ‘dia’). “Kamu selalu tampil di sini?” ia kembali bertanya sebelum akhirnya mengambil tempat duduk di sampingku. Aku lantas menggeser tubuhku sedikit menjauhinya dengan dua alasan. Pertama, memberikan ruang lebih agar Kouji bisa duduk dengan lebih nyaman. Kedua, menurunkan rasa gugup yang tiba-tiba melandaku. Selama beberapa saat, kami berdua lalu memperhatikan penampilan Dynamite Yamazaki saat menyanyikan lagu Global Standard (yang rusak) itu.

“Dia benar-benar jelek,” kata Kouji tiba-tiba. Tuh, kan! Ternyata bukan aku saja yang berpikiran kalau lagu itu merupakan sebuah produk gagal. Bukankah akan lebih baik kalau aku yang tampil di sana saja seperti biasanya? Meskipun begitu, alih-alih membalas, aku tetap diam sambil terus memandang ke arah Dynamte Yamazaki. Aku terlalu malu untuk menjawab komentar Kouji atau bahkan menoleh ke arahnya!

Melihatku tidak mengucapkan apa pun, Kouji lantas kembali berbicara, “Kamu mau menunggu sampai dia selesai?”

“Mau bagaimana lagi?” jawabku. Sedikit demi sedikit, rasa kesalku mulai berubah menjadi rasa kecewa. Kalau begini caranya, Kouji tidak akan bisa melihat penampilanku, dan aku juga tidak bisa bernyanyi di depannya. “Meskipun aku sangat menanti-nantikan hari ini...,” aku kembali berbicara setelah menghembuskan nafas panjang.

Mendengar kekesalanku, Kouji lantas membisu. Ia tidak menjawab, tidak pula menanggapi. Namun, tak lama kemudian, ia mengajukan sebuah pertanyaan kepadaku. “Tentang penampilanmu...,” ujarnya, “memangnya kamu tidak bisa tampil di tempat lain?”

“Eh?”

Kouji lalu berdiri dari tempat duduknya dan lalu menyuruhku untuk mengikutinya. Meskipun bertanya-tanya dalam hati, aku tetap mengambil kotak gitarku dan melakukan apa yang dia katakan. Ia ternyata menuntunku ke sebuah tempat parkir di mana ia memarkir skuternya. Setelah mengeluarkan skuter itu, Kouji kemudian menyodorkan sebuah helm kepadaku seraya berkata,

“Nih.”

Dengan segera, aku mengambil helm dari tangan Kouji dan lalu memasangkannya di kepalaku. Apa ini berarti aku akan naik skuter berdua dengan Kouji? Wah, pasti menyenangkan! “Ini pertama kalinya aku naik motor,” ujarku sambil berusaha mengaitkan helm Kouji (omong-omong, apa dia selalu membawa dua helm, ya?). Selama ini, memang tak pernah ada yang memboncengiku. Otousan tidak punya motor, lebih-lebih Misaki. Dia bahkan tidak punya SIM untuk mengendarai motor. Namun, sekarang aku berkesempatan untuk naik motor, hanya berdua dengan cowok yang kusenangi!

“Benarkah?” tanya Kouji heran.

Betul juga. Jarang sekali ada cewek seusiaku yang sampai sekarang belum pernah naik motor. Itulah sebabnya aku juga mengalami kesulitan saat mengaitkan helm Kouji; aku belum pernah mengenakan benda itu sebelumnya! Melihatku berkali-kali gagal untuk memasang hem dengan benar, Kouji lantas mengulurkan tangannya untuk membantuku mengaitkan helm. “Menggelikan,” ujarnya berkomentar. Bagi Kouji, perbuatannya mengaitkan helm itu mungkin sederhana, tapi tidak demikian bagiku. Jarak mukanya yang hanya beberapa senti dari mukaku lebih dari cukup untuk membuat jantungku berdetak dua kali lenih cepat. Aku terpana sejenak melihat muka Kouji yang begitu dekat, dan baru tersadar kembali saat Kouji menepuk kepalaku setelah berhasil memasang helm dengan sempurna. Aku terpekik kecil ketika Kouji melakukan hal itu. “Ayo pergi!” kata Kouji seraya menaiki skuternya.

Dengan perlahan, aku lantas menaiki boncengan motor Kouji. Aku memang harus sedikit berhai-hati, karena kalau tidak, kakiku akan menyenggol kotak gitarku yang terpasang di motor Kouji dan berakibat menjatuhkannya. “Kita mau ke mana?” tanyaku.“Ke suatu tempat yang asyik. Ayo!” jawab Kouji. Ia menghidupkan mesin skuternya, dan tak lama kemudian, kami berdua sudah meluncur ke suatu tempat yang masih menjadi tanda tanya bagiku.
***

Setelah selama perjalanan aku merasakan angin berhembus menerpa wajahku (jadi ini rasanya naik motor?) plus debaran jantung yang tak karuan, akhirnya motor Kouji berhenti juga. Ini...kota? Aku melihat sekeliling ke tempat yang baru ini, dan baru kusadari kalau ini adalah Yokohama. Itu berarti, untuk pertama kalinya, aku berada di luar Kamakura!

Dibandingkan dengan Kamakura, Yokohama terlihat sangat berbeda. Tempat ini jauh lebih ramai, lebih meriah, dan lebih benderang. Di sini, terdapat bianglala raksasa berhiaskan lampu warna-warni yang indah. Begitu pula gedung-gedung tinggi yang mengeluarkan cahaya dari jendela-jendela mereka. Benar-benar pemandangan yang menakjubkan! Semua ini berkat Kouji. Karena dialah aku kini bisa melihat suatu tempat yang baru, tidak hanya di depan stasiun seperti biasanya. Kurasa aku juga harus berterima kasih kepada Dynamite Yamazaki itu. Kalau saja ia tidak mengambil tempatku sejak awal, Kouji tentu tidak akan membawaku ke Yokohama. “Hey,” seruku kepada Kouji yang tengah berdiri di samping motornya, “mumpung kita berada di kota, kenapa kita tidak berjalan-jalan saja?”

Kemudian, dimulailah “petualangan kecil malam hari” kami di Yokohama. Karena aku baru pertama kali ke sini, ada banyak sekali yang ingin kulakukan. Untungnya, Kouji dengan sabar mau menemaniku. Ia mengantarkanku menelusuri jalan-jalan Yokohama yang gemerlap dan dipenuhi berbagai macam toko yang menjual barang-barang yang belum pernah kulihat sebelumnya. Kouji juga membelikan bakpau panas untuk kami makan berdua, memanduku melihat-lihat kapal di pelabuhan, dan juga mengajakku untuk bermain air hockey. Aku sempat tertinggal satu angka dalam permainan itu, tapi kemudian, aku dapat menyamakan skor setelah Kouji gagal menahan mallet yang kupukul dengan pluck-nya. Rasanya memyenangkan sekali! Aku banyak memperoleh berbagai pengalaman baru malam ini, dan aku melakukannya bersama dengan seorang cowok yang kusukai! Kurasa, kalau Kouji tak keberatan, aku akan menganggap ini sebagai kencan pertamaku.

Kami lantas kembali berjalan, dan ketika melewati sekelompok musisi jalanan yang tengah memainkan sebuah musik, aku jadi teringat street performance-ku. Bukankah Kouji mengajakku ke sini supaya aku bisa tampil? Kami berada di sini karena tempatku biasa bermain di depan stasiun sudah diambil, dan ia membawaku ke sini supaya bisa melihatku memainkan lagu buatanku, kan? Ah, bodohnya aku. Berada bersama cowok itu memang benar-benar menyenangkan sampai-sampai aku melupakan tujuan awalku kemari. Kalau saja aku tidak melihat para musisi jalanan itu, aku pastilah hanya akan membawa gitarku berkeliling Yokohama dan bukannya memainkannya!

Dengan setengah berlari, aku kemudian melangkahkan kakiku menuju sebuah plaza yang terletak tak jauh dari situ. Kuedarkan pandanganku untuk mencari tempat yang bisa kugunakan untuk melakukan street performance. Ketemu! Tempat di depan sebuah billboard berlukiskan bunga matahari sepertinya sempurna. Aku lantas berjalan ke sana, membuka kotak gitarku, dan lalu mulai mengambil nafas untuk bernyanyi.

♪ Chotto dake kangae sugichau mitai
Nemure nai heya no naka
Issomou yoru wo tobi dashite mitai
Madobe ni tameiki ga ochiru
Tsuki akari wo nukete tooku made
Habataite mitai no ni
Doushitara ii no darou?
I want to fly well
I want to fly well
Tobi kata wo shira nai dake...
I want to fly well, I want to fly well
Dareka oshiete kuretara
Ii no ni
Chansu wo machi kire nai
Onaji asa wo kurikaeshite
Ikutsu kazoeta darou
Egaite yuku skylineTobi kata wa shira nai yo
Toberu kamo wakara nai yoI want to fly well, I want to fly well
Dakedo yuku yo
I want to fly well, I want to fly well
Tobi kata wo shiru tame ni wa...
I want to fly well, I want to fly well
Sora ni denakucha ike nai
To skyline

(Kurasa aku berpikir terlalu banyak
Di tengah-tengah kamar di mana aku tak dapat tidur
Aku hanya ingin kabur dari malam hari
Di samping jendela, keluhanku terjatuh
Aku ingin pergi ke suatu tempat yang jauh sekali
Hingga melintasi cahaya rembulan
Apa yang harus kulakukan?
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Hanya saja aku tidak bisa
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Kalau saja ada seseorang yang mengajariku
Aku tidak akan menunggu kesempatan
Pagi yang sama yang terus terulang lagi dan lagi
Aku berpikir, sudah berapa banyak aku menghitungnya?
Sampai-sampai tergambar sebuah pencakar langit.
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Aku tidak tahu bagaimana caranya terbang
Aku bahkan tidak tahu kalau-kalau aku bisa terbang
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Tetapi, aku akan tetap melakukannya.
Aku ingin terbang dengan baik, aku ingin terbang dengan baik
Supaya aku dapat terbang,
Aku ingin terbang dengan baik
Kau harus pergi ke langit, ke pencakar langit.) ♪

Dapat diLihat di
[video=youtube;1r8-Hc8z2d8]https://www.youtube.com/watch?v=1r8-Hc8z2d8[/video]

Begitu aku selesai dengan lagu pertamaku, aku langsung mendengar suara tepuk tangan dan sorak sorai puluhan orang yang kini tengah mengerumuni kami. Ini...luar biasa! Penampilanku belum pernah disaksikan orang hingga sebanyak ini sebelumnya! Jika aku tampil di depan stasiun, yang menontonku paling hanyalah Misaki atau satu dua orang lainnya, tapi di sini? Aku serasa menjadi musisi jalanan profesional!

Melihat banyak orang yang sangat antusias dengan street performance-ku, aku lantas memutuskan untuk memberikan tambahan satu lagu ekstra. Toh tidak tiap hari aku ke sini, jadi tak ada salahnya, kan? Aku duduk di lantai plaza tersebut dan menyalakan sebatang lilin yang kubawa dari rumah—kebiasaanku sebelum mulai bermain—kemudian mengangkat mukaku. Dengan sedikit ekspresi keraguan, aku lantas menoleh ke arah samping, ke sosok Kouji yang kini tengah terduduk bersama beberapa penonoton lain. Kouji langsung membalas dengan anggukan yang menghangatkan hatiku. Anggukan itu seakan-akan juga sekaligus memintaku untuk tidak ragu-ragu lagi dan mulai bermain. Kuulaskan seberkas senyum di wajahku, setelah itu, aku mulai memetik gitarku.

♪Dakara ima ai ni yuku sou kimetanda
Pocket no kono kyoku wo kimi ni kikasetai
Sotto volume wo agete tashikamete mita yo
Oh Good-bye days, ima
kawaru ki ga suru kinou made ni so long
Kakkoyokunai yasashi sa ga soba ni aru kara
La la la la la with you
Katahou no earphone wo kimi ni watasu
Yukkuri to nagarekomu kono shunkan
Umaku aisete imasu ka?
Tama ni mayou kedo
Oh Good-bye days, ima
kawari hajimeta mune no oku alright....

(Karena itu, aku akan menemuimu sekarang. Itulah yang kuputuskan.
Aku ingin kamu mendengarkan nada yang kubawa dalam kantungku ini
Perlahan, aku menaikkan volume, memastikan bahwa nada itu kubawa
Oh, Selamat tinggal hari-hari,
Sekarang, aku merasakan berbagai hal mulai berubah, aku mengucapkan sampai jumpa hingga kemarin
Karena sebuah kebaikan yang tidak keren sudah berada di sisiku
La la la la la denganmu
Aku memberikan satu sisi earphone-ku kepadamu
Perlahan, momen ini mengalir melewatimu.
Dapatkah kamu benar-benar mencintaiku?
Meskipun terkadang aku tersesat.
Oh, Selamat tinggal hari-hari,
Sekarang berbagai dalam hatiku mulai berubah. Baiklah...) ♪

Dapat diluhat di
[video=youtube;5E_kNFCLFas]https://www.youtube.com/watch?v=5E_kNFCLFas[/video]

Setelah aku selesai dengan laguku yang kedua, Kouji lalu mengajakku untuk pulang ke Kamakura. Katanya, ia ingin menunjukkan sesuatu kepadaku. Aku setuju, dan kami lantas kembali mengendarai skuter Kouji pulang ke Kamakura. Malam ini...malam ini betul-betul membahagiakan! Kalau aku dulu pernah bilang malam yang paling membuatku bahagia adalah ketika aku bercakap-cakap dengan Kouji tempo hari, maka kurasa aku salah; malam yang inilah yang paling membuat hatiku bahagia. Aku tidak hanya bermain gitar di tempat baru yang Kouji tunjukkan kepadaku, tapi aku juga memperoleh banyak pengalaman baru, dan—ini yang lebih penting—aku melakukan semua ini bersama Kouji! Dengan perlahan, aku mengulurkan tanganku untuk melingkarkannya di pinggang Kouji, kemudian dengan perlahan pula, aku menyandarkan kepalaku di punggung cowok itu. Mataku terpejam dan bibirku tersenyum, pertanda aku sangat menikmati street performance-ku kali ini. Street performance yang bukan hanya penampilan biasa di depan stasiun dengan hanya ditemani sebatang lilin, melainkan sebuah street performance spesial bersama Kouji yang tidak akan kulupakan, dan mungkin tidak akan bisa kuulangi untuk kedua kalinya. Fujishiro Kuoji. Cowok yang selama ini hanya bisa kupandangi dari jendela lantai dua kamarku kini berada tepat di depanku, dan aku kini tengah memeluknya!

***

Ketika kami tiba di Kamakura, Kouji tidak langsung mengantarkanku kembali ke rumah, tetapi ia menghentikan skuternya di tempat parkir pinggir pantai. Oh, ya, betul juga. Dia bilang dia akan menunjukkan sesuatu padaku. Kami kemudian duduk berdua di tangga yang mengarah pantai sembari menikmati suara deburan ombak dan angin pantai malam hari yang sejuk.

" Penampilanmu sangat bagus tadi , terlebih dinyanyikan oleh seorang gadis yang manis dan cantik" ujar Kouji kepadaku dengan lirih di telingaku.

" Hah, manis dan cantik " jawabku terbata, entah sekarang wajahku bersemu merah atau tidak namun aku sangat senang seolah ada ini adalah hari terindah yang pernah kualami. Kaoji terus membelai rambut yang terus diterpa oleh angin di pantai ini.

" Aku bahagia disini melewati malam ini bersamamu, sepertinya aku jatuh cinta kepadamu Kaoru"
kata Kaoji sambil mengenggam erat tanganku. Dia menatap wajahku yang entah bersemu merah atau bahkan sudah seperti kepiting rebus dihadapkannya, mungkin hanya gelapnya malam yang dapat menyembunyikannya.

" Bolehkah aku menciummu Kaoru?" tanya Kaoji sambil menatap mataku dalam-dalam seolah dia bisa menemukan surga di sana , seolah dia mencari persetujuan itu. Aku hanya dapat menutup mata dengan perasaan yang tak dapat diartikan, menantikan ciuman pertamaku. Meniupkan napas dia menarikku lebih dekat kepadanya dan menciumku di atas kepalaku.

Kulit dadanya dan kulit dadaku menempel tanpa bisa dicegah lagi! Menimbulkan arus tegangan tinggi bagi kami berdua! Aku terpana oleh sosok kekarnya dan kelembutannya... Kaoji mematung, terdiam, memindahkan tangannya ke pundakku tiba-tiba.

Kaoji memajukan lagi badannya hingga tidak hanya bagian dada yang menempel, bagian pinggulnya pun sudah melekat di tubuh bawahku.

Nafas Kaoji menjadi berat seketika. Nafasku tidak kalah menderu ketika Kaoji meletakkan kedua tangannya di rahangku, menengadahkan wajahku...Matanya kelam menatapku, menilaiku, menjajaki isi hatiku....lidahku kelu untuk berkata apa-apa…aku hanya memejamkan mataku memberi tanda hijau...bibirku sudah terbuka gemetar, berharap sentuhannya, kelembutannya, kehangatannya.....dan kurasakan Kaoji mulai mendekatkan wajahnya!

Ketika bibirnya menyentuh bibirku, aku merasa lemas...lutuku goyah! Aku cepat-cepat memegang pinggangnya! Kaoji mengecup bibirku perlahan, membuka mulutku dengan lidahnya, pertama perlahan... lalu berpagutan dengan panas! Tangannya menguasai kepalaku, membelai di antara helai-helai rambut basahku, mencengkeram, menekan, membelai syaraf utama belakang leherku...

Pinggul Kaoji menekan perutku kencang! Aku merasakan ada sesuatu yang mengeras di pangkal paha Kaoji. Aku melirik ke bawah.

Aku melenguh seperti aku membutuhkan oksigen memenuhi paru-paruku...

"Kaoru.....Kaoru" Kaoji menggumam serak penuh nafsu, tangannya menjelajah dadaku, meremas, mengelus, Tangannya merayap aktif mengelus
"Kaoji..Sudah....." aku tidak bisa menyelesaikan kalimatku, mataku sudah gelap oleh arus yang mengarah . Bibirnya kembali menempel di mulutku yang megap-megap.

Kaoji pun berhenti menciumku dan meminta maaf " Kaoru maafkan aku , aku tadi berlebihan terhadapmu." Aku hanya dapat terdiam namun entah mengapa aku menginginkan lebih dari yang tadi. Kaoji mengalihkan percakapan seolah mengerti kami saling terdiam.

“Hei, di masa depan,” ujar Kouji kepadaku, “apa kamu mau merilis CD debutmu?”
Aku berpikir sejenak mendengar pertanyaan Kouji barusan. Itu adalah keinginanku sejak dulu, tapi karena penyakitku ini, mana mungkin aku melakukannya? “Masa depan, ya,” ujarku lirih,

“aku ingin mencobanya...”

“Wah, hebat, ya!” balas Kouji. Ia membetulkan posisi kakinya sejenak, kemudian melanjutkan,

“Tidak seperti aku yang tak bisa apa-apa.”

“Hm?”

“Hidupku akan terus begini, biasa-biasa saja,” Kouji menjawab, “dan akhirnya aku akan mati dengan biasa-biasa saja juga.”

Aku terdiam setelah Kouji berkata seperti itu. Bagiku, dapat hidup saja merupakan sebuah anugerah, tapi Kouji sepertinya memandangnya sebagai sesuatu yang biasa-biasa saja. Ah, tentu saja. Dia tidak menderita penyakit yang membuatnya dapat meninggal jika terkena sinar matahari. “Bukan seperti itu,” aku menyela, tegas.

“Heh?”

“Mulai sekarang, lakukanlah sesuatu. Kamu bisa melakukan apa pun!”

“Benarkah?” tanya Kouji.

“Itu betul. Kamu pasti akan menemukan sesuatu yang benar-benar ingin kaulakukan,” jawabku,

“ini baru awalnya saja.” Oh, betapa aku ingin mengatakan itu kepada diriku sendiri....
Mendengarku berbicara seperti itu, Kouji lantas termenung. “Hm... betul juga,” ujarnya,

“ternyata, pola pikirku sederhana sekali, ya,” ia menambahkan. Sepertinya, kata-kataku barusan telah memberikan semacam inspirasi bagi Kouji. Baguslah kalau begitu. Kami lantas terdiam selama beberapa saat, tapi tiba-tiba saja Kouji bangkit dan dengan lantang berseru ke arah laut, “Namaku Fujishiro Kouji,” serunya, “aku tidak mempunyai pacar, dan hobiku adalah berselancar.” Setelah itu, ia tidak mengatakan apa pun lagi dan lalu beralih ke aku. Ia menatap mataku dalam-dalam sebelum akhirnya bertanya dengan wajah bersemu kemerahan, “Maukah kamu berkencan denganku?”

Ini... ini... adalah sebuah pernyataan suka! Dadaku berdebar dua kali lebih cepat setelah Kouji menyelesaikan kalimatnya. Pipiku rasanya langsung menjadi panas. Apakah ini mimpi? Kouji, cowok yang kusukai, akhirnya menembakku! Kalau ini mimpi, aku tidak ingin terbangun, tapi untunglah ini bukan mimpi; ini kenyataan! Dan kenyataannya sekarang adalah Kouji baru saja mengajakku untuk pergi berkencan dengannya! “Ya,” ujarku mengangguk mantap. Aku tersenyum setelah itu. Dia juga. Di saat aku melihatnya tersenyum itulah aku tahu kalau perasaan kami berdua sudah saling tertaut, dan aku juga tahu kalau aku telah menemukan sebuah alasan lain untuk hidup selain untuk menciptakan lagu dan memainkannya di depan stasiun setiap malam.

“Seharusnya sekarang sudah waktunya,” kata Kouji setelah ia mengatakan kalimat yang membuatku serasa meninggalkan bumi saking senangnya. Sudah waktunya? Apa yang dia maksud dengan itu? “Pemandangan di sini sangat indah waktu matahari terbit.”

“Hah!” aku berseru terkaget. Matahari terbit? Rasanya aku baru pergi bersama Kouji selama beberapa jam saja, jadi mana mungkin matahari akan segera terbit!

“Kita bisa melihatnya dari sini, hm, sekitar sepuluh menit lagi,” balas Kouji.

“Bohong,” ujarku. Aku kembali terpana untuk kedua kalinya. Sepuluh menit lagi? Bagaimana mungkin waktu sudah berlalu secepat itu? Dengan sedikit bergetar, aku mengangkat pergelangan tanganku untuk melihat jam tangan sambil berharap kalau perkataan Kouji tidaklah benar. Namun, ternyata dia betul. Jam tanganku menunjukkan waktu setengah enam; hanya beberapa menit sebelum matahari terbit. Tiba-tiba saja badanku terasa bergetar. Bagaimana mungkin? Seharusnya, jam itu sudah berbunyi jauh sebelum matahari terbit, tapi kenapa kali ini.... Dengan perasaan waswas, aku kemudian bangkit dan mengarahkan pandannganku ke langit timur.

“Mungkin kapan-kapan kamu bisa melihatku seluncur di atas ombak....”

“Aku harus pulang,” sergahku. Matahari akan terbit dalam beberapa menit, dan aku tidak punya waktu lagi! “Kalau aku tidak pulang sekarang...,” kata-kataku terhenti. Tenggrokanku tercekat. Tidak, aku tidak ingin membayangkan hal itu!

“Kenapa? Kamu masih punya waktu luang, kan?” balas KoujiAku memang tidak memiliki apa pun untuk kulakukan di rumah setelah matahari terbit, tapi aku harus berada di rumah ketika itu.

“Tolonglah, aku ingin pulang...”

“Sebentar lagi saja, kok.”
Deg! Jantungku serasa terhenti mendengar Kouji berkata seperti itu. Sudah jelas, ia ingin agar aku dapat tinggal dan melihat matahari terbit besama dengannya. Seandaninya saja aku bisa, aku pasti dengan senang hati akan melakukannya. Perlahan, aku melangkah menjauhi Kouji dan mulai berjalan meninggalkannya. Aku harus berada di rumah sebelum matahari itu terbit, dengan atau tanpa Kouji!

Begitu sadar aku tengah meninggalkannya, Kouji berseru memanggilku. “Kenapa?” tanyanya. Alih-alih menjawab, aku justru berlari. Aku tidak memiliki waktu lagi, bahkan hanya untuk sekadar menjawab pertanyaan Kouji. Cowok itu pun dengan segera juga berlari untuk mengejarku. “Tunggu!” ia berteriak. Diraihnya lenganku ketika ia berhasil menjajariku, kemudian dengan sedikit panik, ia lantas melanjutkan, “Aku mengerti, aku akan mengantarmu pulang!”

“Maaf, ya,” balasku. Aku tidak mau menunggu sampai Kouji mengantarku pulang. Yang ada di pikiranku sekarang adalah mencapai rumah sebelum terbit matahari, itu saja! Karena itulah aku kemudian menampikkan lengannya dan melanjutkan berlari. Kubawa kakiku menderapi jalan pinggir pantai Kamakura. Nafasku terengah-engah, dan tungkaiku bergetar. Aku ingin berhenti saking lelahnya, tapi aku tidak bisa. Kalau berhenti, maka matahari akan berhasil menyusulku! Namun, aku tidak kuat lagi. Akhirnya, aku memutuskan untuk berhenti sejenak supaya dapat mengambil nafas. Bagaimana ini? Langit sudah mulai menerang, sementara aku masih berada di luar. Aku bingung. Lebih dari itu, aku panik. Dalam keadaan kalut seperti itu, tiba-tiba aku mendengar suara motor mendekatiku.Itu...Kouji!

“Ayo,” serunya kepadaku dari atas skuternya. Aku segera naik ke boncengan motor Kouji tanpa membuang waktu lagi, dan ia pun dengan segera mengegas skuternya ke arah rumahku. Hatiku semakin diliputi perasaan tidak nyaman saat matahari sedikit demi sedikit mulai tampak. Ayo, cepatlah, batinku dalam hati. Aku harus tiba di rumah lebih dulu sebelum matahari berada di langit.

Ketika skuter Kouji tiba di depan rumahku, aku langsung turun dan lalu berlari menaiki tangga. Tak kupedulikan seruan Kouji yang mengingatkan kalau gitarku masih ia bawa. Aku tidak peduli; nyawaku jauh lebih penting daripada gitar itu. Perlahan-lahan, aku melihat hari sudah semakin terang, dan aku tahu kalau waktuku sudah habis. Tolonglah, aku memohon dalam hati, hanya tinggal sedikit lagi. Aku tinggal beberapa langkah saja dari pintu rumahku, jadi biarkan aku masuk melewati pintu itu! Kulihat matahari dengan sinar kemerahannya sudah mulai nampak, yang berarti sedikit atau banyak aku pasti akan terkena sinarnya. Sedikit lagi. Kupercepat langkahku, dan ketika aku berhasil tiba di depan pintu, cepat-cepat kumasuki pintu itu.
Aku selamat.

Kouji datang dengan tergopoh-gopoh sambil menenteng kotak gitarku beberapa saat kemudian, tapi terlambat. Aku sudah terlanjur menutup pintu—aku membanting pintu tepat di depan mukanya! Setelah itu sunyi. Tak kudengar ia memanggilku lagi atau sekadar mengetuk pintu. Alih-alih begitu, yang kudengar justru langkah kakinya yang semakin menjauh. Inikah akhirnya? Apakah Takdir memang tidak memperkenankanku menyukai Kouji? Menyadari hal itu, lututku jadi terasa lemas. Ditambah dengan perasaan lega, takut, dan khawatir yang bercampur jadi satu karena aku berhasil menghindari sinar matahari, perlahan-lahan air mataku mulai meleleh. Aku menangis. Terduduk. Sendirian.
***

Bersambung.......
Bagaimana kisah selanjutnya, Bagaimana nasib Kaoru ketika tubuhnya terkena sinar mentari lagi, kemudian apakah Kaoji akan tahu tentang penyakit kaoru, lalu bagaimana nasib cinta antara mereka berdua?

Penasaran?????? Stay terus di Semprot.com dan tunggu updetan mungkin juga cerita baru. Mohon bimbimngan dan komentarnya selalu para suhu maupun pembaca budiman.


Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura.
 
Terakhir diubah:
dorama paling kusuka
' Majou no Jouken ' :papi:

Bisa dibuat cerita kek gini gak ya :huh:

Berharap agan ini mau buatin :pandaketawa:

:ampun:
 
Ini enaknya di Tuntasin sampai tamat apa nda yaw, hmm apa dipending beberapa hari terlebih dulu? hmmm
bener, apdetnya kebanyakan, suhu... :galau: sehari terbit udah langsung 4 Bab :galau:

tapi cerita-nya Joss... :jempol: rapi pula.


ps: galau inget Stradivari :galau:
 
dorama paling kusuka
' Majou no Jouken ' :papi:

Bisa dibuat cerita kek gini gak ya :huh:

Berharap agan ini mau buatin :pandaketawa:

:ampun:

hmmm saya blom pernah melihat yang itu suhu boleh minta link downloadnya???
 
bener, apdetnya kebanyakan, suhu... :galau: sehari terbit udah langsung 4 Bab :galau:

tapi cerita-nya Joss... :jempol: rapi pula.


ps: galau inget Stradivari :galau:
hahaha maklum newbie suhu jadi nda tahu . aku kira harus selesai dalam sehari. tpi omong" daku masih agak bingung bkin schin yang XXX nya maklum blom pernah alias masih perja_ _ hmmm malah jadi curhat hahahahahaha.:bata:

ajarin bkin yang XXX nya dunk suhu ahik", sudah bkin namun masih galau takut tak bagus
 
dorama paling kusuka
' Majou no Jouken ' :papi:

Bisa dibuat cerita kek gini gak ya :huh:

Berharap agan ini mau buatin :pandaketawa:

:ampun:

Yang ini yaw suhu? aku pernah lihat ini , namun ini dah lama dah 1999 dan harus cari filmnya dmana? saya juga kangen lihat dorama itu lagi namun nda tahu harus kmana?

d586e5245860464.jpg
 
mantap banget..... sehari lgsg 4 bab...... betul2 mengerti keinginan pembaca hehehehehe.......
 
Jav Toys
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd