Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Taiyou no Uta ~Sebuah Lagu untuk Matahari~

ikut menyimak ya, gan Zak..
sy lebih seneng ada drama sepertinya ini, pelan2 namun pasti...
kepengen juga mau cari film nya...
lanjutkan gan, sy setia menunggu,... sampai tamat yach...
semoga gan zak sehat selalu, sehingga bisa update terus... trims..

makasih udah menunggu , saya akan update secepatnya.
 
Bikin yg kira" pemainnya enak diimajinasiin bro..kalo Yui kurang hahaha..boku dake no madonna atau hotaru mantep tuh hihi
 
Bikin yg kira" pemainnya enak diimajinasiin bro..kalo Yui kurang hahaha..boku dake no madonna atau hotaru mantep tuh hihi

Hahaha aku yui lovers , hehehe. Nanti kalau ada waktu dibikinin with SS nya.
 
kenapa udah mulai marahan? :galau:
padahal ane masih berharap mereka seneng2 dulu :galau:
 
Taiyou no Uta~Sebuah Lagu untuk Matahari: Bab 6

Awal dari Sebuah Akhir


Semenjak kedatangan Kouji ke rumah tempo hari, aku seakan jadi kehilangan motivasi untuk melakukan segala hal. Nafsu makanku turun drastis, dan pemandangan halte bus yang dulu selalu membuatku tersenyum kini justru menjadi penyayat hatiku. Tidak ada lagi berjalan keluar setelah makan malam dan bernyanyi di depan stasiun dengan ditemani petikan gitar dan sebatang lilin. Aku kini lebih banyak menghabiskan waktu di kamarku ketika malam tiba—entah hanya menyenandungkan lagu ciptaanku atau melakukan hal lain yang bisa kulakukan. Seperti saat ini, sambil tidur-tiduran, aku menggumamkan laguku.

♪ Dakara ima ai ni yuku sou kimetanda
Pocket no kono kyoku wo kimi ni kikasetai
Sotto volume wo agete tashikamete mita yo... ♪

"Kaoru, makan malam!"

Itu suara Okaasan. Sudah waktunya makan malam lagi, ya? Aku paling-paling hanya akan makan sedikit seperti biasa, dan setelah itu, aku akan kembali ke kamar untuk melakukan sesuatu sampai akhirnya terlelap. Dengan perlahan, aku lalu menyusuri tangga menuju ruang keluarga yang menjadi satu dengan ruang makan. Kulihat Misaki tengah duduk di salah satu kursinya, dan begitu dia melihatku, dia menyapa dengan sapaan 'Osh'-nya yang biasa. Sepupuku itu memang terkadang menumpang makan di sini, jadi bukan hal yang aneh kalau ia tiba-tiba saja muncul di meja makan tanpa pemberitahuan sebelumnya. Otousan sendiri kini mendapat giliran memasak, dan berhubung ia juga menjadi koki di restorannya, aku tahu kalau kali ini kami akan makan enak. Semuanya terlihat biasa saja, dan itu sebabnya aku beranjak menuju kursi makan seperti yang biasa kulakukan. Namun, tiba-tiba saja....

"Kalau mangkuk ini bisa, kan?"

Deg! Suara Kouji! Tapi bagaimana.... Dengan segera, aku menengok ke arah sumber suara tersebut yang berada tepat di belakangku. Dan di sanalah ia, mengenakan baju polo garis-garis hijau-hitam sambil membawa setumpuk mangkuk dengan kedua tangannya. Fujishiro Kouji kini berdiri tepat di depanku!

"Yo," sapa Kouji perlahan sambil menganggukkan kepalanya sedikit. Selama beberapa saat, aku terpana saat melihatnya berada di dalam rumahku. Kemudian, baru kusadari kalau aku hanya mengenakan piyama berlengan panjang dan celana training yang kugunakan untuk tidur seharian tadi. Itulah sebabnya aku buru-buru naik ke atas untuk mengganti baju. Aku turun sekitar sepuluh menit kemudian setelah mengganti piyamaku dengan kemeja berwarna pink dan celana jins biru tua. Setidaknya, penampilanku kini tidak seperti orang yang baru saja bangun tidur.

Piring-piring dengan hidangannya sudah tertata rapi dan semua orang—termasuk Kouji—sudah duduk mengelilingi meja makan ketika aku menghampiri mereka. Kurapikan rambut panjangku yang belum sempat kusisir secara sempurna di atas, kemudian aku mengambil tempat duduk di satu-satuya kursi yang tersedia.

"Itadakimasu," ujarku setelah tidak ada yang bersuara selama beberapa saat. Melihatku berbicara seperti itu, Misaki langsung menyusul, dilanjutkan kemudian oleh Okaasan, Kouji, dan terakhir, Otousan. Aku hanya melihat saja saat Okaasan mulai menyendokkan salad ke piring Otousan dan piringku. Begitu pula saat Misaki berbicara kepada Otousan dengan mulut penuh udang goreng sehingga tidak ada satu orang pun yang mengerti apa yang dia bicarakan.

"Silakan, Fuji-kun, makanlah sepuasmu," kata Okaasan menawarkan.

"Ah, terima kasih," balas Kouji. "Semuanya terlihat enak sekali!"

"Kamu itu anak yang baik, ya," Otousan ikut menimpali.

"Bagaimana mungkin?" balas Kouji.

"Benar, kok. Sepertinya kamu menyenangkan," ujar Otousan.

"Ini, makanlah," katanya lagi.

Apa ini?

Semua percakapan dan gerakan-gerakan ini seperti sudah diatur saja. Bagaimana mungkin Misaki dan Kouji bisa terlihat akrab begitu padahal sebelumnya mereka bertengkar hebat? Juga, mana mungkin Otousan menawarkan makanan kepada Kouji? "Ini aneh," kataku pada akhirnya, "benar-benar aneh. Siapa yang memikirkan ini semua?"

"Ayahmu yang mengundangku ke sini," jawab Kouji.

"Otousan!" seruku terkaget. "Apa yang Otousan bilang kepada Kouji?" tanyaku penuh selidik.

"Jangan marah dulu," Kouji buru-buru menengahi.

"Tidak, aku tidak marah, kok," jawabku. Aku lantas mengedarkan pandanganku ke semua orang yang ada di meja makan, dan ketika mataku berhenti di tempat Kouji duduk, aku lantas bertanya kepadanya, "Ada apa?" tanyaku. "Apa yang sebenarnya kamu rencanakan?"

Kouji tidak langsung menjawab, tapi ia kemudian bangkit dari tempat duduknya dan berjalan ke arahku. "Aku tidak ingin menyembunyikan ini darimu," ujarnya sambil merogoh saku celananya. Ia lalu mengeluarkan sebuah kertas dari sana.

"Nih," katanya sembari menyodorkan kertas itu kepadaku.

Aku meraih kertas yang ada di hadapanku, kemudian membacanya dengan lebih teliti. Sebuah brosur agaknya. Tulisan besar-besar berwarna merah yang merupakan campuran huruf hiragana, katakana, dan romanji itu sontak menarik perhatianku. Bukan, bukan bentuk hurufnya atau ukurannya yang membuatku tertarik, melainkan isinya. Tulisan dalam brosur itu berbunyi:

(APAKAH KAMU INGIN MEMASUKKAN LAGU ASLIMU KE DALAM CD?)

Ini...sebuah tawaran untuk rekaman! Aku sering mendengar kalau beberapa perusahaan musik memang memberikan kesempatan bagi penulis lagu pemula untuk menelurkan CD album mereka sendiri, tapi aku belum pernah sekali pun mencoba untuk ikut serta. Aku sudah cukup sadar diri dengan penyakitku, jadi yang kulakukan hanyalah bermimpi untuk ikut masuk ke dapur rekaman. Namun, lihat apa yang Kouji bawakan untukku kini. Bukankah itu berarti ia memintaku untuk terus berusaha mewujukan impianku?

"Bagaimanapun juga," ujar Kouji, "aku ingin mendengar suaramu sekali lagi." Ia kemudian menggaruk-garukkan tangan kanannya di rambut. "Tapi karena aku tidak begitu cerdas, maka hanya cara inilah yang bisa kupikirkan."

Aku memandangi brosur tersebut. Mataku mulai menjelajahi detail informasi yang tertulis di sana. Saat membaca berapa biaya pendaftaran yang harus kubayar, nafasku langsung tertahan. Bayangkan, 200.000 yen supaya laguku dapat dijadikan CD! Mahal sekali! Tentu saja; kalau kamu memperoleh sesuatu, maka kamu harus mengorbankan sesuatu pula.

"Aku mulai bekerja paruh-waktu supaya bisa membayarnya," ungkap Kouji, "tapi, sepertinya tabunganku belum cukup."
Apa? Dia bahkan akan membayari biayanya dengan hasil kerja paruh-waktu? Coba lihat berapa uang yang harus dikeluarkan: 200.000 yen! Jumlah itu pastilah amat besar bagi Kouji yang merupakan pelajar SMA. Maksudnya, berapa sih, upah untuk kerja paruh-waktu? Paling-paling tidak sampai 10.000 yen. Kalau dia memang benar-benar mau membayari biaya pendaftaran itu, dia harus bekerja ekstrakeras, bahkan mungkin melakukan penghematan besar-besaran.

Dan ia melakukan semua hal itu supaya aku dapat merilis CD-ku?

Kini, aku tahu kalau aku adalah seseorang yang sangat spesial di mata Kouji. Ia tidak mundur setelah tahu keadaanku yang sesungguhnya dari Misaki. Sebaliknya, ia justru berusaha sekuat tenaga untuk membantuku.

"Kalau masalah uang, sih," sela Otousan, "jangan khawatir, aku yang akan membayar."

"Benarkah?" balas Kouji girang yang diamini oleh Otousan. "Tapi, sepertinya akan lebih baik kalau aku sendiri saja," lanjutnya.

"Kenapa?" tanya Otousan.

"Itu keputusanku," Kouji menjawab sembari memandang ke arah Otousan. "Ini sesuatu yang kumulai, jadi aku ingin menuntaskannya hingga selesai."

"Ya sudah kalau begitu."

Setelah selesai berbincang dengan Otousan, Kouji lantas beralih kepadaku yang masih terpana dengan kata-katanya yang penuh tanggung jawab itu. Perlahan-lahan, rasa benciku kepadanya mulai mencair, dan bahkan berubah menjadi rasa kagum. "Jadi bagaimana?" tanyanya meminta persetujuanku. "Tidakkah kamu ingin memasukkannya ke CD? Lagumu itu...."

Aku terdiam. Bukankah belum lama ini aku telah memutuskan untuk membuang impianku dan tidak bernyanyi lagi? Namun, di sisi lain, aku juga sudah lama sekali memendam keinginan untuk membuat album CD-ku sendiri. Lagipula Kouji juga sudah berusaha keras untuk membayari uang pendaftaran yang jumlahnya tidak sedikit itu. Karena itulah, sambil berusaha menahan tangis terharu, aku lantas melihat ke arah Kouji dan mengangguk mantap. Ini mungkin akan menjadi kesempatanku sekali seumur hidup, jadi apa salahnya membangun kembali mimpi yang sudah kuhancurkan dan memulainya dari awal?

"Aku berhasil...," gumam Kouji perlahan.

***

Seusai makan malam, Kouji mengajakku untuk keluar berjalan-jalan. Aku melangkah lebih dulu, sementara Kouji menyusul di belakang. Sudah agak lama juga sejak kami berjalan bersama malam-malam begini. Terakhir kali adalah waktu di Yokohama itu, ingat? Sekarang, kami kembali berduaan layaknya sepasang kekasih—dan memang itu yang sebenarnya kuinginkan! "Aku tak menyangka kamu akan berbuat sejauh ini untukku," aku memulai pembicaraan.

"Tidak mengapa."

"Terima kasih, ya," kataku. Kouji hanya membalas dengan terkekeh. "Aku ingin tahu, bisakah orang sepertiku...," lanjutku sambil terus berjalan.

"Heh?" seru Kouji dari belakang.

"Rasanya, aku tidak mungkin melakukan hal ini," aku membalas. "Kalau orang sepertiku...," sambungku. Aku kemudian berjalan melintasi rel tempat kami pertama kali bertemu. Untuk beberapa saat, aku terus melangkah, tapi aku kemudian berhenti saat tak kudengar langkah Kouji mengikutiku. Benar saja; dia berhenti tepat di seberang rel. "Kenapa? Apa aku salah bicara?" tanyaku kepadanya.

Kouji tidak mengiyakan, tidak pula membantah. Alih-alih begitu, dia menjawab dengan jawaban lain. "Aku menyukaimu."

"Heh?" balasku. Aku memang menginginkan Kouji mengatakan hal itu, tapi tetap saja aku merasa kaget ketika mendengarnya.

"Meskipun keadaanmu seperti ini," ia membalas dari seberang rel. "Jika malam tiba, mari kita bertemu!" tambahnya.

Aku terdiam menanggapi kata-kata Kouji. Kenapa? Kenapa Kouji berbuat begini untukku? Apakah karena dia menyukaiku?

"Tidurlah ketika siang, dan ketika matahari terbenam...," Kouji melanjutkan," aku akan menemuimu."

Si Bodoh itu.... Dia sudah melakukan banyak hal untukku, dan bahkan ia rela untuk pergi keluar malam-malam hanya sekadar untuk menemuiku? Kenapa...? Aku tidak tahu kata apa yang tepat untuk mengungkapkan perasaanku kini, dan sebelum aku menemukan kata itu, perlahan-lahan kurasakan dua butir air mulai mengalir dari pipiku. Cepat-cepat kuangkat tangan kananku untuk menyekanya sambil memalingkan wajah. Aku tak ingin Kouji mendapatiku menangis.

"Hei," panggil Kouji sambil beranjak ke arahku. Aku pun dengan segera menjauh darinya supaya ia tidak bisa melihat bekas air mata di mukaku. "Kenapa? Kamu menangis?" tanya Kouji sambil mengejarku.

"Tidak, aku tidak menangis," aku menyangkal.

"Kamu menangis, kan?"

"Sudah kubilang aku tidak menagis," jawabku sambil kembali mengelak darinya.

"Biar kulihat wajahmu," Kouji berkata sambil sedikit memaksaku. Aku sempat lolos dari tangannya, tapi kemudian, ia berhasil meraihku sekali lagi. "Jangan menangis," ujarnya berusaha menghiburku. Dipandanginya bola mataku agak lama, dan setelah itu, ia mencubit kedua pipiku seraya berkata, "Ayo, tersenyumlah!"

Aku mengejapkan mataku sekali. Entah mengapa aku justru semakin ingin menangis saat Kouji memintaku untuk tersenyum. Kouji sendiri justru tertawa setelah melihat wajahku.

"Wajah yang aneh," gumamnya.

Masih dengan perasaan tak karuan, aku hanya bisa menanggapi kata-kata Kouji itu dengan sebuah kata. "Jahat," balasku. Aku tidak tahu mengapa kata itu yang pertama kali terlintas di benakku; mungkin karena dia justru tertawa saat melihatku menangis. Kouji kembali memandangi wajahku selama beberapa saat sebelum akhirnya melepaskan tangannya dari pipiku dan mulai mendekatkan wajahnya ke wajahku.

Kemudian, kami berciuman.

Di sini, di rel kereta tempat pertama kali kami bertemu, Kouji menempelkan bibirnya di atas bibirku. Darahku serasa berdesir dan perasaan hangat perlahan-lahan mulai menyelimutiku. Ini Kedua kalinya aku dicium di bibir oleh seorang Kouji, dan rasanya mendebarkan sekaligus menyenangkan! Kamu berciuman agak lama, sekitar satu menit. Kouji lantas dengan lembut melepas ciumannya dari bibirku dan lalu mengulurkan tangannya untuk merengkuhku. Perlahan, air mataku kembali menetes. Selama hidupku, baru kali ini aku tahu bahwa ternyata ada seorang cowok yang benar-benar tulus mencintaiku meskipun ia sudah mengetahui keadaanku yang sesungguhnya. Sekarang, dari saat ini, aku akan mengakhiri semua masa laluku; impianku, hubunganku dengan Kouji, dan segala hal lainnya akan kuhentikan malam ini juga. Sebagai gantinya, aku akan mengganti semua itu dengan sesuatu yang baru—benar-benar baru dan berbeda dengan yang lampau.

Ya, Kouji, Inilah awal dari diriku yang baru!

***

Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura.
 
Terakhir diubah:
emosinya masuk :galau:
ada salah ketik tu... statsiun sama kaoji :D
berhubung gaya penulisan ente resmi, berdampak agak gimana kalo2 ada salah ketik...
owh iyah, satu lagi, mgkn kalo di luar negara kita tercinta kata2 aku kamu itu wajar. Tp di negara kita tercinta, saat bicara dgn seseorang yg dihormati biasanya sih pake saya, untuk kamu pake anda ato nama.
just IMHO, CMIIW
 
emosinya masuk :galau:
ada salah ketik tu... statsiun sama kaoji :D
berhubung gaya penulisan ente resmi, berdampak agak gimana kalo2 ada salah ketik...
owh iyah, satu lagi, mgkn kalo di luar negara kita tercinta kata2 aku kamu itu wajar. Tp di negara kita tercinta, saat bicara dgn seseorang yg dihormati biasanya sih pake saya, untuk kamu pake anda ato nama.
just IMHO, CMIIW

Makasih infonya suhu, maklum newbie. Nanti newbie betulkan.
 
suhu katanya :galak:
udah dibilang showa aja kok :galak:

Iya dech guru showa terima kasih keripiknya. Bsok" kasih yang rasa balado yaw.
 
Taiyou no Uta~Sebuah Lagu untuk Matahari: Bab 7

Hari Esok Tiada yang Tahu



Kejadian pada malam itu telah membuatku menjadi semakin dekat dengan Kouji. Ia sendiri selalu datang ke rumahku setiap malam sesuai janjinya. Kalau ia sudah datang, kami biasanya akan melakukan banyak hal menyenangkan bersama. Pernah suatu ketika ia berkata ingin mencoba memainkan gitarku. Aku sendiri sebenarnya tidak yakin kalau Kouji bisa memainkan gitar, tapi meskipun begitu, aku tetap menyerahkan gitarku. Benar saja, begitu ia mulai bemain, terdengar bunyi fals yang membuatku ingin menutup kuping. Kami berdua lantas tertawa bersama sesudahnya.

Aku terdiam ketika Kouji memelukku, aku tetap terdiam ketika tangannya merayap turun dan bermain di pemukaan kaos ketat yang kukenakan. Ia meremas sepasang bukit kembar putih yang masih tersembunyi dibalik kaos ketat yang kukenakan, aku hanya menatapnya ketika tangannya bergerak meremas payudaraku. Kemudian menyelinap ke dalam bajuku, mataku terasa berat, ada rasa nikmat yang membuatku terlena ketika tangannya perlahan-lahan menyelinap ke dalam braku.
"Ohhhh...., "Aku mendesah pendek merasakan remas-remasan tangan Kouji yang semakin aktif.
"Kouru sayangggg, aku sayang sekali sama kamu...." Kouji menarik tangannya dari balik bajuku ia membalikkan tubuhku dan mendorongku ke tempat tidur.
"Hhhhhhhh.... Kouji...... " aku mendesah meKoujigil namanya ketika tubuh kami menyatu erat, pelukannya begitu hangat, hangat sekali ketika tubuh kami yang sudah polos saling bergesekan dan saling dekap.
Kekasihku menundukkan wajahnya, bibirnya menciumi rahang dan daguku, kemudian menciumi dan melumati bibirku yang terus mendesah-desah, air liurnya membasuh leherku, jilatan-jilatan lidahnya mengulasi batang leherku. Ada rasa hangat yang menggelitik ketika ia membenamkan wajahnya di belahan dadaku.
"Unnnhhhh... Koujiiiiiiii Ahhhhhhhhh..." aku kembali mendesah merasakan kenyotan-kenyotan lembut mengenyot puting susuku,
aku menutup kedua mataku rapat-rapat, ketika satu persatu Pakaian Kouji terlepas dari tubuh Atletisnya . Lagi-lagi gairahku memaksaku untuk membuka kedua mataku, mata sipitku menatap tajam pada sesuatu yang menggantung di selangkangan Kouji, aku memekik ketika Kouji menerkamku.
"Ohhhh..... Kouji hennnnmmmmmm....." Aku merinding ketika bibirnya mengecupi telingaku, lidahnya yang basah menari-nari didaun telingaku.

"Kouru...,sebenarnya aku udah lama pengen melakukan ini sama gadis secantik kamu kouru " desahnya ditelingaku.
"Lakukan Koujiiiiiii Aaahhhhhhhhhh...."
Rasa nikmat itu semakin menenggelamkanku ke dalam sebuah jurang yang begitu dalam disebuah lautan kenikmatan, ciuman-ciuman liarnya menjalari rahang, dagu dan bibirku.
"Uhhhh.., Aduhhhh...." Kouji menyeretku ke tengah ranjang
Dengan lembut ia membalikkan tubuhku, sekujur tubuhku merinding ketika merasakan tubuh Kouji meneduhi tubuhku yang terlungkup di atas ranjangku.
"Essshhhhh..., tubuhmu sangat bagus dan mulus Kouru " Kouji mendesak-desakkkan selangkangannya pada bongkahan buah pantatku.
Aku menggigil merasakan sebuah benda yang menggesek-gesek belahan pantatku , menekan, dan bermain-main di antara himpitan buah pantatku.
"Urrrhhhhh.... Koujiiii .....Koujiii ......Koujiiii....eeeesssshhh"
Kouji membelit tubuhku dari belakang, nafasnya yang hangat berdengusan di tengkukku. Aku menggigil ketika rasa nikmat menyengati leherku, kecupan-kecupan liar dan gigitan-gigitan gemas Kouji berkali-kali menyengati leher dan tengkukku, lidahnya menjilati belakang telingaku dan mulutnya mencaplok serta melumat – lumat daun telingaku sebelah kiri.
"aaaaaa....., Hssshhhhaaahhhh.... Ohhhhh..." aku memalingkan kepalaku ke arah kanan karena sudah tidak tahan menahan rasa geli yang menyengat leher dan daun telingaku sebelah kiri
Namun Kouji justru memanfaatkan situasi dengan menyerang leher dan daun telingaku sebelah kanan. Batang lidahnya menggeliat liat menggelitiki belakang telingaku sebelah kanan kemudian menelusuri daun telingaku, terkadang gigitan-gigitan gemas Kouji mampir di daun telingaku. Ia terkekeh ketika aku tersentak menahan rasa nikmat yang menggelitiki leher dan daun telingaku, aku merasa lega ketika Kouji mengangkat tubuhnya yang putih dan kekar,
"Sini Nonnnn... rebahan disini....." Kouji menepuk-nepuk bantal empukku, entah kenapa aku menurutinya, aku merangkak dan merebahkan diriku terlentang dengan pasrah..
"Rentangkan tangannya keatas....Kouru ..." aku merentangkan kedua tanganku ke atas

Desahan nafas Kouji menerpa ketiakku. Aku memejamkan mataku ketika merasakan ulasan-ulasan batang lidahnya menyapu ketiakku, hidungnya terbenam dan mengendusi ketiakku, mulutnya mengemut ketiakku dan lidahnya terjulur menjilati ketiakku ssslcccckkk... lllcccckkkk... slllccckkk cupppp..., cuphhhhh cuppppp, terdengar suara kecupan-kecupan Kouji yang begitu bernafsu mencumbui lekuk ketiakku.
"Aahhhhhhhhhhhh...... !! " tubuhku tersentak dan sedikit meronta ketika Kouji membelitku sambil membenamkan wajahnya pada belahan dadaku
Aku berusaha meronta untuk menyadarkan akal sehatku sedangkan Kouji terus menyerang mencumbui susuku untuk menenggelamkan kesadaranku. Aku berbaring terbujuk oleh bujuk rayu gairahku, akal sehatku terbuai oleh kecupan-kecupan liar Kouji yang menggeluti buah dadaku.
"Kouru...., muahhh he he he....Muummmm Cpokkkkk.... Muummmmmhhh Cpokkkkk "Kouji mengenyot puncak payudaraku kemudian menarik kepalanya kebelakang, terdengar suara letupan keras yang semakin membakar gairah nafsu binalku ketika susuku terlepas dari emut-emutan mulut Kouji yang mempermainkan payudaraku yang semakin keras mengenyal, aku menggigit bibir bawahku menahan rasa nikmat ketika batang lidahnya mengulas-ngulas pentil susuku, kemudian happpp....., mulutnya kembali mencucup puncak susuku, dikenyotnya puncak payudaraku hingga tubuh mungilku meronta dan melenting keenakan.
"Ahhhhhh.... Aaaaaa.... Ahhhhhhhhhhhhh......".
Betapapun hebatnya aku meronta dan berontak namun belitan Kouji begitu kuat membelit tubuh mulusku, dengus nafas Kouji itu terasa hangat menerpa kedua bukit payudaraku. Air liurnya membasahi bulatan susuku, lidahnya semakin liar terjulur-julur menjilati pentilku yang meruncing dan kemudian batang lidahnya yang basah dan hangat membasuhi kedua bulatan dadaku.
"Ohhhh... Koujiiii....." aku menggeliat resah ketika kecupan-kecupan liarnya bergerak turun ke perut, pinggul dan kemudian terdengar perintah Kouji.
"Tekuk dan rentangkan kedua kakimu Kouru....."
"Koujii.... Kita.... Ohhhhhhhhh....."tanpa meminta persetujuan lebih lanjut Kouji menekuk dan menekan kedua lututku ke samping
Selangkanganku merekah dengan indah dihadapan wajah seorang pemuda bernama KOUJI...!! Aku hanya sanggup mendesah dan terus mendesah merasakan kecupan-kecupan liarnya mengecupi permukaan vaginaku. Aku merintih ketika batang lidahnya yang basah hangat membasuh rambut jembutku yang tipis. Dengan reflek aku mengangkat punggungku, kedua tanganku menopang ke belakang, ketika merasakan batang lidah Kouji menggeliut memasuki cepitan bibir vaginaku, aku menekuk wajahku, kepala Kouji terbenam di selangkanganku, kedua kaki mulusku tertekuk mengangkang ke samping. Batang lidah itu menggeliat semakin liar dan terjulur semakin dalam.

"Unnnnrrrhhhh.... Ahhhhhhhh.... Akkkkkkhhhhhhhh....sayaaanggg"
Sesekali aku menarik pinggulku untuk menghindari rasa geli dan nikmat yang menyerang belahan vaginaku.
"Aoohhh ampunnnn aaaaaaaa...., Blukkkkk Crrr Crrrrrr..... " punggungku terjatuh ke belakang, cairan vaginaku berdenyutan dengan nikmat, serrrr.. serrrrrrrrrrr....
Desiran kenikmatan itu mengiris – ngiris sekujur tubuhku yang mengejang sebelum akhirnya aku terkulai lemas dengan desah nafas yang tersendat-sendat, butiran keringat nakal mengucur melelehi tubuh mulusku. Aku menggelinjang kegelian ketika Kouji menggesekkan kepala penisnya pada belahan vaginaku, digesek dan terus digesekkan kemudian Kouji mulai menjejal-jejalkan kepala penisnya yang perlahan mulai tenggelam dalam cepitan vaginaku.
"Kouji akuuu.. akuuu..., sebentar, ooohhhh hentikan akkkhhhhh.....!!"tiba-tiba aku tersentak tersadar, apa yang tengah aku lakukan bersama pacarku diatas ranjangku, aku tersadar dan berusaha keras menghentikan gerakan penis Kouji yang sudah tertelan oleh vaginaku sampai sebatas leher penis. Ia mencengkram buah pinggulku sambil menusukkan batang penisnya menusuk belahan vaginaku kuat-kuat.
"JEBOLLL... SIAHHH...! JEBOL... !! HEUU.. JEBOLLLLL...!!"
"AWWWWWWW.......!! " aku menjerit keras ketika merasakan tusukan-tusukan kuat yang membuat vaginaku terasa melar dan merekah
Rasa sakit menggigit selangkanganku., aku menatap Kouji yang tengah asik menjejal-jejalkan batang penisnya menusuk belahan vaginaku. Tidak ada lagi raut wajahnya yang sopan, TIDAK ADA...!! Yang ada hanya seraut wajah keji yang tengah tersenyum mesum menatapku yang terisak menahan rasa sakit di selangkanganku. Kegadisanku direngut dan vaginaku digenjot oleh pacarku bertubuh putih kekar, batang penisnya tenggelam sedalam 18 cm kedalam jepitan vaginaku.
"Sakiittt... Koujiiiii... ouhhh sakitttt... khhh hhkk hakkk.."
"Tenanggg Kouru, ntar kalau udah biasa masuk nggak akan kerasa sakit lagi..., malah kalau udah ngerasa enaknya sex, Kouru sayang bakal ketagihan kemaluanku ....." Kouji menusukkan batang penisnya semakin dalam hingga selangkangannya mendesak selangkanganku. Batang penisnya tenggelam dan tertancap dengan sempurna dicepitan vaginaku. Tubuhnya yang putih kekar mulai meneduhi tubuhku, aku mendesah menahan beban tubuh pacarku yang tersenyum mesum sambil menikmati kecantikanku.
"Aaaaaaaaaaaaa...., Aaaaahhhhhhhhh sayaang koujii.....!"
Tanganku terangkat berusaha mencari pegangan ketika Kouji mulai menghempas-hempaskan batang penisnya menumbuki belahan vaginaku, kubenamkan kesepuluh kuku jariku ke punggungnya, kedua tanganku memeluk tubuh putih pacarku yang tengah asik menggenjoti belahan vaginaku. Batang penisnya bergerak keluar masuk dengan teratur, menusuk dan terus menusuki liang memekku. Clepppp... Cleppppp... Clllppppp... Bleppp.. cleppppppp..., terdengar suara decakan becek ketika liang vaginaku digenjot oleh batang penis Kouji.

"masih sakit ya Kouru ?? maafkan aku ya, kouru, aku tidak bermaksud menyakitimu."
Kouji menatapku kemudian wajahnya menunduk, bibirnya melekat dibibir mungil-ku. Bibirnya menjepit bibirku sebelah bawah, Kouji mengemut bibirku bergantian sebelah atas dan sebelah bawah. Sesekali ia menggigit kecil bibirku, lidahnya menjilati sela-sela bibirku, kubuka rongga mulutku, batang lidahku terjulur keluar bergelut dan saling mengait dengan batang lidah Kouji.
"Srrrphhhh... Srrrpppppphhh.... Ckk Mmmmmmmpphhh... Ckkk"
Aku membalas lumatan – lumatan bibir Kouji, lidahku kembali terjulur keluar, dengan bernafsu Kouji menghisapi batang lidahku. Air liur Kouji belepotan di dagu, dan bibirku, sementara tubuhku terus tersentak-sentak dengan lembut di bawah tindihan pacarku yang tengah menggenjotkan batang penisnya, menyodoki liang vaginaku.
"Aaaaaaaaaaaaa... Hhhhh Hhhhoosssshhh.. Hhhhhhhhhssshhhh.. Cruttt... Crutttttt........." kedua kakiku membelit tubuh Kouji, tubuhku kembali menggigil dengan nikmat ketika vaginaku berdenyut-denyut memuntahkan cairan klimaksku.
Kepalaku terkulai lemah kearah samping kiri, tubuhku bergidik dengan nikmat di bawah tindihan Kouji, tangan Pacarku mengelusi rambutku yang acak-acakan, kedua kaki mulusku terkangkang pasrah.
"Mmmpphhh... Jrebbbb.. vagina kouru makin licin peret, makin enakk Jrebbb... Blessshhh... Crrrrbbbbbb... Bleeeppppp......buat dientot...,"
Nafasku kembali tersendat-sendat merasakan tusukan-tusukan penis Kouji kembali menggenjot vaginaku, aku semakin sengsara ketika Kouji mempercepat tusukan-tusukan batang penisnya.
"Ennggg sakit Aaaaaaa, Affffhhhh, Koujiii...,!! owwwww.......!! "Aku mengeluh merasakan tusukan-tusukannya yang semakin liar dan kasar, semakin kasar dan lebih KASAR lagi....
"Ya nggak akan lahhhh....sayang, masa Sakit, yang ada juga enak dan nikmat, bukannya Sakitsss he he he he...."
Aku memalingkan wajahku ke kiri dan kanan, vaginaku disodok dan tubuhku tersentak-sentak, terguncang dengan hebat di atas ranjangku sendiri. Keringat Kouji meleleh menetesi tubuh mulusku, terlihat senyumannya ketika ia mendengar lolongan dan pekikan kecilku. Semakin keras aku aku melolong semakin keras pula ia menghentak-hentakkan batang penisnya, dipercepatnya irama genjotan-genjotan batang penisnya menggenjoti liang vaginaku.
"aaaa....., aaaaaaa... aaaahhhhhhh..... " aku mendesah dan terus mendesah ketika merasakan sodokan-sodokan penis Kouji yang menusuk vaginaku dengan kuat dan kencang, agak lama juga ia mengerahkan seluruh tenaganya menusuki vaginaku kuat-kuat.

Aku menarik nafas lega ketika tubuhku berhenti terguncang. Untuk sesaat Kouji beristirahat di atas tubuhku. Wajahnya tepat berada di atas wajahku, sementara batang penisnya tertancap dijepitan liang vaginaku, ia memandangiku dengan tatapan matanya yang penuh dengan kobaran nafsu cinta. Aku terdiam dan menatapnya, tangan Kouji membelai wajahku yang cantik jelita.
"Duhhh, Kouru kok murung sich ?? Masih sakit atau pengen lagi?, sini biar kouji Puasin...."
Desahan nafasku kembali membakar nafsu binatang Kouji, ia kembali menghempas-hempaskan batang penisnya. Dengan bernafsu ia menusuk-nusuk batang penisnya menyodoki vaginaku, tanpa melepaskan batangnya dari cepitan vaginaku Kouji merubah posisi. Kini aku duduk saling berhadapan, aku menduduki batang penis Kouji, kedua kakiku mengangkang menjepit tubuh Kouji, sementara kedua tanganku berpegangan pada pundak Kouji.
"Ayoo kouru..., Kouji pengen nyobain goyangan Kouru...."
Aku terdiam untuk sesaat, dengan menahan rasa malu, aku mulai memberanikan diri mengangkat pinggulku kemudian perlahan-lahan aku mendesakkan kembali vaginaku ke bawah. Rasa nikmat itu membuat wajahku terangkat ke atas, mataku menatap langit-langit kamarku. Sesekali aku mengatur posisiku agar lebih leluasa menaik turunkan vaginaku. Dengan sabar Kouji membantuku menaik turunkan pinggulku, kedua tangannya yang kekar mencapit pinggang rampingku dan membantuku agar lebih lancar menghempas-hempaskan vaginaku mendesak batang penisnya yang dengan otomatis bergerak keluar masuk menusuk-nusuk belahan vaginaku..
"Ahhh... Hssshhh Ahhhhh... Koujiii.... ," tangan kiriku menekan belakang kepala Kouji hingga terbenam di belahan payudaraku
Aku semakin cepat menaik turunkan pinggulku, Kouji semakin bersemangat menggeluti buah dadaku ketika aku merintih dengan liar.
"Aaaaaa... aaaaaa.......wwwwww...oohhhh Koujiiiii"Aku menjerit liar merasakan kenyotan-kenyotan mulut Kouji yang mengulum buah dadaku
Kupercepat hempasan vaginaku dan Kouji menyambut hempasan liarku dengan menusukan batang penisnya kuat-kuat ke atas.
"Hmmm koujiiii, akh.. akuu.. aku mau keluarrrrr......"
"Sebentar... kita barengan....Kouruuu Tahannnnn...., Tahan sebentar" Kouji semakin menyentak-nyentakkan penisnya ke atas.
"Nggakkk khuatt Kouji akhhhh..., nggakk kuatttt... aduhhhh" aku mengeluh
Aku semakin dekat dengan puncak klimaks-ku, tubuhku tersentak-sentak tanpa daya.

"Sebentar lagi sayaaang TAHANNNNNNN........!!!"
"Owwwhhhhh.... Crrrutttt.... Cruutttt.........Koujiii."
"KECROTTTTTTTT......."
Tubuh Kouji rubuh ke belakang sambil memeluk tubuhku yang terengah keenakan di dalam pelukannya. Aku terdiam, mataku terasa berat, dan tubuhku terasa pegal karena kecapaian. Aku mendesah ketika tangan kanannya merayap dan meremas-remas buah pantatku, sedangkan tangan kirinya mengusapi punggungku yang basah. Aku menggeliatkan tubuhku dan meronta berusaha melepaskan diri dari pelukan Kouji, namun kedua kakinya malah membelit tubuhku, tangannya yang kekar memeluk-ku, batang penisnya mengecil di dalam jepitan vaginaku.

Kouji memujiku, kedua tangannya berkeliaran dengan bebas, menggerayangi lekuk liku tubuhku yang putih mulus, aku merasakan batang penis Kouji berdenyut-denyut dan kembali menyesaki jepitan vaginaku.
"Uhhhhh...., sudahh Koujiiii, sudahhhh......cukup, kan tadi udah...." aku yang sudah kelelahan berusaha menolak keinginannya.
"Waduhhhh... itu mah baru pemanasan aja kouru... yukkk ikut Kouji...kita ngentot lagi...." Kouji menarikku keluar dari dalam kamar
Aku pasrah ketika Kouji menyuruhku untuk duduk di bangku sofa, di ruangan tamu. Kedua tungkai kakiku dikaitkan mengangkang pada lengan kursi sofa itu.
"Utssshh..... " aku menarik pinggulku ketika jari telunjuk kanan Kouji mencoblos belahan vaginaku, mataku beradu pandang dengan tatapan mata mesum Kouji yang menatapku sambil menusuk-nusukkan jari telunjuknya dalam-dalam,
Wajah berbinar kembali memacu gairah binalku, ia tersenyum lebar ketika aku mulai merintih dan mendesah.
"Enak ga kouru.....? " tanya Kouji
"Jrossshhh....!! " tiba-tiba Kouji menusukkan jari telunjuknya kuat-kuat, ia menuntut jawaban-ku
"Enn Enakkk... enakkkk nnnnnhhhhh.. hsssshhh ahhhhhh" tangan kiriku mencekal pergelangan tangan kanannya, sementara tangan kananku bertumpu ke belakang. Aku menggeser posisi-ku agar dapat menyandarkan punggungku bersandar ke belakang. Telapak tangan kiri Kouji mengelus-ngelus pangkal pahaku.
"Hsssshhhh... Hssshhhhhhhh Shhhhhaaaaaaaaaaaa...." aku mendesis-desis nikmat ketika jari telunjuk Kouji merojok-rojok belahan vaginaku
Kutekuk wajahku , nafsu semakin terbakar menyaksikan dua buah jari Kouji yang basah oleh cairan vaginaku yang sudah tercampur dengan darah keperawananku.

"Ahhhhhhhhh" aku tersentak
Kesadaran dan akal sehatku datang terlambat. Pacarku tengah menindih tubuh mulusku, semuanya Seperti keinginan Aku?? Seorang gadis keturunan Jepang cantik jelita, berkulit putih mulus, bercinta dengan Pacarku?? Aku menyerahkan tubuh dan kesucianku kepada Kouji?? berbagai macam pertanyaan mencambuk hatiku, gairah binalku kembali berkobar, aku memohon pada Kouji.
"tusuuuukkk Kouji..., masukannn terussss... ahhhhh......"
"Mau pake jari atau pake penisss Non ?? " Kouji memberikan-ku dua buah pilihan sambil terus menusuk-nusukkan kedua jarinya.
"Pake Penisss... unnggghh... penisss... Kouji...." aku menjawab dengan terbata-bata.
"Ha ha ha, boleh..., bolehhhh.., tapi nanti kalau Kouji udah puas bikin vagina kouru orgasme pake jari...."
Aku terengah, percuma saja aku memintanya untuk menyetubuhiku, Kouji sedang asik menusuk-nusukkan jarinya merojoki vaginaku.
"Aaaaaaaaaaaaaaaaa.....! Koujiii Ouuhhhhhh....!! " aku tambah kelabakan ketika jempol Kouji ikut memijiti clitorisku, matanya berbinar-binar menyaksikan tubuh mulusku yang mengangkang menggeliat-geliat dengan erotis, aku mati-matian menahan sesuatu yang hampir meledak di selangkanganku, rintihan-rintihanku semakin sering terdengar.
"Udah Kouruuu, nggak usah ditahan-tahan gitu sayangggg..." Kouji menatapku dengan tatapan mata sayuuunya
Jarinya semakin aktif menusuki vaginaku, jari jempolnya mengucek-ngucek clitorisku aku tidak mau..! tidakk, aku tidak mau, TIDAKKKKKKK......!! Aku menggeleng-gelengkan kepalaku untuk mengusir rasa nikmat yang menghampiri-ku, Akkhhhh Crrrrttttttttt... crrrttttt...., aku roboh di bawah tatapan mata berbinar Kouji. Kouji menundukkan wajah berbinar ke arah selangkanganku, terdengar bunyi menyeruput ketika mulutnya mengenyot-ngenyot vaginaku. Kedua kakiku menumpang di punggung Kouji sementara mulutnya masih asik mengenyoti selangkanganku. Tangan kiriku mengelus-ngelus rambut Kouji, sesekali tangan kiriku menekan belakang kepala Kouji sambil sedikit mengangkat vaginaku dan aku kembali menarik pinggulku ketika merasakan Kouji semakin lahap menyantap selangkanganku.
"he he he.. geli Kouji oohhhhhh..., nikmatttssshhhh....sudahhh Koujiiiii sudahhhh he he he he" aku tertawa merasakan emut-emutan nakal mengemut bibir vaginaku.
Aku memekik sambil berusaha menarik vaginaku

Kouji mengangkat kepalanya, ia menatapku sesaat, jemarinya mencapit dan membuka bibir vaginaku kemudian ia kembali membenamkan wajahnya di selangkanganku. Aku membelai-belai rambut Kouji yang ikal, berkali-kali aku harus rela mendesah dan merintih ketika batang lidahnya menggaruk-garuk isi vaginaku, ohhhh.... Hhssshhh Kouji... hsssshhhhh, seperti itulah aku mendesah dan mendesis. Entah apa yang sedang dicari oleh batang lidah Kouji yang terjulur keluar dan berkali-kali menyelinap masuk kedalam belahan vaginaku, yang jelas aku menikmati gerakan batang lidahnya yang basah dan hangat.
"Owww... ihhhh.. Koujiiiiii.... " aku memekik sambil menarik pinggulku
Ujung lidah Kouji mencokel clitorisku hingga aku tersentak nikmat. Aku mengangkangkan selangkanganku selebar-lebarnya ketika ujung lidah Kouji kembali mengejar daging clitorisku.
"Ahhhhhh..., owww....! .Owww Kouujiiiiii, akhhhh...!!."
Tubuh mulusku berkali-kali tersengat nikmat ketika ujung lidah Kouji mencolek-colek kelentit-ku. Aku bertahan agar kedua kaki mulusku tetap mengangkang lebar walaupun rasa nikmat dan geli itu begitu kejam menyiksa kemaluanku..
"Emmmmmaaahhhh... Ahhhhhhh..... Offffhhhhh.......Oooooo "mulut-ku ternganga-nganga lebar,
Mataku yang sipit berkali-kali membeliak ketika Kouji melumat dan mengemut-ngemut daging clitorisku yang semakin menonjol, terkadang tangannya menepuk-nepuk permukaan vaginaku.
"Aaaaaaa, aku keluar , aaaaaaaaaa" itu adalah orgasme terpanjangku , tubuhku melengkung ke atas didera oleh rasa yang membuat tubuhku rasanya terbang dengan terasa tanpa tulang . Sedangkan Kouji masih senang saja meneguk cairan cintaku yang keluar semakin banyak dari vaginaku.
Jam sudah menunjukan Jam 5 Pagi, koujipun dengan berat hati pergi pulang karena orang tuaku akan datang. Dengan tersenyumku tatap Selimut putihku yang bernoda merah oleh darah perawanku. Ku gulung selimut itu dan mengambil selimut baru dari lemari dan tertidur dengan tanpa pakaian dengan tersenyum.



Aku memang menikmati malam-malamku bersama Kouji, tapi aku juga harus ingat kalau ada tawaran rekaman yang masih harus kukejar. Itulah sebabnya aku sekarang hampir tak pernah keluar setelah makan malam dan lebih banyak mengurung diri di kamar untuk berlatih. Seperti malam ini. Aku kembali memegang gitarku dan bersiap untuk memainkannya sementara Misaki—yang mampir kemari untuk menginap—tidur-tiduran di kasurku sambil membaca sesuatu. Sepupuku itu masih libur musim panas, ingat?
Begitu aku mulai menggenjreng gitarku, alunan akustik yang merdu dan suara dengunganku mulai terdengar memenuhi kamar. Sengaja kupilih bagian terakhir laguku karena pada bagian itulah yang belum begitu kukuasai. Aku terus memainkan bagian itu sambil menikmati suaranya ketika tiba-tiba saja jari tangan kiriku yang kugunakan untuk membentuk akord gitar melemah dan terlepas dari senar, membuat permainanku menjadi terhenti sejenak. Kuulangi genjrenganku sekali lagi, dan untuk yang kedua kalinya, jariku terlepas lagi. Entahlah, sepertinya ada sesuatu yang salah. Jari-jariku terasa kaku dan tak bisa kugerakkan sesuai keinginanku. Aku memandangi jari-jari itu sejenak sebelum akhirnya terkaget karena tiba-tiba saja Misaki bertanya mengapa aku berhenti.

"Sepertinya aku agak capek," jawabku sambil beringsut dari lantai. "Aku akan mengambil makanan," lanjutku. Aku kemudian keluar dari kamar dan lalu berjalan menuruni tangga ke arah cermin yang tergantung di ruang keluarga. Sekali lagi, aku mengamati jari-jari tangan kiriku. Jari-jari itu kukepalkan dan kulepas berulang-ulang, hingga setelah aku mantap kalau kekuatan genggamanku sama seperti biasanya, aku mengangguk dan lantas beranjak ke kulkas untuk mengambil makanan. Tak apa, Kaoru, tak ada yang salah. Kamu hanya kecapekan saja karena harus mempersiapkan rekaman pertamamu, itu saja.

Setelah mengambil sesisir pisang, dua mangkuk puding, dan dua kaleng manisan, aku kemudian kembali naik ke kamar. Misaki langsung menyambutku dengan gembira saat melihatku membawakan panganan-panganan itu, dan sesaat setelah aku meletakan kesemuanya di meja, ia dengan segera menyahut semangkuk puding. Aku sendiri lebih memilih untuk melanjutkan memainkan gitarku untuk memastikan kalau tangan kiriku baik-baik saja. Satu genjrengan. Dua genjrengan. Sebuah intro. Hei, sepertinya jari-jariku memang berfungsi seperti biasa....

PANG!

Lagi-lagi...! Untuk ketiga kalinya, jari tangan kiriku kembali tidak dapat kugerakkan. Perlahan, kuamati tangan kiriku. Benar, tangan itu terasa seperti mati rasa. Tak peduli bagaimana aku menggerakkan jari telunjuk, jempol, atau kelingkingku, tidak ada yang berubah—semuanya masih tetap diam. Namun, aku mencoba untuk tidak berputus asa, jadi aku lantas memulai untuk memainkan gitarku sekali lagi. Kuangkat tangan kananku untuk mulai memetik senar gitar, dan....

PANG!

Apa ini?

Tadi jari-jari tangan kiriku yang tak bisa kugerakkan, sekarang kenapa jari-jari tangan kananku yang jadi begini? Jemari yang biasanya lincah memainkan senar nilon itu kini tidak bisa lagi kuarahkan. Aku kembali mencoba untuk memetik gitarku sebagaimana biasanya, tapi yang terdengar justru suara petikan yang keras dan sumbang. Bagaimana mungkin? Ini bukanlah permainan gitarku. Aku tetap tidak bisa menerima kalau performance-ku menjadi berantakan begini, jadi aku menggenjreng lagi sambil berharap jariku akan lentur kembali dengan sendirinya. Namun, hasilnya tetap sama, bahkan menjadi lebih parah. Aku lalu menggenjreng sekali lagi. Sekali lagi. Sekali lagi. Berulang-ulang, senar gitar itu kupetik tanpa jeda, menghasilkan suara cempreng yang berkelanjutan. Meskipun begitu, jariku tetap saja terkejur dan tidak bisa menghasilkan suara yang merdu seperti biasanya.

Apa ini?

Kenapa...kenapa aku tidak bisa menggerakkan jari-jariku?

***

Otousan langsung membawaku dan Okaasan menemui dokterku begitu aku menyampaikan keluhanku. Ia titip rumah kepada Misaki, dan tidak lama kemudian, kami sudah berada di dalam mobil yang menuju ke rumah sakit. Padahal, sekarang sudah lumayan larut, sekitar jam sembilan malam. Untunglah, dokterku kebetulan tengah ada di rumah sakit dan belum pulang. Atas saran dokterku, aku lalu setuju untuk melakukan CAT-scan, dan kira-kira satu jam kemudian, dokterku lantas memanggil kami bertiga untuk membeberkan diagnosisnya.

"Meskipun untuk saat ini tingkatnya tidak begitu parah, tapi otaknya tengah mengalami kemunduran," kata dokterku kepada Otousan. Ia memperlihatkan hasil CAT-scan sekali lagi, kemudian melanjutkan, "Saya bisa bilang kalau gejala pelemahan syaraf yang disebabkan oleh XP sudah mulai tampak."

Sambil berbaring di ruang praktik, aku menguping pembicaraan keduanya. Pelemahan syaraf? Apa itu berarti aku tidak bisa bermain gitar lagi? Aku menengok sejenak ke arah Okaasan, dan tanpa kuminta, ia langsung menggamit tanganku untuk membuatku sedikit lebih tenang.

"Untuk ke depannya," kata doketerku lagi, "tubuhnya akan menjadi kaku. Kemudian...," ia menggantung kalimatnya.

"Maksud Sensei, dia akan meninggal?"

Apa?

Apa itu benar?

Aku, sekali lagi, mengerling ke arah Okaasan. Dapat kurasakan genggaman tangannya menguat, seakan-akan ia ingin mengalirkan lebih banyak kekuatan kepadaku. Otousan sendiri dengan kasar bangkit dari kursi dan lalu berjalan meninggalkan ruangan praktik. Dokterku menyusul tak lama kemudian, dan karena aku ingin tahu apa yang terjadi, aku mengajak Okaasan untuk melihat keduanya dari kejauhan.

Otousan ternyata berhenti di lobi rumah sakit. Ia duduk di situ sendirian sementara dokterku beranjak mendekatinya. Selama beberapa saat, tidak ada percakapan di antara mereka, sampai akhirnya lamat-lamat aku mulai mendengar Otousan berbicara. "Tapi bukankah ini aneh, Sensei?" tanyanya. "Aku tidak pernah membiarkannya terkena sinar matahari." Ia menghela nafas sejenak. "Ketika ia kecil, ia selalu merengek ingin pergi ke luar," kata Otousan menambahkan, "dan tak peduli dia menangis atau beteriak, aku akan menamparnya dan tetap menguncinya di dalam rumah."

Ah, ya. Aku ingat. Waktu masih kecil, aku memang seringkali hanya dapat melihat teman-teman sebayaku bermain petak umpet di musim panas. Tentu saja aku juga ingin bergabung bersama mereka, tapi Otousan selalu melarangku keluar, dan bahkan memukulku di wajah. Kala itu aku tidak tahu alasan Otousan melakukannya. Namun, semakin aku beranjak remaja, aku jadi semakin paham kenapa.

"Tapi mengapa," tiba-tiba, Otousan kembali berbicara, "mengapa semuanya jadi begini?" Perlahan, kudengar nada bicara Otousan berubah. Dari yang tadinya hanya lamat-lamat menjadi semakin keras. "Aku melakukan semua yang kubisa untuk melindunginya," ujar Otousan. Sekarang suara tangis mulai terdengar di antara kata-katanya. "Apa itu artinya semuanya itu sia-sia? Dan kenapa, Sensei," ujarnya kepada dokterku, "kenapa putriku harus mengalami hal semacam ini?"

Aku mengamati saat Otousan terisak dan dokterku menenangkan dirinya. Tanpa kusadari, tiba-tiba saja air mataku pun ikut meleleh. Selama ini, seburuk apa pun kondisiku, Otousan tidak pernah menitikkan air mata di hadapanku. Ia paling-paling hanya merespons sejenak dan kemudian membawaku ke rumah sakit kalau memang dirasanya perlu.

Sekarang, ia menangis.

Rasanya, baru kali ini aku benar-benar merasakan betapa Otousan menyayangiku. Aku seringkali menganggap ia tidak pedulian terhadap diriku, dan itu sebabnya aku kadangkala tidak segan untuk menyentaknya. Namun, sekarang aku sadar kalau ternyata Otousan amat menyayangiku.
Untuk kedua kalinya, aku kembali merasakan air mata mengalir membasahi pipiku.

***

Kouji kembali berkunjung ke rumaku keesokan malamnya, seperti biasa. Namun, kali ini ia tidak datang untuk melakukan suatu hal yang konyol bersamaku seperti malam-malam sebelumnya. Ia datang untuk membesukku. Misaki sempat menelepon tadi sore dan memberi tahu Kouji mengenai keadaanku yang sekarang, jadi aku tidak perlu bercerita panjang lebar mengenai hal itu. Ah, selalu saja begitu. Selalu saja ia yang menginformasikan segala hal tentang penyakitku kepada Kouji. Sudahlah, setidaknya aku jadi tidak usah repot-repot.

Aku tengah tidur-tiduran di atas kasur ketika kudengar Kouji memanggil namaku. Cepat- cepat kuubah posisiku menjadi duduk bersadar di dinding. Masa' aku menyambut Kouji dengan telentang? Tidak sopan!

"Aku masuk, ya," kata Kouji. Tak lama kemudian, aku melihat sosoknya berjalan melewati pintu geser kamarku. Pintu itu memang kubiarkan terbuka supaya aku dapat mendengar Okaasan memanggil atau, jika aku butuh bantuan seseorang, maka aku dapat dengan mudah memanggilnya. Kami saling berpandangan selama beberapa saat sebelum akhirnya Kouji berkata kepadaku, "Bagaimana keadaanmu?"

Sebagai jawaban, aku terdiam. Kepalaku sedikit kuarahkan ke tangan kiriku, tanda aku masih kesulitan menggerakkkannya. Kouji sendiri sepertinya langsung paham dengan gerakanku barusan sehingga ia tidak bertanya lagi. Harus kuakui, tindakan Misaki tadi siang sedikit banyak sudah membantuku.

"Maaf, ya," ujarku tiba-tiba.

Ekspresi Kouji langsung berubah menjadi heran setelah mendengar kata-kataku itu. "Apa?" tanyanya.

"Meskipun kamu sudah bekerja paruh-waktu...," jawabku lirih, "pada akhirnya, aku tidak bisa menyanyi lagi." Aku menunduk semakin dalam sementara Kouji menatapiku. "Maafkan aku."

Alih-alih menanggapi, Kouji justru berjalan menjauh. Ia melangkahkan kakinya menuju jendela kamar yang dulu sering kugunakan untuk memperhatikannya di halte bus, lalu setelah melongok ke luar sejenak, ia bertanya padaku, "Aku tidak melakukan sesuatu yang aneh, kan?"

"Hah?"

"Kamu kan biasa melihatku dari sini," jawab Kouji seraya menunjuk jendela itu.

Aku bangkit dari sandaranku, kemudian beringsut ke sisi tempat tidur. "Hal aneh seperti yang kamu maksud?" tanyaku.

"Misalnya aku mengupil...."

"Tidak kok," jawabku sambil tertawa kecil. Ada-ada saja.
"Kalau suara-suara yang aneh?"

"Tidak."

Mendengar jawabanku, Kouji terlihat lega. "Yang betul? Senang mendengarnya kalau begitu."

Aku lantas bangkit dari kasur dan berjalan ke arah Kouji—yang sekaligus juga ke arah jendela itu. Kulongokkan kepala sejenak untuk mengintip ke luar. Gelap. Hanya cahaya lampu rumah jalanan yang bisa kulihat, atau cahaya mesin penjual otomatis di halte bus. Aku menatap halte bus itu selama beberapa saat sebelum akhirnya berpaling ke arah Kouji. "Pertama kali aku melihatmu," aku memulai percakapan, "aku melihat Kouji yang seperti anak-anak," lanjutku. Aku langsung menyadari kalau Kouji menatapku dengan tatapan memohon dan aku tahu kalau ia ingin aku menceritakan apa maksud dari pernyataanku barusan. Aku tersenyum kecil, setelah itu mulai bertutur.

Waktu itu, aku masih empat belas tahun—sekitar kelas 2 SMP. Sudah menjadi kebiasaanku untuk duduk-duduk di samping jendela sebelum matahari terbit (dan masih berlanjut sekarang) sambil melihat ke jalanan di depan halte bus. Pada suatu pagi, aku melihat ada seorang cowok menghentikan skuternya di dekat halte itu—Kouji. Cowok itu mengenakan rompi, kemeja putih, dan celana hitam sambil menenteng tas, jadi aku tahu kalau dia hendak berangkat sekolah. Ia lantas turun dari skuter dan lalu berjalan mendekati sebuah papan seluncur. Diamat-amatinya papan seluncur itu dan dielus-elusnya, seakan-akan ia kagum betul dengan benda itu. Tak cukup dengan itu, ia juga membaringkan papan seluncur itu di tanah. Ia kemudian berpose seakan-akan tengah berselancar di atas ombak. Ketika ia hendak menaiki papan itu, seorang pria berotot dan bertelanjang dada keluar dari sebuah toko. Pria itu lantas menegurnya karena telah bermain-main dengan papan miliknya, dan aku melihat cowok itu langsung bertubi-tubi minta maaf. Aku tertawa sendiri melihat kejadian itu.

Beberapa hari kemudian, aku kembali melihat cowok itu. Kali ini, ia tidak sendirian. Ada dua orang lain bersamanya, dan kulihat ia tengah memamerkan papan seluncur yang baru dibelinya. Aku tersenyum melihat ketiganya bercanda, lebih-lebih ketika ia lantas memelorotkan celana sehingga celana pendeknya terlihat. Waktu itu aku sadikit terkejut juga. Namun, keterkejutanku berubah menjadi sebuah tawa saat melihatnya terjatuh karena tersandung celananya sendiri.

"Pada waktu itu kamu terlihat bahagia," aku mengakhiri ceritaku sambil sekali lagi memandang ke arah halte bus di bawah. "Melihatmu seperti itu, aku juga turut bahagia."

"Ah, kamu melihatnya," kata Kouji seraya tersenyum malu.

"Aku juga seperti itu, kok."

"Heh?"

"Waktu pertama kali mendapat gitar," terangku, "aku juga gembira seperti kamu."

"Begitu, yah...," gumam Kouji perlahan.

Setelah itu, intensitas percakapan kami langsung berkurang drastis. Kouji lebih banyak diam, dan begitu pula aku. Yang kami bicarakan paling-paling hanya hal-hal tak penting seperti bagaimana Kouji menghabiskan liburannya atau apakah aku sudah membuat lagu baru lagi akhir-akhir ini. Namun, kami sama sekali tidak membicarakan keadaanku. Tidak sedetik pun.

Setelah Kouji menghabiskan waktu bersamaku dengan kekakuan yang amat terasa, ia lantas beranjak untuk pamit. Aku mengantarkan Kouji keluar rumah dan bahkan ketika ia mulai menuruni tangga beranda rumahku, aku masih memandanginya. Ia sempat menoleh ke arahku sejenak ketika hendak berlalu, sedangkan aku hanya membalas dengan senyuman kecil.
"Hei!" seruku ketika Kouji sudah hampir berada di bawah. "Meskipun tanganku seperti ini, kamu bisa mendengar suaraku, kan?"

Kouji terdiam. Ia menatap ke arahku selama beberapa saat tanpa suara.

"Kamu bisa mendengarnya, kan?" aku mengulangi pertanyaanku.

"Ya, aku bisa mendengarnya," balas Kouji dari bawah sana.

Aku tersenyum sejenak mendengar jawaban Kouji. "Kalau begitu, aku akan bernyanyi," aku melanjutkan. Benar. Meskipun aku tidak dapat bermain gitar lagi, tapi setidaknya aku masih dapat menggunakan suaraku untuk bernyanyi, kan? Itu berarti aku masih mungkin pergi ke perusahaan rekaman dan membuat CD debutku. Setidaknya, usaha Kouji bekerja paruh-waktu tidak akan sia-sia. "Sampai besok kalau begitu!" seruku sembari melambaikan tangan kepada Kouji.Aku kemudian berlari naik menuju rumah. Sebelum masuk, aku sempat melihat ke bawah, ke arah Kouji yang kini tengah berjalan menjauh. Di antara lampu jalanan, sepintas aku melihat bahu Kouji naik turun. Kouji...masa' sih dia menangis?

***

Cerita Sebelumnya Cerita Selanjutnya

Budayakan Untuk Memberikan Komentar Anda untuk mengapresiasi penulis. Semakin banyak anda komentar mendukung penulis untuk menciptakan karya yang lebih sempura.
 
ah kenapa itu dengan kouru , aaaaa jadi penasaran apakah xpnya mengganas setelah sex sama kouji, dasar kouji jahat ih
 
ceritanya sungguh menggena, jadi kangen pengen lihat filmnya lagi hohoho.
 
Bimabet
oh iya ditunggu kelanjutannya , terasa beda meliat filmnya sama tulisannya .
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd