Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE LUCKY BASTARD (RACEBANNON - REVIVAL)

THE LUCKY BASTARD – PART 49

----------------------------------------
mall-l10.jpg
"Nikah?" tanya Karen bingung.
"Iya"
"Gak salah?"
"Kenapa salahnya?"

"Maksudnya, kok tiba-tiba ngomongin nikah?"
"Lo capek gak susah ketemu kayak sekarang?"
"Enggak"
"Loh..." Aku bingung. Rasanya perutku jadi mulas. Kenapa reaksi dan responnya tidak seperti yang kubayangkan? Karen malah bingung dan melihatku penuh tanda tanya. Apa yang kira-kira salah? pikirku. Kenapa Karen malah mempertanyakan motivasiku untuk menikahinya? Bukankah semuanya sudah jelas?

"Maksudnya gimana?" tanyanya lagi.
"Gue, sama elo, bareng, sampai kapanpun. Seenggaknya itu yang selalu gue pikirin" tegasku.
"...."

Karen terdiam. Dia tampak bingung mencari kata-kata dan bingung mencari cara untuk merangkainya. Dia tampak canggung menatapku. Raut cerianya 15 menit lalu sudah berubah menjadi raut bingung. Aku jadi panik, setidaknya di dalam hatiku. Rasanya bingung sekali menunggu kata-kata keluar dari mulutnya.

"Sori, gue gak kepikir sama sekali soal itu..."
"Hah?" aku bingung.
"Serius, gue heran lo tiba-tiba mau ngomongin itu..."
"Kenapa kok heran?"
"Rasanya gak tepat.. Bukan berarti gue benci ama lo... Tapi..."
"Tapi kenapa?" mendadak selera makanku hilang. Rasa hambar muncul di lidahku, dan merambat ke sela-sela kepalaku.

"Pertama, gue rasa kalo mendadak lo ngajak nikah kayak gini, itu berlebihan buat gue... Dan kalo kayak gini caranya gue gak bisa mikir lagi untuk bisa lanjut sama lo..."

Dahiku berkerut. Terasa pembuluh darah di kepalaku berdenyut mendadak.

"Maksudnya?" tanyaku.
"Ini semua berlebihan.. Kita bukan anak les yang harus diatur-atur jadwalnya. Dan itu bukan cara yang bagus kalo lo ngajak gue nikah dengan alasan supaya kita gak ada masalah lagi. Kalo gitu mah nambah masalah namanya.." ucapnya dingin. "Mendadak banget juga..." raut mukanya malah berubah menjadi kesal. Berbeda dengan perempuan-perempuan yang selama ini kukenal, ide pernikahan sepertinya tidak ada di kepala Karen sama sekali.

"Gue gak bisa kayak gini. Rasanya malah kayak mendadak mau dikurung... Dan ini bukan salah lo, ini gak bener aja rasanya... " lanjut Karen. "Gue gak bisa kalo kayak gini, sorry..." ucapnya dingin.
"Gak bisa?"
"Gak bisa lanjut lagi.."
"Tapi... lo bilang gue rumah lo?" tanyaku. Aku kaget karena tiba-tiba dia seperti menjatuhkan vonis mati. Tiba-tiba. Mendadak. Seakan ingin cepat lari dan pergi.
"Dan gue gak mau terpenjara di rumah. That's it."

Aku berhenti menyentuh makanan. Karen tampak menunduk dan memasukkan handphonenya ke tas. Dia menghela nafas panjang, dan mendadak semuanya masuk akal. Dimulai dari rangkaian cuek, rangkaian seks yang sudah tidak ada gairah lagi, lalu ke arah ini. Aku antara mengerti dan tidak mengerti. Mendadak mall yang ramai itu terasa sepi. Terasa pekat dan kelam. Seperti tidak ada kehidupan. Perasan yang menyedihkan. Rasanya seperti melihat orang yang terdekat dengan kita mendadak menjadi orang yang terjauh buat kita.

"Nanti barang-barang elo di tempat gue, gue titipin Rendy" lanjutnya dengan muka datar. Wajahnya lebih terlihat ke arah bosan daripada sedih atau marah. Apakah dia merasakan excitement tidak ada lagi lalu memutuskan untuk menyudahinya? Aku tidak mengerti. Ingin sekali aku bertanya tapi mulutku rasanya tidak ingin bicara. Dia tertutup rapat, tidak mampu mengeluarkan suara apapun. Siang terasa seperti malam. Malam yang kelam. Semuanya serba mendadak. Mendadak seperti kecelakaan yang tidak bisa kita hindari.

"Dan gak perlu anter gue balik..." sudah, hentikan omongan-omongan itu.
"Tapi kenapa? Kok kayak gini?"
"Gak usah gue jelasin, kayaknya lo juga udah ngerasain sendiri kalo ini aneh.. Dan sori, gue gak bisa lama-lama ada di situasi kayak gini.. Maaf, gue pergi dulu... See you when I see you"

What the.. Kenapa Karen mencampur adukkan perasaanku? Bukankah aku telah mampu menelan resiko-resiko yang ada. Situasi ramai di tempat inipun membuatku tidak kuasa untuk memanggil atau protes kepadanya. Akan terlalu obvious dan akan jadi tontonan orang. Ruang pribadi seperti mobil dan apartemen biasanya memang memberikan keuntungan bagi kita, membuat kita bisa meluapkan perasaan kita. Perasaan sedih, marah dan kecewa. Dan keramaian seperti ini mematikanku. Menghilangkanku dan menenggelamkanku.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

kamar-10.jpg

Proses putus yang terlalu aneh. Rendy dengan enggan menyerahkan barang-barangku dari Karen. Sabtu kemarin adalah hari terakhir aku menemuinya. Tidak ada lagi Karen dalam hidupku. Rasa putus asa yang berkepanjangan, walaupun bisa dibilang hanya baru tiga hari ini semua terjadi. Semuanya terasa terjadi begitu cepat, dari pertemuan, lalu saat-saat yang menggembirakan bersama, dan saat-saat dimana semuanya tampak mati dan redup. Sayup lantas menjadi debu. Perasaanku masih sulit untuk memproses semua hal yang berhubungan dengan Karen, kenapa dia mendadak memutuskanku lalu kabur begitu saja. Aku jcuriga apakah dia tidak memiliki perasaan yang sama dalamnya denganku soal hubungan ini. Atau kah dia merasa aku terlalu membosankan untuknya.

Pagi itu, jam 7 pagi. Aku terduduk di kasurku, menghisap rokok dalam-dalam. Perasan yang kurasakan lebih ke bingung daripada shock. Iya, memang aku kaget karena aku tidak merasakan ada masalah yang cukup kentara antara aku dan Karen. Memang rasanya beberapa bulan terakhir jadi sulit untuk bertemu dan sulit untuk saling mengungkapkan perasaan. Tapi kenapa ia mesti memutuskanku tiba-tiba, di tempat umum, di saat yang sama dengan aku menyatakan ingin menikahinya. Apakah dia takut dengan pernikahan? Bukankah dia harusnya bisa menjelaskannya dengna baik kenapa dia tidak mau menikahiku?

Tidurku pun jadi sulit. Bukan perasaan galau yang kurasa, tetapi shock, kaget, bingung. Campuran dari perasaan-perasaan itu. Semua peraan yang sulit dicerna dan membuat hatiku makin sakit ketika memikirkannya. Rasanya ingin aku menghapus sejarahku dengan Karen. Semua yang kurasa baik-baik saja, ternyata semua berubah menjadi menyedihkan dan menyakitkan. Rasanya jadi aneh dan ganjil. Dan terus-terusan aku menyalahkan diriku dari hari sabtu kemarin. Hasrat dan keinginanku untuk melakukan hal-hal yang menyenangkan dengan Karen hilang sudah. Bahkan kenakalan Anggia dan undangan Mbak Mayang pun sudah kututup jauh-jauh. Mereka mau menghiburku, aku tahu, tapi aku bukan butuh hiburan yang tak bermakna di saat ini. Rasanya semua terlalu gamang dan menyakitkan.

Rasanya makin hari makin malas pergi ke kantor. Berakhirnya hubunganku dengan Karen, membuatku jadi malas berinteraksi dengan orang-orang, terutama Anggia, Rendy, Nica, dan siapapun. Karena dari mereka semualah aku mendapatkan energi untuk bisa terus-terusan bersama Karen, dan berjanji untuk menjaganya disaat apapun. Di semua situasi. Tapi bagaimana aku bisa menjaganya apabila aku tidak bisa menjadikan dia milikku? Bagaimana aku bisa menjaganya apabila dia sudah tidak bersama denganku sekarang? Rasanya sia-sia saja aku melewati banyak dan banyak resiko jika pada akhirnya semuanya tidak menjadi apa-apa.

Dengan enggan aku beranjak ke kamar mandi, berusaha untuk menghapus perasaan yang selalu datang menghantuiku. Perasaan suram dan kesal yang sudah lama tidak kurasakanan ini. Disaat semuanya terasa amburadul dan mengerikan. Disaat kau tidak sedang bersama siapapun, bukan karena pilihanmu, tetapi karena paksaan dari keadaan yang kau lewati. Itu rasanya sangat menyedihkan dan menyakitkan. Bagaimana bisa, mimpi-mimpi indah yang ingin kurajut bersama Karenina Natamiharja hilang dan menguat secara tiba-tiba.

Air dingin mengalir dari atas kepalaku, mencoba menenangkanku. Tetapi hati dan persaan yang panas rasanya lebih banyak berbicara soal kesendirianku yang mendadak ini. Semuanya terasa miring dan ingin menggoyahkanku untuk masuk ke dalam jurang yang lebih dalam. Entah jurang apa. Perasaan mual yang sudah kubuang jauh-jauh saat aku pertama kali mengetahui sejarah Karen kini kembali lagi. Apakah dia memang tidak ingin mempunyai komitmen sama sekali atau bagaimana? Kenapa setelah aku berpisah dengan Dian, semu ayang terlihat baik-baik saja selalu berubah menjadi bencana? Hal-hal yang aku tidak mengerti, dan hal-hal itu juga yang aku berusaha proses dengan mati-matian.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

38552010.jpg

Pagi itu di lift, pintu lift pun tak kunjung terbuka. Aku bingung bagaimana dia bisa begitu lama muncul, setidaknya aku ingin ditemani oleh cahaya terang dan udara dingin dari lift itu.

"Hei, apa kabar?" suara Mbak Mayang mengagetkanku.
"Eh mbak..."
"Udah lama gak ketemu nih, pacarmu apa kabar?"
"Oh... udah enggak..."
"Eh, maaf...." balasnya dengan tidak enak.

Diam yang mencekam lalu meliputi kami. Sepertinya dia menangkap perasaan tidak enak yang terpancar pelan dari diriku.

"Kamu gakpapa?"
"Gakpapa"
"Mau ngobrol nanti?"
"Gak usah mbak"

Aku sudah tahu arahnya kemana nanti. Aku tidak ingin melakukannya lagi. Rasanya semua sudah terlalu aneh. Rasanya seperti aku mengkhianati Karen, padahal semuanya bukan salah siapa-siapa. Tapi salah siapa? Kegilaan seperti ini lah yang tidak bisa kupahami sama sekali.

----------------------------------------

eco-dr10.jpg

Aku menyetir dengan pelan. Terlalu pelan malahan. Anggia memperhatikanku dengan khawatir.

"Udah dari senen lo begini..." nada prihatin mewarnai kata-katanya.
"Dari Sabtu..."
"Terus Karennya gimana?"
"Lo sendiri gimana?"
"Bukan saat yang tepat kayaknya bahas gue deh..." jawab Anggia.

Aku tidak tahu bakal seperti apa kedepannya. Rasanya sangat bodoh. Harapan yang sangat tinggi membuat ketika kita jatuh, kita jadi orang yang terbodoh sedunia. Perasaan ini hancur berkeping keping dan rasanya seperti tidak ada yang mungkin lagi. Semuanya tidak sesuai dengan rencana di kepalaku.

Terus aku harus apa, harus bagaimana? Seperti vonis yang dijatuhkan terlalu cepat. Bisa kurasakan pancaran kekhawatiran Anggia dari tatapannya. Aku tahu dia dan Adrian pun bermasalah, tapi ini sepertinya lebih dalam dari yang pernah kualami.

Kalau boleh ngelantur, mereka bilang masa penjajahan Jepang, rasanya lebih menderita walau rentang waktunya tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan kedatangan Belanda. Ya, rasanya seperti itu. Aku tidak bohong atau lebay. Rasa shocknya lebih luar biasa dari keputusanku dan Dian. Karena setidaknya aku tahu ada apa antara aku dan Dian. Sedangkan ini rasanya aneh. Semua terasa sempurna, tapi tidak bisa kugapai.

"Ngelamun?" tanya Anggia.
"Hah...." aku hanya menghela nafas menjawabnya. Anggia lalu memegang bahuku, meremasnya pelan.

"Jangan becanda-becanda dulu ya Nggi... Masih ga enak perasaan gue..." pintaku yang disambut oleh anggukannya.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

kamar-10.jpg

Berita soal Karen terpampang lagi di internet. Tidak ada berita soal hubungan pribadinya tapi. Semuanya tentang pekerjaannya, ada juga wawancara terkait acara yang ia pandu. Kesal aku melihatnya. Kenapa orang sebrengsek Ramses bisa dua tahun berhubungan dengan Karen? Kenapa aku yang sudah banyak berusaha untuknya tidak dapat apa-apa?

"Eh ada elo..." Rendy datang dan membuka pintu dengan buru-buru.
"Iya..."
"Gak kemana-mana?" tanyanya.
"Mau ngapain?" weekend yang sepi. Sudah dua minggu berlalu. Di satu sisi pekerjaanku kembali stabil. Pola hidupku kembali stabil. Tapi tidak dengan perasaanku yang semakin tercabik-cabik. Selalu begini. Selalu.

"Lo gapapa?" tanya Rendy sambil duduk di sofa, disebelahku.
"Gapapa apanya?"
"Plis jangan balik lagi jadi kayak dulu dong...." mohonnya dengan kedua tangan tertangkup.
"Definisiin dulu kayak gimana, sekarang kayak gimana.." jawabku cuek sambil menghisap rokok.

"Ya sama, diem lagi, kacau lagi"
"Bilangin ke temen lo, gue kacau gara-gara dia" jawabku ketus.
"Lo pernah mikir gak sih dia takut sama lo?" tanya Rendy.
"Takut apaan?"
"Takut sama elo"
"Kenapa mesti takut? bukan gue yang ngenalin drugs dan ngancurin idupnya dia lho...."

Rendy tampak seperti ingin menjelaskan sesuatu. Dia lantas bernafas pelan dan mulai bicara.
"Lo kayaknya mesti denger"
"Denger apaan"
"Apa yang dia rasain soal elo"
"Please do tell" aku membakar rokok lagi dengan asal.

"Dia bilang ke gue, sejak lo tau masa lalu dia, lo jadi berubah"
"?"
"Berubah jadi menggebu banget. Semua-semuanya dikasih, perhatian terutama. Padahal dia maunya kayak biasa, pelan-pelan"
"terus?"
"Dan dia juga kaget pas lo bilang mau nikahin dia, soalnya kerasa banget, lo to sayang ama dia karena kasian..."
"Gimana gak kasian Ren?"
"Dianya gak nyaman tapi"
"Gak ada yang pernah ngelindungin dia, dan dia bilang sendiri, sekalinya ama gw, dia ngerasa dilindungin..."
"Dan ngerasa dikasihanin..."
"Ren.."
"Itu yang dia bilang, bukan kesimpulan gue..." Rendy bangkit dan berjalan ke kulkas, mencari bir untuk diminum. "Dan dia cerita itu seakan kayak elo adalah sesuatu yang maksa-maksa ke dia... Dia itu tipe yang gak mau dikasihanin, jadi dia kaget liat lo yang tadinya pelan-pelan untuk bangun hubungan ama dia, mendadak kayak panik pengen nyelametin gitu..."

"Gue cuma pengen dia aman Ren" balasku, merasa ditelanjangi.
"Semua juga pengennya gitu ke pasangannya"
"...."
"Oke, gue akuin lo adalah pacar yang baik buat semua pacar-pacar lo... Tapi menurut gue lo egois.."
"Egois?"
"Kebaikan lo sama cewek-cewek itu semua didasarin karena lo pengen muasin diri lo sendiri... Jadi setiap lo nemu hambatan dan kerikil di hubungan lo, yang stress lo sendiri, semuanya aja elo yang ngatur.."

Aku terdiam. Rasanya seperti sedang dihakimi.

"Lo pernah gak nanya, ke mereka, mereka maunya apa?"
"..."
"Lo pernah nanya gak, sama Karen, dia butuh apa dari lo? Jangan karena dia seneng lo nginep disana terus lo nginep tiap hari disana... Nica? lo gak pernah nanya dia maunya kayak apa, tau-tau lo putusin dia karena masalah lo sendiri..." Rendy menenggak bir di tangannya. "Dan setiap ada masalah, lo aja yang beresin sendiri, ambil kesimpulan sendiri, gerak sendiri. Siapa yang gak jadi takut sama lo?"

"Oh..." Aku jatuh. Seperti ini mungkin rasanya diadili.

"Dan Dian, lo udah main cabut aja, pernah denger gak dia kayak gimana? Pernah tau gak sebenernya kondisinya kayak gimana. Cuma karena gue respek sama elo, makanya gue baru berani ngomong sekarang.... Apalagi sejak liat hubungan lo ama Karen, dan ketemu Dian di RS, rasanya gue perlu banget ngomong begini"

Mendadak hatiku berdegup kencang. Semua yang Rendy omongkan sangat mengena ke diriku. Pusingku mendadak hilang. Sudah jelas semuanya kenapa. Kini aku merasa harus segera bicara dengannya. Menjelaskan semuanya yang kurasakan. Mencoba membuatnya mengerti dan mencoba mengerti dirinya. Rasanya entah mengapa tatapan Rendy kepadaku sangat tajam. Selama ini dia selalu memperhatikan gerak-gerikku. Dan bicara di saat diperlukan.

"Gitu deh men... Sori yak..." dan dia lalu berlalu ke kamarnya.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

Sudah dua hari ini aku makin banyak melihat handphoneku. Dengan hati yang bedebar aku mencoba untuk beberapa kali mengetikkan nomor yang ingin kuhubungi. Perlahan kuketik namanya, dan ketika sudah tertera nama itu, kumatikan lagi handphoneku. Lalu kupikir ada baiknya kalau aku pergi sejenak, mengisi bensin, atau mencari makan. Rendy pasti sedang sibuk di laptop atau sedang sibuk tidur.

Dan tetap, rasanya masih kosong. Ada rasa deg-degan permanen yang menghantuiku. Entah apa itu. Rasanya ingin melihat handphone terus.

Aku duduk sejenak, memandang layar handphoneku.

Menerawang.

Gamang.

Ragu.

Dan akhirnya aku menempelkan handphone itu di telingaku.

"Halo?" suaranya terdengar di ujung sana.

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 50
----------------------------------------

gandar10.jpg

Aku memasuki coffee shop itu dengan hati berdebar. Masih sepi. Jam 11 di hari minggu. Aku mendekat ke arah tumpukan display kue dan memilih sesuatu untuk dimakan dan memesan kopi.

"Makanannya sekarang Pak?"
"Ntar aja pas bareng sama kopi" jawabku.
"Mau dipanasin dulu?"
"Gak usah"

Setelah membayar lantas aku duduk di smoking area, mulai membakar rokok pertamaku. Berulang kali aku memeriksa handphoneku. Dengan jantung berdegup kencang dan gerak gerik yang gelisah aku berulang kali melirik ke pintu masuk, menunggu kedatangannya.

Waktu semenit berasa sejam. Waktu sepuluh menit berasa selamanya. Siang yang cerah itu berasa mendung. Dan penantianku kurasa akan panjang. Akankah dia datang? Ataukah dia memang tidak ingin bertemu? Aku mencoba memasrahkan perasaanku, tapi rasanya sulit.

Waktu baru berjalan 15 menit, tapi penantianku terasa selamanya. Bisa gila rasanya menunggu semuanya. Aku menyalakan batang rokok kedua, dan akhirnya. Sosok itu datang, masuk lewat pintu. Dia tersenyum membalas sapaan waiter, berjalan pelan ke arah kasir, memesan dan lantas berjalan ke arahku.

Suara sepatunya terdengar jelas mendekatiku. Dia duduk di depanku, menatapku perlahan.

Kami saling berpandangan dengan ekspresi muka yang super canggung. Bisa kurasakan keringat dingin membasahi tanganku. Sedangkan ekspresinya seperti antara campuran takut, senang dan bingung. Tatapan kami berdua sangat aneh. Asap rokok sesekali melewati mata kami berdua. Aku tak tahu dan tak mengerti ekspresi seperti apa yang sedang kulihat sekarang. Sedangkan di sisi lain jantungku berdetak kencang seperti mau copot. Bagaimana caranya aku bisa bicara dalam situasi seperti ini.

Aku berusaha mengajaknya bicara dengan wajar. Tapi semua kata tampak susah kuucapkan.

"Ah... tadi macet?"
"Enggak" matanya tampak gak fokus.
"Oh..."

Jari-jariku seperti ingin rontok dari tanganku. Nafasku tidak beraturan dan tampaknya ia pun begitu. Ada sedikit rasa ingin meneteskan air mata. Entah air mata sedih atau bahagia. Bagaimana percakapan ini akan terjadi kalau semua kata tertahan.

"Aneh rasanya" bisiknya pelan.
"Gak salah..." jawabku aneh.

Canggung. Tapi kecanggungan ini harus pergi. Entah siapa yang ingin mengusirnya.

"Sebenernya ada yang mesti kita obrolin..." mulaiku
"Soal?" tanyanya pelan dan takut.
"Soal kita" jawabku.
Oh... jawabnya pelan.
"Itu memang harus diomongin.. Gak bisa kayak gini terus kan?"
"Iya"

"Udah telat tapi pasti" lanjutku pelan.
"Lebih baik telat daripada enggak" balasnya sambil berusaha tersenyum dengan kakunya. Dia tidak menatap wajahku, dia menatap ke arah lantai, begitu juga aku, aku seperti melihat menembus dirinya. Rasanya seperti bertemu dengan hantu.

"Tapi ini emang udah keterlaluan.." lanjutnya. "Sejak saat itu emang semuanya berubah banget... "

Aku mengangguk. Perasaan berdebar tapi lega merayap menghantui diriku.

"Pesanannya silahkan..." kopi dan sandwichku datang. Mendadak ia menyentuh sandwichku, yang masih terbungkus plastik. Plastik yang aneh. Itu biasa ditemukan di sandwich dingin, dan aku memang sangat menyukai sandwich yang bersuhu dingin. Dan sandwich itu menarik perhatiannya. Menarik memorinya.

"Dingin, gak berubah" senyum tipisnya terlihat terluka. Kami terdiam sampai pesanannya datang. Kami berdua meminum sedikit kopi dengan malu-malu. Aku membakar rokok ketigaku.

Dia menatap lama ke arah tanganku yang memegang rokok. Baginya pemandangan seperti ini tidak asing, tapi sudah lama tak ia lihat. Dan bisa terlihat ketakutan dan kecanggungan mulai mencair.

"Kamu masih aja... . Kamu tau kan itu gak sehat.." bisiknya malu-malu. Matanya menatap tajam ke arah rokok di tanganku. Tanpa sadar ia menyisir rambutnya yang sudah tak sependek dulu. Jari-jari lentiknya bermain dengan garpu untuk mulai melahap potongan kue itu. Aku bisa memperhatikan udara keluar masuk dari hidung mancungnya. Rambut sebahunya tergerai di atas kerah kemeja hitamnya. Aku menatap terus kebawah. Celana berwarna kulit. Lalu high heels yang berwarna kulit juga. Semua yang khas dirinya. Gerakannya yang tenang tapi menggoda.

"Aku sempet liat kamu di internet"
"Terus?"
"Sekarang gimana?"
"Gak semenyenangkan yang dilihat orang"
"Oh..."
"Rasanya malah super aneh, dan menguras tenaga... Aku kayak gak pernah tenang rasanya....."

Kami terdiam lagi, saling menatap dengan canggung.

"Dan kamu tau kan apa yang pengen aku obrolin"
"Aku udah siap ngomongin itu semua dari dua tahun lalu" jawabnya.
"Dan aku gak bisa ngehindar dari kenyataan itu lagi sekarang...." jawabku pelan. "Kalau semuanya bakal lebih nyakitin lagi, mau gak mau harus kutelen" dan aku dengan gusar dan tidak sabaran mematikan rokokku. Dengan penuh emosi sampai filternya hancur. Dian lalu menahan tanganku, menariknya lembut dan menaruhnya di tempat lain.

"Aku bakal cerita. Dan kamu baru bisa ngejudge aku setelah ceritaku beres"
"Oke..." aku menyesap kopiku dan bersiap mendengar apapun.

"Aku udah ngelukain kamu.... Dan aku gak bisa bilang aku gak ngapa ngapain..." dia menarik nafas pelan. "Aku emang pernah deket sama dia, dia seniorku..."

Aku bersiap mendengarnya.

"Tapi kita gak pernah kontak fisik..."

Aku tecengang.

"Iya, dia flirting dan aku kemakan. Obrolan nya emang berkisar masalah magang dan spesialis. Dan sempet nyaman ngobrol sama dia, tapi aku coba terus bertahan...... Paling parah, aku pernah makan bareng sama dia... Aku bodoh dan mau aja diajak ngobrol sama dia, lama-lama dia mulai ngegoda aku"

Aku mendadak merasa jadi orang paling tolol sedunia.

"Dan dia emang suka ngirim foto-foto dirinya. Pertama aku biasa aja... Lama-lama ketika dia mulai foto vulgar dan minta balasan yang sama, aku berhenti. Dan menjauh. Menjauh karena aku sadar udah kebablasan. Dan aku kubur itu dalam-dalam... Aku yang salah"

Aku mendadak memegang tangannya.

"Dan dia coba kontak aku lagi pas dia denger kabar kita mau nikah. Nanyain kabar, terpaksa kuladenin bentar..." jelasnya.
"Aku yang salah gak mau denger kamu"
"Kamu gak mau denger aku karena aku yang ngelakuin hal-hal kayak gitu. Padahal kamu selalu berusaha ada buat aku..."
"Aku yang gila, dan sekarang aku udah mengacau, bikin banyak luka lagi buat diriku sendiri...."
"Kita sama-sama bodoh berarti"
"Bisa dibilang gitu...."

Aku masih merasa menjadi orang yang paling bodoh sedunia.

"Orang tuaku marah besar ketika tau kita gak jadi nikah. Dan aku bilang ke mereka alasannya... Aku belum pernah liat Papa sengamuk itu seumur hidup..." lanjut Dian.
"Aku berlindung di balik kamu untuk ngelukain orang lain...." balasku.
"Aku nyoba hubungin Rendy, dan dia bilang untuk diem sejenak karena dia bilang kalo kamu ancur banget..."
"Aku juga banyak ngaco. Childish, gak mau denger apa yang orang lain bilang..."
"Lebih childish aku karena aku kemakan omongan manis orang lain...."

"Kamu tau? Aku iri banget sama kita jaman dulu.... Gak pernah ada yang egois dan semuanya kerasa tepat.. Gak kayak aku pas marah ke kamu..." balasku.

Dian menggeleng pelan. "Enggak... Ini semua gara-gara aku... Dan aku pikir kamu pasti udah linglung mendadak nelpon aku kemaren..."

"Jujur, aku udah nyobain untuk move one dari kita" lanjut Dian. "Tapi semuanya hambar dan aneh"
"Sama" balasku. "Semuanya ancur, amburadul. Kalo gak aku yang ngaco, pasti ada aja yang ngerusak...."

"Rendy dan Anggia apa kabar?" tanya Dian.
"Baik... Mereka yang bikin aku tetap waras"
"Kamu gak pernah gak waras"
"Itu kan dulu pas kita bareng"

Tanpa sadar tangan kami saling memegang. Kumainkan jari-jari lentiknya.

"Kamu sekarang gimana?"
"Bentar lagi Sp.PD" jawabnya pelan. "Tapi masa semudah ini?" mendadak ia bertanya. "Masa kamu mau ngelupain semuanya semudah ini, aku kan jahat buat kamu..." lanjut Dian.
"Gak tau... Aku cuma pengen denger suara kamu aja langsung sekarang..."
"Aku kangen bau rokok kamu walau aku gak suka..."
"Aku kangen dicerewetin soal rokok dan makanku"

Senyum malu-malu itu muncul dari wajah Dian. Aku senyum balik. Memang tak mudah menghilangkan sakit ini. Namun semakin erasa, semakin rindu pula karenanya.

"Kita bisa belajar lagi pelan-pelan" lanjutku.
"Kamu yakin? Kondisi udah banyak berubah sekarang" jawab Dian.
"Misalnya?"
"Kamu dan aku udah ngelewatin banyak hal abis kejadian itu"
"Hal-hal yang bikin aku makin pengen ketemu sama kamu.." bisikku. Semua asa sakitku mungkin sulit hilang, tapi sosok itu memang tak bisa aku hindari lagi.

"Aku gak yakin kamu masih bisa maafin aku, dan kita udah berapa lama gak ketemu sejak kejadian di Rumah Sakit? Setahun kurang ada..." Mulutnya berkata seperti itu, tapi tangannya tetap nyaman di genggamanku.
"Paham, tapi disini semua hal ini bisa dihindari seandainya aku gak emosian dan gak se sensitif itu..."
"Kamu sensitif gak masalah, itu emang kamu banget..." balasnya.
"Aku yang ninggalin kamu, dan aku lagi yang ngajak ketemu, emang kacau ya aku..." bisikku ke Dian.
"Kamu ninggalin aku karena aku jahat sama kamu..."
"Mau sampai kapan kita lomba siapa yang paling jahat kayak gini?" tanyaku dengan senyum tipis.

"Terus sekarang apa?" tanya Dian.
"Gak tau"
"Aku bingung sama ini semua, serba mendadak dan sumpah, aku deg-degan banget sampe sekarang"
"Sama..."

Tangan kami berdua terus menggenggam. Orang yang melihat pasti menyangka sedang ada ajakan pernikahan atau apa. Tapi disini semua terasa nyaman dan excitement kembali lagi.

"Ini rasanya aneh... Aku masih ngerasa gak pantes ada disini" bisik Dian.
"Kamu pantes ada dimanapun"
"Ini terlalu cepet dan aneh"
"Makanya..... Dan aku abis ini gak tau bakal ngapain"

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

yolo-i10.jpg

Semua berlalu dengan cepat. Kami berdua mencoba menelaah perasaan kami masing-masing, mencoba merunut kisah dua tahun yang hilang. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Bulan demi bulan kami berdua lalui tanpa keberadaan masing-masing. Dian pun selama itu mencoba untuk bisa hidup sendiri, berkelana tanpa arah sepertiku. Terluka dan melukai, ternyata semuanya sama.

Malam itu, sehabis pulang kantor, kami bertemu kembali. Kami mendapati kedua makanan kami dan terdiam di dalam restoran itu. Sejujurnya setelah selama ini, kami tidak tahu apalagi yang bisa kami bicarakan. Tak bisa kami membahas masa lalu, karena msing-masing dari kami melukai dan terlukai. Namun rasanya ini tepat. Tidak ada lagi penyesuaian dalam gerak kami, tidak ada lagi penyesuaian dalam bahasa dan ekspresi kami. Semuanya familiar. Semuanya terasa tepat dan terasa nyaman.

Kami tadi datang sendiri sendiri, dan akan pulang sendiri sendiri. Kami tidak tahu kami ini apa. Teman? Pacar? Atau apa? Kami masih canggung untuk saling menyentuh, walau rasanya getaran itu tidak akan pernah hilang.

"Kalo ada satu hal yang bisa kamu rubah, apa itu?" tanyanya kepadaku.
"Aku pengen balik ke jaman dulu, berharap gak akan pernah ninggalin kamu..."
"Kenapa?"
"Karena abis itu, aku ngelukain dan dilukain orang, dan rasanya ternyata lebih gak enak dibanding pas dulu..."

"Kalau aku, aku harap aku bisa rubah kesalahanku dulu ke kamu...." ucapnya tanpa ditanya.
"Sekarang udah ada disini kita, apa yang bisa kita rubah buat kita berdua kedepan?" tanyaku ke dia.

Mungkinkah kami harus meneruskan apa yang dulu ditinggalkan? Ataukah kami harus mengulang dari awal. Itu pasti yang ada di kepala kami berdua. Pertanyaan-pertanyaan semacam itu. Pemikiran-pemikiran semacam itu. Dan bagaimana dengan kehancuran yang selama ini sudah kami buat bersama? Rasanya terlalu gila untuk membangkitkan semuanya lagi.

Dian menggeleng mendengar pertanyaanku tadi. Dia pasti bingung apa yang harus kami lakukan kedepan, setelah semuanya yang ada di masa lalu jelas.

"Ada yang tau kita ketemuan ?" tanyaku.
"Gak ada"
"Sama"

Kami terlalu bingung dan menghabiskan makanan malam itu dalam diam.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

rumah-11.jpg

Sudah lama aku tidak berada di situasi seperti ini. Asap rokok membumbung tinggi di ruang makan. Dari kejauhan musik rock sayup-sayup terdengar dan kemudian mati. Ayahku datang dan duduk di meja makan itu. Kami berdua saling berhadapan. Di tengah keheningan malam di rumah orang tuaku.

"Jadi gitu situasinya?" tanya Ayah.
"Iya" aku menjawab sambil menghisap rokok dalam-dalam.
"Yang kamu pengen apa?"
"Ayah pasti sudah tahu..."
"Ayah gak akan benci sama dia, untuk alasan apapun. Setiap orang pasti sudah pernah ngelakuin kesalahan. Tapi yang penting adalah dia mau atau tidak merubah dan memperbaiki masa depannya" dia mematikan rokoknya dan membakar satu lagi.

"Jadi kalian gak apa-apa?" tanyaku.
"Nak, keputusan untuk itu, yang harus kamu pedulikan cuma diri kamu dan orang tua kamu. Bahkan ketika pendapat kami berbeda dengan kamu pun, kamu harus bisa menunjukkan ke kami kalau pilihan yang bakal kamu ambil itu benar" jawabnya bijak. "Selama itu tidak melukai siapapun" asap rokok dengan deras keluar dari bibir Ayah. "Ayah yakin kalian berdua punya sesuatu yang orang lain tidak punya"
"Yaitu?"
"Itu kayaknya kamu juga sudah tahu... Kalau sekarang di dalam hati kamu tidak ada keraguan lagi. Kejar. Selama ini kami kenal kamu sebagai orang yang diam, tidak banyak bicara, tapi di dalam kepala kamu selalu banyak pemikiran yang saling berusaha berteriak. Tangkap teriakannya yang terasa paling benar di hati kamu..."
"Baik yah... "

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

mall-l10.jpg

"Jadi?" pesan singkat dari Dian datang.
"Jadi" sudah terlalu lama kami menunggu untuk bisa bebas saling bertemu seperti ini. Sudah dua tahun lamanya kami tidak bisa seluwes ini. Aku menemuinya di Lobby salah satu Mall besar ini. Dirinya terlihat cantik dari jauh. Rambut sebahunya, cardigan kuning yang melapisi t-shirt polos hitamnya, jeans hitam dan wedges. Tak lupa coach bag warna hitam yang ia bawa. Semuanya terlihat cerah di mataku. Senyumnya terlihat sangat sumringah.

"Udah lama nunggu?" tanyaku.
"Gak kok, paling baru lima menit..."
"Jangan bohong" Dian hanya tersenyum kecil. Dia lalu berjalan di depanku.

"Mau kemana emang hari ini?" tanyaku dari belakang.
"Selain makan aku mau jalan-jalan aja sih... eh?" Dian kaget saat aku menggenggam tangannya. Dia tidak menyangka aku akan menggandengnya mungkin.

"Ayo"
"Ini..." Dia bingung dengan gandengan itu.
"Ayo"
"Kok..." Aku meremas tangannya dengan lembut.
"Aku gak mau kita rusak lagi. Ayo balik ke masa lalu...." bisikku. Muka Dian tampak takut.
"Tapi...."
"Tapi kenapa?"
"Aku takut kamu masih luka.."
"Ini cara nyembuhinnya"

Kami akhirnya berjalan bergandengan. Sudah lama rasanya sensasi ini tidak kurasakan. Dian, di genggamanku. Dia yang awalnya merasa canggung, akhirnya mulai luwes dengan kegiatan lama ini. Kami kembali. Aku dan Dian kembali. Bisa kurasakan nafasnya yang berat dan detak jantungnya yang deras. Iya, sama aku juga sama Dian, sama-sama deg-degan. Sama-sama excited. Dan aku tahu ini gila. Tapi ini terasa benar.

Dian menyisir kembali rambutnya dan tersenyum malu ke arahku. Dia menempel ke badanku saat kami sedang menaikin eskalator. Rasanya sangat familiar dan biasa. Rasa yang sudah lama kurindukan. Rasa yang tidak asing. Rasa yang manis dan romantis. Rasa yang kami berdua rindukan.

Kami memilih restoran untuk makan siang, dan sekarang kami duduk bersebelahan. Rasanya ingin selalu dekat dengan dirinya dan terus bersama.

"Di.. Kamu sadar gak?" tanyaku.
"Sadar apa?"
"Kalo tadi itu semua rasanya nyaman" Dian mengangguk dengan pelan dan penuh senyum.
"Iya.."
"Aku udah ngomongin sama orang tuaku... Soal kita"
"Sama"
"Gimana tanggapannya?"
"Papaku ekspresinya seakan-akan lagi liat orang tobat... Dan entah kenapa aku lega banget rasanya" jawabnya panjang.
"Seneng dengernya"
"Kalo orang tua kamu?"
"Mereka seneng ama keputusanku"
"Keputusan apa?" Dian tampak kaget.

"Aku pengen lanjut lagi sama kamu..." bisikku sambil memegang tangannya yang berada di atas pahanya.
"...." Dian tampak ragu. Tampak excited juga. Entah kenapa aku merasakan hawa haru, seakan tangisnya akan tumpah di meja itu.

"Aku bingung harus jawab apa..." balasnya.
"Gapapa, gak mesti sekarang"
"Bukan. Maksudnya aku pengen banget bilang mau dalam semua cara yang mungkin, dan sekarang aku overwhelmed...." dia meremas mesra tanganku. Dan kami berpandangan. Ini rasanya. Tepat sekali rasanya.

------------------------------------------

------------------------------------------

------------------------------------------

------------------------------------------

14444510.jpg

Udara dingin merasuki tubuh kami, walaupun kami sudah memakai jaket tebal yang katanya untuk musim dingin. Pagi itu Tokyo dingin sekali. Kami menenteng koper kami di Tokyo Station, untuk menuju peron Shinkansen, yang akan membawa aku dan Dian ke Osaka. Sesekali sambil menunggu kereta datang di ruang tunggu, aku melihat ke cincin yang melingkari jari tanganku, dan melihat Dian dari jauh yang sedang memilih minuman hangat di vending machine.

Istriku.

Beberapa bulan setelah kami memutuskan untuk kembali bersama, kami lantas membereskan hal yang belum sempat kami bereskan. Kami lantas langsung menuju orang tua kami masing-masing, membicarakan pernikahan. Pada akhirnya pernikahan itu dilaksanakan juga, enam bulan setelah kami merencakanannya. Acara yang berlangsung khidmat dan benar-benar menyatukan hati kami. Anggia dan Rendy? Tentu saja kaget setengah mati. Tidak hanya berita kami bersatu lagi yang membuat mereka shock. Tapi juga berita bahwa kami akan menikah.

Dian sudah Sp.PD sekarang. Spesialis penyakit dalam. Sebelum mulai praktek, dengan segala upaya, dan juga bantuan dari uang angpau pernikahan, kami memutuskan untuk pergi ke Jepang beberapa bulan setelahnya, tidak bisa disebut honeymoon juga, tapi tak apa. Kami punya waktu dua minggu disini. Sekalian mengunjungi sepupunya yang merupakah teman kuliahku, yang menyatukan kami dahulu. Sekarang dia sedang berada di Tokyo untuk waktu yang agak lama.

Dan dari Osaka nanti kami akan lebih mudah pergi ke Kyoto karena lebih dekat. Minggu pertama di Jepang yang lucu. Selain kendala bahasa, yang mau tak mau aku banyak meminta bantuan lewat media sosial kepada temanku yang bekerja sebagai translator bahasa jepang, juga kami tampak excited dan sedikit kampungan dengan kondisi disana yang serba perfect menurut kami. Belum lagi salah antrian di minimarket, hampir tertabrak sepeda, dan macam-macam hal lucu lainnya yang akan kami kenang sampai tua nanti.

Akihabara memusingkan kami. Ginza sangat mahal. Mitaka sangat tenang. Ochanomizu penuh alat musik. Disneyland sukses membuat Dian menjadi anak-anak lagi. Dan kini Osaka - Kyoto di minggu kedua sekaligus terakhir. Rasanya makin excited.

"Mau juga kan kopi sayang?" Tanya Dian dengan manis.
"Mau dong..."

Dian duduk di sebelahku dan bersandar ke badanku, di tengah dingin gila ini.

"Mana?" tanyaku menanyakan kopi yang ia tawarkan.
"Beli sendiri dong" ledeknya.

Aku lantas bangkit, mengacak-ngacak rambutnya dan berjalan ke arah vending machine. Membayangkan garden party resepsi kami. Membayangkan pertama kalinya Dian resmi pindah ke apartemen itu, yang memang pada awalnya ditujukan untuk jadi tempat kami tinggal setelah menikah. Rendy harus balik kembali menjadi anak kos, tapi dia menerimanya dengan bahagia.

Aku mencari-cari Dian, sambil memberi tanda kepadanya bahwa aku akan menuju smoking room untuk merokok. Dian mengangguk memberi persetujuan.

Aku merokok sambil membayangkan semua kegilaan dalam dua tahun ini. Petualangan hatiku dan ujung cintaku yang akhirnya menemukan Dian kembali. Semua terasa terlambat memang, tapi lebih baik terlambat menemukan kebahagiaan daripada tidak sama sekali. Dan aku bersyukur tiap detiknya untuk itu. Rasa hangat dan nyaman yang pernah kurasakan selama lima tahun dulu, kini kembali lagi dalam bentuk yang sama. Bentuk yang menyempurnakan hatiku. Meringankan langkahku dan melancarkan proses berpikirku.

Kisah romantis ini kuharap tidak akan pernah berakhir. Dan kali ini rasanya memang sangat indah. Aku, Dian dan dunia ini berjalan beriringan tanpa akhir.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

1200px11.jpg

Kami berdua ada disini, di penginapan kami, daerah Yodogawa di Osaka, dekat dengan stasiun kereta Tsukamoto. Kami tidak sabar menunggu hari besok, menjelajahi Osaka dan Kyoto. Dian sudah tidak sabar ingin segera ke Fushimi Inari, untuk mencoba reka ulang adegan di film Memoir of a Geisha.

Aku duduk, mengirimkan foto-foto yang kuambil disana via handphone kepada Anggia dan Rendy. Komentar mereka dipenuhi kebahagiaan dan harapan suatu hari bisa menyusul kami kesini. Aku tersenyum, nyaman dengan aransemen seperti ini. Hal-hal buruk yang terjadi padaku dan kusebabkan kini sudah menguap. Rasanya aku bersama dengan Dian itu adalah hal terbaik yang bisa terjadi di dunia.

"Ngapain sih serius amat?" Dian mendekat dengan merayap. Air Conditioner kami setel suhu kamar 25 derajat, untuk menangkal dinginnya musim dingin di Jepang.
"Ini, ngirimin foto-foto kita ke anak-anak"
"Oo..." Dian lalu berlalu sambil mengeringkan rambutnya pasca mandi.

Dian tampak mengenakan daster tidurnya yang berwarna krem. Dengan tampang polosnya dia mengeringkan rambut di dalam kamar mandi yang sempit itu. Karena tidak bisa dimasuki oleh dua orang sekaligus, maka kami bergantian mandi. Memang kami belum mencoba onsen yang bisa dimasuki couple, namun tak apa, nanti kami akan mencarinya.

"Sini doong..." Dian yang sudah mengeringkan rambutnya lalu menarikku, ke depan TV yang menyala dari tadi.
"Kamu nonton apaan?" tanyaku jahil.
"Gak tau... Bahasanya aja gak ngerti.. Kayaknya berita"
"Berita sih kayaknya" Kami duduk berdua dengan tolol di depan televisi.

Futon sudah tergelar dengan rapih. Wajah cantik Dian. Aku memperhatikannya. Mukanya tanpa make-up menurutku malah lebih cantik. Sedikit kerutan di wajahnya akibat lelah menempuh program spesialis dan proses alami usia awal 30-an malah membuatku makin menyukainya.

"Apa sih liat-liat" serunya pelan.
"Siapa yang liatin?"
"Kamu tuh. Ketauan kali" dia menjulurkan lidahnya jahil.
"Tidur yuk... Besok pagi loh kita jalan-jalannya" aku mengalihkan pembicaraan.

Dian malah menatapku dengan muka jahil. "Ngajak tidur... Mencurigakan" matanya menatap sinis dengan nada bercanda. "Sepertinya suamiku ini mau ngajakin yang lain..." mukanya terlihat seperti mau ujian.
"Apa sih..."
"Jangan pura-pura ah... Sama istri sendiri jugak"

Aku lantas dengan nakal menghampirinya dan langsung memeluknya. Dian tak menghindar, tapi dia malah membuat muka jelek, untuk menghindariku menciuminya. Kami berdua tertawa dengan kelakuannya.
"Kamu inget yang pas kita ke Singapur?" tanya Dian.
"Inget, yang sembunyi-sembunyi itu kan" jawabku.
"Ingetnya kok itunya sih... Aku kan mau ngomongin trip kitaaa.."
"Maaf bu dokter, mungkin saya sakit, tolong periksain dong.."
"Sakit jiwa masnya... Sini saya kasih obat.."

Dian mengepalkan tangannya dan menjitak kepalaku. Aku tertawa dan memegang pipinya dan menjepitnya agar bibirnya maju kedepan. Dian pasrah dan malah senang membuat muka jelek seperti itu. Matanya dengan sengaja dijulingkan dan tangannya meniru bentuk tanduk.
Aku lalu mematikan televisi dan bergerak ke sampingnya. Dian memegang pipiku dengan mesra.

"Kamu sakit beneran ya?" matanya yang tajam menyelidikiku.
"Sakit apa bu dokter?"
"Nafasnya kok berat, jantungnya kedengeran dari sini..."
"Oh gitu...."
"Saya periksa boleh?" Dian menggigit bibirnya dan tampangnya berubah seksi. Aku mengangguk dan berusaha meraih bibirnya.

Kami berciuman dengan panasnya, saling melumat dan merasakan bibir masing-masing. Dian tampak pasrah, dan semua kegiatan yang kami lalukan ini rasanya seperti baru, seperti tidk pernah kami lakukan sebelumnya. Matanya terpejam, menikmati setip sentuhan di bibir kami. Bibirnya yang tipis dan indah beradu pelan dengan bibirku. Tak jarang hidungku dan hidung mancungnya saling bersentuhan, dan merasakan nafas masing-masing. Dian perlahan melepas ciumanku dan mencium lembut keningku.

"Kamu sakit... Diperiksa ya di sana.." matanya melirik ke arah dua buah futon tempat kami akan tidur. Dian berdiri, menyalakan lampu tidur dan mematikan lampu kamar. Suasana temaram dan agak dingin merasuki ruang. Cahaya kuning itu melapisi tubuh Dian. Kulit putihnya mendadak terlihat sangat bercahaya ditengah suasana malam itu. Aku mendadak kaget. Sejak kapan Dian mencopot dasternya?

Kulitnya yang putih licin terlihat luar biasa. Tangannya menutupi kedua buah dadanya yang proporsional. Matanya memandang lembut kepadaku sambil berjalan pelan ke atas futon. Celana dalam berwarna kulitnya seperti menyiratkan kalau ia telah telanjang bulat. Aura ketenangan dan cinta merambat dari dirinya.

Dianti Wisesa Paramita. Istriku.

Kami terdampar berdua di tanah asing yang jauh. Di dalam ruangan ini, saling menatap dengan lembut. Aku ingin segera bangkit dan menyusulnya yang sedang terduduk di atas futon. Aku merayap ke arahnya.

"Bapak sudah daftar ke suster?" tanyanya nakal.
"Saya udah terlalu sakit dokter... Pengen langsung diperiksa...."
"Sini saya periksa tekanan darahnya..."

Dian menyambutku dengan pelukan, dia berusaha membuka bajuku, menciumi dada dan perutku dengan lembut. Senang rasanya bisa disentuh olehnya lagi. Bagaimana bisa kulewatkan dua tahun tanpanya? Dua tahun tanpa bersamanya, tanpa pernah menyentuhnya. Aku bergerak dan berusaha menciumi bibirnya lagi. Dia mengerti dan menyambutku. Kami kembali berciuman di atas futon. Rasa familiar itu merasukiku lagi.

Dian terlihat sangat menikmatinya. Aku memegang lembut punggungnya, merasakan kulitnya yang luar biasa. Aku ingin terus bersamanya, saling menjaga dan saling memenuhi. Dian meletakkan tangannya di bahuku. Aku berusaha menariknya, mengundang dirinya ke pangkuanku. Bisa kurasakan sekarang tubuhnya yang hangat. Badan kami saling bertemu dan saling beradu. Kelembutan tubuhnya kurasakan dengan tubuhku.

Aku lantas berpindah, menciumi lehernya perlahan, menjelajahi setiap jengkal dirinya. Aku tidak ingin melepas ini semua. Melepas rasa cintaku pada Dian. Memoriku semua kembali lagi.
Pertemuan pertama. Obrolan pertama. Kencan pertama. Ciuman pertama. Persetubuhan pertama. Ke bioskop bersama. Menjalani hari bersama. Mencintai bersama.


Dian tampak nyaman di dalam pelukanku. Senyumnya terkembang dengan jelas. "Sayang... Makasih..." bisiknya.

"Makasih kenapa?"
"Makasih udah mau balik lagi..."
"Makasih juga kalo gitu, masih nerima aku balik..."


Ciuman itu terjadi lagi. Memoriku dua tahun yang buruk itu hilang. Hilang tanpa bekas. Semuanya terasa seperti aku tidak pernah pergi dari Dian.

Aku meremas tubuhnya, meraihnya ke dalam diriku. Dian menikmati semua ciuman yang kulakukan di leher dan bagian atas dadanya. Aku mulai membawa tubuhnya berbaring di futon. Suasana tenang malam itu membuat suasana kami berdua terasa begitu intim dan dekat.
Lantas kuciumi dan kuremas pelan kedua buah dadanya. Buah dadanya yang proporsional itu.

"Sayang... Ahh....." desahnya, menikmati sentuhanku. Perlahan kuremas lembut keduanya, sambil terus menciumi permukaannya dan mempermainkan putingnya dengan lidahku. Dian tampak tenggelam dalam awal kenikmatan yang ia rasakan. Tangannya pasrah, terkulai dengan segnaja di samping tubuhnya. Aku lantas berbaring di atas tubuhnya dengan lembut, sambil tetap mempermainkan kedua buah dadanya yang indah itu. Kulitnya yang lembut, menyentuh bibirku berkali-kali, membuatku sangat bersemangat. Penisku sudah berdiri dari tadi. Seakan telah siap untuk digunakan kapanpun malam itu.


Aku terus menjelajahi badannya, perlahan aku turun, menciumi dadanya, sampai ke perutnya yang rata. Terkadang aku menciuminya dengan ujung hidungku. Halus, lembut dan wangi kulit istriku ini. Rasanya semua hal yang baik menempel pada tubuhnya. Rasanya semua perasaan cinta dan hasrat akan kasih sayang terpancar dari tubuhnya.

Hanya Dian yang kuinginkan. Kenapa aku tidak menyadarinya sedari dulu? Kenapa aku buang-buang waktu untuk melukai orang lain dan melukai diriku sendiri? Tapi sekarang itu semua sudah berlalu. Yang kini kuhadapi adalah istriku sendiri, perempuan yang sangat kuinginkan dan kucintai. Aku terus bergerak dari perutnya ke daerah kewanitaannya. Aku merayap diantara kulit dan rambut halusnya yang rapih, setelah perlahan kubuka celana dalamnya. Kini Dian telah telanjang total, dengan pasrah ada di hadapanku.

"Ahh" Dian merintih dalam nikmatnya ketika lidahku mulai merambah area kewanitaannya. Aku merasakan nafasnya memberat dan tubuhnya menggelinjang pelan merasakan kenikmatan yang kuberikan perlahan. Tangannya memainkan rambutku perlahan. Aku menjilat, menciumi dan merasakan dirinya. Aku merasakan badannya bereaksi dengan sempurna saat kuberikan kenikmatan. Rasanya kami terkoneksi, terkoneksi dengan dalam. Terkoneksi dalam cinta. Cinta yang hanya milik kami berdua. Nafas Dian semakin berat dan tak beraturan, saat lidahku bermain di bibir vaginanya, akupun menikmatinya, menikmati reaksi badannya dan desahannya yang tak beraturan.

Aku sangat menikmatinya. Getarannya, desahannya, dan gelinjangnya yang telah lama kurindukan, kini kembali lagi padaku. Perasaanku seluruhnya tertumpah setiap saat, merasa telah menemukan kembali seseorang yang tepat untuk kucintai.

"Uhhh. Sini" Dian mendadak memanggilku untuk menghentikan stimulasiku sesaat. Aku mendadak merayap dalam gelap untuk menemuinya. Tetapi Dian malah mendorongku pelan, berharap aku akan menurutinya sambil membantuku membuka celanaku. Dan akupun menurut. Aku terduduk, menunggu dirinya. Dian lantas menciumi leherku, perlahan, sambil menggenggam batang penisku dan mengocoknya perlahan. Tanpa banyak gerakan yang tidak perlu, dia mendorongku untuk tidur telentang, dan dia kembali mengocok penisku sambil menatapku dengan matanya yang tajam. Dia tersenyum sejenak, dan lantas dia merayap ke arah penisku. Dia menatap penisku dengan muka penasaran, walau dia sudah hapal seluruh area tubuhku. Sambil mengocoknya pelan, dia mencium kepalanya dengan lucu. Bibir tipisnya menyentuh kulitku dan memberikan sensasi getaran yang luar biasa, merayap ke kepalaku.

Dian lantas menyisir rambutnya ke belakang. Hidung mancungnya tampak beradu dengan batang penisku saat dia berusaha menjilati batang penisku dari atas ke bawah. Dia melakukannya perlahan, seakan penisku rapuh. Gerakannya perlahan tapi pasti. Dian lantas membuka mulutnya, menatapku dengan tatapan super manja.

Dan masuklah penisku ke dalam mulutnya. Mulutnya yang lembut dan hangat. Pemandangan yang indah, istriku yang cantik luar biasa sedang mengulum penisku perlahan, tanpa ragu. Semua perasaan familiar ini yang kubutuhkan. Semua perasaan cinta yang kudapat dan semua perasaan yang hangat dari dalam dirinya.

Untunglah dia tidak lama melakukannya, karena memang aku lebih ingin berbagi keintiman dengannya. Dian lalu merayap ke atas tubuhku, membiarkanku memeluknya.

"Hei" bisiknya.
"Ya?" tanyaku.
"Gakpapa" senyumnya sambil menatapku tajam. Perlahan Dian memposisikan bibir vaginanya tepat diatas penisku yang sedang berdiri tegak. Perlahan tapi pasti juga, penisku masuk dalam vaginanya, dan Dian merintih pelan dalam kenikmatannya.

Bisa kurasakan hangat dalam tubuhnya menjalar lewat penisku. Lembab dan lembut, saat dia mulai bergerak perlahan, dengan mata tajam dan wajahnya yang menggoda menatapku lekat. Kecantikannya tidak ada bandingannya malam ini. Tangan kami saling berpegangan. Dirinya menumpukan beratnya ke badanku. Aku menikmatinya dengan juga perlahan menggerakkan area vitalku.

"Uhh Uhhh Uhhhh.." suara yang terdengar sangat seksi itu keluar perlahan dari mulutnya. Tak jarang ia menyisir rambutnya ke belakang, agar rambutnya tidak menutupi muka. Tentunya dia ingin aku menikmati dirinya seutuhnya, baik secara sentuhan dan penglihatan. Yang bisa kurasakan kini adalah kami bersatu seiring dengan gerak badannya yang terasa sangat nikmat ini. Tak bisa kugambarkan lagi perasaan ini. Dian bergerak pelan tapi pasti. Buah dadanya yang indah bergerak naik turun, menambah kenikmatan visual yang bisa kulihat. Tangannya yang lembut itu terus menggenggam tanganku. Bagaimana bisa aku dulu meninggalkannya lama sekali? Sungguh bodoh.

Aku perlahan mencoba bangkit, dengan bertumpu pada satu tanganku. Dian tak breusaha untuk berhenti dari gerakannya. Aku lantas memeluknya mesra, menciumi lehernya dan menjelajahi kembali buah dadanya yang indah. Wangi tubuhnya luar biasa. Wangi yang dulu biasa kucium sehari-hari. Dan kini aku bisa menikmati kebersamaan dengannya 24 jam penuh.

Semuanya terasa tepat. Semua gesekan dan pertemuan organ tubuh kami terasa sangat tepat. Bisa kurasakan dirinya bersatu dengan diriku. Kelembutannya dalam bergerak memberikan stimulasi luar biasa dalam penisku. Tak jarang mata kami bertemu, dan hasrat dalam dirinya bisa kulihat dair matanya yang selalu memandang lekat diriku. Aku lantas mencoba untuk membaringkannya, dengan mengangkat badannya pelan, yang disambut oleh senyumnya yang cantik. Senyum cantik yang kurindukan. Tanpa melepas penisku perlahan aku membaringkan badannya, lalu mengambil alih kendali. Kupegang pahanya dan sedikit kulebarkan agar aku leluasa bergerak.

Aku bertumpu pada tanganku saat aku memompakan penisku dengan pasti kedalam vaginanya. Rasanya luar biasa. Dian tampak merasakan kenikmatan yang luar biasa.

"Sayang Ahhh Ahh Ah.. Ah.." rintihannya terdengar merdu di telingaku. Dia tidak malu malu untuk bersuara pelan mengekspresikan kenikmatannya. Matanya tampak sesekali terpejam, menghayati setiap pergerakan dan tiap kenikmatan yang aku berikan. Perlahan tapi pasti, bisa kurasakan tubuhnya menghangat dan nafasnya menjadi tidak beraturan. Satu hal yang kusukai dari Dian, dia selalu terlihat sangat menikmati apapun yang kami lakukan.

Dian terus memberikan kepasrahannya kepadaku. Seluruh rasa cintanya terasa saat dia terus menerima gerakanku. Dia menerimanya dengan penuh kepasrahan dan penuh kenikmatan. Mukanya dengan ekspresinya yang seksi akan terus menghantuiku seumur hidup. Akan selalu kuingat. Terus dan terus aku memompanya, sampai rasanya aku tak tahan lagi. Akhirnya aku perlahan menjatuhkan diri ke samping, dan Dian lalu melepas penisku.

Lantas tanganku berinisiatif meraba bibir vaginanya yang basah. Aku meraba, meraba dan jariku dengan perlahan memainkan permukaannya, kadang memasukinya. Dian membalas dengan menciumi seluruh bagian diriku yang bisa ia temukan. Bibir. Hidung. Pipi. Leher. Dagu. Dengan seksama dia merespon tanganku. Dian lantas sedikit bergetar merasakan tanganku yang keluar masuk. Jariku dengan nakal merambah, merasakan seluruhnya yang bisa kurasakan. Tangannya menyentuh badanku mesra, sambil mukanya terus terlihat memancarkan aura kenikmatan yang luar biasa.

Badannya yang lembut dan halus itu kadang bergetar, menerima gerakan jariku. Area itu tampak semakin basah.

Tapi Dian lantas menahan tanganku, dan ekspresinya menjadi nakal. Perlahan dia menjauhkan tanganku dan lalu merubah posisi dirinya. Sekarang dia bertumpu dengan semua tungkainya. Menyodorkan pantatnya yang indah ke arahku. Aku bangkit, lalu menepuk lemah pantatnya. Dian dengan ekspresi nakalnya lalu tampak seperti mengundangku untuk masuk kesana. Aku memposisikan diriku tepat di belakang Dian. Pelan tapi pasti, aku merasakan penisku masuk dengan mudah kedalam vaginanya.

"Nggghh" Dian tampak merasakan nikmat. Pelan aku mulai bergerak, menjatuhkan diriku dan berat badanku kedalam lubang vaginanya. Pelan, perlahan, gerakan itu mulai menemukan ritmenya, yang ditandahi dengan rintihannya yang teratur.

"Uhhh Uhhh Uhh" suara Dian terdengar gemetar. Tak ada cara lain yang lebih baik selain itu untuk menggambarkan kenikmatan. Badannya sungguh responsif dan bahkan keringat yang keluar dari tubuhnya pun tergambar sangat indah. Rasa itu merayap, dari penisku ke ujung kepala dan ke ujung kakiku. Merayap pelan, merasakan dirinya bersatu dengan diriku. Ahhh sayang Dian tampak sedikit kepayahan. Aku tak ingin dalam posisi ini terlalu lama, pasti kurang nyaman bagi tangan dan kakinya, walaupun stimulasinya lebih hebat. Perlahan aku malah memeluk perutnya, dan mengajaknya untuk berbaring kembali.

Tanganku lantas menggenggam kedua buah dadanya dari belakang. Aku merasakan putingnya menegang dengan indahnya. Lalau aku berusaha untuk menggaulinya dalam posisi itu, dari belakang sambil kami berdua berbaring menyamping. Dian menaikkan salah satu kakinya ke atas kakiku, agar aku leluasa bergerak, tak terhalang oleh pahanya. Lagi-lagi ritme nafasnya dan raksi tubuhnya membuatku sangat gelisah. Gelisah karena perlahan kurasakan getaran penisku rasanya tidak main-main. Pelan, lembut, dan rasanya kacau sekali. Kacau dalam artian nikmat.

"Sayang. Kayak tadi lagi... Aku pengen liat kamu" pinta Dian ditengah nafasnya yang memburu. Aku perlahan merubah posisi, dan akhirnya aku bisa bertemu dengan mukanya. Dirinya berbaring tepat di bawahku, mencoba merasakan sepenuhnya organ tubuhku yang berada dalam dirinya. Kakinya melingkari pinggangku, seakan mengundangku masuk lebih dalam lagi.

Aku memulainya kembali dengan gerakan yang pasti. Kupompakan penisku dalam-dalam kedalam lubang vaginanya, merasakan setiap inci tubuhnya dengan tubuhku. Tangannya melingkari leherku, tanganku bertumpu dengan nyaman disamping tubuhnya. Rambutnya tergerai ke samping, membuat wajah cantiknya begitu jelas terlihat. Buah dadanya yang indah berguncang pelan saat badanku terus bergerak memberikannya kenikmatan.

Tidak ada yang lebih baik lagi dari ini.

Bisa kurasakan badannya perlahan menegang, dan kakinya tampak erat melingkariku. Dian tampak sangat menikmatinya. Aku bisa mendengar rintihannya dan nafasnya yang memburu. Wajahnya semakin lama semakin tidak bisa mengontrol ekspresinya.

Ekspresi kenikmatan.

Aku tidak bisa tidak, menikmati setiap gerakan malam itu. Semuanya terasa seperti satu, satu tubuh, satu hati, satu pikiran. Bersatu dalam tingkatan komunikasi yang sangat tinggi. Bisa kukatakan hubungan seksual yang tanpa paksaan dan bisa dinikmati dengan baik adalah bentuk paripurna dari sebuah hubungan manusia. Tanpa berat sebelah, saling menikmati tiap gerakan. Saling meikmati setiap suara yang keluar dari mulut masing-masing, dan saling mendengarkan nafas memburu yang beradu dalam kenikmatan. Saling menjelajahi setap inci tubuh. Saling merasakan kulit yang lembut, saling beradu ciuman dengan bibir yang penuh kasih sayang. Saling mencoba untuk mengerti, apa yang bisa kita berikan kepada pasangan kita. Tidak hanya sekedar nafsu, tidak hanya sekedar kewajiban, paksaan, namun sebagai suatu bentuk koneksi manusia yang paripurna.

Dan itulah yang membedakan manusia dengan hewan.

Tidak hanya kebutuhan bereproduksi dan kebutuhan kenikmatan. Tapi juga kebutuhan keintiman dan kasih sayang. Sebagai bentuk penghargaan atas pengorbanan yang dilalui agar bisa bersama. Tak ada lagi kata yang lebih indah dibanding dengan dua kekasih yang saling memberi cinta. Yang saling memberi kenikmatan.

Bahkan setiap cairan keringat, setiap tatapan, setiap jari yang merayap, setiap sapuan bibir dan lidah, setiap suara, setiap pelukan, dan setiap rasa yang bertukar pada malam itu, itu adalah kesempurnaan. Bagaimana aku dan Dian, yang telah melalui banyak hal yang menjauhkan kami berdua dari kebahagiaan kini menjadi satu. Satu ikatan pernikahan, satu rasa, dan satu tubuh.

Itulah sebabnya kenapa proses seindah ini menjadi media untuk melanjutkan keturunan. Karena pada saat inilah perasaan dari dua orang yang saling mencintai bergabung menjadi satu. Bergabung menjadi satu entitas yang membawa kasih sayang dari masing-masing pelakunya.

"Uhhh." Dian mendadak menegang. Matanya terpejam dan mulutnya terbuka dalam suatu ekspresi kenikmatan. Sayang Ahhh dia berbisik dengan nafas yang tidak beraturan. Pelan, dan pelan, tubuhnya mengeras, menegang, gerakannya menjadi kaku.

"Ahhh" rintihan pertamanya, dan badannya menggelinjang.

"Aaaahhh." Lantas kurasakan dirinya menegang dengan luar biasa. Aku tidak mengendurkan gerakanku.

"Dian.... Mmmhhh....." bisikku penuh hasrat ke telinganya.

Ekspresi Dian semakin terlihat. Bisa kurasakan vaginanya menjepit penisku hebat. Matanya terpejam, dan bisa kurasakan pergolakan kenikmatan dari badannya. Pastilah kenikmatan itu merambat pelan dari dalam dirinya dan merubah kondisi ekspresi yang tidak bisa tertahan lagi.

"Nnnggghhh......" Dian meringis sejadi-jadinya. Lalu mendadak tubuhnya menggelinjang pelan. Ahhh Matanya terbuka dan bisa kurasakan aura kenikmatan terpancar dari tubuhnya. Getaran dibadannya belum berhenti. Aku pun tak bisa menahan ledakan yang terjadi di dalam tubuhku. Aku memeluknya erat sambil terus memompakan penisku ke dalam tubuhnya.

Ledakan dan getaran tubuhnya datang bersamaan.

Dian menggelinjang hebat, bersamaan dengan keluarnya cairan yang hangat dari diriku di dalam dirinya. Dia merasakan kehangatan itu, menyirami dirinya dengan sempurna. Kenikmatan dalam getaran yang terasa dari rahimnya, lalu kehangatan yang kemudian ia rasakan. Hangat, penuh kasih sayang dan hasrat mencintai yang dalam.

Tubuhnya berhenti menggelinjang. Aku terkulai lemas di atas tubuhnya. Nafas kami berdua beradu, dalam ketidak beraturannya. Kami mencapainya bersama, terdiam dalam gelap. Tak bregerak karena inilah perasan yang paling luar biasa yang bisa dirasakan dalam hidupmu. Menjadi satu. Akhirnya menjadi satu. Satu tubuh. Satu hati. Badan kami beradu, bahkan aku tidak berpikir untuk melepaskan pelukan ini. Pelukan yang sempurna ini. Malam yang sempurna ini. Istri yang kucintai ini. Rasa kebersamaan dan hasrat untuk selalu bersama. Kesempurnaan telah terjadi. Terjadi dan tidak bisa tidak pernah terjadi. Bersatu dengan paripurna. Bersatu dalam kesempurnaan.

Perlahan dengan lembut, kami berciuman, diiringi oleh nafas pelan, diiringi oleh heningnya malam yang menyelimuti kami. Aku mencintainya. Dan kami akan bersatu selamanya.

Selamanya.

Selama-lamanya.

Sampai akhir.

----------------------------------------

TAMAT
 
THE LUCKY BASTARD – EPILOG

----------------------------------------​

eco-dr10.jpg

"Coba Alika dah gede ya, bisa ikut kali" Dian bersuara sambil mengukur jalanan selatan Jakarta.
"Jangan, ntar orang-orang lebih seneng liat dia daripada liat pengantennya" candaku.
"Iya dong, siapa dulu ibunya" balas Dian.

Alika Tiara Putri. Anak kami berdua. Anakku dan Dian. Kini sudah berumur setahun lebih. Kehamilan dan kelahiran yang membahagiakan untuk kami berdua. Kami menitipkannya pada orang tua Dian, karena anak itu belum bisa dibawa datang ke acara pernikahan malam. Siapa tahu rencana pulang kami agak molor.

Sekitar tiga tahun setelah pernikahan kami, sahabat terdekatku menikah. Dian menggenggam undangannya. Disitu tertulis dua buah nama. Nama pertama yang tertera pasti membuat patah hati banyak lelaki.

Josephine Anggia Tan.

Ya, Anggia akhirnya melepas masa lajangnya. Si jahil, judes dan bandel itu akhirnya menjadi seorang istri. Holy matrimony di gereja sudah dilaksanakan tadi pagi. Sayang aku dan Dian tidak bisa datang. Pagi di hari libur adalah masa-masanya Alika paling rewel. Kegiatan khas suami istri mengurus anak balita memang repot biasanya pada waktu itu.

Alika sangat mirip dengan ibunya. Rambut tebal dan mata besarnya yang polos kata mertuaku sangat mirip dengan Dian sewaktu kecil.

Perjalanan kami ke hotel di area Dharmawangsa itu terasa agak macet, karena memang antrian mobil mengular, pasti kebanyakan dari mereka adalah tamu dari pernikahan Anggia.

----------------------------------------

attrac11.jpg

Setelah mendapat parkir yang agak jauh dari pintu utama, aku dan Dian berjalan bergandengan ke lokasi acara resepsi. Aku mengenakan kemeja batik lengan panjang. Dian mengenakan dress batik yang polanya kembaran denganku, dengan high heels hitam dan kalung yang serasi, tak lupa clutch bag hitam ditenteng olehnya.

Kami melewati beberapa orang yang merokok dekat pintu masuk. Aku melirik ke mereka.

"Untung kamu udah brenti.." bisik Dian.
"Iya..." jawabku pelan sambil sedikit tersenyum.

Aku memang berjanji pada Dian, untuk berhenti merokok dan minum ketika dia sudah mulai hamil. Tak pakai pikir panjang lagi aku melakukannya. Dan sukses. Selama dua tahun sejak kehamilannya sampai Alika berumur setahun, aku tidak pernah menyentuh rokok, bir, wine, atau apalah itu semua. Dan karena kini aku bersama dengan orang yang hidupnya luar biasa sehat, pola hidupku pun berangsur membaik. Pola makan, pola tidur, semuanya teratur dan membawa dampak yang luar biasa positif pada diriku.

Apalagi ketika Alika lahir. Kami berdua merasa sebagai orang yang paling bahagia sedunia.

Kami masuk ke ruangan resepsi dengan bergandengan tangan. Suasana yang meriah. Khas pernikahan orang indonesia. Bisa kulihat Anggia dari kejauhan, di pelaminan, memakai gaun warna putih yang indah. Rambut pendeknya tampak bagus dengan dandanan sebagai mempelai wanita. Aku dan Dian lantas berjalan perlahan ke arah pelaminan, sambil menyelidik setuap sudut ruangan.

Mbak Vania dan Mas Akbar. Mereka dikelilingi oleh anak-anak mereka yang makin lama tampaknya akan menyusul tinggi orang tuanya.

Nica. Dia tampak menggandeng seorang lelaki kurus dan tinggi. Tampaknya pacarnya. Mereka ngobrol berdua, sepertinya sangat fokus sekali dengan obrolan mereka sambil sesekali memperhatikan detail-detail resepsi. Mungkin mereka ingin menyontoh untuk acara pernikahan mereka sendiri.

Ada Nayla, dia sudah kerja di Jakarta sekarang, dan statusnya adalah anak kos. Dia sedang mengobrol dengan... Karen. Karen sekarang berambut panjang. Agak malas melihat dirinya, tapi yasudahlah. Toh sudah tidak ada urusan lagi. Nayla masih excited akan Karen, sampai sekarang. Tampaknya malam itu Nayla akan terus menempel pada Karen.

Mbak Mayang pun datang, menggandeng anaknya. Aura penyayangnya sangat terlihat, terutama pada saat dia menghandle anaknya yang tampaknya agak bosan ada di kawinan itu.

Sepupu Dian, yang mengenalkanku dengan Dian pada masa lalu juga ada. Dia memang teman kuliahku, dia ada di kerumunan teman-teman kuliahku. Namanya Arya, bukan Arya Bali tapi, yang Arya Bali tidak datang. Dia datang bersama istrinya yang baru dinikahinya.

Dan kami semakin dekat ke pelaminan.

Andaikan Valerie ada di sini. Mungkin dia bisa melihat betapa bahagianya kami semua sekarang, jauh dari kegalauan dan masing-masing menatap masa depan dengan cerah.

"Aaaaaa Alikanya kok gak dibawaaaa" seru Anggia saat kami bersalaman dengan mertuanya.
"Kasian kalo malem-malem sayang..." jawab Dian sambil tersenyum.
"Ntar pokoknya gue culik tu anak!" canda Anggia ke Dian.

"Lo ngapain disini ngomong ngomong" tanyaku ke Rendy.

Rendy bermuka sumringah dan senyumnya sangat lebar. Jas putih yang ia kenakan tampak serasi dengan pakaian Anggia. Tampaknya dietnya sukses.

"Ahahahaha... Aduh... Sori bingung gue jawabnya gimana" sahut Rendy.
"Gak usah dijawab, bego" komentar Anggia.
"Kasian banget ntar si Rendy di bego-bego mulu sama elo dong sepanjang umur...." candaku yang disambut tawa Dian.

"Udah deh jangan bikin macet antrian, ntar dipanggil ya pas mau foto" ketus Anggia padaku.
"Ngobrol sebentar ama suami elo aja masa kagak boleh?"
"Bodo"

Aku tersenyum sambil berlalu. Kugenggam tangan Dian dengan erat. Pernikahan yang tampaknya akan lucu. Pernikahan Rendy dan Anggia.

Dengan begini petualangan kami dalam hal terluka dan dilukai selesai sudah. Proses pendewasaan terus berjalan tapi, membawa kami semua makin matang untuk menikmati hidup yang sebentar ini.

------------------------------------------

THE LUCKY BASTARD TAMAT
 
gokiiillll.. pantengin sampe tamat laah nih..

And the magic is, part terakhir & epilog sekali lagi sukses bikin gue merinding, persis kayak pertama kali baca.. yg ngebuat gue merinding adalah adegan percakapan Aku & Dian, penggambaran universe si Aku & konklusi dari semua elemen cerita The Lucky Bastard..

well, sembah sujud buat suhu @racebannon.. Can't wait for another great stories from you..
 
Terakhir diubah:
makasih buat semua yang mantengin, baca sampe habis.

Pe Er berikutnya adalah, namatin MDT Season 1 secepatnya. Karena cerita selanjutnya gak akan bisa keluar kalau setidaknya MDT S1 belum tamat. Setelah itu juga namatin Penanti, dengan jadwal update tetapnya Rabu dan Minggu.

Cheers!!
 
yeey.. finally
congrats om :beer:
semoga MDT n Penanti segera menyusul
 
Hahaha akhirnya tamat
Berasa nostalgia setahun lalu baca cerita ini lagi
Sukses terus suhu RB
 
Wohow dikebut, makawih on RB. Pengen cepet2 baca MDT 1 sama 2 juga
 
Rendy, my man. That pep talk, and the ending.. He's the real winner here. Padahal udah baca dulu pas awal. Tp excitementnya masih nempel bgt. Haha.
 
Done... Dua jam ane baca dari part......entahlah part berapa.. Sampe tamat.. :beer::mantap:. . Di tunggu MDT nya suhu.:bata: baru tamat udah nagih lg:hammer:. Hehehe
 
akhirnya...... :sayang:





lucky sekali dia , ketika saatnya kembali, tidak ada rintangan berarti.... :(


selamat buat Rendy :hore:
 
Tengkyu berat om RB gak tau hrs komeng apa lagi. Dah 2x baca tetep dpt rasanya. Sekali lg tengkyu... Semangat terus ...ya om?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd