Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE LUCKY BASTARD (RACEBANNON - REVIVAL)

Halo semuanya,

Maaf belom bisa apdet lagi karena kesibukan di RL. Di satu sisi saya pengen cepet cepet beresin apdetnya karena ada cerita baru yang mau gak mau harus dipost setelah mdt season 1 beres.... supaya kontinuitas waktunya tepat.

Jadi malam ini, diatas jam 9 malam saya bakal maraton apdet lucky bastard sampai tamat.

Stay tune
RB

Yeeaahh.. Inilah yg netizen ingin denger... hhahahaha
 
Gila cerita ini dramanya dapet banget...
Damn sekali gw marathon bca cerpan...dri pagi smpe skrg(untung gw gw lg gak ada krjaan hri ini)...and finnaly, gw menuntut lebih...I want more...
 
Halo semuanya,

Maaf belom bisa apdet lagi karena kesibukan di RL. Di satu sisi saya pengen cepet cepet beresin apdetnya karena ada cerita baru yang mau gak mau harus dipost setelah mdt season 1 beres.... supaya kontinuitas waktunya tepat.

Stay tune
RB

Mdt season 2 bakal revival juga ga hu?
 
THE LUCKY BASTARD – PART 40

----------------------------------------
desain10.jpg
"Jadi nemenin Karen besok sabtu?" tanya Anggia.
"Jadi" jawabku pelan sambil menghisap rokok dalam dalam.
"Serius lo mau nemenin?"
"Yah... Harus dibiasain kan?" senyumku tipis pada Anggia.

"Kasian lo.... Lo tuh maksain diri kalo gini namanya..."
"Enggak ah, ga usah dipikirin Nggi. I can manage"
"Yaudah, yuk buruan jalan, gue dah laper" aku lantas mematikan rokokku di asbak teras depan kantorku. Anggia lantas duduk di kursi sopir dan kami meluncur menuju tempat makan, entah kemana. Kami belum memutuskan tempat tujuan kami.

"Lo akhir-akhir ini makin keliatan kuyu" selidik Anggia.
"Ah, biasa aja kok"
"Jenuh? Capek? Stress?"
"Udah dibilangin biasa aja..."
"Lo jadi sering masuk agak siangan lho... Biasa jam 10 kurang dah di kantor, sekarang paling cepet jam 11 an lewat...."
"Masa?"

"Ayolah... Lo gak kenapa napa kan ama Karen?"
"Fine. Biasa aja kok"
"....." Anggia tampaknya merasakan aura yang lain dari diriku. Memang harus kuakui malam hari aku tidur jauh lebih malam. Tidur dengan Karen harus kuakui memang merubah jadwal tidurku. Jadwal kerjanya yang tak beraturan membuat waktu tidurnya tidak beraturan. Kadang baru bisa tidur subuh, menemani malamnya. Tapi tak apa. Selama hatiku penuh, dan pekerjaanku tidak terbengkalai, rasanya semua aman-aman saja.

"Coba tidurnya ama gue, kayaknya lo lebih bakal segeran" celetuk Anggia mendadak.
"Apa sih...." Anggia hanya meringis geli mendengar reaksi gusarku.

----------------------------------------​

62234_10.jpg

"Kak, kok bisa sih, pacaran ama Karen?" tanya Nayla via whatsapp.
"Kan awalnya temenan dulu"
"Kok bisa temenan"
"Dikenalin ama Rendy"
"Kok bisa?"
"Kan dia temennya Rendy"
"Kok bisa temenan ama Rendy?"
"Dari kerjaan kali"
"Emang Rendy kerja apa?"
"Video editor..."
"Iklan, video klip, film atau apa?"
"Semuanya"
"Pernah ngerjain apa aja emang?"
"Lo mau ngehire Rendy? Ini interview?"
"Kan penasaran atuh ih -_-"
"lol"

"Siapa?" tanya Karen yang tiduran melingkar di sebelahku. Seperti biasa aku menginap di apartemen Karen pada Jumat malam itu. Sabtu besok aku akanmenemaninya ke lokasi syuting.
"Nayla"
"Ooo... Ngomongin apa?"
"Nanyain kita"
"Hehe"
"Kok ketawa?"
"Pasti pertanyaannya lucu. Kayaknya Nayla anaknya polos banget" senyum Karen dengan mata tertutup. Karen lalu dengan manja mendesak badanku, lalu membenamkan dirinya di ketiakku. Aku mencium pipinya dengan tenang, lantas memeluknya dan bersiap untuk tidur.

"Rumah...." bisik Karen sambil memelukku kencang. Aku hanya tersenyum sambil memegangi kepalanya. Aku kembali ke handphoneku, melihat apapun yang bisa dilihat dan membalas apapun yang bisa kubalas. Kurasakan nafas Karen menjadi teratur. Kulirik sejenak, dan kulihat wajah cantiknya sudah berubah ekspresi, menjadi ekspresi yang sangat polos. ekspresi tidur.

Aku mendekati wajahnya, mencium pipinya sambil berbisik. "Gue bakal jadi rumah buat lo..."

----------------------------------------
----------------------------------------​
----------------------------------------

pacifi10.jpg

Aku menyetir dengan mengantuk di pagi buta itu ke arah Senopati, menuju gedung perkantoran disana.
"Pagi amat.... Gak boleh telat ya emang?" tanyaku.
"Emang ga boleh telat, makanya kita jalan jam segini..." jawab Karen riang sambil memainkan handphonenya disebelahku.

Pagi itu aku buru-buru mengantarkannya ke lokasi syuting. Hari sabtu ini dia akan syuting seharian untuk video klip seorang penyanyi R&B yang sedang naik daun di sekitaran lobby dan officenya.

Proses syuting sendiri akan memakan waktu seharian dan karena Janice tidak bisa mengantar Karen, jadi Karen memintaku untuk mengantar dan menemaninya. Tema video klipnya sendiri adalah dimana si penyanyi merupakan karyawan kantoran dan Karen akan berperan sebagai love-interestnya di video klip itu, karyawan di kantor yang sama.

Aku sedikit deg-degan membayangkan dia beradegan mesra dengan si penyanyi. Tapi sekali lagi, itu resiko. Namun menurut penuturan Karen, tidak akan ada adegan kontak fisik sama sekali, karena lirik dan karena konsep umum video klipnya si penyanyi akan menjadi secret admirernya Karen. Hanya seseorang yang bisa melihatnya dari jauh dan tidak berani mendekat. Jadi tampaknya aku harus membuang jauh-jauh kegelisahanku. Dan bukankah di film yang sebelumnya pun ada adegan mesra antara Karen dengan pemeran pria, walaupun tidak ada adegan ciuman. Ya, film yang kuhadiri premiernya itu.

Segala hal yang sudah kupersiapkan untuk membuang bosan sudah kubawa, buku, tablet, bahkan laptop plus catatan kantorku pun sudah kubawa. Aku tidak ingin mengulangi kejadian yang terjadi sewaktu premier film lagi.

----------------------------------------​

Aku duduk memperhatikan Karen dari jauh. Dia sedang di make-up. Setelah kantor yang sudah ia pakai tampak cocok untuknya. Sejenak aku membayangkan apa jadinya kalau dia merupakan pegawai kantoran dan bukan pekerja seni. Rok, kemeja, blazer, high heels tampak serasi membalut tubuhnya.

Sekilas Karen melirik kepadaku dan senyum-senyum sendiri. Aku senyum balik, membalas senyumnya yang tulus itu. Aku akhirnya beranjak, mencari tempat yang bisa aku pakai merokok. Pilihanku jatuh pada pos satpam dekat gerbang masuk. Dari tempat itu aku bisa melihat adegan demi adegan yang nantinya akan menjadi rangkaian video klip itu. Tak ingin membuang waktu, aku segera membuka laptop sambil menyalakan rokok.

Pada akhirnya aku sibuk dengan laptopku, sambil sesekali melirik ke arah lokasi syuting yang memakan tempat di Lobby dan Drop Off gedung perkantoran itu, melihat Karen diarahkan oleh sutradara. Lucu melihatnya menjadi pegawai kantoran untuk sementara.

----------------------------------------​

"Mas, bareng ama Karen?" tanya salah satu kru.
"Iya, kenapa?"
"Mau makan siang kan Mas? mau saya beliin soalnya" senyumnya.
"Oh boleh..." aku tersenyum kepadanya. Tampaknya proses syuting akan dipotong oleh waktu makan siang. Aku mematikan laptopku, menaruhnya di tas dan menghampiri ke arah tenda kru.

"Hei sini.." panggil Karen. Dia lantas mengenalkanku pada sutradaranya. Orang yang tidak banyak omong, dan setelah berkenalan dia meninggalkanku.

"Bosen gak lo?" tanya Karen.
"Enggak. Bawa laptop sih..." seringaiku tipis.
"Hehe... maaf ya, kalo lama, paling beres maghrib ini... Ntar abis makan siang kita bakal syuting di office, lo ikut ke atas?"
"Gak usah, di pos satpam aja, enak bisa ngerokok"
"Yah.. enak banget..." irinya, pasti terhadap rokok.

Setelah makan tersedia, aku makan sambil mengobrol dengan Karen. Dia tampak menikmati proses syuting ini. Yang aku tahu, ketika berperan sebagai seseorang, kita pasti berpura-pura menjadi orang itu. Lalu aku membayangkan sudah berapa kali Karen berpura-pura menjadi orang lain. Yang pasti dia tampak sangat luwes dan cocok menjadi pegawai kantoran. Beberapa mata tampak melirik ke kami. Mungkin mereka memikirkan bahan gosip terbaru yang bisa digosipkan. Aku sudah agak terbiasa tampaknya dengan ini semua.

----------------------------------------​

"Pak, ikut ke dalem boleh? Saya mau nyolok laptop ke listrik"
"Silakan aja mas" senyum satpam kepadaku. Aku masuk ke dalam pos satpam. Oh begini rupanya, aku bisa melihat keluar dari dalam pos satpam itu, tapi dari luar tidak bisa melihat kedalam.

"Gak boleh ngerokok tapi ya mas di dalem"
"Iya pak" aku tersenyum.
"Santai aja, sabtu-sabtu gini sepi kok jadi kita gak banyak nangkring di pos..." senyum satpam tersebut dan dia berjalan meninggalkanku, entah menuju mana. Kru syuting sudah berpindah ke lantai atas, untuk mengambil adegan di office. Dan aku tenggelam lagi dalam laptopku, membereskan beberapa pekerjaan kantor dan sedikit pekerjaan freelanceku.

Dan aku melihat siluet dua orang mendadak muncul, mereka menyalakan rokok. Tampaknya dua orang kru syuting hari ini. Aku sedikit mengenal perawakan mereka. Yang satu berambut pendek dengan kacamata dan jenggot tipis, dengan t shirt dan jeans. Sekilas siluetnya seperti Adrian. Yang satu lagi gondrong nanggung dengan t shirt gombrang dan celana pendek.

Tanpa sadar aku mendengar obrolan mereka.

"Si Karen pacaran lagi tuh"
"Ah dia dulu sebelum ama si Ramses juga suka gonta ganti pacar"

Aku menelan ludah.

"Taruhan yuk yang ini berapa lama"
"Haha males ah hidup orang jadiin taruhan. Tapi hebat juga bisa lepas dari Ramses"
"Udah ga ngedrugs sih kayaknya, makanya bisa lepas"
"Si Ramses ampe sekarang ya ngedrugsnya?"
"Parah dia mah....."

What? Drugs? Tapi aku berusahamewajarkannya. Ini industri hiburan. Dan akupun tidak sesuci itu. Di lingkunganku juga ada. Rendy dulu juga pernah coba-coba drugs, untung tidak sampai ketagihan.

"Hebat tapi lepas dari si bangsat itu"
"Emang bangsat sih si Ramses. Tadinya gue pikir bakal dikawin si Karen"
"Kan sempet hamil tuh si Karen ama Ramses ya? bener gak sih?"
"Iya, digugurin tapi. Dua kali. Gila ya"

Tunggu. Apa ini? Darahku menggelegak. Aku ingin menghentikan pembicaraan mereka, yang dengan tidak sadar bicara seperti ini dan tak melihatku yang ada di dalam pos satpam. Aku ingin mengamuk. Tapi aku menahan diri, karena tidak ingin membuat kekacauan. Aku menarik nafas panjang, dan menutup laptopku. Mencoba mengatur nafas, menahan amarah.

"Emang udah kayak mainannya si Ramses dulu kan dia?"
"Banget. Lo tau kan yang pernah digilir?"
"Hah beneran tuh? gue cuma denger-denger aja sih..."
"Beneran tau..."
"Kok bisa?"
"Jadi dia dibikin teler gitu ama si Ramses.. Terus lo tau kan dia sama temen-temennya ngapain?"
"Ngapain?"
"Ya dipake rame-rame lah"
"Kok gak jadi berita???"
"****** amat lo ya... Kayak gituan mah ga akan sampe jadi berita. ******, drugs, seks, bakal ketutup dari media, kecuali kalo kegrebek polisi..."

Aku makin panas mendengarnya. Kepalaku mendadak pusing.

"Si Karennya sendiri suka kali, makanya dia ga lapor pokis"
"Iya, siapa tau pengen ngerasain dipake titit banyak"
"Hahaha..."
"Duh jadi ngilu... Karen selucu itu digangbang..."
"Coba kita disitu ya"
"Iya"

Tanpa sadar kotak rokokku sudah hancur kuremas. Tanganku bergetar dan darahku terasa mendidih. Aku gusar. Ingin sekali kutampar mereka berdua. Tapi apa kuasaku? Mereka hanya membicarakan orang lain. Drugs, oke, aku masih bisa maklum. Tapi ******? Gangbang? Ini diluar nalarku. Kenapa ini tidak jadi kasus? Apakah memang separah ini borok yang tidak di ekspos ke dunia soal mereka? Soal dunia hiburan? Aku tahu memang dunia hiburan adalah dunia yang jauh dari kata sempurna dan memang pekerjaan yang beresiko tinggi. Tapi sejauh ini kah resikonya? Sejauh inikah? Sejauh inikah? Aku tidak bisa berpikir lagi. Aku bahkan sekarang tidak sanggup melihat lagi bayangan diriku di kaca. Aku tak tahu harus bicara apa nanti ketika bertemu dengan Karen. Akal sehatku sepertinya perlahan menghilang.

----------------------------------------
----------------------------------------​
----------------------------------------

eco-dr10.jpg

"Sori lama pasti nunggunya, abis ini makan yuk kita, deket sini ada restoran baru kayaknya enak, kita cobain yuk" senyum Karen kepadaku yang sedang duduk lemas di depan pos satpam.

Aku meliriknya dengan lemas. Aku tak mendengarkannya, hanya berjalan gontai menuju arah parkiran.

"Hei, kenapa? Lo kenapa?" Tegurnya melihat aku lesu dan tidak bersemangat.
"Gapapa..." jawabku bingung, tak tahu harus membalas apa. Karen mengikutiku dengan aneh sambil berjalan ke parkiran.
"Sayang.." Aku tak membalas, malahan melepas tangannya dariku. Karen kaget. Aku masih diam, dan berjalan gontai ke arah mobil. Karen berusaha mengejarku dari belakang. Tampaknya kesuraman yang terpancar dari diriku bisa dengan mudah ia deteksi. Aku lantas melempar badanku ke kursi sopir. Aku menatap ke depan dengan enggan, lalu dengan malas memasukkan kunci mobil ke tempat semestinya dia berada.

Aku menyalakan mesin mobil. Karen dengan terburu-buru masuk kedalam mobilku. "Apa-apaan sih? Kok jadi gini? Ngomong dong..." tanyanya. Bunyi mesin mobil mendadak mengganggu. Semua perasaan dan kebisingan campur aduk jadi satu. Campur aduk yang membuat perutku mual.

Mobil berjalan dengan enggan. Tanganku bingung mencari pijakan di kendali mobil. Kepalaku bingung mencari kata-kata. Lidahku kelu, tercekat, dan keringat dingin keluar dari sela-sela rambutku, memaksa orang lain yang melihatnya mempertanyakan keadaanku sekarang. Karen dengan penuh selidik memperhatikanku.

Semua rasa bercampur jadi satu. Jijik. Marah. Kasihan. Bingung. Sayang. Yang semuanya bisa disimpulkan hanya dengan satu kata. Kaget. Kaget terlama yang pernah kualami, berjam-jam dan belum reda. Aku ingin berbicara, tapi takut bentakan demi bentakan keluar. Atau tangis demi tangis yang keluar liar dari mulutku. Emosi dan kehampaan yang kurasakan membumbung tinggi, butuh untuk dikeluarkan. Tetapi sangat sulit. Kurasakan pembuluh darah di samping kepalaku mengeras dan menyerangku dengan pening.

"Lo kenapa?" pertanyaan pelan Karen sambil menatapku lekat membuyarkan perasaanku. Aku hanya bisa mengulum bibirku perlahan, tanpa ekspresi dan tanpa pertahanan.

"......." aku mencoba untuk bicara, tapi hanya nafas yang keluar dari mulutku, membayangkan tangan-tangan gila yang mengacak-ngacak Karen, jika itu benar. Jika itu salah, mengapa muncul cerita seperti itu. Bukankah tidak ada asap jika tidak ada api? Tapi tidak pernah ada berita kebakaran, apakah hanya rumor? Kata-kata dalam semua bahasa yang kutahu tanpa aturan berputar-putar di kepalaku, mencoba menyusun diri mereka menjadi kalimat. Kalimat-kalimat yang kurasa salah. Kalimat-kalimat yang akan melukai. Melukai diriku dan dirinya.

"Lo gak mau berhenti bentar? Ngerokok dulu atau apa gitu? Kok pucet?" Pertanyaan demi pertanyaan Karen merusak pendengaranku. Membayangkan janin yang terkoyak. Membayangkan tubuh indahnya dirusak oleh tangan tangan kotor. Aku bahkan sama sekali tidak berpikir tentang kemungkinan kalau semua itu bohong. Sore menjelang malam yang dingin itu terasa seperti terik. Terasa seperti di neraka. Jika neraka itu ada.

"Serius deh. Gue tau lo gak banyak omong, tapi please, kenapa elo ?"
"Gue pengen tau..." kalimat pertamaku.
"Tau apaan?"
"Dulu"
"Dulu maksudnya?"
"Elo dulu gimana....."
"Gimana?" Karen tampak bingung mencerna kata-kataku yang keluar tanpa aturan. Patah dan rusak. Kalimat yang patah dan rusak.

"Gue pengen tau elo dulu kayak apa?"
".... Kenapa mendadak?" tanyanya balik
"Please, gue pengen tau...."
"Kan udah sering gue ceritain....."
"Bagian-bagian yang gak lo ceritain"
"Gue gak pernah bohong sama lo......."
"Bukan, bukan, maksudnya bagian yang sama sekali gue belom denger, bukan bohong atau gimana...." selidikku tanpa aturan. Sulit sekali menata kalimat di tengah panik dan perasaan hancur seperti ini.

"Lo masih mikirin berita gosip?" tanyanya bingung.
"Bukan itu... Aduh..." aku menyeka keringat dengan punggung tanganku. Karen menatapku dengan tatapan kasihan. Dia merogoh tasnya, berusaha mengambil tisu untuk mengelap keringatku. Tanpa sadar aku menahan tangannya.

"Loh?" Karen bingung melihat reaksiku. "Kenapa sih?" tanyanya bingung.
"Gue pengen tau, semua, cerita tentang lo jaman dulu..." jelasku dengan suara yang sama sekali tidak tegas dan tanpa wibawa.

"Kan udah pernah diomongin..."
"Yang detail..."
"Mau gimana lagi?"
"Pokoknya yang detail, terutama yang sebelum sama gue"
"Kok jadi gini sih?"
"Gue pengen denger langsung dari lo...." paksaku dengan lemah.

Karen hanya terdiam. Mungkin dia bingung, mungkin dia tertangkap basah, mungkin juga dia marah, tapi tidak ada yang tahu sebelum pertanyaanku terjawab olehnya.

"Kita pulang aja yuk.. Lo kecapekan pasti, ya.." Karen merajuk, berusaha menenangkanku. Padahal aku tidak terlihat marah, tidak mengamuk, tetapi aku memang terlihat seperti habis menyaksikan tabrakan beruntun di depan mataku sendiri.
"Karen. Please.... "
"Please buat apa?"
"Antara Ramses sama lo, pernah ada cerita apa?"
"Udah gak perlu lagi bahas dia...." Karen berusaha memegang tanganku.

"Gue harus denger sendiri dari elo..."
"Dengerin apa?"
"Karen please jangan muter muter gini... Gue bingung"
"Kenapa musti bingung"
"Biar gak bingung, please, gue butuh denger dari elo langsung yang ngalamin"
"Ngalamin apa?" Karen tampak ikutmenjadi pucat. Matanya seperti bingung menatapku.
"Lo pasti tau kan ngalamin apa?" jawabku dengan membingungkan.
"Please... Whatever it is, it's in the past!" Karen dengan gusar menimpaliku.

"Gue gak mau denger cerita aneh dari orang lain.... Cerita... Tolong..." suaraku malah jadi bergetar, menahan getaran yang muncul di pipiku, merambat ke mataku. Kepalaku makin liar membayangkan semua yang pernah terjadi padanya sebelum bertemuku. Karen malah menunduk, dan menyisir rambutnya dengan jarinya dengan ekspresi super tidak enak. Sedangkan aku frustasi menunggu suara apapun keluar dari mulutnya.

"Cerita yang mana?" tanyanya dingin.
"Gue denger tadi... Soal lo sama Ramses..."
"Iya, yang mana?"
"Yang gue perlu tau"
"Mau gue ceritain semuanya dua tahun dari awal?"
"Cuma dua hal yang mau gue tanya"
"...." Karen menghela nafas dengan berat. Sudah cukup alot perbincangan kami.

"Gue tau arahnya kesana..... Iya, itu bener, tapi masa itu gue gak ada pilihan" lanjutnya. "Gak ada pilihan, gue mau nyelamatin karir gue, banyak kontrak waktu itu yang gak bisa diputus. Dan sekalinya lo hamil... udah, selesai" jelasnya dengan suara lirih, seperti menahan tangis.
"Dua kali?" tanyaku pelan, menahan ledakan yang mungkin ada.
"Sekali. Pasti menurut lo sama aja. Tapi lo gak ada di posisi gue waktu itu...." Kepalaku pusing mendengar pengakuannya. Sebenarnya aku berharap itu semua hanya gosip miring saja yang tidak benar.

"Kok bisa... semudah itu?" tanyaku.
"Gak mudah"
"Tapi..." aku tak kuasa melanjutkan. Kepalaku seperti terkena hantaman yang luar biasa. Aku bahkan tak berani melanjutkan ke satu kejadian yang ingin ku konfirmasi lagi. Aku terlalu takut mendengar semuanya.

"Gue gak berani bahas sama elo... Gak mau ngerusak ini..." bisiknya. Dia melihatku tanpa putus. Aku serasa sedang mengunyah batu. Mataku makin berat, nafasku makin berat. Tak tertahan lagi. Mataku basah.

"Terus... satu lagi..."
"Apa lagi..."
"Dulu pernah..."
"Pernah apa?"
"Gue gak tau mau ngomong apa......." aku hilang dalam kata-kataku sendiri. Aku tak tega membicarakannya. Apalagi membayangkannya. Membayangkan Karen diacak-acak oleh beberapa tangan lelaki. Pantas saja sewaktu itu, dia sangat tidak menyukai tindakanku yang agak kasar ketika sedang berhubungan seks.

Akhirnya aku melebarkan pertanyaannya. "Lo kenapa putus dari Ramses, dua tahun dan dia masih bareng sama lo pas lo gugurin kan?"

Karen tampak enggan menjawab. "Dia udah parah banget ngedrugsnya. Pasti lo denger juga kan?"
"Gak sesedikit itu..."
"Banyak janji, dan gue sempet nyaman ama dia, tapi lama-lama jadi monster" lanjut Karen. Aku tak kuasa menahan emosiku mendengar semua itu. "Perlu gue ulang lagi, gue terpaksa, karena kalo gue gak lepas kehamilan gue, kontrak sinetron-sinetron gue dulu angus... Dan gue harus gantiin kontraknya"

"........" Aku pusing mendengarnya. Kepalaku seperti berputar tidak karuan. "Tunggu... monster semacam apa dia jadinya?" tanyaku.
"Monster buat dirinya sendiri. Lama-lama berlebihan dan gue muak sama itu. Jadi gue tinggalin dia"
"Maksudnya dia ngedrugsnya makin parah?"
"Iya... gue gak mau hidup kayak gitu, makanya gue nyingkir dulu abis kontrak-kontrak beres, bisa dibilang gue semi-rehab sebelom gue kecanduan"
"Semi-rehab?"
"Gue ngejauh dulu maksudnya..." Karen pun bercerita tanpa aturan.
"Baru denger gue istilah semi rehab.." telingaku panas sekali mendengarnya.

"Intinya gue males sama dia. Kayak gak mau brenti-brenti gitu... akhirnya gue tinggal aja."
"Sesimpel itu?"
"Gue gak pengen separah itu..."
"Berarti dulu parah banget? Sampe dia umpanin elo?"
"Umpanin?"
"Karen... please jangan muter-muter... Lo tau kita ngomongin apa...."

Aku benar-benar tidak bisa mengatur kalimatku lagi. Mataku basah, untunglah tangis itu dapat kutahan. Benar-benar rasanya seperti habis kecelakaan. Jantungnya tampak tak ada lagi. Perutku mual, saking mualnya sampai aku ingin mencabut kelaminku sendiri. Benar-benar tidak nyaman. Aku masih mual membayangkan proses ****** dan tangan-tangan lelaki menjamah Karen tanpa aturan.

"Itu gak pernah kejadian"
"Tapi?" Aku masih menangkap keraguan di matanya.
"Hampir.."
"Maksudnya hampir?"
"Itu gak diumpanin, lo tau lah kondisi dimana orang banyak lagi make? Gak ada satupun yang sadar?"
"Ya ampun..."
"Ada orang yang gue gak tau itu siapa, megang-megang gue. Gue refleks kabur ke kamar sebelah"
"Terus"
"Abis itu ada gosip gue diapa-apain sama orang banyak, gak tau, orang itu sendiri kali yang nyebar..." Karen berusaha menjelaskan dengan nada yang tidak enak.

Namun aku sudah keburu pusing atas penjelasannya tentang ******. Apalagi tentang semua ini.

"Dan Ramses gak belain lo?"
"Kita semua teler"
"Dan dia kan yang bikin lo hamil sampe lo mesti gugurin?" aku ingin marah, tapi semua kalimat itu keluar dengan lirih dan lemah.
"Iya"
"...."
"Gue udah gak sama dia lagi tapi. Gue sama elo. Dan hidup gue udah membaik sekarang" rajuknya. Sementara aku makin pusing melihat dia secasual itu membicarakan Ramses dan proses putusnya.

"Dulu semua kayak gampang, tapi sebenernya ngaco"
"Gue bingung..."
"Bingung kenapa?"
"Bingung, semuanya kayak mati rasa" Informasi-informasi itu semua kuterima dengan berlebihan. Otakku berhenti bekerja. Akhirnya aku tahu semuanya. Tapi semuanya terlalu gila di dadaku. Sesak. Berbagai perasaan kembali bercampur. Kecewa. Cemburu. Kasihan. Sedih. Merasa tertipu. Tapi entah tertipu oleh apa.

Perutku sudah tidak lapar lagi. Kepalaku sudah tidak sehat lagi. Aku tidak berminat untuk bicara lagi.

"Gue udah ninggalin dia, dia gak nyiksa gue kok, dia gak ngeabuse gue kok, cuma gue gak mau kena toxic dia lebih jauh lagi"
"Stop... Kepala gue sakit"
"Makan dulu yuk..." rajuk Karen yang tampaknya takut melihatku tumbang. Karena memang rasanya seperti itu.

"Gue gak bisa mikir"

----------------------------------------​

Tangisku tumpah sejadi-jadinya di dalam mobil, tak lama setelah aku menurunkan Karen di Lobby apartemennya. Aku masih tidak bisa menerima semua kenyataan itu, walaupun tidak separah yang kudengar. Aku tak kuat membayangkan masa lalunya yang begitu bergelimang drugs dan hidup tanpa rem. Aku bahkan sudah tidak bisa lagi membandingkan masa laluku dengannya. Rasanya tak adil. Perasaanku hancur. Entah hancur karena apa. Karena shock? Karena semua itu? Karena apa?

Tidak ada lagi kata berpisah tadi. Diam menjadi emas. Mendadak diam menjadi jawaban dari semua percakapan tadi. Aku menyesal telah menahan-nahan emosiku yang kini meledak menjadi tangis. Aku tidak bisa mengeluarkan emosiku di depan Karen, saking kagetnya. Beban ini dan resiko ini terlalu gila.

Dan semua percintaan yang kujalani sekarang dengan Karen yang terserang resiko demi resiko. Resiko pekerjaan. Resiko masa lalu. Resiko public image. Resiko waktu. Resiko tenaga.

Aku muak dengan resiko.

----------------------------------------​

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 41

--------------------------------------------

kamar-10.jpg

Air mata telah kering di mataku. Aku diam di dalam kamarku, menelaah perasaan aneh sore tadi. Berulang kali aku berusaha menutup mataku, tapi tak bisa. Aku sendiri malam ini. Rendy entah kemana, entah pekerjaan, entah kesibukan, atau entah permainan. Susunan kata-kata di otakku jungkir balik. Diriku jungkir balik. Rokok terasa sangat pahit, sangat menyakitkan di tenggorokanku.

Tidak ada pesan atau telpon dari Karen. Apakah dia telah melihat kelemahanku? Apakah dia akan meninggalkanku juga seperti dia meninggalkan Ramses, karena aku tidak kuat dengan Resiko? Kalau Ramses telah menjadi penyebab resiko, maka aku yang terkena imbasnya. Tidak adil. Kenapa harus aku yang tertekan seperti ini karena perbuatan mereka berdua di masa lalu? Kenapa harus aku? Kenapa aku harus kebetulan lewat di depan Karen dan terjebak dalam masa lalunya yang pekat?

Kukira ini bakal jadi malam yang paling berat dalam tahun-tahun belakangan ini. Sesaat berada dalam kebahagiaan, sesaat berada dalam kegilaan. Bolak-balik. Apakah ini resiko yang haris aku jalani bersama Karen? Membayangkan resiko yang lebih besar dari inipun aku tidak berani. Bahkan aku tidak berani membayangkan esok hari. Esok hari yang kuinginkan. Yang selalu kubayangkan akan terang dan cerah kini telah berubah menjadi bayangan kengerian di mataku.

Besok, tolong jangan datang.

--------------------------------------------

mall-l10.jpg

Tanpa tidur yang cukup, aku menyetir mobilku menuju Mall itu. Aku berjalan gontai di dalamnya, berusaha mengusir sepi sendirian. Aku menuju ke gerai kopi kemahalan itu. Pelacur hijau. Dengan kopi artifisial yang rasanya pun tidak lebih enak daripada kopi yang bisa kudapatkan kapan saja di minimarket. Tapi hanya tempat itu yang kupikirkan dari tadi.

Aku menatap orang lalu lalang dengan senang di mall itu, dengan atau tanpa beban pikiran sepertiku, rasanya melihat mereka pun cukup sesak. Sesak karena langkah mereka terlihat ringan dan biasa saja. apa yang sudah kulakukan sehingga aku harus mendapatkan tekanan seperti ini?

Aku tidak menyalakan handphoneku lagi. Aku terlalu takut Karen akan menghubungiku dan lalu banyak pertanyaan dan keluhan datang darinya. Aku masih merasa menyayanginya. Tapi ada perasaan takut yang tak bisa kujabarkan saat mengingat kejadian yang terjadi pada dirinya di masa lalu. Sudah sekian lama aku tidak merasakan seperti ini.

Bahkan rasa sakitnya lebih dalam dibanding dengan yang terjadi padaku dua tahun lalu. Yang terjadi dengan Dian. Rasa sakitnya bahkan melupakanku pada pertengkaran-pertengkaran di mobil dengan Nica.

Dulu, ketika bertengkar dengan mantan-mantanku, ataupun dengan Dian, aku selalu menyendiri seperti ini. Pergi ke toko musik, membeli CD atau hanya sekedar melihat-lihat. Lalu menghirup kopi kemahalan dengan rasa pahit palsunya itu. Tapi semenjak toko CD sudah diberangus oleh kejamnya musik digital, aku sudah tidak bisa lagi merasakan nikmat seperti itu. Jadilah kopi kemahalan ini tampak terasa lebih hambar daripada biasanya.

Aku menyalakan rokok, berbatang-batang, sambil membaca seadanya majalah yang disediakan disana. Dammit. Ada berita premier film kemarin. Ada fotoku dan Karen yang terlihat sumringah. Karen dalam balutan dressnya. Rambut pendeknya yang lucu. Wajah dan senyumnya yang manis. Tubuhnya yang proporsional dan enak dilihat. Masa lalunya yang mencabik-cabik perasaanku.

Kenapa aku begini tertekan, sampai ketakutan? Apakah aku selemah itu? Apakah aku tidak bisa menghadapi masa lalu Karen sampai sebegitunya? Aku ingat tadi ketika di lift turun, berpapasan dengan Mbak Mayang. Dia sangat antusias menanyakan kabar Karen, dan bagaimana dia histeris kecil saat melihat diriku di televisi. Aku bahkan tidak sanggup menatap matanya. Tidak sanggup membahasnya. GIla. Perasaan macam apa ini. Kenapa selalu ada perasaan tidak enak seperti ini?

Dan aku pun bosan. Setengah mati. Hingga akhirnya aku meninggalkan gelas plastik tersebut dan memutuskan untuk pulang.

--------------------------------------------

38552010.jpg

Aku keluar dari mobil. Membanting pintu dengan lemah dan tolol. Merayap menuju lift, berharap mendadak lift putus di tengah jalan atau aku terjepit pintu dan anggota tubuhku tercerai berai sampai sulit untuk dikenali lagi.

Perjalanan menuju lantaiku serasa perjalanan ke neraka. Handphoneku telah kumatikan. Aku tak peduli lagi dunia luar. Bagaimana kita bisa berhubungan dengan dunia luar apabila dunia dalam hati kita mendadak rapuh?

Dan pintu lift terbuka. Tolong. Sekali ini saja. Jepit aku. Jatuhkan lift ini. Tolong.

Aku keluar dengan gontai. Mataku menyelidik setiap sudut gelap dan terang dalam kekecewaan. Dan akhirnya kutemukan sosok perempuan yang teronggok di depan unit apartemenku. Perempuan tinggi semampai berkulit putih, dengan lemahnya teronggok disana.

Anggia. Dengan muka merah amburadul, sama sepertiku kemarin. Saat yang salah. Tampaknya dia butuh pertolongan. Sama seperti aku butuh pertolongan.

"Nggi... ngapain disini" tegurku dengan suara serak.
"Lo gak bales wassap gue?" jawabnya pelan tanpa menatapku. Matanya merah dan hidungnya merah.
"Lo kenapa?"
"Lo sendiri kenapa? kenapa gak bales wassap gue...."

"Masuk yuk" aku membuka kunci dan menarik Anggia dari onggokan tubuhnya sendiri. Anggia berjalan dengan lemah ke dalam. Aku merogoh laci dapur, mencari sekotak rokok baru. Lalu aku membakarnya dan melemparkan diriku ke sofa.

"Gue gak tahan" bisik Anggia yang mendadak jatuh ke bahuku. "Gue muak sama Adrian.... Dan kemana lo ama Rendy? Kenapa gak satupun dari kalian bales wassap gue?" nafasnya terdengar lemah dan lirih. Mendadak dia menangis sesenggukan di bahuku. Menelan kesunyian dalam hatiku. Aku terpaksa menyembunyikan hancurnya hatiku. Anggia menggenggam tanganku, sambil terus menangis.

"Please kasih tau gue, gue harus ngapain....." bisik Anggia.
"Nggi, mending cerita dulu..." dia tak mempedulikanku dan malah memelukku dari samping. Kepalanya terkulai lemah di bahuku, dengan air mata yang masih menetes. Aku refleks memegang kepalanya. Matanya yang indah basah oleh air mata. Kehampaan terasa di matanya.

"Gue tadi kan dateng ke acara pembubaran panitia kawinan adeknya...."
"Then?"
"Lebih parah dari yang gue bayangin.... Gue digaringin banget ama ortunya. Obrolan yang gue coba timpalin awkward banget. Adrian? Cuek. Dia bahkan gak sadar kalo gue pulang duluan diem-diem"
"Dia gak nyariin lo?" tanyaku.
"Baru aja tadi dia whatsapp"
"Terus lo bilang apa?"
"Gue bilang pusing, balik duluan"
"Terus?"
"Dia balesnya... Oke sayang ati ati.... Fuck! Kenapa dia bisa kayak gitu? Apa gue cuma mainan buat dia?? Buat dipajang-pajang doang?" Anggia menangis sejadi-jadinya. Aku terpaksa merelakan pahaku untuk ditiduri Anggia. Aku tak bebas bergerak akibatnya.

"Kok gak jujur sama dia?" tanyaku.
"Buat apa? Buat dicuekin lagi? Buat mendadak gue dibeliin tas atau sepatu terus besoknya dia gitu lagi?"
"Oh..."
"Iya, dia tipe cowok yang kayak gitu, ceweknya marah dia sogok pake barang....."
"Terus lo gimana?"
"Gue gak tau harus ngapain...."

"Lo masih pengen ama Adrian?" Anggia merespon dengan anggukan kepala. "Alasannya?" Anggia merespon dengan gelengan kepala. "Kok gitu?" tanyaku. "Gak boleh gitu, kalo lo masih pengen, lo mesti bener-bener ngerubah dia Nggi...."

"Gue cuma butuh hati gue dilindungin... Gue pengen kalo sama dia tuh kayak di rumah gitu....." dan celanaku jadi basah oleh air mata.

Rumah.

Hal yang sering disebutkan Karen soal diriku. Sekarang aku tahu kenapa dia begitu. Dia merasa terlindungi. Aku sejenak terbangun. Aku teringat masa lalunya. Drugs. ******. Dan mantan pacarnya yang malah terjerumus ke lembah nista. Dia memanggil ku rumah karena dia merasa aku melindungi perasaan dan dirinya. Oh well. Betapa aku malah menjauh dari orang yang butuh perlindunganku.

Sekarang terbayang, betapa insecurenya dia saat tahu aku makan dengan Nica. Betapa ngerinya dia saat aku akan mengasarinya saat berhubungan seks. Itu semua karena dia tidak pernah mendapatkan rasa aman ketika bersama mantannya dahulu. Dengan Ramses mungkin semua terasa mudah, tapi semua tanpa rem. Tidak ada pengaman. Tidak ada sistem kontrol. Tidak ada keamanan. Dan itulah kenapa Karen begitu clingy dan begitu menginginkanku setiap detiknya. Itulah mengapa dia tidak menceritakan banyak hal kepadaku, dia takut kehilanganku, kehilangan rumahnya.

"Nggi... Tegas aja ke Adrian, kasih tau apa yang lo butuhin.... Kalo dia mau nyogok lo lagi lo musti nolak dengan tegas...."
"......" Anggia melihatku dengan mata seperti anak anjing yang kehilangan ibunya. Aku mengelus rambutnya, berharap dia cepat bangkit dari hari ini.

"Lo mau ngapain sekarang?" tanyaku.
"Gak tau...."
"Lo tidur mau di kamar gue?"
"Temenin...."
"Jangan ah..."
"Oh iya lupa lo ada Karen"
"Lo galau kok tetep gitu sih Nggi...."

Anggia hanya tersenyum kecil sambil mengusap air matanya. "Please?" mohonnya. "Gue gak bakal ngapa-ngapain... Gue cuma butuh ditemenin aja... Bukan dikelonin...." aku mengangguk. Aku akhirnya duduk di pinggir kasur sementara Anggia bergumul di atas kasurku dengan selimut.

"Gue masih mau bareng dia... " bisik Anggia sambil memeluk gulingku dibalik selimutku.
"Harus lo galakin Nggi... Mungkin karena hidup dia keenakan jadi belom dewasa..."
"Lo tau apa yang bikin cewek seneng ama lo?"
"Hah? Ngomongin apaan sih?"
"Karna lo gak banyak omong, tapi lo selalu ada disaat mereka butuh...." senyumnya. "Kita gak butuh segala perhatian aneh-aneh, gak butuh dimanjain segala macem... Kita cuma butuh kalian ada disaat kita butuh temen. Dan lo selalu ada buat mereka, sejauh yang gue kenal elo ya..."

"Sama Nica gak begitu tapi...." jawabku.
"Sama Karen iya keliatannya. Sama Dian apa lagi, dan sama mantan lu dulu waktu kuliah tuh... Yang tiap bikin tugas akhir lo tungguin"
"Adine?"
"Iya. Gue ngeliat sendiri gimana lo selalu ada buat mereka, lo suka atau enggak situasinya.... Itu yang bikin cewek-cewek nempel sama elo..."
"Jadi malah ngelantur sih lo Nggi..."
"Ah udah ah... Gue mau tutup mata... Pusing abis nangis..."
"Sono gih...."

Dan aku pun langsung berpikir. Karen. Betapa harusnya dia membutuhkanku untuk menguatkannya. Betapa dia butuh aku untuk meluruskan hidupnya. Tak heran jika ia terus-terusan lekat padaku, menempel sebisanya.

Aku menghela nafas. Aku menyesal telah bersikap seperti kemarin, tertekan oleh masa lalu dan resiko yang akan kuhadapi. Pikiranku mulai bermain. Ada alasan dibalik semua sikap Karen kepadaku. Kenapa dia ingin membawaku ke tempat ia bekerja. Dia ingin menunjukkan kalau Karen juga bisa punya pasangan yang benar, yang melindunginya. Yang selalu bisa menjaga perasaan dan hatinya. Itu yang tidak dimiliki Anggia sekarang. Pasti dia ingin perasaannya terlindungi. Sedangkan Karen memilikiku. Dan aku sangat pengecut telah takut dengan masa lalunya. Harusnya aku yang melindungi dirinya dari masa lalunya.

"Nggi..."
"Ya?"
"Gue tinggal ya?"
"Loh mau kemana?" tanyanya dengan suara serak sehabis menangis tadi. Aku hanya mendekatinya, dan memegang rambutnya, mengacak-ngacaknya seperti memperlakukan anak-anak. Aku hanya tersenyum, memberinya jawaban yang tak pasti. Tapi hanya tempat itu yang ingin kutuju. Anggia walaupun tampak kaget dan kecewa, tampaknya dia mengerti. Dia tersenyum tipis dengan mata sembabnya. Lalu mukanya seakan memberi persetujuan atas apapun yang ingin kukejar.

Aku berlalu dan segera menuju parkiran. Ada satu tempat yang ingin kutuju. Dan aku harap suatu hari nanti aku akan kesana tanpa henti. Pedal gas, waktu, dan debu jalanan segera kuakrabi. Aku tak sabar bertemu dengannya dan memperbaiki apa yang telah kurusak. Setidaknya yang menurutku telah kurusak.

--------------------------------------------

62234_10.jpg

Aku mengetuk pintunya dengan harap. Tak berapa lama sosok itu keluar. Dengan mata merah seperti kurang tidur. Tatapannya antara penuh harap dan takut. Aku pun begitu. Aku memberanikan diri memegang tangannya. Dan dia menyambutnya perlahan, penuh ragu.

"Maaf..."
"Gue yang maaf"

Pintu itu pun tertutup dan aku memeluknya dengan erat. Menarik dan mengangkat tubuhnya masuk ke dalam tubuhku. Perasaanku teraduk aduk. Penyesalan yang paling terasa. Harusnya aku orang pertama yang melindunginya. Bukan orang yang melukainya. Dia telah banyak terluka oleh perlakuan masa lalunya. Aku memutuskan untuk selalu berada di sampingnya, membuatnya nyaman.

"Sayang... Lo kok hari ini susah dihubungin?" bisiknya.
"Nevermind. Yang penting gue ada disini"
"Gue kangen... Gue ngerasa salah karena gak pernah cerita hal hal buruk itu..."
"Gue yang salah... Harusnya gue ngelindungin elo... Gak shock kayak kemaren..."
"Wajar kalau shock... Dan.." perkataan Karen terhenti. Aku menciumnya dengan lekat, tanpa mau kulepas sedikitpun. Perlahan aku melepas ciumanku dan menatap wajahnya lekat.

"Gue takut lo gak mau sama gue lagi... Jadi baru berani ngontak tadi...." bisiknya dalam pelukku, sambil kami berjalan pelan ke arah kamar.
"Gue takut lo sangka gw pengecut, makanya gue langsung dateng aja...." bisikku.

Kami langsung jatuh dan bergumul di atas kasur. Memeluk melepas penat. Kami bagaikan seperti tidak bertemu bertahun-tahun. Kepalanya terkulai lemah di bahuku. Aku menyentuh kepalanya dan memeluknya dengan kencang. Rasa rindu yang tidak natural. Rasa rindu yang aneh.

"Jangan tinggalin gue lagi...." mohon Karen dengan merajuk. Aku hanya mengangguk, berusaha menunjukkan kalau aku tidak akan berbuat seperti itu lagi. Tidak akan pernah.

--------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 42

----------------------------------------
kamar-10.jpg
"Camping? Sejak kapan lo demen camping?" tanya Rendy bingung.
"Glamping Ren... Yuk gak usah ribet deh..." jawab Karen.
"Glamping apaan si?" tanyanya tolol.
"Di camping ground nya udah disiapin gitu tendanya, tempatnya udah bagus, udah siap semuanya tinggal bawa badan aja gitu.. Beda gak kayak camping biasa yang cuma disediain tempat doang..."
"Tempatnya di?"
"Bandung, kolonel masturi gitu ya? Lembang pokoknya" bingung Karen.

"Katanya lo dah pernah kesana?" tanyaku sambil menyalakan rokok lagi.
"Udah, pernah syuting iklan disana dulu..."
"Tapi pas banget bareng tanggal Nayla mau ke Jakarta lagi"
"Ntar kita jemput aja di Bandung abis balik, gimana?" senyum Karen.
"Bisa sih... dia Interviewnya kan senen..."
"Nah"

"Anggia juga ikut yuk!" ajak Karen ke Anggia yang sedang malas tiduran di atas sofa apartemenku.
"Hmmm......" jawabnya lemah.
"Adrian mana Nggi? Kok sabtu-sabtu gini ada di apartemen gue?" tanyaku menyelidik.
"Adrian lagi ribet. Katanya ada karyawan kantor bokapnya yang kena kasus, jadi bolak balik ke polisi dia"
"Kasus apaan?"
"Pemerkosaan gitu katanya"
"Ih serem" celetuk Rendy.

"Nayla gue ajak aja ya sekalian kali?" tanyaku ke mereka.
"Ajaaaaaaaaaaaaak" Rendy tampak excited dengan usulanku.

Dan formasinya pun lengkap sudah. Glamping. Dulu aku beberapa kali camping ketika masih mahasiswa. Namun bukan yang seperti ini. Tempatnya kulihat sangat mewah, ada restorannya. Dan camping groundnya benar-benar tertata rapih, dengan banyak tempat bermain yang cocok jika membawa keluarga.

Jadi Aku, Karen, Rendy, dan Anggia yang berusaha mengajak Adrian, serta ditambah Nayla rencananya akan pergi Glamping dua minggu lagi. Glamour camping. Karen dan Anggia mendadak ribut, bertukar ide, tentang makanan apa saja yang harus dibawa, mengingat ada tungku barbeque disiapkan disana. Mereka bicara tentang perdaging-dagingan yang terdengar enak sekaligus sehat, jauh dari ide mi instan dan popmie yang diusulkan Rendy.

Aku sekaligus senang, masa-masa badaiku dengan Karen kemarin sudah lewat. Dan dengan cara seperti ini dia bisa jadi lebih nyaman, karena teman-teman kami jadi bercampur. Sudah bisa kubayangnya betapa konyol dan lucunya pasti Nayla di depan Karen.

Sudah diputuskan. Kami berangkat Jumat tengah malam, sampai subuh/pagi ke tempat itu, lalu menginap semalam, dan minggu siang berangkat kembali ke Jakarta ditambah dengan Nayla.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

desain10.jpg

"Asiiiiik mauuu" jawab Nayla di whatsapp.
"Yowis, siap2 ya minggu depan"

Sudah seminggu berlalu sejak rencana kami dimulai. Soal perencanaan, jangan tanya, ada si freak Anggia soal jadwal dan perencanaan. Dan dia menunjukkan tajinya lagi setelah Bali. Dia sudah membooking tempat untuk kami. Dua tempat yang bersebelahan. Satu tempat berisi dua tenda, dan satunya lagi satu tenda. Aransemennya seperti ini. Aku setenda dengan Rendy. Nayla setenda dengan Karen. Dan kami satu komplek. Di komplek sebelah, yang hanya berisi satu tenda, disana tempat Adrian dan Anggia. Curang. Tapi tak apa, karena aku menghindari Nayla berpikir yang tidak-tidak soal aku dan Karen, menjauhkannya dari bahan gosip atau bahan gunjingan.

"Mau tu anak?" tanya Anggia.
"Mau"
"Gue apa gak jadi ajak Adrian aja ya" keluhnya.
"Loh terus?"
"Ntar gue nyelinap aja ke tenda lo malem-malem" senyumnya campuran antara nakal dan kesal.
"******"
"Biarin aja ngamuk tu si Adrian"
"Kok gitu sih, kirain udah baikan"
"Bodo" jawabnya.

Aku hanya menggeleng sambil duduk di teras kantor, membakar rokok sambil memperhatikan jalanan yang sudah mulai macet sore itu.

"Kemis malem besok lo temenin gue ya, belanja buat kemping-kempingan itu" ajak Anggia.
"Mana bisa... Gue pasti ama Karen..."
"Ajak dia lah... Gue gak bisa bareng ama si anak mami itu kemis ini, kemaren urusan ini, terus rapat itu lah... Apa dia cuma mau ketemu gue kalo lagi sange aja ya..."
"Bahasa lu Nggi..."
"Bodo"

Dua kali Bodo. Rekor. Aku hanya bisa tersenyum tipis mendengarnya.

----------------------------------------

62234_10.jpg

"Mau?"
"Boleh aja sih, semingguan ini juga ga bakal ada job juga"
"Gapapa emang?" tanyaku ke Karen.
"Dia kan sobat lo"
"Serius gak bakal jealous?"
"Gue udah sering denger dari Rendy seberapa deketnya kalian bertiga, jadi santai aja... Abis kasian juga lakinya sibuk ga puguh gitu kan.... Kita temenin aja belanja buat camping"
"Teknisnya gimana?" tanyaku.
"Ntar gue naksi aja ke kantor lo.... Ntar dari sana bareng aja, mau belanja dimana sih emang?"
"Kemang paling kemchiks...."
"Ooo... Yowes... Tidur yuk..." Karen mencium hidungku dengan jahilnya. Aku membalasnya dengan memeluk tubuh bugilnya yang hangat di balik selimut.

"Sayang..." bisikku sambil meraba lembut bagian tubuhnya.
"Apa?" jawabnya sambil memeluk leherku erat.
"Gue pengen kayak gini selamanya..." lalu aku mencium lembut bibir indahnya. Tak bisa kubayangkan kenikmatan selain detik ini. Semuanya terasa begitu benar. Aku tak akan membiarkan resiko dan resiko lainnya lagi menghampiri dan merusak perasaan dan kebersamaan kami lagi.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

articl10.jpg

"Ngapain beli gituan sih?" tanyaku ke Anggia.
"Penting tau"
"Sampah mah entar masukin ke kantong kresek aja"
"Eh, entar amburadul, harus tau beli trash bag khusus buat sampah" ketus Anggia menjawab pendapatku.

"Kalian berdua kayak suami istri lagi berantem deh.." tawa Karen.
"Apaan sih" kesalku sambil malas mendorong keranjang belanjaan. Karen hanya tersenyum saja mendengarnya.

"Mendingan lo ama Karen kawin aja deh cepetan. Jangan kayak gue... Punya pacar tapi jadi susah ketemunya. Kalo besok dia gak jadi ikut awas aja.... Kalo lagi oral gue gigit" balas Anggia mendengar celetukan Karen.
"Hahahahaha...." Karen tertawa mendengarnya.
"Nggi ya ampun bahasa..."

Karen bergelayut di lenganku malu-malu. Rambut pendek lucunya ditutupi hoodie warna abu-abu polos, dengan t shirt print khasnya dan skinny jeans. Dipadu dengan ankle boots yang tampak maskulin.

"Nggi mau masuk majalah atau talent iklan nggak?" tanya Karen mendadak sambil mengambil beberapa barang dari shelf di swalayan itu.
"Nggak, males" jawab Anggia sambil memeriksa checklist di handphonenya.
"Serius pasti laku deh..."
"Ogah"
"Kalo mau gue bilangin Mbak Janice..."
"No"
"Lumayan bayarannya loh..."
"Tau kok"
"Makanya yuk..."
"Jadi model buletin gereja yang kayaknya bayarannya aja surga gue aja gak mau" jawabnya asal sambil melihat handphonenya berkali-kali.

"Bilangin tuh ke temen lu...." Karen menarik-narik lengan bajuku.
"Biar aja dia mah"
"Kok ga nyemangatin sih?" cemberut Karen lucu.
"Udah dari jaman kuliah banyak yang nawarin tapi semua digaringin" jawabku.

"Alasannya apaan Nggi? Pasti ada alasannya..." selidik Karen.
"Alasannya gampang. M A L E S"
"Gitu doang?"
"Iya"

Karen cuma geleng-geleng kepala, membayangkan betapa Anggia membuang kesempatan yang mungkin berharga baginya.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

eco-dr10.jpg

"Gue ngantuk, gapapa tidur?" rajuk Rendy di kursi belakang. Jam 3 pagi. Kami berangkat sejam yang lalu ke Bandung. Dua mobil. Di belakang city carku, fortuner Adrian mengikuti dengan gagah. Akhirnya dia jadi ikut dengan kami. Aku bisa agak lega membayangkan Anggia dan Adrian memperbaiki hubungan mereka yang adem panas dan panas adem itu nanti. Setidaknya mereka menempati tenda sendiri.

"Nayla ntar gimana?" tanya Karen.
"Katanya sih ketemu disana aja ntar, ga tau dia dianter paling sama ortunya"
"Coba kita setenda ya?" tangannya memegang tanganku dan menatapku dengan ekspresi lucunya.
"Iri sama mobil belakang ya?" Karen hanya tertawa kecil, lalu membuka jendela sedikit. Dia menyalakan rokok.

"Dan gue gak bakal bebas ngerokok ntar" senyumnya kecut sambil menghisap rokok dalam-dalam. Aku tetap menyetir dalam pelan. Yang kupentingkan sekarang hanyalah menghibur diri bersama orang-orang terdekatku. Aku sudah ada di titik ini, titik yang nyaman untukku. Jauh dari segala badai beberapa minggu lalu. Badai yang membuatku semakin ingin bersama dan melindungi Karen dari segala macam gangguan apapun. Betapa ia selama ini tak terlindungi, rapuh sekaligus kuat, lemah sekaligus tangguh.

----------------------------------------

glampi10.jpg

"Bantuin dong... Jangan gangguin Karen mulu..." ujarku kesal melihat Nayla terus-terusan mengajak Karen untuk selfie. Dan Karen dengan sabar meladeninya.
"Lumayan tau.. Temen-temen kuliah gue pada heboh..."
"Jawaban macam apa itu..." aku lantas merenggut beanie yang Nayla pakai dan melemparkannya ke mukanya, yang disambut oleh tawa semuanya.

Setelah memindah kan barang yang dibutuhkan ke dalam tenda, aku mulai bersantai dengan duduk di kursi taman di dekat tenda kami. Di depanku ada tungku pembakar yang siap dikaryakan malam ini. Rendy sudah duduk di sebelahku dengan popmie di tangannya.

"Buset deh Ren"
"Laper bego di jalan..."
"Kayak yang nyupir aja lo..." tawaku.

----------------------------------------

logo10.jpg

Ternyata Adrian berbakat. Steak bakarannya luar biasa enak. Melihatnya memanggang dan meracik steak seperti melihat chef ternama di televisi. Mukanya tampak tenang ketika sedang masak. Anggia memperhatikannya seakan lupa hubungannya dengan Adrian sedang bermasalah. Nayla terus-terusan lengket kepada Karen. Muka Karen tetap tenang dan stabil meladeni Nayla. Padahal aku tahu di dalam situ, keinginan untuk merokok sudah sangat kuat. Rendy jadi tidak ada kesempatan untuk mengobrol sama sekali dengan Nayla, dan di sisi yang lain pun dia nelangsa melihat kemesraan Anggia dan Adrian. Mereka berdua, walau ada masalah atau tidak, tampak selalu terlihat mesra dan dekat.

Udara yang dingin membuatku membeli rokok kretek, yang memang cocok dengan udara malam ini. Tenda-tenda kami pun tampak dingin. Sungguh berbeda dengan suasana camping biasanya. Glamping tak berasa camping, seperti berasa menginap di outdoor hotel. Kenyang dengan daging, aku beralih mengkonsumsi rokok dan kopi. Aku mengobrol berdua dengan Rendy, sementara yang lain sibuk masing-masing. Adrian dan Anggia tampak kompak di tungku barbeque, dan Nayla terus menempel ke Karen tanpa henti.

"Apa kabar si Val?" tanya Rendy mendadak.
"Baik, tadi abis ngobrol"
"Ngobrolin apaan?"
"Karen"
"Ooo..."
"Dia nanya kabar kalian semua, katanya ga sabar pengen main ke Indonesia lagi"
"Berikutnya ke Jakarta dong"
"Pasti katanya, mau liat keseharian kita kayak apa katanya"

"Ini mah kawin kayaknya men" ujar Rendy melihat Anggia dan Adrian.
"Tapi lo tau kan mereka problematik?" bisikku.
"Iya sih... tapi liat, lengket gitu, masak bareng, dah tinggal tambah anak kecil aja di antara mereka, cocok...." suara yang terdengar patah hati.
"Nayla tuh..." bisikku.
"Susah, kecerewetan... sekali gue ngomong dilibas semuanya... kan bingung" keluh Rendy...

Aku hanya tersenyum sambil membakar rokok lagi.

------------------------------------------

"Babe, keluar deh" pesan singkat dari Karen datang malam itu. Pukul 11. Suasana sudah sangat sepi. Tenda kami tampak tertutup oleh rimbunnya pepohonan yang tersusun rapi di belakangnya. Di depannya ada jalan dan sedikit tempat parkir untuk mobil kami.

Aku keluar dengan tidak sabar. Kami belum sempat bermesraan. Karen sudah menunggu di dekat tungku, dengan rokok di tangan. Parka tebal menyelimuti badannya. Aku tersenyum dan mendekatinya, mencium rambut pendeknya yang lucu.

"Nayla dah tidur?"
"Iya, ngorok lagi... hihihi" senyum Karen.
"Rendy malah belom tidur, katanya lemes liat Anggia nempel gitu ama Adrian"
"Mereka udah baikan?"
"Belom tau... ntar paling tau-tau curhat ke kita ada apaan lagi... Biarin aja deh...."
"Kasian sih dia... Makanya gue tawarin kemaren-kemaren buat sedikit ngeksis..."
"Apa hubungannya emang?"
"gak tau" senyum Karen polos. Karen lalu berdiri dan menggandeng lenganku. "Bosen, masuk-masuk ke hutan-hutanan ini yuk..." rajuknya. Aku mengiyakan, sepertinya suasananya nyaman dan cocok untuk menemani ngobrol sembari merokok.

Kami bergandengan tangan dengan mesra, tanpa suara, hanya api rokok yang menemani kami. Suasana pohon-pohon tinggi yang sejuk, serta semak sepinggang yang membatasi deretan pohon ini dengan dunia luar menyebabkan kami terisolir. Karen pun bersandar pada bahuku, dan terus berjalan.

Mendadak.....

"Keliatan sayang kalo disini..."
"Enggak kok..."
"Dri.. stop, ketauan orang entar..."
"Aku udah gak tahan..."

Aku dan Karen mendengar suara yang familiar. Kami menyelidik. Ternyata Adrian dan Anggia. Kami dengan bodohnya refleks sembunyi di balik salah satu pohon yang besar.

"Keliatan orang nanti...." Adrian tampak tak peduli, dan dia menyerang leher Anggia dengan ciumannya. Cardigan tebal Anggia bukan halangannya untuk meraba-raba tubuhnya yang indah. Tangannya sangat nakal, dan kemudian masuk ke dalam bajunya. Anggia tampak menahan desahan yang sangat terlihat jelas dari ekspresi mukanya. Aku dan Karen melihat mereka dengan muka takjub.

"Dri... jangan... ahh.." Adrian malah menciumi bibir indah Anggia. Anggia tak kuasa menahannya. Dia menyambut ciuman Adrian dan memeluk leher Adrian. Tangan Adrian tetap jahil meraba-raba tubuh Anggia dari dalam pakaiannya. Kami berdua melihat tangan itu merayap menuju kebawah. Ya, menuju daerah kewanitaan Anggia.

"Adri.... Udah yuk di tenda aja..."
"Disini aja... bentar kok..."
"Sayang di tenda aja yuk...." senyum Anggia dengan muka yang tampak sudah sangat bergairah. Mendadak Adrian menurut. Mereka berdua pergi dengan buru-buru.

Aku dan Karen melongo.
"Berani banget..." bisikku.
"Duh gila..."
"Coba kita setenda ya?" bisikku sambil meremas tangan Karen. Kami berdua lantas melanjutkan jalan-jalan malam itu sambil bergandengan tangan. Terdiam berdua, tanpa suara.

Mendadak kami berdua bertatapan. Aku menelan ludah.
"Lo mikir hal yang sama?" tanyaku.
"Iya..."
"Sialan ya"
"Banget"
"Dimana dong?"
"Gak tau... " Karen meremas tanganku erat dan nafasnya mulai agak berat.

Kami celingukan berdua. Gelisah.

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 39

----------------------------------------
glampi10.jpg

Kami bingung mau kemana. Ke tenda impossible. Ke mobil? Pernah dengar mobil goyang? Not for me, walau dulu pernah kulakukan dengan Dian. Di wc umum, jorok. Kami berdua saling berpandangan dengan pikiran kalang kabut di tengah pepohonan tinggi dan teduh malam itu.

Kedua tangan kami berpegangan dengan erat. Suasana sangat tenang malam itu. Tapi kami tahu, isi otak kami sudah blingsatan kemana-mana. Yang bisa kubayangkan di otakku hanyalah tubuh indah Karen yang telanjang bulat, menari-nari di pikiranku. Senyum dan desahnya, serta ekspresi kenikmatannya saat berhubungan seksual. Aku yakin dia pun berpikir hal yang sama denganku. Ditambah lagi udara yang dingin, membuat sesuatu di balik celanaku mengeras dengan tidak karuan.

"Sayang..." bisik Karen.
"Ya?"
"Gimana dong?" Karen tampak mengigit bibirnya sendiri. Kami berpandangan dengan awkward dan bingung.
"Disini?" jawabku asal. Sebuah keputusan yang gila apabila dia menyetujui kami berdua meniru adegan Anggia dan Adrian tadi. Tapi logika sudah mati. Kalau tadi kami berdua saja keberadaannya tidak dideteksi oleh Anggia dan Adrian, maka tidak ada lagi yang bisa mendeteksi kami, pikirku.

Dan di balik pohon itu, kami berciuman. Kami berciuman dengan hangat, berharap pohon pohon lainnya dan semak belukar menghalangi cinta kami terlihat manusia lainnya. Aku memeluknya erat. Bibir kami berdua bergumul, tanpa aturan, karena memang perasaan itu sudah menguasai kami. Kepala kami mau pecah rasanya.

Tanganku bergerak jahil ke belakang tubuhnya. Meraba pantatnya dan meremasnya lembut. Karen tidak bereaksi, dia terus dengan penuh passion menciumi bibirku. Tentunya kami berciuman dengan mata terbuka. Terlalu beresiko apabila ada orang lewat atau apapun yang melewati kami. Ini alam terbuka. Aku tak sabar. Tanganku masuk ke dalam bajunya, mencoba meraba buah dadanya di balik pakaian yang ia kenakan.

"Jangan dilepas" bisiknya. Aku hanya mengangguk pelan dan lanjut menciumi bibirnya sambil meraba buah dadanya.

Tanganku bergerak nakal meremasnya lembut, memberikan rangsangan yang beresiko tinggi kepada Karen. Mendadak dia melepas ciumannya. "Kita harus cepet" bisiknya sambil tersenyum. Aku mengangguk. Karen mendadak berlutut, lalu merapihkan bajunya. Dia melirikku dengan muka nakal, dan melepas celanaku perlahan, menurunkannya sedikit, lalu menyembulkan sesuatu di balik celana dalamku.

Penisku yang berdiri tegak. Karen tampak kaget melihatnya, sekaligus sumringah karena tampaknya aku sudah dipenuhi oleh keinginan itu dari tadi. Lantas ia mulai menciuminya. Dan kemudian mengulumnya dengan gerakan yang cepat, tanpa mengocoknya. Mungkin dia hanya ingin membasahinya sebelum masuk ke menu utama.

Aku menahan setia suara yang mungkin keluar dari mulutku, meminimalisir kecurigaan siapapun. Di satu sisi pemandangan seperti ini sangatlah seksi. Karen berlutut di tengah kumpulan pepohonan yang rindang dan pekat, sedang mengulum penisku. Tidak setiap hari bahkan kita membayangkan skenario seperti ini. Ini terlalu gila dan membingungkan. Dan aku pun takut ada orang yang memergoki hasrat kami yang kebablasan seperti ini.

Karen dengan rajinnya terus mengulum penisku. Bibir lembutnya melingkari penisku dengan nyamannya. Matanya melihatku sambil menyelidik ke berbagai sudut. Waspada. Begitu pula aku. Di tengah kenikmatan seperti ini mataku pun bergerak dengan awas.

Aku berbisik pada Karen. "Ayo...." Karen menurut. Dia melepaskan kulumannya, dan lalu berdiri, menurunkan celana dan celana dalamnya. Matanya tak berhenti memperhatikan sekitar. Kutarik tubuhnya agar punggungnya menghadapku.

Karen meringis. Bukan menahan sakit. Tapi menahan suaranya yang mungkin bisa mendesah kenikmatan saat penisku menghunjam vaginanya perlahan. Situasi yang sungguh aneh. Kami berdua bercinta seperti ini. Pasti permukaan kulit kami yang tidak tertutup pakaian merasakan dingin yang luar biasa. Aku memeluk lembut pinggangnya, dan mencoba menyesuaikan posisiku di belakang tubuhnya. Karen bertumpu ke pohon, sambil mengeluarkan teriakan teriakan tanpa suara. Tidak ada yang senikmat ini. Karen lalu menatap kebelakang, mengangguk pelan memberikan persetujuannya.

Lantas aku mulai. Dengan pelan kugerakkan pantatku maju mundur tanpa suara. Sunyi malam itu membuatku berhati-hati dalam bergerak. Selain suara angin, aku dapat merasakan degup jantung kami berdua yang tidak beraturan. Campuran takut, nafsu, dan berbagai perasaan asing lainnya. Pelan-pelan kami berdua bergerak, berhati hati agar tidak ada tumbukan antara badan kami. Kami berdua saling memberi kenikmatan. Aku tak menyangka Karen di dalam balutan pakaian lengkapnya bisa terlihat lebih seksi daripada telanjang bulat. Jaket parkanya membalut tubuhnya, dengan celana yang turun sampai lutut, membuat adegan persetubuhan ini terasa sangat seksi sekaligus beresiko tinggi.

Bisa kurasakan lubang vaginanya sangat lembab dan sangat siap. Pastilah kondisi seperti ini membuat kami berdua sangat-sangat bernafsu. Adrenalin kami pasti sudah lama memuncak.

Mata kami berdua terus menyisir sekeliling dengan awas, sembari badan kami terus saling memberi kenyamanan dan kenikmatan. Degup jantung yang keras. Kulit yang lembut. Dan semua suasana malam itu terasa sangat mencekam sekaligus menggairahkan. Karen berulang kali memberi ekspresi desahan tertahan. Dia sungguh menikmatinya.

Makin lama kurasakan malah Karen bergerak sendiri, saking terbawa suasananya. Aku yang sekarang kalang kabut untuk menahan gerakannya agar tak mengeluarkan suara suara yang mencurigakan.

"Uhhh....." Karen tampaknya tidak tahan ingin bersuara.

"Sshhh..." aku memperingatkannya.

Karen akhirnya berimprovisasi, dia membungkam mulutnya sendiri. Berusaha menahan sekuat tenaga suara apapun yang keluar dari mulutnya dengan cara mengulum bibirnya keras keras. Jika dilihat sekilas, posisi kami berdua sangat tidak nyaman. Tetapi sensasi seperti ini rasanya luar biasa. Sensasi campuran antara nafsu seksual dan ketakutan, ditambah rasa khawatir, tentunya sangat gila.

Waktu terasa sangat lama disana. Mataku terus menyelidik dari ujung ke ujung, mencurigai setiap suara. Terutama suara angin. Mendadak aku merasakan pergelangan tanganku digenggam oleh Karen. Dia memegangnya erat sekali. Karen tampak dengan frekuensi yang kencang menggoyangkan badannya, menuju ke arah kenikmatan. Genggaman itu makin kencang. Ekspresinya tidak karuan, antara ingin mencapai kenikmatan dan menahan suara apapun keluar.

Genggaman tangannya kencang sekali. Makin lama makin kencang. Dan kemudian dia mengejang pelan, bisa kudengar suara nafasnya memburu. Dia terkulai lemas di punggung pohon besar itu. Tak lama, dia bergegas mencabut penisku dari lubang vaginanya dan memakai celananya. Lalu dia menciumku, dan menggenggam penisku, mengarahkannya jauh-jauh dari tubuh kami.

Dia mulai mengocoknya dengan kencang, sambil menciumiku. Dia tampak buru-buru karena pasti dia tidak ingin kami berdua ketahuan orang.

Aku memegang tubuhnya, memeluknya pelan sambil menciumnya, merasakan gerakan tangannya yang ingin memuaskanku. Mata kami berdua tetap menyelidik, memeriksa keseluruhan permukaan area tersebut. Dan, kemudian aku mengerang tertahan. Spermaku mengalir, tidak deras, namun dia terbebas begitu saja ke alam lepas. Karen berhati-hati agar tidak ada yang mengenai tangannya maupun badan dan pakaian kami. Dengan sedikit jorok aku lantas memakai kembali celanaku, tesenyum nakal ke arah Karen.

Karen tersenyum, lalu mencium pipiku mesra saat aku membetulkan celanaku. Malam yang gila. Kami langsung berjalan bergandengan menuju area tenda kembali. Meninggalkan memori yang menegangkan di tempat itu.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

glampi10.jpg

Pukul 7 pagi.

Aku bangun dengan perasaan nyaman. Matahari pagi menerpa mukaku saat kubuka tendaku, dan mendapati Anggia dan Rendy yang sedang mengobrol di depan tungku barbeque. Wajah mereka berdua sumringah, menandakan suasana baik datang hari ini. Nayla dan Karen mungkin masih tidur. Adrian entah kemana.

"Adrian mana?" tanyaku sambil bergegas membuat kopi.
"Masih bobo..." jawab Anggia geli.
"Kok muka lu gitu?" tanyaku.
"Iya dong"
"Ah udah tau gue ada apa semalem, lo gak usah cerita ya Nggi...." Anggia hanya berseri-seri.
"Karenmu masih tidur?" tanya Anggia santai sambil duduk di kursi taman, menyeruput kopi instan di tengah pagi yang dingin.
"Masih kayaknya"
"Sayang kalian beda tenda ya...." celetuk Anggia. Aku hanya meringis, membayangkan adegan gila semalam.

"Udah dua tahunan sejak lo galau" lanjut Anggia.
"Hoi Nggi" sela Rendy, dengan popmienya.
"Gapapa, gue udah banyak berubah sekarang" senyumku hangat.
"Udah bisa dibilang sejak kita ke bali akhir taun kemaren, kepala gue plong, gue emang gak bisa lupa soal hal-hal enak di masa lalu, cuman gue pengen moving forward, mending gue moving forward ke arah yang gue nyaman. Percuma juga kalo gue berusaha lupain sampe kayak orang bego jaman dulu, sampe ngelukain orang juga.... Dan gue gak akan gitu lagi, supaya gak ngelukain orang lain yang gue sayang sekarang..." mataku melirik ke arah tenda Karen dan Nayla.

Aku mendekat ke mereka. Melakukan toast, dengan dua gelas kopi dan satu cup pop mie. Siapapun yang mewarnai hatiku, mereka berdua selalu ada bersamaku. Anggia dan Rendy.

"Tapi makin kesini makin siang aja ngantor lo" tawa Anggia.
"ah yang penting kerjaan beres" balasku sambil menatap rokok yang akan kubakar.
"Jangan kebablasan tapi, inget lo belom jadi suami siapa-siapa"
"Iya Nggi"

----------------------------------------

"Selfie buat kirim ke siapa?" tanya Karen, heran karena aku mengajaknya selfie berdua, dan dia bertanya untuk apa. "Buat ke temen gue"
"Oh yang orang amrik itu ya?"
"Iya" jawabku pelan.

Aku lantas berpindah ke media sosial.
"Your girl's so cute!" pesan dari Val, mengomentari foto yang kami kirim.
"Thanks" jawabku ringan.

Sebelumnya obrolan kami berdua seputar kepusingannya, karena dia lanjut mengambil clinical studies, supaya dia dapat praktek sebagai psikolog profesional. Dan banyak pernyataan dia yang mengajakku dan teman-temanku untuk mengunjungi Ann Arbor, tempat dia tinggal sekaligus kuliah di Michigan. Mungkin suatu hari nanti, karena biayanya tentu sangat besar.

"Oo... dia minta dikunjungin kesana?" selidik Karen sambil melihat laman medsosku.
"Iya"
"Ayo" seru Karen.
"Haha... ga ada duit sebanyak itu..." senyumku. Karen hanya menjulurkan lidahnya sambil berlalu mengangkut barang-barang kembali ke mobil.

----------------------------------------

eco-dr10.jpg

Nasib menjadi supir. Karen tertidur di kursi penumpang. Rendy tertidur di belakangku. Nayla tertidur di belakang Karen. Mereka ngorok bersahut-sahutan. Aku tersenyum siang itu, melihat mereka semua dan mengingat Anggia. Anggia dan Adrian. Entah kemana mobil mereka. Mungkin sudah lebih dulu ataupun lebih lambat. Aku berharap yang terbaik untuk mereka, apakah lanjut atau berpisah, yang manapun yang lebih membahagiakan untuk mereka.

Dua tahun sudah berlalu sejak kejadian itu. Sejak berpisahnya aku dan Dian. Baru kali ini lagi kurasakan hatiku penuh. Penuh karena aku bisa melewati halangan terberat sejauh ini dengan Karen. Penuh karena Rendy dan Anggia benar-benar teman sejatiku.

"Hei, gak ngantuk?" celetuk Karen dengan mata setengah terbuka.
"Lumayan sih, abis curang kalian pada tidur kayak gitu"
"Mau disetelin lagu?"
"Jangan, ntar belakang pada bangun"
"Hehe... Eh berarti malem ini gak ke tempat gue kan?" bisiknya pelan.
"Iya..." balasku sambil melirik ke arah Nayla.
"Yah...." cemberut Karen. Mukanya ditekuk dengan ekspresi kekanak kanakan. Aku hanya tersenyum sambil menepuk kepalanya.

"Coba kita gak ada batasan lagi...." sedihnya.
"Itu nikah namanya...."

"EH KALIAN MAU NIKAH???" suara yang mengagetkan terdengar dari belakang. Nayla.
"Apaan sih, gak ngomongin itu kok....."
"Serius kalo kalian nikah... Gue sodaraan ama Karen!" Nayla tidak menghiraukan omonganku. Karen hanya tertawa kecil melihat kepolosan Nayla. Sedangkan Rendy masih akrab dengan dewa ngantuk. Mukanya terlihat tidak karuan.

"Serius jadiin laaah yaaaa kaaaaak" rajuk Nayla.
"Nayla emang lo pikir nikah itu gampang?"
"Plissss"
"Nay...."
"Plisss"
"Nay...."
"Pliss"
"Nay"
"Plis?" suara terakhirnya keluar dengan muka bodohnya. Aku hanya menekuk mukaku. Karen tertawa tanpa suara, lalu menggenggam tanganku mesra.

"Masih jauh lah ya dari itu... Kita jalanin dulu aja.." bisik Karen ke Nayla dengan muka sumringah.

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 44

----------------------------------------
kamar-10.jpg

Akhirnya tenang. Setelah hiruk pikuk membahagiakan sabtu dan pagi tadi. Sore ini aku dapat menutup mata. Bau rokok dari kasurku, dan empuknya kasur ini, mewarnai soreku. Iya, tumben malam ini aku tidak menginap di tempat Karen atau dia menginap di tempatku. Karena keberadaan Nayla yang akan menginap disini, jadi kami berdua berpikir tidak nginep-nginepan sejenak untuk menjaga image kami di mata Nayla. Nanti jadi gosip, dan terlalu banyak resiko lainnya karena Nayla juga keluarga. Kupikir, menjaga perasaan keluargaku itu wajib. Jadi sekarang aku ada disini, setengah tidur, terlalu capek sampai koordinasi mata dan badanku tak karuan.

Sungguh nyaman sore ini, dan aku tenggelam dalam kantukku. Apalagi hubunganku dengan Karen sudah semakin dekat, dan lekat. Aku tak ingin melepasnya. Seperti aku tak ingin melepas pelukanku sekarang.

Tunggu.

"Lo ngapain?" kagetku saat membuka mata dan menemukan kaki Nayla ada dalam pelukanku.
"Hmm? Main hape aja, terus kakak tiba-tiba meluk kaki gue"
"Kok di kasur gue?"
"Emangnya ga boleh?"
"Kok gak bilang-bilang?"
"Gimana caranya gue bilang ke orang yang lagi tidur?"

Aku hanya menunjukkan muka kesal sambil berputar ke arah lain. "Lo pake baju gimana sih, ada orang lain lho di apartemen ini"
"Mas Rendy?"
"Iya"
"Ah dia mah udah bukan orang lain kali..."

Aku tak bisa membayangkan reaksi Rendy sesorean dan semalaman nanti melihat Nayla. Pakaiannya yang super minim, memang biasa untuk ukuran rumahan, tapi kan disini ada orang selain saudara. Tank top dan hot pants. Tampaknya seluruh organ seksnya akan menyembul keluar. Aku hanya berharap Rendy lebih kuat dari yang kubayangkan.

Atau tidak. Setidaknya itu yang terlihat di mataku malam ini. Sambil menunggu makanan delivery datang, aku merokok di meja makan, memeriksa handphone. Tak ada pesan apapun dari Karen. Tampaknya dia sudah tertidur dengan pulas. Rendy sedang berusaha membereskan pekerjaannya di sofa, dengan laptopnya. Nayla ada di sebelahnya, sambil mengulum permen dengan manjanya.

"Ngapain sih Mas Rendy?"
"Kerja..."
"Kerjain apaan?"
"Ini ada perusahaan bikin video company profile"
"apaan tuh?"
"Jadi portofolio mereka, sejarah mereka, visi misi, dan lain lain dalam bentuk video"
"Susah gak bikinnya?"
"Kalo gampang mah gak perlu orang buat ngedit hehehehe...."
"Coba liat"
"Eh jangan kepencet itu tombolnya"
"Eh maaf"

Rendy panik, antara tidak konsen oleh gerakan Nayla. Atau pandangannya yang terganggu oleh tubuh Nayla yang tampak sangat jelas di sebelahnya.

"Ngerjain apa aja selain ginian?" tanya Nayla lagi, sambil memutar-mutar permen lolipopnya di bibirnya. Rendy tampak tidak konsentrasi, menelan ludah.

"Emm... film, video klip, iklan, apa lagi ya?"
"Kenal Mbak Karen berarti dari kerjaan?"
"Bukan sih..."
"Terus? Mas Rendy keliatannya kayak gak banyak kenal ama cewek"
"Hus... jangan gitu, temen ceweknya dia banyak" selaku sambil menghisap rokok.

"Ooo... terus darimana?" selidik Nayla.
"Temennya temen dia tadinya"
"Ooo kok jauh gitu?"
"Ya gitu deh"
"Gimana rasanya temenan sama artis?"
"Eh? Kan bisa dibilang lahan kerjaannya mirip, cuman beda spesifikasi aja"
"Maksudnya gimana?"
"Ya dia orang di depan layar, gue di belakang layar"
"Pernah kerja bareng dia?"
"Kan udah dibilang belum"
"Oh iya..."

Nayla lalu malah menaikkan kakinya, dan merayap ke arah Rendy.

"Itu diapain sih ngeditnya?"
"Dipotong-potong gitu"
"Apanya?"
"Videonya"
"Gak sayang?"
"Biar animasinya singkron ama lagunya"
"Emang bakal ditayangin dimana"
"Bisa di web, yutub, terserah mereka"
"Kok terserah?"
"Ya gimana kan ini punya mereka"
"Aneh"
"...."

Aku hanya bisa menahan tertawa melihatnya.

"Mas Rendy gak punya pacar?"
"Belum"
"Sibuk kerja?"
"Gak juga"
"Dia cuma ngejar satu orang Nay dari dulu" selaku sambil senyum.
"Siapa?"
"Anggia"

"Woooohhh" kaget Nayla
"Men... atuhlah..." Rendy tampak kesal mendengar pernyataanku.
"Itu yang kemaren sama suaminya?" tanyanya ke Rendy.
"Itu pacarnya"
"Kok setenda?"
"Biarin aja udah gede"
"Ih cemburu yaaa" senyum Nayla lebar ke Rendy.
"Enggak ih" kesal Rendy.
"Itu yang temen kakak dari kuliah juga kan?"
"Iya" jawabku pelan.

"Mas Rendy kasian ya jomblo" Nayla menepuk pundaknya. Rendy berusaha menghindar.
"...."
"Mudah-mudahan cepet dapat pacar ya" lanjut Nayla dengan muka polos.

Dan pertahanan diri Rendy hancur dan luluh lantak malam itu. Aku menahan ketawa sedari tadi. Oh Tuhan, lucu sekali.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

desain10.jpg

"Lo dimana?" tanya Rendy di media sosial.
"Sekarang?"
"Kapan lagi?"
"Ini masih sore... di Kantor lah"
"Anaknya Mbak Mayang panas banget... Coba lo di rumah, bisa pinjem mobil lo buat bawa ke rumah sakit"
"Dah nyobain pake taksi?"
"Si Nayla lagi nyari taksi di bawah, udah lama ga ada kabar dia"
"Bentar"

Aku bergegas menelpon Nayla.
"Nay, lo dimana?"
"Lagi nyari taksi"
"Dah dapet?"
"Belom"
"Nyari taksinya dimana emang?"
"Nunggu di Lobby apartemen"
"Nay... plis deh... Jalan jauhan dikit napa ke pinggir jalan"
"Gue cuma pake baju rumahan...."
"What the.... "
"Iya kan malu kalo ke pinggir jalan"
"Kok gak ganti baju dulu....."
"Buru-buru..."
"Lo kan udah umur 23, bukan bocah lagi............."
"Aduuuh..."
"Udah, pesen pake uber aja, naik keatas lagi..."
"Gak ada Uber..."
"Gue pesenin deh ya... "
"Iya kak.. buruan.."

Akhirnya aku memesankan taksi online untuk mereka. Bisa gila aku membayangkan sosok Nayla dengan pakaian minim dan organ seks sekunder yang kemana-mana jadi bahan penglihatan orang banyak.

----------------------------------------

007px710.jpg

"Anaknya Mbak Mayang sakit?"
"Iya... Kasian tu anak" jawabku sambil menghisap rokok dalam-dalam.
"Terus gimana?" tanya Karen.
"Udah dibawa ke RS tadi sore, dirawat katanya, gue belom denger lagi kabar dari mereka..."
"Oo..." Karen merespon sambil mengunyah makanannya.

Suasana malam itu di Setiabudi Building sangat mendukung malam ini. Kami makan berdua, benar-benar menikmati malam itu. Sepertinya malam itu hanya ada aku dan dirinya di tempat makan itu. Padahal ini cuma restoran fastfood, di area smokingnya.

"Lo jangan ngerokok terus dong..."
"Pengen ya?" ledekku. Karen cuma mengangguk manja. "Ayo kalo mau" aku menggodanya. Dia lalu cuek dan beralih ke handphonenya.

"Lusa ada talk show nih malem... live..."
"Oh, gue nonton deh ntar di rumah"
"Ga usah, malesin, pertanyaannya pasti banyak yang gak mutu"
"Bukannya pasti ngomongin film yang kemaren?"
"Pasti yang banyak ditanya-tanya soal hal pribadi"
"Oh..."
"Yah.... Another sampah lah..." Karen menghela nafas.

----------------------------------------

kamar-10.jpg

"Eh baru balik?" Nayla menyambutku di pintu apartemen. Pukul 12 malam.
"Iya..."
"Abis pacaran pasti..."
"Emang ngapain lagi?"
"Bikin iri aja...."
"Cari pacar dong makanya...."

"Lo kapan ke Bandung lagi?" Tanyaku.
"Besok, abis interview yang terakhir"
"Oh..."

Aku lantas duduk di meja makan, sambil merokok dan memeriksa handphoneku. Ucapan-ucapan manja dan kangen dari Karen mewarnai media sosialku. Bagaimana aku bisa hidup tanpanya, senyumku dalam hati. Mendadak Rendy merayap ke arahku dengan muka takut-takut.

"Tadi kan ke RS ya"
"Eh, iya, gimana anaknya Mbak Mayang?"
"Dirawat sih sekarang... tapi gini"
"Gini apaan? Mau ngomong apa sih Ren?"
"Anu tadi gue..."
"Apaan?"
"Ketemu..."
"Siapa?"
"Si itu...."
"Apaan sih yang jelas dong kalo ngomong..."
"Papasan sama Dian..."
"Terus?"
"Ya.. ngobrol sebentar..."
"Ngobrolin apa?"
"Cuma kabar sih..... "
"Oh, terus?"

Aku bingung kenapa harus seperti ini Rendy mengajakku bicara.

"Enggak gapapa gitu?"
"Apanya yang gapapa ren?"
"Gue ngomong ke elo gini?"
"Ini kan gue gak papa sekarang..."
"Oh gitu..."
"Terus apa lagi?"
"Cuma nanya-nanya kabar doang... Emm... Dia agak beda sih, sekarang rambutnya panjangan dikit..."
"Terus?"
"Sisanya masih sama..."
"Ya... gimana ya... gue gak tau apa yang bikin lo tiba-tiba ngobrolin ini sama gue Ren.." bingungku ke Rendy.
"Enggak, gue cuma pengen tau lo beneran move on apa enggak, dan kalo misal mau nengok anaknya Mbak Mayang, biar ati-ati aja..." lanjut Rendy panjang.
"Ah, paling besok dah keluar kan anaknya, santai aja..."

Rasanya mungkin tidak enak, tapi aku pikir ini memang bagian dari hidup. Tidak setiap saat kita nyaman, dan tidak setiap saat juga kita nanti bisa memilih untuk bertemu dengan siapa di jalan, tanpa kita sadari. Mungkin tiba saatnya nanti, ketika aku bertemu dengan Dian, yang ada bukanlah perasaan takut atau galau. Tapi perasaan biasa seperti hari ini, saat aku mendengar kabarnya. Karena hatiku yang kosong dulu kini telah terisi.

----------------------------------------

Aku sudah anteng di depan televisi. Jam 10 malam. Kata Karen, mendingan tidak usah ditonton. Tapi aku penasaran. Aku ingin melihat dirinya di layar kaca, persis sebelum dulu aku mengenalnya. Sudah lama pula aku tidak menikmati acara televisi lokal, karena aku memang sangat mengandalkan tv kabel untuk menghiburku.

Acaranya sudah dimulai. Aku menonton dengan geli, mendegar lawakan-lawakan yang lucu dan garing dari host di televisi. Kunyalakan rokok dan membuat kopi, sambil menunggu kemunculan Karen di televisi.

"Karen Natamiharja"

Ini dia. Aku geli melihatnya. Sosoknya dibalut dengan dress berwarna biru tua, dengan cardigan berwarna oranye, ditemani high heels yang berwarna serasi. Jauh sekali dengan pakaiannya sehari-hari yang didominasi oleh t-shirt, jaket dan jeans. Tampangnya sangat manis, menyambut lawakan-lawakan yang lucu maupun tidak lucu dengan tawa yang renyah, keramahan dan tawa yang sudah diprogram.

"Jadi katanya Karen sudah punya pacar baru ya?" tanya hostnya jahil.
"Iya nih.." senyum Karen.
"Bisa diceritain pacarnya kayak apa?"
"Yang pasti dia bisa ngelindungin aku" senyumnya.
"Jadi gak bakal gonta-ganti pacar kayak dulu ya?" aku menelan ludah mendengar pertanyaannya.
"Ahahaha... doain aja enggak" senyum Karen teratur.

"Karen kan dulu main sinetron, sekarang pindah ke layar lebar, bedanya apa sih?"
"Yang pasti dari proses syutingnya udah beda, dan kalau di layar lebar, dengan waktu main yang lebih sedikit, kita harus lebih fokus untuk ngehidupin karakter kita dengan waktu film yang cuma dua jam itu..." jawabnya dengan senyum.
"Tapi duitnya gedean sinetron dong?"
"Hahaha... rejeki mah ada aja pasti"
"Pantesan jadi banyak ke majalah lagi ya?"
"Ah kalo itu sih emang fun kalo di majalah, kita gak usah peran jadi orang lain soalnya" jawab Karen cerdas.

Dan iklan pun tayang. Aku membayangkan kalau jadi Karen dengan pertanyaan-pertanyaan semacam itu, pasti aku sudah stress. Aku akhirnya memberi pesan singkat ke Karen.

"Gue lagi nonton elo nih... <3"

Dan tapi tidak ada jawaban, sampai akhirnya acara pun kembali on air. Dan bintang tamu kedua muncul. Seorang aktris perempuan yang kurang begitu terkenal, dan baru akan debut di salah satu film layar lebar lainnya. Tampak sedikit akrab dengan karen, tapi interaksi diantara mereka berdua tampak sangat artifisial. Tampak seperti akrab, tapi aku bisa melihat kepalsuan. Pertanyaan-pertanyaan, lawakan, lalu musik mengalir dengan biasa saja.

Aku dengan bosan menunggu jawaban balik, dan kutonton acara yang sebenarnya membosankan itu sampai selesai. Tak sabar aku ingin segera mengobrol dengan Karen.

"Parah"
"Kenapa sayang?"
"Bintang tamu yang lain itu cewek yang pernah ngejar-ngejar Ramses"
"Terus?"
"Dia sinis gitu sama semua orang yang pernah deket ama tu cowok sialan.... Ni orang kok jadi gue yang dijudesin, kayak sengaja bikin gue gak nyaman gitu..."
"Biarin aja..."
"Gimana caranya gue biarin kalo dia ada di depan gue... terus sinis-sinisin gue mulu kalo off air..."
"Wah parah"
"Jir, pedes banget ngomongnya.... Kalo gue elo udah gue tampol kali yak"
"Apaan emang?"
"Tiba-tiba bilang gue pacaran ama bukan seleb karena gue ngejar duit yang lebih stabil.... Emangnya elo tajir melilit?"
"Loh kok aneh gitu?"

"Emang aneh orangnya...." keluh Karen.
"Lo gimana? mau gue jemput aja?" tanyaku
"Gue ama Mbak Janice..."
"Mau gue samperin ke apartemen ntar?"
"Ga usah... Ada Nayla kan?"
"Dah balik"
"Terserah, jangan ampe repot tapi"
"Yaudah sampe ketemu di apartemen.... Nanti kabarin kalo udah jalan balik dari sana"

"Gak repot beneran?"
"Iya"
"Thanks, gue butuh elo sebenernya di saat-saat ada gangguan orang aneh kayak gini..."

----------------------------------------

eco-dr10.jpg

Jam 12 malam. Aku menyetir dengan pelan dan kantuk ke arah apartemen Karen. Pasti dia membutuhkanku setelah lelahnya. Aku harap kehadiranku berarti.

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 45

----------------------------------------
62234_10.jpg

"Lo dimana? Kok gak ada yang bukain?" aku sudah tiba di apartemen Karen sejak lima menit yang lalu. Sudah berapa kali kuketuk pintu, namun tidak ada tanda-tanda kehidupan di dalamnya. Dengan tak sabar aku menunggu, berusaha menelponnya, tapi tidak diangkat. Pada akhirnya aku mengirim pesan singkat seperti di atas tadi.

"Eh sori... gue dibawah, di kolam renang"
"Berenang?"
"Iya"
"Tengah malem gini?"
"Bikin hati tenang tau..."

Setelah menerima balasan darinya, maka aku kembali menaiki lift menuju kolam renang, di lantai podium. Kolam renang yang tidak terlalu besar, namun teduh dan sejuk, dirindangi oleh beberapa pohon dan dikelilingi oleh kursi-kursi malas yang mengundang untuk diduduki.

"Hei..." sapa Karen yang sedang berada di dalam kolam. Bisa kulihat baju renang one piecenya yang berwarna hitam membalut tubuhnya yang indah dari atas sini. Aku mendekatinya dan duduk di kursi malas didekatnya.

"Masuk yuk sini temenin gue" ajak Karen.
"Gue gak bawa baju renang"
"Udah masuk aja..." senyumnya tipis, dengan muka penat.
"Dingin lagian"
"Kita bikin anget" ekspresi mukanya terlihat jahil.
"Enggak ah"

Dan aku membakar rokokku sambil bersender nyaman di kursi malas. Aku memperhatikan langit yang termakan oleh polusi cahaya dan sosok Karen yang sedang mondar mandir di kolam renang.

"Aduh" kagetku saat air mengenaiku. Karen. Dengan jahil ia menyiramkan air dengan tangannya ke arahku.

"Ayo....." dan akhirnya aku menyerah. Aku melucuti bajuku, menyisakan celana dalam, lalu meloncat ke dalam kolam. Dingin. Tapi tak lama kemudian setelah aku meluncur, rasa tenang itu muncul. Di dalam air, hiruk pikuk kota tak terdengar. Kita hanya bisa mendengar pikiran kita sendiri dan kita memiliki waktu untuk berpikir kosong. Kosong dan hampa, hingga Karen sengaja menabrakku pelan. Aku kaget dan berenang ke pinggir. Karen menyusulku dan menempel pada diriku.

"Rajin amat udah malem gini ngapel"
"Kangen soalnya, gimana tadi?"
"Nevermind, orang-orang aneh macem cewek tadi mah banyak banget di dunia gue..." jawabnya.

Ketika dia akan meluncur lagi, aku menahannya dengan memegang tangannya. Ingatanku terlempar ke lokasi glamping. Karen kaget namun tersenyum, lantas mendekatiku dan mencium pelan bibirku. Dia lantas tersenyum. Aku mengelus rambutnya yang basah.

"Sebenernya lo ga nyamperin juga gapapa... Tapi makasih udah dateng" bisik Karen. Aku membalasnya dengan memeluknya dan menciuminya di dalam kolam renang itu. Entah kenapa, suasana yang dingin dan tenang tanpa suara malah membuat kami jadi semakin panas berciuman. Tak terasa badannya terus menempel, dan badan kami berdua bersinggungan dengan panasnya.

"Bentar, disini?" bisik Karen dalam senyum manisnya.
"Kayaknya enggak"
"Ke atas?"
"Kelamaan"

Mata kami berdua menyelidik. Hingga mata kami tertuju ke shower booth yang ada disana. Tiga shower booth tertutup yang berjejer. Aku menelan ludah dan menatap Karen. Dia tersenyum tipis dan ekspresinya berubah menjadi jahil. Ide gila kami kembali muncul. Aku menggandengnya dan bergegas naik ke pinggir kolam. Setelah memastikan tidak ada orang di sekitar kami, aku dan Karen berjalan pelan ke dalam shower booth itu. Kami sengaja tidak menyalakan lampunya, agar jika ada orang lewat, mereka tidak curiga akan aktivitas apapun di dalamnya.

Aku dan Karen sudah di dalam, dan kami berciuman dengan panas. Tanganku dengan tidak sabar meraba buah dadanua dengan lembut, memberinya kehangatan ke tubuhnya yang basah. Dalam kegelapan kami berdiri dibawah shower dan saling mencium. Badan basah kami berdua berpelukan, sangat erat, dan rasanya gairah kami berdua sungguh terasa. Aku berusaha menurunkan strap baju renang Karen, dan dia membantuku dengan pasrah membiarkanku menurunkannya.

Buah dada yang proporsional dan lembut itu menyembul, membangkitkan nafsu birahi siapapun yang melihatnya. Dengan pelan dan penuh cinta kuciumin kulit basahnya, menjelajah dan kemudian menciumi putingnya. Karen bersender ke dinding, menikmati stimulasiku. Sambil kuciumi, kuremas lembut buah dadanya. "Uhh..." Karen mendesah pelan, menggigit bibirnya, perlahan merasakan stimulasi luar biasa yang dia nikmati.

Tanganku merambah ke bawah, meraba daerah kewanitaannya, menggesekannya dengan jariku lembut. Sementara bibirku masih melahap kedua buah dadanya yang indah. Kulitnya terasa begitu lembut di bibirku, memberikan kesan yang sangat mendalam, juga perasaan tenang yang memabukkanku. Aku melepas bibirku dan mencium bibirnya dengan dalam. Dingin yang kami rasakan terusir. Tak jarang tubuh basahnya sedikit menggelinjang karena stimulasi yang kuberikan lewat tanganku.

Karen mulai beraksi dengan mencoba melepas celana dalamku. Setelah berhasil, ia lalu meremas kemaluanku dengan lembut, memegang batangnya, lalu mengocoknya perlahan. Sementara kami terus berciuman dengan mesranya.

Aku menyingkap baju renangnya, merasakan kelembaban di bibir vaginanya. Aku menciumi lehernya, merasakan leher dan nafasnya yang berat, detak jantungnya dan aliran darah yang mengalir kencang didalam tubuhnya. Aku turun, berlutut, berusaha menyingkap pahanya dan memainkan lidahku di sekitar lubang kemaluannya.

"Mmmhhhh...." Karen meremas rambutku kencang saat dia merasakan kenikmatan menjalar dari lidahku, memasuki area kewanitaannya dan menjalar ke tubuhnya. Aku menjelajahinya. Tanganku memeluk kakinya, merasakan badannya yang menegang dan tengah menjalani kenikmatan.

"Sayang..." bisiknya. Aku meliriknya, dan dia mengangguk padaku. Aku terduduk di lantai dingin itu, dan Karen duduk di pangkuanku. Dia kembali menyingkap bagian bawah baju renangnya, agar aku bisa dengan leluasa masuk ke dalam tubuhnya. Perlahan penisku merayap kedalam, diiringi oleh gigitan lembutnya di bibirku. Karen lalu merintuh tertahan ketika penisku masuk.

Dengan perlahan ia menggerakkan pantatnya naik turun, sementara aku menciuminya dan memainkan putingnya dengan tanganku. Dia tampak sangat menjiwainya. Aku merasakan denyutan jantungnya saat dinding rahimnya menjepit perlahan kemaluanku. Bibirnya terus beradu dengan bibirku, saling mentransfer rasa kasih sayang. Tangannta memeluk leherku mesra, memasrahkan dirinya pada diriku.

Dalam kegelapan kami bergumul, ditemani sepinya malam dan suara raungan kendaraan di jalanan.

Aku meremas pelan pantatnya, mencoba mengangkat tubuhnya. Karen lalu bertumpu pada kakinya dan mencoba menyandarkan dirinya ke dinding. Aku menggaulinya dengan posisi berdiri yang tampak tidak nyaman, tapi sangat menggairahkan. Karen pasrah dan menyerahkan dirinya ke dalam dinginnya dinding shower booth itu. Sementara aku bergerak aktif menggaulinya sambil berdiri. Dia menahan satu kakinya dengan tangannya, memberikan jalan yang leluasa bagiku dan penisku.

"Pegel..." senyumnya lucu sambil berbisik. Aku lentas mencabut penisku dan mencoba menuntunnya. Karen bersimpuh di lantai keramik yang dingin, mengarahkan bagian belakangnya ke diriku. Dia lantas bertumpu pada semua tungkainya, memintaku menggaulinya dari belakang. Aku meraih pinggangnya dan menyingkap pakaian renangnya. Perlahan penisku kembali masuk, diiringi oleh badannya yang menegang.

Walau posisi ini sama sekali tidak intim, namun stimulasi dan efeknya luar biasa. Karen tampak menikmatinya ketika aku menggerakkan pantatku maju mundur, merasakan seluruh organ tubuhnya.

Aku bisa merasakan badannya sangat menikmati posisi itu. Posisi yang mereka sebut doggy style. Dalam ruangan shower booth yang sempit itu, aku menggauli Karen. Bisa kurasakan gelinjang-gelinjang kecilnya dan rintihan tanpa suaranya. Mengerang, mendesah, dan menikmati dalam diam. Aku hampir tidak tahan. Badan Karen mendadak bergoyang sendiri, mulai menuju puncak. Bisa kurasakan otot rahimnya berkontraksi, seakan meminta penisku bergerak lebuh cepat dan lebih ganas. Hal yang sulit, mengingat kami harus melakukannya tanpa suara.

Karen menegang, entah karena dingin atau karena nikmat, tapi aku sedang berjuang dengan luar biasa agar menahan ledakan itu, supaya tidak keluar sebelum waktu yang kuinginkan.

"Mmmhhh.... Nngghh..." Karen makin liar. Sesaat kemudian kurasakan getaran tubuhnya, yang menjalar dari bagian kewanitaan ke seluruh tubuhnya. Tapi aku tak menghentikannya ketika tubuhnya mulai lunglai. Aku meneruskannya, mencoba membiarkan ledakan itu datang. Karen terus bertahan di posisi yang sama, mencoba memberikanku kenikmatan.

Sebentar lagi. Aku meremas pelan pantatnya dan bergerak makin kencang. This is so good. Dan dengan serta merta aku mencabut penisku. Dan keluarlah ledakan itu, menetes ke lantai yang dingin. Karen tak lama kemudian meraihku, menciumku dalam di tengah malam yang gelap.

Lagi-lagi kami merasakan kenikmatan yang luar biasa dan menegangkan.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

Aku mendapati Karen meringkuk di sebelahku tanpa busana. Aku menatapnya dengan lega. Aku mencium pipinya dan dibalas dengan senyuman tipis dari dirinya yang setengah tidur.

"Gak ke kantor sayang?" bisiknya.
"Bakal kok"
"Jam nya..."

Dan aku kaget. Jam 11 siang. Sudah berapa lama aku tertidur? Aku bangkit dengan kaget. Dengan terburu-buru aku masuk ke dalam kamar mandi dan segera bersiap siap.

----------------------------------------

desain10.jpg

Mata para juniorku menatapku, bingung kenapa aku datang sesiang itu. Pukul 1 siang. Perutku lapar tidak karuan, sungguh tidak nyaman rasanya. Keringat membasahi dahiku, dan pandangan pandangan menyelidik mereka membuatku tidak nyaman.

Anggia masuk dan memanggilku. "Oi, dipanggil Mbak Vania tuh.."
"Bentar" aku bergegas, dan dengan terburu-buru masuk ke ruangannya.

Dia melihatiku dengan muka heran.
"Gak salah nih?"
"Apanya mbak?"
"Jam segini... Kok bisa?"
"Maaf Mbak... Ketiduran..."
"Nggak kamu banget ketiduran.." tampangnya bingung melihatku. Dia tampak menyelidik. "Tumben lho, bukannya gue mau marahin elo, cuma penasaran aja pas tadi lo wassap gue bilang maaf mbak bakal telat... Lo yang gue kenal gak biasanya telat..."

"Iya nih..."
"Yaudah, sana kerja, jangan ketiduran lagi, kan gak enak ama junior lu kan?"
"Iya mbak....." dan aku berlalu dari hadapannya, kembali duduk di mejaku dan kembali mengakrabi pekerjaan dengan kaget.

----------------------------------------

Sore itu aku dengan lemas duduk di teras kantor, sambil melihat kemacetan yang menggila. Kubakar rokok dengan enggan, tak sadar dengan kehadiran Anggia di sebelahku.

"Akhir-akhir ini emang lo makin siang sih ngantornya, biasa jam 10 dah ada, sekarang jam 11. Setengah 12... Tapi tadi gokil sih...."
"Yah gitu deh..." balasku.
"Semalem emang ngapain?"
"Gak ngapa ngapain kok..."
"Boong, pasti tidur bareng Karen terus kecapean" tebak Anggia. Aku hanya menghela nafas.

"Mungkin bukan urusan gue, tapi lo kayaknya ga tiap hari juga sih nginep di tempat dia..." lanjut Anggia. "Bukan apa-apa, selain lebih jauh dari kantor, lo nya juga capek kan, dan maaf... Kalo digeber gitu gimana lo gak capek?"

"Gakpapa lah Nggi... I can manage..." jawabku.
"Kerjaan gimana?"
"Gapapa juga, masih kehandle"
"Bukannya lo ada freelance juga?"
"Banyak yang udah beres dan gw lagi gak ngambil dulu"
"Oh..."

Aku menghela nafas kembali dan kembali ke kelelahanku. Aku lantas membuka handphoneku, dan mencari nama Karen.

"Ntar siapa yang ke siapa?"
"Eh... Sori lupa ngabarin, gue ada acara, pembukaan restorannya temen gue di radio dalam situ...."
"Mau ditemenin?"
"Nah masalahnya ini girls only cocktail party... Lo pulang aja deh, kalo gue ga ngantuk/mabok gue samperin oke?"
"Ok"

Aku menghela nafas, dan kembali memperhatikan jalanan. Tampaknya aku harus pulang kantor agak malam nanti. Selain menunggu kabar dari Karen, aku harus menyelesaikan pekerjaan yang terbengkalai karena aku datang terlambat hari ini.

----------------------------------------

Aku gusar. Sudah pukul setengah 11 malam tapi tidak ada kabar dari Karen. Ingin aku menelonnya. Tapi terkesan needy. Aku sendirian di kantor yang sepi itu. Pekerjaan sudah mau selesai, aku memeriksa design dan concept dari anak-anak yang sudah masuk. Akan ada pameran buku yang lumayan besar di Jakarta beberapa bulan lagi. Sebulan lagi design banner, signage, dan semuanya harus naik cetak. Pekerjaan ini tidak boleh terlambat. Ditambah lagi aku akan ke Singapura lagi dengan Anggia. Pekerjaan signage dan semua design kit untuk hotel tersebut telah memasuki tahap akhir. Setidaknya hal yang sangat membanggakan untuk anak-anak timku karena telah menyelesaikannya. Tetapi masih ada yang kurang, aku masih merasa kurang puas dengan signage dan design untuk menu di restorannya, jadi semalaman ini aku berkutat di depan laptopku mengutak ngatik beberapa pilihan desain.

Aku menguap sejadi-jadinya. Mataku terasa sangat berat dan mengantuk. Aku setel kursiku agar aku bisa agak bersender dengan posisi setengah rebahan. Kakiku kunaikkan ke atas mejaku, lalu aku menutup mata.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

Shit. Jam berapa sekarang? Aku terbangun di mejaku karena perutku sudah sangat lapar. Aku memeriksa jam tanganku. Jam 2 pagi. Sialan. Aku memeriksa handphone, tak ada pesan dari Karen. Hanya ada pesan dari grup kantorku, dan beberapa pesan dari Rendy yang menanyakan apakah aku pulang malam ini atau menginap di tempat Karen. Kurasakan kulitku lengket oleh keringat. Aku teringat kembali perutku lapar. Aku melirik keluar jendela. Mobilku sendirian disana.

Aku memeriksa pintu depan kantor, masih terkunci dengan rapat. Kunci masih tergantung di tempat dimana office boy suka menggantungnya. Aku memutuskan untuk memesan delivery restoran cepat saji, karena memang perutku sudah lapar sekali dan aku sudah terlalu lemas untuk pulang.

Setelah menelpon dan memesan makanan, aku kembali ke laptopku. Menyelesaikan pekerjaanku sambil menunggu makanan itu datang. Tak berapa lama, karena pekerjaan malam itu sudah hampir selesai, tinggal di compile saja dalam bentuk pdf, aku malah membuka browser, mencoba iseng untuk googling apapun soal siapapun.

Aku coba memasukkan nama-nama yang kukenal. Namaku. Hanya ada tautan ke sosial media pribadi dan website kantor, serta beberapa berita sayembara beberapa tahun lalu yang pernah kumenangi. Sayembara desain tentunya.

Nama Rendy. Sama saja, berkisar soal pekerjaan dan media sosial.

Anggia. Sama, media sosial, pekerjaan, dan satu link forum porno? Apa apaan ini? Aku membukanya. Oh, ternyata cuma namanya disebut si thread "Siapa temen kamu yang mau kamu tiduri". Ada fotonya dari jaman kuliah disana. Aduh, mas, malu-maluin sekali, identitas anda sebagai teman kuliahnya Anggia jadi ketahuan, senyumku.

Nica. Sama, media sosial dan pekerjaan, juga blog lucu lucuan jaman sma dan kuliah.

Nayla. Aduh. Agak alay ya medsosnya. Aku tertawa saja melihatnya.

Dian. Aku menelan ludah saat kumasukkan namanya di mesin pencari. Oke, cuma sosial media, lalu website perkuliahan kedokteran, laman laman seminar dan riset, tidak ada yang menarik.

Karen.

Ini dia. Semua berita gosip. Forum gosip. Forum porno, kubuka yang porno terlebih dahulu. Ah biasa saja. Isinya fantasi orang-orang, menjadikan Karen dan beberapa selebritis lain sebagai objek seksual dan melecehkan mereka dalam bentuk obrolan dan tulisan. Forum gosip, coba kubaca sebentar. Banyak katanya dan katanya. Obrolan mereka tidak ada yang sesuai dengan cerita Karen. Bahkan tak satupun yang ada membahas soal kehamilan. Malah melantur dan tidak fokus bicaranya.

Tunggu. Apa ini? Berita hiburan? Kok aku belum pernah dengar ini?

"Karen Natamiharja akan diplot menjadi co-host untuk late night talk show" ini berita baik. Tapi kenapa aku belum pernah dengar? Biasanya ia selalu menceritakan soal pekerjaan ke diriku. Tapi....

Dan bel kantor pun berbunyi. Untuk sejenak aku mengambil makanan kedepan, dan kembali ke meja untuk makan dengan lahapnya. Aku masih bingung kenapa Karen tidak memberitahukannya kepadaku.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

"Pagi amat? Kok baju yang kemaren?" tanya Anggia yang menemukanku di kantor pagi ini.
"Gue gak balik... Ketiduran disini semalem..." jawabku.
"Ya ampun.... Gue kira diusir sama istri... Coba bilang gue, gue selundupin ke kamar gue"
"Basi ah Nggi...." jawabku dengan muka kuyu.

Pesan dari Karen baru saja masuk. Dan aku sedang mengobrol dengannya.

"Maaf babeee.. Semalem tepar banget, ini aja masih hangover.... Hehe" sapanya.
"Gapapa, good to know kalo elo safe.."
"Iya haha"
"Ntar malem ada acara?"
"Gak ada, makan malem bareng?"
"Ok"
"Sip, see you <3"

Akhirnya, aku bisa bertemu dengannya lagi. Aku tak sabar ingin menemuinya dan makan malam bersama.

----------------------------------------

yolo-i10.jpg


Aku sedikit lemas dan sangat mengantuk malam itu. Tampaknya aku sangat kurang tidur. Restoran jepang yang temaram di bilangan setiabudi itu malah mendukung suasana ngantuk di mataku.

"Ngantuk ?" tanya Karen.
"Ho oh" jawabku sambil meminum segelas teh hijau hangat, untuk mengawali ritual merokok sehabis makan. Karen tampak manis malam ini. Tank top hitam dengan celana jeans robek, boots dr martens, dan jaket varsity berwarna merah tua, senada dengan warna bootsnya. Dipadu dengan hobo bag yang berwarna hitam. Dia tampak serius memainkan handphonenya.

Dirinya tampak serius.

"Btw... Gue denger berita kemaren..." aku memulai pembicaraan.
"Bentar bentar..." balasnya sambil menunjuk ke arah handphonennya. Aku lantas diam saja, sambil menghisap rokok dalam dalam. Padahal kalimatku susah tertata rapih di mulutku.

"Gimana tadi?" tanyanya balik setelah meletakkan handphonennya di meja.
"Nah... Gue liat berita kemaren soal talk show..."
"Oh iya... Gue belom cerita ya?"
"Iya, makanya tumben..."
"Nah itu... Soalnya..."
"Soalnya kenapa?" bingungku.
"Itu acara bakal makan waktu banyak soalnya... Bisa dibilang buat season pertama bisa lima hari syuting live tiap malem, ya... Jam 11 mulai acaranya" jelas Karen datar.
"Oh, duitnya gede?" tanyaku.
"Lumayan banget"
"Terus lo ambil jobnya?"
"Udah tadi siang"
"Hah? Emang udah berapa lama pendekatan ke elonya?" aku makin bingung.
"Sebulan yang lalu"
"Kok gue ga tau?"
"Kan belom pasti..." jawab Karen.
"Pastinya kapan?"
"Tadi siang"
"Ini setiap hari lho... Terus kita...."
"Sayang... Jangan gitu dong nanyanya, emang lo gak suka?" tanya Karen balik.

"Bukan gitu.... Cuma kok gw sama sekali gak tau soal ini?"
"Biar apa?"
"Ya... Supaya jelas aja kita ketemunya kapan.."
"Kan kemaren belum pasti..." jawab Karen sambil memegang tanganku.
"Iya sih..."
"Ntar masalah itu kan gampang lah ngaturnya... Dan kalo ntar udah mulai syuting kan pasti malem banget tuh... Lo bisa jemput atau nunggu di apartemen gue kalo kangen"
"Gue gak ada kuncinya" senyumku agak tenang.
"Ntar gue duplikatin?" aku mengangguk dengan setuju.

"Nah... Tapi gara-gara ini gue jadi susah ambil job film... Haha"
"Jalanin dulu aja"
"Iya..."

Aku balas menggenggam tangannya.

Jalanin dulu aja. Klasik tapi selalu tepat di hubungan manapun.

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 46

----------------------------------------
desain10.jpg

"Tumben semingguan ini lo jadi pagi-pagi lagi datengnya?" tanya Anggia yang sedang duduk pagi itu di depan mejaku, memainkan kubus rubik yang ada disana, sebelum anak-anak timku datang. Hari Jumat, hari kerja terakhir yang selalu ditunggu setiap pekerja.
"Karen lagi sibuk, dia jadi co host gitu kan di talk show tengah malem" jawabku.
"Jadi ga nginep-nginepan?"
"Gitu deh"
"Kasian...."
"Namanya juga kerjaan"
"Terus si Rendy seneng dong?"
"Seneng kayaknya. Soalnya mendadak senen kemaren gue dimasakin indomie ama dia buat makan malem...."
"Indomie muluk"
"Tau tuh anak itu..."

Sudah seminggu ini rasa rinduku pada Karen tak tertahankan. Kami hanya bisa bertemu lewat media sosial, dan sekali makan siang minggu ini. Tapi aku tetap berusaha tidak memperlihatkan perasan rinduku kepadanya, agar tidak mengganggu konsentrasi pekerjaannya. Kulihat lagi selfie yang ia kirim kepadaku, muka ngantuknya jam 2 siang. Katanya dia baru bangun dan tak sabar untuk bertemuku malam ini. Aku menawarkan untuk menemani malamnya, dan dia mengizinkanku.

Beberapa kali aku mencoba menonton acara dimana dia menjadi co-host disana. Talk show yang lumayan menarik. Isinya tidak mewawancarai pesohor, tapi lebih kepada innovator, entrepreneur muda, artis youtube, musisi. Maklum, acara itu disponsori oleh produk rokok yang pernah ia bintangi iklannya. Jadi tentulah ketika ada permintaan untuk host perempuan, dialah yang dipilih untuk mengisinya.

"Eh, kita kapan sih ke Singapur?" tanya Anggia.
"Masih lama kali..."
"Oh, gue mau ngasih tau ke si Adrian, supaya nyusul gue..."
"Mau extend"
"Gitu deh..."
"Karen mah gak bakal bisa, masih sibuk kayaknya"
"Jangan-jangan lu ngarep dia cuman bentar ya di acara itu?"
"Gak lah Nggi..."
"Jadi udah seminggu gak gituan dong?"
"Bukan urusan elo"
"Yaudah, kalo emang pengen.... kasih tau gue, tar gue anggurin bentar si Adrian itu"
"Apa sih"

----------------------------------------

62234_10.jpg

Karen berbaring telanjang di bawah badanku, dengan paha terbuka lebar dan ekspresinya yang luar biasa. Kulit halusnya bersinar, dibalut cahaya temaram lampu tidur. Aku dengan bersemangat memompa pantatku maju mundur, memberikan dirinya dan diriku kenikmatan yang sama.

Aku bertumpu pada tanganku, memperhatikan mukanya yang pasrah sambil sekekali menciumi bibirnya. Sudah lama aku dalam posisi ini, berusaha membuatnya merasakan puncak kenikmatan terlebih dahulu.

"Lo kalo udah mau keluar langsung aja...." bisik Karen mendadak.
"Eh, entar lo gimana?"
"Gapapa, udah kecapekan juga tadi..." balasnya.
"Serius?"
"Iya..."

Aku akhirnya berkonsentrasi untuk diriku saja. Tak lama kemudian aku mencabut penisku sesaat sebelum ledakan itu tiba dan mengeluarkannya di perutnya. Lantas aku mencium bibirnya yang lemas dengan penuh kasih sayang.

----------------------------------------

Tak lama setelah itu, Karen sudah memasuki alam mimpinya. Dia tampak kelelahan sekali, bahkan tanpa sepatah kata apapun sehabis berhubungan seks, dia langsung tertidur. Aku tidak ambil pusing, dan memakai pakaianku lagi, untuk keluar dari kamarnya. Aku mengambil laptopku dan menyalakannya, mempersiapkan apa yang harus kupersiapkan untuk beberapa pekerjaan kantorku, tentunya dengan ditemani teman baikku. Rokok.

Lama aku berkutat di depan laptop, dan sebenarnya aku tidak benar-benar sedang bekerja. Aku hanya browsing tidak karuan, merasa ada yang kurang dengan hubungan seksual kami yang tadi. Tidak passionate seperti biasanya. Pikiranku melantur kemana-mana, tapi akhirnya aku menuju pada satu kesimpulan. Dia kelelahan. Pastilah sangat lelah jika lima hari seminggu syuting malam, belum lagi ada beberapa hari yang dia tidak bisa bangun siang, karena ada pekerjaan atau apapun yang menyita waktu siang dan paginya.

Tak tahu sudah berapa batang rokok yang kuhabiskan sambil banyak melihat situs-situs yang bersliweran di internet dan sedikit pekerjaan. Ketika aku sudah akan mematikan laptop, mendadak pintu kamar Karen terbuka.

"Hei... belum tidur?" sapa Karen dengan nada manja, tubuhnya tampak telanjang bulat sambil berjalan ke arah lemari es dan membukanya, entah mencari apa. Dengan linglung dia mengambil gelas dan berjalan ke arah dispenser air, mencoba untuk menghilangkan dahaganya.
"Belum, baru mau..."
"Duh, pusing, kecapean kayaknya, lima hari berturut-turut tidur kemaleman..." ujarnya sambil meminum air.
"Namanya kerjaan ya?"
"Iya"
"BTW gue sama Anggia kayaknya dua bulan lagi ke Singapur, hari kemis ama jumat"
"Kerjaan?"
"Iya. Nah, kalo lo mau, nyusul yuk sabtu minggunya?"
"Duh... gak kebayang, ntar aja deh ya ngobrolinnya, takutnya gue sibuk atau kecapekan"
"Oh, oke..."

Karen meraih lenganku, lantas menarikku ke dalam kamar, memintaku menemaninya untuk tidur.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

"Pagi..." bisik Karen lemah, tanpa membuka matanya. Dia pasti terbangun sejenak karena aku bergerak duduk, memeriksa handphoneku sesaat setelah bangun. Jam 11 siang. "Jangan bangunin dulu ya sayang.. masih enak..." bisik Karen dari balik selimut.
"Iya" balasku, sambil berusaha mengawali hari dengan mengisi nyawaku sebelum beranjak ke kamar mandi. Entah mandi atau apa.

"Lebih enak tidur malem banget sendirian apa ditemenin?" bisikku bertanya sambil mencium pipinya.
"Enak ditemenin... ada guling gede, napas lagi gulingnya" candanya di dalam ngantuknya.
"Yaudah besok-besok gapapa gue samperin malem, lagian kalo gue jalan malem ke apartemen lo entah dari kantor atau dari apartemen gue kan sepi, dan udah sempet diduplikat belom kuncinya?"
"Mmm.... boleh, belom sempet gue duplikat sih... kalo ntar lo bangun duluan dan mau ngeduplikat ambil aja tuh di tas gue kuncinya" jawabnya lemas.
"Oke.."

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

desain10.jpg

Mendadak waktu tak terasa berjalan. Sudah tiga minggu setelah Karen menjalani pekerjaan itu. Dan aku kini berada di kantor, sebelum makan siang, dengan rokok di tanganku, menunggu Anggia yang katanya mau mengantarkanku untuk makan siang bersama. Datang kantor pagi lagi seperti seminggu pertama Karen menjadi co host di talk show? Tentu tidak. Sudah dua minggu ini aku menemaninya setiap dia selesai syuting live. Dan karena ratingnya cukup tinggi untuk ukuran acara hampir tengah malam, maka sepertinya posisi Karen dan acara itu akan adem ayem saja di televisi. Walau itu artinya dalam beberapa bulan kedepan Karen tidak bisa mengambil job untuk menjadi tamu variety show, atau membintangi film dahulu.

"Nih gila ya orang, baru seminggu masuk kantornya bener lagi, sekarang siang lagi..." celetuk Anggia yang tiba-tiba muncul dari belakang.
"Udah yuk deh, makan, gue laper gila...."
"Mata lo kok keliatan capek gitu?"
"Ah? si Karen ga bisa tidur semalem, lo tau kan, kecapean yang sampe gak bisa tidur gitu?" jawabku.

"Tau sih, tapi masa mesti lo temenin semingguan gitu terus?"
"Gapapa..."
"Ada apa-apanya nih... Dia lo hamilin ya?" tanyanya sambil memasuki mobil dan memakai kacamata hitam.
"Ih gila lo Nggi"
"Iri deh gue... Gue susah banget ketemu si laki-laki sialan ini, sementara elo bela-belain tiap hari ngelonin dia... Dia se needy itu ya? Apa gue harus manja-manja juga?"
"Enggak kok... Ini mah guenya yang pengen Nggi..."
"Kejadian deh kayak pas sama Adine lagi...."
"Beda kali.. jaman itu gue masih bocah.."
"Enggak, sama.. tu cewek lo bantuin mulu di rumahnya ngerjain tugas akhir, ampe lo tepar"
"Udah deh, ini beda..."
"Ah yaudah deh..."

Dan Anggia selesai membantah semua argumenku. Kupikir tidak ada salahnya kalau aku menemani malam-malam Karen, toh selama ini tidak mengganggu pekerjaanku, walaupun akibatnya aku jadi tidak sepagi itu datang ke kantor. Dan aku juga tidak merasa kecapaian, intinya i can manage. Sudah banyak resiko-resiko dalam hubunganku dan Karen yang sudah kulewati dengan baik-baik saja. Walau terasa berat pada awalnya, tapi sejauh ini aku merasa baik-baik saja. Mungkin Anggia hanya senewen karena Adrian lagi banyak disibukkan oleh urusan pekerjaannya, dan memang karena Anggia masih tinggal bersama orang tuanya, maka menginap sudah bisa dipastikan hampir tidak mungkin, butuh event-event khusus yang bisa membuatnya tidur di luar rumah tanpa kecurigaan orang tua.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

62234_10.jpg

"Suntuk"
"Keliatan kok sayang" Karen meringkuk di sampingku sabtu sore itu.
"Gue butuh hiburaaan.... Keluhnya padaku"
"Apa dong, mau nonton? Atau mau makan di luar yuk" ajakku sambil memeluknya.
"Bosen yang kayak gitu, jalan ke luar kota yuk, bandung atau puncak gitu...."
"Eh, ini sabtu lho"
"Sehari aja... Minggu nginep, subuh balik"
"Ntar telat gue ke kantornya"
"Bisa diatur kok... ya?" pintanya manja.
"Yaudah deh...."

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

eco-dr10.jpg

Minggu subuh kami berangkat, untuk menghindari macet. Terlalu subuh malahan, pukul 2 pagi. Rencananya kami akan segera ke hotel untuk memastikan apakah reservasi online kami sudah masuk dan kemudian sejenak melihat Taman Safari. Ide yang agak lucu. Mengingat terakhir aku kesana mungkin ketika aku masih SD dengan orang tuaku. Karen tampak sumringah di pagi buta itu. Mungkin memang dia dan aku butuh liburan singkat seperti ini. Mungkin juga bisa membuat hubungan seksual kami yang sudah mulai statis beberapa minggu ini bergairah kembali.

Kami berdua tidak sabar menunggu itu semua terjadi.

----------------------------------------

97809_10.jpg

"Kocak banget sih tadi" senyum Karen di kamar hotel malam itu, setelah kami menyelesaikan hari yang menyenangkan itu. Terakhir aku melihat senyum lebarnya adalah saat kami camping bersama beberapa waktu kebelakang. Kini itu semua kembali.

Karen sedang berbaring dengan pakaian tidurnya, memperhatikan foto kami berdua di taman safari tadi. Kehadirannya memang membuat beberapa orang meminta foto bersama dengannya. Dan untuk menghindari tersebarnya gosip yang tidak-tidak, semua urusan yang terkait reservasi di reception hotel harus aku sendiri yang mengurus. Dia menunggu di mobil saat aku melakukannya, dan kami masuk dengan terpisah. Tak lupa dia selalu mengenakan kacamata hitam dan menutup rambutnya dengan hoodie. Walau hal seperti itu melelahkan bagi fisik dan mental kami, tapi yang terpenting, kami bisa liburan bersama lagi.

Karen memperhatikanku dengan manja. Tak sabar aku ingin memeluknya malam itu, jauh dari semua kesulitan dan keletihan di hari kerja. Walaupun besok senin, tapi aku ingin bersamanya malam itu sampai waktu yang tidak terbatas lagi.

Aku mendekatinya, dan berusaha memeluknya. Dia merespon dengan mematikan handphonenya dan menciumku. "Nakal ih..." bisiknya. Aku tak peduli. Aku ingin memberinya malam yang romantis sebelum besok kembali ke dunia nyata. Kami berciuman perlahan, dengan suasanya yang nyaman dan tenang. Kami berpelukan di atas kasur itu, berusaha melupakan kesibukan dan kerepotan pekerjaan kami, juga kepenatan yang ia timbulkan.

Aku berusaha merayap, untuk membuka bajunya. Tapi dia menghentikanku. Dia tersenyum kepadaku dan malah membuka celana pendek untuk tidurnya sendiri, sampai celana dalamnya. Tampaknya dia tidak mengizinkanku menelanjanginya secara total. Biasa terjadi pada seseorang yang kecapaian. Aku memakluminya. Aku mengikutinya dengan menelanjangi diriku, tanpa membuang waktu. Dan aku menarik Karen untuk duduk di pangkuanku, sambil menciumi bibir dan lehernya.

Kami berciuman dalam diam. Karen memelukku tanpa tenaga, dengan perasaan yang keluar dengan pelan. Aku perlahan membaringkannya, sambil terus menciuminya dan meraba-raba tubuhnya dengan lembut.

Karen membuka pahanya perlahan.

"Kalau gue gak responsif gapapa ya? lagi capek banget" bisiknya. Aku mengangguk tanda mengerti. Aku menciumi badannya pelan-pelan dan merayap ke arah daerah kewanitaannya. Perlahan aku menciuminya, merasakan kelembaban derah itu dengan bibir dan lidahku. Kurasakan dirinya pasrah menerima semua stimulasi bibir dan lidahku.

Perlahan kuciumi daerah itu, membasahinya dalam diam. Tanganku meraih dan bertumpu pada pahanya, sambil terus aku berkonsentrasi untuk merasakan dirinya. Tangan Karen menyentuh lembut rambutku, seperti mengukur jarak antara leher dan ubun-ubunku. Perlahan aku menjilati bagian intimnya, karena kurasakan walau hari ini berjalan dengan menyenangkan, Karen tampaknya tidak terlalu bersemangat di untuk berhubungan seks. Aku mengerti sekali kelelahannya dalam tiga minggu ini. Tapi memang itu yang selalu manusia pertaruhkan. Selalu membayar tenaga untuk menghasilkan kehidupan baginya.

Setelah kurasa cukup, maka aku mulai bergerak naik, dan ketika mataku bertemu dengan Karen, dia memberiku sinyal agar melanjutkannya. Aku menyetujuinya. Lalu aku perlahan menembus lubang vaginanya dengan penisku. Bisa kurasakan ekspresinya sedikit berubah merasakannya. Ekspresi nikmat tersirat di muka yang lelah itu. Perlahan kugerakkan penisku maju mundur dalam posisi misionaris.

Dia memelukku lemah dengan kakinya, dan tangannya menggenggam bahuku pelan. Dia menatap setengah kosong ke arahku, sambil sesekali berusaha tersenyum. Aku menggunakan waktu senggang yang dimiliki bibirku dengan berusaha menciumnya sekali dua kali. Dia merespon dengan wajar, dengan biasa.

"Mmmh... Ahh" Karen mendesah pelan, merasakan penisku di dalam tubuhnya. Aku berusaha untuk tetap fokus memberinya kenikmatan, yang mungkin sedang jarang ia rasakan.

Walau aku merasa bosan dalam posisi ini, tapi Karen tidak memberikan respon yang baik ketika aku bergerak ingin merubah posisi. Mungkin dia terlalu lelah, dan akhirnya aku menuruti gerak tubuhnya saja. Aku terus memberikannya kenikmatan, dan di satu sisi aku juga tahu bahwa perempuan yang lelah akan sulit orgasme. Maka aku berusaha sabar dan tidak terburu-buru menyetubuhinya. Karen tampak menutup matanya, seperti berkonsentrasi agar dirinya lebih cepat mencapai puncak kenikmatan.

Sudah lama. Dan aku semakin bosan, karena aku terus yang bergerak aktif, maka stimulasi yang timbul ke diriku pun sangatlah hebat. Sudah beberapa kali aku berhenti sejenak agar tidak terjadi ledakan yang tidak diinginkan. Tidak keluar sebelum waktunya atau keluar di tempat yang tidak kami berdua inginkan.

"Kalo lo mau udahan gapapa..."
"Gapapa kok"
"Serius, keliatannya kecapekan gerak terus" bisik Karen sambil mendesah perlahan.

Aku terus berkonsentrasi dalam dua hal. Memberikannya kenikmatan dan menahan kenikmatanku. Jujur, melakukannya dalam posisi statis jauh lebih melelahkan bagi lelaki jika dibandingkan dengan bergerak dinamis dan mengeksplorasi setiap jengkal tubuh kami.

"Uhh..." Karen mendadak mendesah. Ini pertanda. Aku akhirnya mencoba mencepat pergerakanku. Memang rasanya pergerakanku semakin lancar. Tak berapa lama kemudian, dia menggigit bibirnya dan merasakan kenikmatan, dengan gelinjangnya yang pelan. Aku pun seperti ingin keluar. Serta merta aku mencabut penisku dan mengeluarkannya di atas perut Karen. Dan badanku terkulai lemah di atas badannya. Dia mencium pipiku pelan dan memelukku dengan lemah, seperti berharap untuk bisa segera beristirahat.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

eco-dr10.jpg

"Sialan!" kagetku pagi itu. Jam 7 pagi. Terlalu siang untuk berangkat ke Jakarta. Pemikiran soal macet dan keterlambatan terngiang di kepalaku.
"Kenapa sayang?" tanya Karen yang bingung kenapa aku buru-buru memakai baju lengkap tanpa mandi.
"Udah jam 7"
"Oh ya??" Karen langsung beranjak dan mulai beres-beres juga. Kami kalang kabut sepagian. Karen tampak panik, dan ketika dia sudah siap, dia keluar terlebih dahulu, seperti rencana kami.

Dengan buru-buru kuselesaikan semua pembayaran dan semua hal yang dibutuhkan untuk keluar dari hotel. Dengan setengah berlari aku menuju mobil, dan langsung berusaha mengemudikannya menuju Jakarta. Gila.

----------------------------------------

Jam 11. Tol dalam kota macet luar biasa.

"Ada apaan sih..." gerutuku tidak jelas.
"Udah, langsung ke kantor aja, biar gue naik taksi dari sana"
"Gak, ini keluar tol kan ntar langsung kuningan, gampang lah, deketan ke tempat elo"
"Eh, casablanca kuningan ga ketebak lho..." Karen membantahku dengan muka khawatir.

"Serius, ke kantor aja, ntar gue naksi, ya..."
"Udah, gapapa... bentar lagi keluar tol kan?" jawabku.
"Tapi macet"
"Karen, udah, gapapa"
"Ok deh... terserah..." Karen tampak tak ingin menggangguku yang tampak pusing karena Macet.

Seperti tinggal sejengkal lagi pintu tol keluar arah kuningan. Tetapi siang yang panas ini membuat semuanya terasa jauh, apalagi jika ditambah dengan macet yang luar biasa mengerikan seperti ini.

Walaupun mobil ini ber-AC dan dingin, tapi kurasakan peluh membasahi dahiku. Dengan tidak sabar aku menunggu giliran mobil kami untuk maju. Sedangkan bisa kulihat tatapan khawatir Karen menembus isi kepalaku, mencoba menelaah rasa panik dan rasa cemasku karena macet yang luar biasa ini. Jakarta memang gila.

----------------------------------------

desain10.jpg

Jam 1.

Parkiran kantor. Anggia ada di teras dengan muka bingung melihatku turun dari mobil dan dengan terburu-buru menurunkan tas laptopku dari kursi belakang.

"Lo gila ya?"
"Macet tau..." balasku.
"Eh, dicari Mbak Vania lo.. Katanya kalo dah nemu elo, gue suruh bilangin kalo dia nyari elo. ASAP katanya"
"Iya.."
"BTW dia keliatan bete banget pas dapet whatsapp dari lo, kalo lo bakal telat..."

Aku menelan ludah. Ini resiko lain yang harus kuhadapi.

----------------------------------------

BERSAMBUNG.
 
THE LUCKY BASTARD – PART 47

----------------------------------------
desain10.jpg

"Elo kenapa sih?" tanya Mbak Vania tajam.
"Sori mbak, kemacetan..."
"Lo berangkat jam berapa dari mana sih?"
"Jam 7.... Dari puncak Mbak..."
"Hah puncak? Ya ampun... Itu jamnya macet kan?"
"Iya"

"Elo kenapa jadi gini? Dua kali lho dateng sesiang ini?"
"Maaf beneran Mbak.... Duh..." aku kebingungan mencari kalimat dan kata-kata.

"Elo tuh senior tau. Posisi lo di kantor ini cuma dibawah Gue dan si Akbar... Ayo dong..."
"Iya Mbak"
"Kasih contoh buat junior-junior lu... Sekarang gue tanya deh, kerjaan lo gimana? Beres?"
"Beres sih Mbak..."
"Buat pameran buku apa yang kurang?"
"So far udah nunggu naik cetak aja"
"Buat logo perusahaan yang kemaren?"
"Finishing sih"
"Hotel yang Singapur?"
"Udah"
"Restorannya?"
"Harusnya udah, tinggal berangkat aja ama Anggia kan..."
"Restorannya dia ada dua.."
"Hah?"
"Satu di ground floor, satu lagi di sky dining, masa lupa?"
"Harusnya udah dikerjain ama anak-anak sih...."

"Itu kan tanggung jawab elo! Pantesan kok kayak kurang apa dari kelengkapan yang lo siapin buat ke Singapur, jangan sampe kerjaan sehotel ancur gara-gara lo lupa bikin buat satu restoran dong...."
"Iya Mbak"
"Selesaiin cepet ya. Kalo bisa minggu ini beresin dan kirim ke gue dulu...."

"Iya...."
"Kepala lo lagi dimana sih?"
"Hah?"
"Lo kayak lagi gak disini....."
"Enggak kok Mbak..."
"Serius, sejak lo pacaran ama tu artis kepala lo jadi ga fokus lagi kesini..."
"Enggak ah Mbak.."
"Itu penilaian gue sebagai orang yang liat lo tiap hari ya. Don't get it wrong, tapi lo juga punya tanggung jawab disini selain sama kehidupan pribadi lo...."

Aku hanya mengangguk pelan. Sial. Kenapa terlupa satu itu? Perasaan sudah pernah dikerjakan... Tapi kenapa bisa miss?

"Kerja lagi sana... Gue gak bisa ngatur hidup lo di luar kantor, tapi lo harus atur supaya dunia - dunia lo gak saling mengganggu, paham?"
"Iya Mbak..." aku speechless. Gila, sudah berapa lama aku menelantarkan pekerjaan ini? Kenapa aku tidak menyadari kalau ada yang terlewat? Shit.

Aku bangkit dan berjalan gontai menuju ruanganku. Aku duduk dikursiku, ruangan hening total, hampur tanpa kasak kusuk penghuninya. Aku menghela nafas, menyalakan laptop dan memeriksa file file yang nanti akan dibawa ke Singapura. Oke, coba lihat restoran sky dining yang tadi terlewat. Oh my God. Formatnya masih pakai format yang lama, terus belum ada alternatif design yang senada dengan format baru, kalau dilihat dari tanggalnya, filenya terakhir dibuka ternyata sudah 4 bulan yang lalu. Aku menarik nafas dalam.

"Guys?" Semua anggota timku melihat kepadaku, menyelidik dan bertanya ada apa. "Yang handle buat sky dining yang proyek singapur siapa?"

"Saya mas" Nica.
"Ini belom pernah dibahas ya?"
"Pernah sekali, tapi katanya nanti aja, jadi belum saya apa-apain lagi..."
"Bisa diberesin gak ini dalam waktu dekat"
"Bisa tapi kayaknya butuh lembur mas......"

Aku memutar otak. Bagaimana caranya mempercepat pekerjaannya? "Kalau kita keroyok malem ini gimana?" ajakku enggan. "Soalnya abis kamu revisi ntar malem, kalo gak ada yang ngasistensiin ntar kalo dah beres dikerjain, harus nunggu besok buat asistensi...."

"Boleh aja..." jawab Nica dengan muka datar.

----------------------------------------

"Lembur babe?" tanya Karen.
"Iya"
"Sama dong kita..." candanya lewat whatsapp. Aku sedang mengutak ngatik alternatif design untuk cover menu nya. Sedangkan Nica fokus di logo dan beberapa printilan design grafis lainnya.

Sudah pukul 9 malam, tapi tak ada tanda-tanda dari kami berdua untuk memulai ritual makan malam. Kami berdua seperti menunggu. Entah menunggu apa.

"Nica?"
"Ya mas?"
"Laper?"
"Lumayan"
"Mau makan?"
"Boleh"
"Disini apa di luar?"
"Yang gampang aja"

Oke, berarti terserah aku. Aku memutuskan untuk makan di kantor, memesan makanan dari luar. Nica mengiyakan saja, menyerahkan pilihannya atas sumber makanan padaku. Aku lantas berkutat dengan aplikasi ojek online untuk memesan dan sesaat kemudian aku menunggu ia datang. Aku memperhatikan Nica yang sedang berkonsentrasi penuh di depan komputer. Aku memang sengaja menungguinya malam ini, karena dia lembur gara gara aku yang lalai belum memeriksa seluruh pekerjaan timku.

----------------------------------------

Aku dan Nica makan berdua dalam hening di mejaku. Makanan datang tepat ketika Nica sedang mengasistensikanpekerjaannya kepadaku. Jadi kami terpaksa makan di mejaku. Sesuap demi sesuap terasa dalam diam. Suasana sungguh aneh dan tidak nyaman. Rupanya seperti ini rasanya makan bersama dengan mantan pacar, di saat yang sama pacarmu sedang bekerja. Sungguh aneh.

Tak sadar aku sejenak melirik ke arah Nica, setelah bosan makan dengan menunduk. Glek. Mata kami berdua bertemu. Kami mendadak tatap-tatapan, dan mata kami seperti saling melekat untuk beberapa detik. Pada saat kami menyadarinya, kami langsung saling membuang pandangan dari mata masing masing. Sungguh suasana dan kejadian yang aneh.

Sudah sekitar 30 menit kami tanpa suara. Makan macam apa yang menghabiskan waktu selama itu? Akhirnya tiba juga ke gigitan terakhir. Gigitan yang kunanti. Cukup besar untuk satu gigitan, tapi terpaksa aku coba menelannya agak acara makan yang super canggung ini bisa segera selesai.

Keputusan yang salah. Aku tersedak. Batuk bercampur dengan menelan. Dan susah rasanya untuk mengatur pergulatan di tenggorokanku. Dengan panik aku mencoba mengambil gelasku, dan mulai minum dengan serampangan. Air mata sebagai reaksi alami keluar dan beberapa tetes air keluar dari bibirku dengan bodohnya. Perjuanganku membuahkan hasil. Makanan sialan itu berhasil masuk dan merayap bodoh ke dalam lambungku.

Aku lantas terbatuk, lega.

"Mas... Tisu..." Nica memberikan kertas tisu kepadaku, mungkin untuk menghapus air mata dan belepotan air minum si bibirku.
"Makasih" aku refleks meraih tangannya.

Dan dengan bodoh tanganku malah memegang tangannya. Tangannya yang halus. Kulit putihnya yang lembut. Wanginya yang seperti anak-anak. Matanya yang innocent. Langkahnya yang tanpa beban. Bibir mungilnya yang manis. Dan....

"Mas?"
"Eh maaf..." bisa kulihat mukanya memerah. Dengan cepat kuambil tisu itu untuk membersihkan mukaku. Hebat. Suasana jadi makin awkward. Dan terakhir kali aku bersama dirinya di situasi ini, malah menyebabkan dirinya melucuti pakaiannya. Shit. Jangan. Jangan beri tanda tanda apa lagi.

"Mas.."
"Ya?" balasku kaget.
"Mbak Vania jadi suka ngomongin Mas akhir-akhir ini" ungkapnya datar.
"Wajar sih..." balasku pelan.
"Anak-anak juga... " lanjutnya.
"Yah..." aku hanya menghela nafas. Wajar jika aku yang sangat rajin datang pagi dan sangat fokus pada pekerjaan, jadi bahan omongan ketika jadwal dan pekerjaanku agak amburadul seperti sekarang ini.

Kami berdua diam lagi.

"Lanjut mas?" tanya Nica pelan kepadaku.
Aku cuma tersenyum membalasnya.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

desain10.jpg

"Balik yuk" tegur Anggia melihatku yang masih berkutat di depan laptop, di kantor. Besok adalah hari keberangkatan kami ke Singapura. Pagi-pagi kami berangkat. Adrian sudah berjanji ke Anggia, akan menyusulnya pada hari sabtu. Sementara Karen tidak bisa menyusulku, jadi aku tidak jadi extend tripku disana.

"Ada yang masih kurang" jawabku ke Anggia.
"Apa lagi sih? Bukannya udah lo beresin minggu lalu?"
"Ada yang belum sempet gue compile"
"Makanya jangan dateng kesiangan mulu dong..."
"Cuma ini doang yang lupa"
"Katanya i can manage?" tanya Anggia dengan ketus.
"Udah deh jangan ngeledek"
"Karen sendiri gimana?"
"Gimana apanya?"
"Tau gak kerjaan lu jadi agak ga bener gara-gara dia?"
"Kok jadi gara-gara dia?"
"Nah, elo ngantor jadi suka kesiangan dan sebagainya tuh abis nginep di dia kan?"
"Itu guenya aja yang bangunnya jadi suka telat"
"Tau ah, gue duluan, besok jangan telat ketemu di bandara"

Dan aku tenggelam kembali dalam pekerjaan. Baju dan koperku sudah siap, tentunya dengan bantuan Karen. Dia tidak menitip apa-apa, cuma pesan jangan nakal saja dan lantas mencium keningku sebelum tidur. Malam kemarin memang tidak seperti biasanya, dia yang menginap di apartemenku. Bisa dibilang juga dia yang membantuku mempersiapkan keberangkatanku besok. Tidak seperti biasanya, aku kali ini merasa tidak organized, merasa amburadul dan banyak hal-hal yang sering terlupa. Entah kenapa.

Aku terus menyelami pekerjaanku, sampai tak sadar waktu sudah menunjukkan pukul 9 malam. Belum beres juga, padahal rencananya ingin kuselesaikan dengan cepat agar bisa kubawa besok ke Singapura. Namun memang apa mau dikata, pekerjaan tak semudah perencanaan.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

54168810.jpg

"Kuyu amat?" tanya Anggia di bandara, melihatku yang sedang merokok di depan tong sampah besar, depan terminal.
"Yah... gue gak tidur semalem..."
"Amburadul banget sih... "
"Ga beres-beres semalem abisnya, balik ke rumah udah jam 1 malem, ya gue gak tidurin sekalian, takut gak kebangun jam segini"
"Kasian..."

Anggia lalu menarik lenganku dan membawaku ke check in counter, memaksaku mematikan rokokku. Entah kenapa proses check in - boarding - naik pesawat pada hari itu terasa sangat lama dan menyakitkan. Mungkin karena efek belum tidur semalam. Seperti biasa, Anggia jadi perhatian mata-mata lelaki. skinny jeans merah menyala, dengan atasan tanpa lengan yang gelap, ditambah blazer ringan berwarna abu-abu tua dan kacamata hitam menghiasi tubuhnya. Sedangkan aku walaupun tampak bisa mengimbangi pakaian yang dikenakan oleh Anggia, terlihat jelas keletihan dan hilangnya semangat dari mukaku.

----------------------------------------

Aku mengukur jalanan negeri singa itu dengan enggan, saat taksi kami membawa kami ke hotel tempat kami menginap. Mataku kuyu, kecapekan setelah rapat. Untungnya tidak ada hal yang negatif dari rapat itu. Semua berjalan lancar, kecuali energiku detik ini. Anggia memperhatikanku dengan khawatir.

"Lo tadi di pesawat ngoroknya parah banget..." bisiknya.
"Oh ya?"
"Tidur gih"
"Mau..."

Aku memperhatikan Handphoneku. Sejak tadi siang belum ada pesan dari Karen. Terakhir adalah unggahan foto makan siangnya. Sore-malam nihil. Pastilah dia ada pekerjaan lain sebelum acara talk show nanti malam.

Jika semua ini dibilang salah Karen dan waktu bertemunya denganku yang luar biasa malam, aku agak tidak setuju. Pasti ada pemecahan dari masalah ini. Entah apa. Pikiranku lari ke arah menyatukan kehidupan kami berdua, tentunya akan membuat hidup kami berdua lebih teratur, itu pikirku. Namun keraguan juga ada di hatiku. Apakah ini semua tidak terlalu terburu-buru? Tapi aku sedang lemas, dan otakku sedang butuh solusi jangka panjang. Jam kerja Karen tidak pernah pasti. Jika aku harus bolak balik Tempatku - Tempat Karen - Kantor, tentu akan merepotkan. Kenapa tidak memangkas satu pos pemberhentian setiap harinya?

Satu sisi diriku membisikkan kalau ini semua ide bagus, yang lain bilang berkata aku terlalu naif. Peduli setan lah. Yang penting aku istirahat dulu.

"Tar mau gue beliin sesuatu gak buat nemenin tidur?" tanya Anggia.
"Minuman? Boleh"
"Kalo ditemenin tidur?"
"Nggi..."
"Hihihi... masih aja dijailin kayak gitu suka rese sendiri" senyumnya nakal.

----------------------------------------

days_h10.jpg

Aku berbaring di kamarku, dengan baju tidur. Anggia duduk di kursi, bermalas-malasan sambil menenggak kaleng bir, yang merupakan salah satu hasil karya shoppingnya di minimarket.

"Gue putusin aja kali ya si Kambing itu"
"Siapa?"
"Adrian"
"Oh jadinya mau udahan?"
"Gue gak perlu laki yang ga bisa bikin perasaan gue tenang"
"Bagus dong..." jawabku lemah, sambil menggulung diri di balik selimut.

Anggia lalu bangkit dan berbaring di sebelahku.

"Nggi jangan dong, sempit nih"
"Bentar doang"
"Ntar susah tidur gue...."
"Kenapa, ada yang bangun ya?" tawanya nakal.
"Katanya gue disuruh tidur tadi...."
"Ya sok aja sana tidur. BTW, lo gimana jadinya kedepannya ama Karen"
"Ga tau Nggi"
"Kok ga tau? Mbak Vania udah gregetan tuh ama kebiasaan buruk lo sekarang, masuk siang"
"Iya...."
"Terus perbaikannya mau gimana?"
"Ada beberapa hal yang gue pikirin kok..."

"Apa aja?"
"Males bahasnya"
"Pasti ni orang mikirin nikah"
"Berisik ah...."
"Lo kayaknya emang diciptain buat jadi suami ya?" tanya Anggia, sambil memandang lekat-lekat mataku.
"Apa sih..."
"Serius deh, gue pasti seneng banget kalo Adrian bisa kayak elo, tentunya dengan manajemen waktu yang lebih baik ya....." Anggia mendekat ke mukaku.

"Yang gue sayangin dari gagalnya pernikahan lo ama Dian itu cuma satu... Bahwa gue gagal liat lo jadi suami. Suami yang udah pasti baik.."
"Nggi stop.."

Anggia makin mendekatiku, dia lantas memegang pipiku.
"Coba aja Adrian kayak elo..."

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 48

----------------------------------------
days_h10.jpg

Aku terbangun pagi itu. Jam 6 pagi. Aku menarik dan meregangkan otot-ototku. Kudapati Anggia sedang meringkuk pulas di sampingku. Rupanya tadi malam kami berdua tertidur.

Sambil mandi dan bersiap-siap, kupikirkan pembicaraanku semalam dengan Anggia. Seperti itukah yang diinginkan kebanyakan perempuan? Bisa jadi iya. Tidak hanya mereka, pasti semua orang di dunia menginginkan perasaannya terlindungi dan merasa aman. Apalagi jika perasaan itu datang dari orang terdekat. Orang tua. Suami. Istri. Anak. Pacar. Semua itu membuatku makin bersemangat untuk memperbaiki hubunganku dengan Karen. Memang tidak ada yang rusak, tapi tampaknya kami berdua harus memperbaiki jadwal dan memperbaiki keintiman kami berdua.

Dan solusi itu terbayang jelas di kepalaku.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

15083810.jpg

Aku sudah di taksi dari bandara, menuju rumah. Karen katanya akan menghampiriku di apartemen. Anggia? Tenang saja. Adrian jadi menghampirinya di Singapura. Kudoakan yang terbaik untuk mereka, bagaimanapun kedepannya nanti.

Perlahan tapi pasti, taksi merayap di jalanan selatan Jakarta. Pemandangan malam yang ramai, serta debu debu kota dan para penghuninya memang selalu menjadi hal yang menarik dari Jakarta. Semua dinamika hidup dan mati, tangis dan tawa, semua ada di Jakarta. Durian besar. The big Durian. Bau, menyengat, dan tajam, tapi mengundang kita semua untuk datang dan menyantap dagingnya.

Dengan tak sabar aku melihat gedung apartemenku dari kejauhan. Karen sudah disana katanya, sedang menungguku bersama Rendy. Ini hal yang jarang, karena malam ini ada acara yang sangat penting untuk ditayangkan oleh stasiun tv, jadi hari ini tidak ada live syuting talk shownya.

Sejujurnya, aku sangat kangen pada suasana aku dan Karen saling bergumul di kasur, menunggu pagi dan saling mencintai. Hal yang kini sudah pudar oleh kesibukannya dan hal hal lainnya.

----------------------------------------

kamar-10.jpg

Aku membuka pintu dengan tidak sabar, dan menemukan Karen sedang merokok dengan muka berseri-seri di meja makan. Rendy sedang sibuk di depan laptop seperti biasa. Karen melambai senang ke arahku. Aku menghampirinya dan mencium rambutnya. Karen lalu bergelayutan di tanganku.

"Bikin iri aja..." bisik Rendy pura-pura tidak peduli melihatku dan Karen.

"Lo dah makan?" tanya Karen
"Udah, di pesawat"
"Makan lagi gih... Kurang kali gitu doang"
"Ntar aja kalo laper"

Aku mulai merapihkan koper dan sedikit barang bawaanku. Aku memberikan sebungkus coklat untuk Karen. "Asik..." sahutnya dan dia langsung berkutat membukanya.

"Terus gue dapet apa?" tanya Rendy.
"Coklat juga mau?" aku memberikan satu bungkusan kecil lainnya ke Rendy. Entah kenapa Rendy seperti khawatir melihatku. Tapi aku masa bodoh, mungkin bukan apa-apa. "Eh nginep kan?" bisikku ke Karen. Karen hanya mengangguk sambil cuek memakan coklat dan memainkan handphonenya.

----------------------------------------

"Gue pengen ngobrol..."
"Ngobrol apaan?" tanya Karen yang ada dalam pelukanku di dalam selimut.
"Soal jadwal kita...." bisikku
"Ntar aja kan lo baru sampe.... Mending tidur" jawab Karen sambil menutup matanya.
"Mau ngobrolin yang penting juga...."
"Ntar kalo gitu, istirahat dulu ya" jawabnya pelan.

Aku diam saja, dan memeluknya erat-erat. Mencoba merasakan badannya yang lembut, menghirup aroma rambutnya yang bercampur bau rokok. Selain hal penting yang ingin kubicarakan dengannya, ada hal lain. Ada sesuatu yang menggelegak di dalam diriku. Keinginanku untuk menyentuhnya malam ini.

"Apaan nih" senyum Karen nakal.
"Apa ya?" senyumku balik.
"Ini" dia menyentuh penisku dengan tangannya. "Ada yang nusuk-nusuk pantat dari tadi" lanjutnya. "Ayo..." bisiknya mengerti.

Aku langsung mencoba menarik badannya dan mencoba menciuminya. "Mmmh.... Kayak tadi aja ya..." respon Karen. Tadi posisinya dia sedang kupeluk dari belakang. Karen hanya menurunkan celana pendeknya dan celana dalamnya. Dia langsung memunggungiku, menunggu aku memasukkan penisku ke dalam vaginanya.

"Eh, emang udah basah?"
"Belum sih... Tapi biar cepet aja" balasnya.
Aku akhirnya menggaulinya dengan memeluknya dari belakang. Perlahan penisku merayap di sela sela pahanya, bibir vagina yang masih kering itu menungguku. Karen tampak meraba-raba vaginanya sendiri, mencoba memberikannya sedikit pelumas alami. "Langsung aja..." bisiknya. Aku lalu dengan susah payah memasukkannya. Karen hanya menggigit bibirnya sambil menutup matanya erat-erat.

Perlahan aku mulai menggerakkan pantatku, yang bisa dibilang agak canggung, karena tertahan oleh pantat dan pahanya. Walau agak tidak nyaman, tapi tidak apa-apa. I can manage. Aku memeluknya makin erat sambil menggerakkan pantatku, sambil menghirup aroma manis rambutnya.

"Eh... Gak usah nunggu gue ya, kalo udah mau keluarin aja...." bisiknya. Aku sedikit bingung. Sudah berkali-kali ia memintaku seperti itu. Tapi yasudah, mungkin dia tidak ingin aku terlalu capek setelah perjalanan panjangku dari Singapura. Aku dengan konstan menyetubuhinya dari belakang.

"Mmmh... Ahh..." desahnya pelan sambil terus menutup matanya, entah untuk apa. Mungkin ia berkonsentrasi. Aku terus memompakan penisku dalam posisi statis itu. Yang bisa kurasakan adalah penisku menjadi cepat terstimulasi karena dia juga bergesekkan dengan paha Karen. Aku terus bergerak dengan rajin.

Hingga tak lama kemudian ledakan itu akan tiba. Aku mencabut penisku dan sperma keluar dengan malu-malu tanpa mengenai apapun. Karen melirik kebelakang dan meraih rambutku, lalu mengelusnya sampai pipiku.

"Tidur ya...." bisiknya menyuruhku tidur. Baiklah.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

desain10.jpg

"Iya, gak usah aja, soalnya ada kru produksi yang ulang tahun, jadi abis ini kita mau ngerayain"
"Ntar beres kan acaranya kan udah tengah malem, emang mau kemana lagi?"
"Di rumah produsernya kok acaranya"
"Gakpapa gak ditemenin?" tanyaku khawatir.
"Ga usah, santai kok gue bisa jaga diri <3"

Jawaban yang bermata dua. Kesibukannya sangat menyita waktu kami. Setelah weekend kemarin di apartemenku, aku belum bertemu dengannya lagi. Memang ini baru hari Kamis. Tapi rasanya sudah sangat lama dan sangat membosankan hari-hari ini tanpanya. Memang perbedaan lapangan pekerjaanku dengan dirinya cukup ekstrim. Walau sama-sama di industri kreatif, tetapi rasanya aku hidup lebih teratur. Jam kerja jelas, jam istirahat jelas. Sedangkan dunianya cukup gila. Sesaat bisa teratur seperti layaknya pekerja kantoran, tetapi kadang pekerjaan baru ada malam, atau malah subuh sekalian. Hari ini sangat sibuk, seminggu kemudian cuma tidur-tiduran di rumah. Aku sepertinya tidak akan sanggup hidup seperti itu. Oleh karena itulah bisa dibilang waktuku jadi ikut amburadul juga kalau aku memaksakan untuk bisa tidur bersamanya di weekdays.

Dengan tidak sabar aku menunggu weekend, menunggu hari dimana aku bisa menemuinya sepuasku, walaupun dengan batasan-batasan kelelahan dan kejenuhan. Setidaknya aku tidak ingin hubungan kami berdua menjadi jenuh, dan perasaan ini sudah lama kurasa menjemukan. Menunggu sampai akhir minggu, lalu bertemu dengannya dalam keadaan lelah. Tidak ideal menurutku. Jelas aku ingin sekali mengatur jadwal bertemu kami, dan aku ingin sekali bisa bersamanya di hari-hari biasa, bersamanya selamanya, dalam sebuah ikatan yang memungkinkanku untuk bersamanya 24 jam tanpa henti.

------------------------------------------

"Nah ini sekarang aneh" komentar Anggia saat sedang makan siang denganku.
"Kenapa?"
"Elo kan masuk kantornya normal lagi nih, kayaknya gara-gara dimarahin Mbak Vania..."
"Terus?"
"Ya tapi elonya jadi keliatan gak semangat gini, udah berapa minggu keliatan lesu"
"Suntuk gue"
"Suntuk kenapa?" tanya Anggia, tampak ingin tahu soal kehidupanku.

"Gue capek, bisa ketemu dia jadinya cuma weekend. Gue ngejaga supaya gak nginep-nginepan, maksudnya supaya gue bisa kerja dengan maksimal... Nah tapi pas hari dimana gue bisa nginep weekdays, dia suka ada acara gitu... Dan...."
"Dan apa?" selidik Anggia.
"Dan kita jadi garing..."
"Interaksinya?"
"Bukan"
"Apanya?"
"Itu..."
"Oooooo.... Seks?"
"Jangan keras-keras bego..." tegurku saat dia menyebutkannya.

"Gue sama Adrian masih hot-hot aja tuh... Padahal dianya kayak cuek gitu ama gue, sok sibuk emang kambing satu itu"
"Aduh..."
"Mungkin kecapean?"
"Ga tau"
"Atau udah kayak orang nikah udah lama tau kan lo, jenuh, mungkin lo butuh refreshing berdua"
"Udah pernah, refreshing, di sana gitu lagi, biasa banget...."
"Yah... no comment, bingung juga, ga pernah pacaran lama sih gue..." lanjut Anggia.

Aku hanya berpikir yang tidak-tidak jadinya. Apakah dia bosan denganku, atau hal hal lain yang ada di luar pikiranku? Aku tidak pernah tahu.

"Lo dah pernah nanya ke dia kenapa jadi garing?"
"Pernah"
"Jawabannya apa?"
"Perasaan lo doang ah"
"Mungkin emang perasaan lo doang kali, lo kan emang perasa orangnya....." lanjut Anggia.

Iya, beberapa kali aku mencoba mengobrol dengannya, soal hubungan seksual kami yang makin hari jadi makin selewat dan sekilas. Jawabannya standard, capek, aduh lagi males, suasananya gak mendukung. Bahkan dia tidak pernah merengek lagi kangen atau semacamnya ketika sulit bertemu denganku. Aku rasanya hanya menjadi pacar ketika weekend. Makanya aku ingin sekali membereskan ini semua, mengatur jadwal dan membawa hubungan ini menuju ke sesuatu yang lebih membuat kami berdua merasa tak ada batasan lagi. Atau bahasa sederhananya, aku ingin memeluknya setiap saat.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

yolo-i10.jpg

"Duh untung bisa lewat Kemang ya sebelom ke Dharmawangsa ntar" ujar Karen, sambil memakan makan siangnya di hadapanku. Hari ini tumben, dia bisa bertemu denganku untuk makan siang, karena siang hari dia ada pemotretan di Dharmawangsa. Jadi dia ingin bertemu untuk makan siang sebelum ke lokasi. Mengabarinya pun agak dadakan. Untung aku belum sempat makan siang juga. Pembicaraan soal jadwal dan solusi permanennya sudah ada di ujung mulutku. Mumpung dia senggang dan juga suasananya agak tepat, aku memutuskan untuk mengajaknya bicara.

"Gini, soal yang mau gue omongin"
"Oh iya, apaan?"
"Kayaknya kita mesti ngebenerin jadwal ketemu kita deh, soalnya kok rasanya makin hari makin amburadul aja dan kita ga bisa ketemu di weekdays..."
"Lah... ini weekdays kan?" jawaban Karen yang berbentuk pertanyaan.
"Iya tapi..."
"Duh, santai aja deh... kalo pas bisa ya bisa, kalo enggak ya enggak. Ngapain dijadwalin segala, emangnya les musik?" balasnya dengan muka heran.

Dan hening. "Terus apa lagi?" tanyanya karena melihat mukaku yang tampak ingin membicarakan sesuatu.
"Eeeh... ga jadi.. ntar aja kalo lo gak buru-buru"
"Yaudah" lanjutnya sambil terus makan. Sepertinya kepalanya sudah ada di lokasi kerjanya. Lagi-lagi kuhadapi resiko-resiko seperti ini. Tapi mau bagaimana lagi. Aku sendiri yang memang menawarkan diri untuk menerimanya. Aku akhirnya menyerah. Toh dia yang menjulukiku "rumah". Nanti ketika kusampaikan apa yang ada di kepalaku, pasti dia akan senang bukan main. Aku jamin. Dan aku akan menunggu waktu itu tiba.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

kamar-10.jpg

Aku merenung sendiri malam itu. Besok hari Sabtu. Aku sudah berjanji untuk menemuinya ketika makan siang di sebuah Mall. Dia ada rapat sebelumnya. Sehabis itu bebas, katanya. Aku sudah merenungkan masak-masak keputusanku. Aku ingin melindunginya. Aku tidak tega melihatnya tanpa naungan. Aku sejenak membayangkan masa lalunya, dimana disitu aku tidak ada. Siapa yang melindunginya? Siapa yang memeluknya ketika masalah datang? Siapa yang membimbingnya untuk melawan semua gangguan? Dulu sepertinya hidupnya tanpa rem, dan sekarang mungkin dia sudah menemukan rem dalam diriku. Lagipula selama ini aku bisa menunjukkan kalau aku kuat dengan segala resiko yang muncul. Jadi selebihnya, bring it on. Aku siap. Aku tidak ingin mengulang kejadian di masa laluku, dimana aku tidak dapat menyelesaikan tanggung jawabku pada Nica, contohnya. Masa lalu yang selalu kusesali karena aku telah menyakiti orang lain. Dan tidak akan kubiarkan seseorang lainnya merasakan sakit juga. Akan kulindungi dia seumur hidupnya, sampai dia nanti tua dan aku tua.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

mall-l10.jpg

"Maaf ya lama...." Karen menungguku di salah satu restoran disitu, menunggu di kursi paling pojok, dengan memakai pakaian sehari-harinya, boots, jeans, t-shirt dan jaket. Dia memilih restoran yang sepi, selain itu karena sudah lewat jam makan siang, jadi suasana tidak seramai dua jam yang lalu, walaupun keramaian mall di hari libur memang memekakkan telinga.

"Santai...." jawabku riang, sambil memanggil waiter agar aku bisa segera memesan makanan. Karen sudah makan sedari tadi sewaktu meeting. "Meeting apaan?" tankyaku santai sambil menunggu makanan datang.
"Meeting soal talk show... Ada usulan waktunya digeser jadi agak pagian dikit, jadi lagi ngomongin soal geser jadwal tadi" jawabnya dengan muka lelah.
"Oh.. Bagus atuh"
"Ya lumayan lah ya...."
"Kita bisa jadi ketemu rada pagian kalo weekdays" komentarku. Karen hanya tersenyum datar. Entah senang atau biasa saja.

Tak lama kemudian pesananku datang dan akhirnya aku bisa mulai makan.
"BTW, emang mau ngomongin apa lagi sih selain jadwal-jadwalan kemaren itu"
"Oh... enggak... Gue pikir kita harus mulai ngomongin masa depan kita" aku memulai topik yang sudah berputar-putar di kepalaku beberapa lama ini.
"Masa depan?"
"Maksudnya daripada jadwal-jadwalan, mungkin lebih baik kalo kita bisa bareng terus"
"Maksud lo kita tinggal bareng?" bingung Karen.

"Bukan itu..." jawabku sambil mengunyah makanan pelan pelan.
"Maksudnya apaan?" mukanya terlihat bingung. Bingung sekali.

"Maksud gue pernikahan"

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd