THE LUCKY BASTARD – PART 40
----------------------------------------
"Jadi nemenin Karen besok sabtu?" tanya Anggia.
"Jadi" jawabku pelan sambil menghisap rokok dalam dalam.
"Serius lo mau nemenin?"
"Yah... Harus dibiasain kan?" senyumku tipis pada Anggia.
"Kasian lo.... Lo tuh maksain diri kalo gini namanya..."
"Enggak ah, ga usah dipikirin Nggi. I can manage"
"Yaudah, yuk buruan jalan, gue dah laper" aku lantas mematikan rokokku di asbak teras depan kantorku. Anggia lantas duduk di kursi sopir dan kami meluncur menuju tempat makan, entah kemana. Kami belum memutuskan tempat tujuan kami.
"Lo akhir-akhir ini makin keliatan kuyu" selidik Anggia.
"Ah, biasa aja kok"
"Jenuh? Capek? Stress?"
"Udah dibilangin biasa aja..."
"Lo jadi sering masuk agak siangan lho... Biasa jam 10 kurang dah di kantor, sekarang paling cepet jam 11 an lewat...."
"Masa?"
"Ayolah... Lo gak kenapa napa kan ama Karen?"
"Fine. Biasa aja kok"
"....." Anggia tampaknya merasakan aura yang lain dari diriku. Memang harus kuakui malam hari aku tidur jauh lebih malam. Tidur dengan Karen harus kuakui memang merubah jadwal tidurku. Jadwal kerjanya yang tak beraturan membuat waktu tidurnya tidak beraturan. Kadang baru bisa tidur subuh, menemani malamnya. Tapi tak apa. Selama hatiku penuh, dan pekerjaanku tidak terbengkalai, rasanya semua aman-aman saja.
"Coba tidurnya ama gue, kayaknya lo lebih bakal segeran" celetuk Anggia mendadak.
"Apa sih...." Anggia hanya meringis geli mendengar reaksi gusarku.
----------------------------------------
"Kak, kok bisa sih, pacaran ama Karen?" tanya Nayla via whatsapp.
"Kan awalnya temenan dulu"
"Kok bisa temenan"
"Dikenalin ama Rendy"
"Kok bisa?"
"Kan dia temennya Rendy"
"Kok bisa temenan ama Rendy?"
"Dari kerjaan kali"
"Emang Rendy kerja apa?"
"Video editor..."
"Iklan, video klip, film atau apa?"
"Semuanya"
"Pernah ngerjain apa aja emang?"
"Lo mau ngehire Rendy? Ini interview?"
"Kan penasaran atuh ih -_-"
"lol"
"Siapa?" tanya Karen yang tiduran melingkar di sebelahku. Seperti biasa aku menginap di apartemen Karen pada Jumat malam itu. Sabtu besok aku akanmenemaninya ke lokasi syuting.
"Nayla"
"Ooo... Ngomongin apa?"
"Nanyain kita"
"Hehe"
"Kok ketawa?"
"Pasti pertanyaannya lucu. Kayaknya Nayla anaknya polos banget" senyum Karen dengan mata tertutup. Karen lalu dengan manja mendesak badanku, lalu membenamkan dirinya di ketiakku. Aku mencium pipinya dengan tenang, lantas memeluknya dan bersiap untuk tidur.
"Rumah...." bisik Karen sambil memelukku kencang. Aku hanya tersenyum sambil memegangi kepalanya. Aku kembali ke handphoneku, melihat apapun yang bisa dilihat dan membalas apapun yang bisa kubalas. Kurasakan nafas Karen menjadi teratur. Kulirik sejenak, dan kulihat wajah cantiknya sudah berubah ekspresi, menjadi ekspresi yang sangat polos. ekspresi tidur.
Aku mendekati wajahnya, mencium pipinya sambil berbisik. "Gue bakal jadi rumah buat lo..."
----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------
Aku menyetir dengan mengantuk di pagi buta itu ke arah Senopati, menuju gedung perkantoran disana.
"Pagi amat.... Gak boleh telat ya emang?" tanyaku.
"Emang ga boleh telat, makanya kita jalan jam segini..." jawab Karen riang sambil memainkan handphonenya disebelahku.
Pagi itu aku buru-buru mengantarkannya ke lokasi syuting. Hari sabtu ini dia akan syuting seharian untuk video klip seorang penyanyi R&B yang sedang naik daun di sekitaran lobby dan officenya.
Proses syuting sendiri akan memakan waktu seharian dan karena Janice tidak bisa mengantar Karen, jadi Karen memintaku untuk mengantar dan menemaninya. Tema video klipnya sendiri adalah dimana si penyanyi merupakan karyawan kantoran dan Karen akan berperan sebagai love-interestnya di video klip itu, karyawan di kantor yang sama.
Aku sedikit deg-degan membayangkan dia beradegan mesra dengan si penyanyi. Tapi sekali lagi, itu resiko. Namun menurut penuturan Karen, tidak akan ada adegan kontak fisik sama sekali, karena lirik dan karena konsep umum video klipnya si penyanyi akan menjadi secret admirernya Karen. Hanya seseorang yang bisa melihatnya dari jauh dan tidak berani mendekat. Jadi tampaknya aku harus membuang jauh-jauh kegelisahanku. Dan bukankah di film yang sebelumnya pun ada adegan mesra antara Karen dengan pemeran pria, walaupun tidak ada adegan ciuman. Ya, film yang kuhadiri premiernya itu.
Segala hal yang sudah kupersiapkan untuk membuang bosan sudah kubawa, buku, tablet, bahkan laptop plus catatan kantorku pun sudah kubawa. Aku tidak ingin mengulangi kejadian yang terjadi sewaktu premier film lagi.
----------------------------------------
Aku duduk memperhatikan Karen dari jauh. Dia sedang di make-up. Setelah kantor yang sudah ia pakai tampak cocok untuknya. Sejenak aku membayangkan apa jadinya kalau dia merupakan pegawai kantoran dan bukan pekerja seni. Rok, kemeja, blazer, high heels tampak serasi membalut tubuhnya.
Sekilas Karen melirik kepadaku dan senyum-senyum sendiri. Aku senyum balik, membalas senyumnya yang tulus itu. Aku akhirnya beranjak, mencari tempat yang bisa aku pakai merokok. Pilihanku jatuh pada pos satpam dekat gerbang masuk. Dari tempat itu aku bisa melihat adegan demi adegan yang nantinya akan menjadi rangkaian video klip itu. Tak ingin membuang waktu, aku segera membuka laptop sambil menyalakan rokok.
Pada akhirnya aku sibuk dengan laptopku, sambil sesekali melirik ke arah lokasi syuting yang memakan tempat di Lobby dan Drop Off gedung perkantoran itu, melihat Karen diarahkan oleh sutradara. Lucu melihatnya menjadi pegawai kantoran untuk sementara.
----------------------------------------
"Mas, bareng ama Karen?" tanya salah satu kru.
"Iya, kenapa?"
"Mau makan siang kan Mas? mau saya beliin soalnya" senyumnya.
"Oh boleh..." aku tersenyum kepadanya. Tampaknya proses syuting akan dipotong oleh waktu makan siang. Aku mematikan laptopku, menaruhnya di tas dan menghampiri ke arah tenda kru.
"Hei sini.." panggil Karen. Dia lantas mengenalkanku pada sutradaranya. Orang yang tidak banyak omong, dan setelah berkenalan dia meninggalkanku.
"Bosen gak lo?" tanya Karen.
"Enggak. Bawa laptop sih..." seringaiku tipis.
"Hehe... maaf ya, kalo lama, paling beres maghrib ini... Ntar abis makan siang kita bakal syuting di office, lo ikut ke atas?"
"Gak usah, di pos satpam aja, enak bisa ngerokok"
"Yah.. enak banget..." irinya, pasti terhadap rokok.
Setelah makan tersedia, aku makan sambil mengobrol dengan Karen. Dia tampak menikmati proses syuting ini. Yang aku tahu, ketika berperan sebagai seseorang, kita pasti berpura-pura menjadi orang itu. Lalu aku membayangkan sudah berapa kali Karen berpura-pura menjadi orang lain. Yang pasti dia tampak sangat luwes dan cocok menjadi pegawai kantoran. Beberapa mata tampak melirik ke kami. Mungkin mereka memikirkan bahan gosip terbaru yang bisa digosipkan. Aku sudah agak terbiasa tampaknya dengan ini semua.
----------------------------------------
"Pak, ikut ke dalem boleh? Saya mau nyolok laptop ke listrik"
"Silakan aja mas" senyum satpam kepadaku. Aku masuk ke dalam pos satpam. Oh begini rupanya, aku bisa melihat keluar dari dalam pos satpam itu, tapi dari luar tidak bisa melihat kedalam.
"Gak boleh ngerokok tapi ya mas di dalem"
"Iya pak" aku tersenyum.
"Santai aja, sabtu-sabtu gini sepi kok jadi kita gak banyak nangkring di pos..." senyum satpam tersebut dan dia berjalan meninggalkanku, entah menuju mana. Kru syuting sudah berpindah ke lantai atas, untuk mengambil adegan di office. Dan aku tenggelam lagi dalam laptopku, membereskan beberapa pekerjaan kantor dan sedikit pekerjaan freelanceku.
Dan aku melihat siluet dua orang mendadak muncul, mereka menyalakan rokok. Tampaknya dua orang kru syuting hari ini. Aku sedikit mengenal perawakan mereka. Yang satu berambut pendek dengan kacamata dan jenggot tipis, dengan t shirt dan jeans. Sekilas siluetnya seperti Adrian. Yang satu lagi gondrong nanggung dengan t shirt gombrang dan celana pendek.
Tanpa sadar aku mendengar obrolan mereka.
"Si Karen pacaran lagi tuh"
"Ah dia dulu sebelum ama si Ramses juga suka gonta ganti pacar"
Aku menelan ludah.
"Taruhan yuk yang ini berapa lama"
"Haha males ah hidup orang jadiin taruhan. Tapi hebat juga bisa lepas dari Ramses"
"Udah ga ngedrugs sih kayaknya, makanya bisa lepas"
"Si Ramses ampe sekarang ya ngedrugsnya?"
"Parah dia mah....."
What? Drugs? Tapi aku berusahamewajarkannya. Ini industri hiburan. Dan akupun tidak sesuci itu. Di lingkunganku juga ada. Rendy dulu juga pernah coba-coba drugs, untung tidak sampai ketagihan.
"Hebat tapi lepas dari si bangsat itu"
"Emang bangsat sih si Ramses. Tadinya gue pikir bakal dikawin si Karen"
"Kan sempet hamil tuh si Karen ama Ramses ya? bener gak sih?"
"Iya, digugurin tapi. Dua kali. Gila ya"
Tunggu. Apa ini? Darahku menggelegak. Aku ingin menghentikan pembicaraan mereka, yang dengan tidak sadar bicara seperti ini dan tak melihatku yang ada di dalam pos satpam. Aku ingin mengamuk. Tapi aku menahan diri, karena tidak ingin membuat kekacauan. Aku menarik nafas panjang, dan menutup laptopku. Mencoba mengatur nafas, menahan amarah.
"Emang udah kayak mainannya si Ramses dulu kan dia?"
"Banget. Lo tau kan yang pernah digilir?"
"Hah beneran tuh? gue cuma denger-denger aja sih..."
"Beneran tau..."
"Kok bisa?"
"Jadi dia dibikin teler gitu ama si Ramses.. Terus lo tau kan dia sama temen-temennya ngapain?"
"Ngapain?"
"Ya dipake rame-rame lah"
"Kok gak jadi berita???"
"****** amat lo ya... Kayak gituan mah ga akan sampe jadi berita. ******, drugs, seks, bakal ketutup dari media, kecuali kalo kegrebek polisi..."
Aku makin panas mendengarnya. Kepalaku mendadak pusing.
"Si Karennya sendiri suka kali, makanya dia ga lapor pokis"
"Iya, siapa tau pengen ngerasain dipake titit banyak"
"Hahaha..."
"Duh jadi ngilu... Karen selucu itu digangbang..."
"Coba kita disitu ya"
"Iya"
Tanpa sadar kotak rokokku sudah hancur kuremas. Tanganku bergetar dan darahku terasa mendidih. Aku gusar. Ingin sekali kutampar mereka berdua. Tapi apa kuasaku? Mereka hanya membicarakan orang lain. Drugs, oke, aku masih bisa maklum. Tapi ******? Gangbang? Ini diluar nalarku. Kenapa ini tidak jadi kasus? Apakah memang separah ini borok yang tidak di ekspos ke dunia soal mereka? Soal dunia hiburan? Aku tahu memang dunia hiburan adalah dunia yang jauh dari kata sempurna dan memang pekerjaan yang beresiko tinggi. Tapi sejauh ini kah resikonya? Sejauh inikah? Sejauh inikah? Aku tidak bisa berpikir lagi. Aku bahkan sekarang tidak sanggup melihat lagi bayangan diriku di kaca. Aku tak tahu harus bicara apa nanti ketika bertemu dengan Karen. Akal sehatku sepertinya perlahan menghilang.
----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------
"Sori lama pasti nunggunya, abis ini makan yuk kita, deket sini ada restoran baru kayaknya enak, kita cobain yuk" senyum Karen kepadaku yang sedang duduk lemas di depan pos satpam.
Aku meliriknya dengan lemas. Aku tak mendengarkannya, hanya berjalan gontai menuju arah parkiran.
"Hei, kenapa? Lo kenapa?" Tegurnya melihat aku lesu dan tidak bersemangat.
"Gapapa..." jawabku bingung, tak tahu harus membalas apa. Karen mengikutiku dengan aneh sambil berjalan ke parkiran.
"Sayang.." Aku tak membalas, malahan melepas tangannya dariku. Karen kaget. Aku masih diam, dan berjalan gontai ke arah mobil. Karen berusaha mengejarku dari belakang. Tampaknya kesuraman yang terpancar dari diriku bisa dengan mudah ia deteksi. Aku lantas melempar badanku ke kursi sopir. Aku menatap ke depan dengan enggan, lalu dengan malas memasukkan kunci mobil ke tempat semestinya dia berada.
Aku menyalakan mesin mobil. Karen dengan terburu-buru masuk kedalam mobilku. "Apa-apaan sih? Kok jadi gini? Ngomong dong..." tanyanya. Bunyi mesin mobil mendadak mengganggu. Semua perasaan dan kebisingan campur aduk jadi satu. Campur aduk yang membuat perutku mual.
Mobil berjalan dengan enggan. Tanganku bingung mencari pijakan di kendali mobil. Kepalaku bingung mencari kata-kata. Lidahku kelu, tercekat, dan keringat dingin keluar dari sela-sela rambutku, memaksa orang lain yang melihatnya mempertanyakan keadaanku sekarang. Karen dengan penuh selidik memperhatikanku.
Semua rasa bercampur jadi satu. Jijik. Marah. Kasihan. Bingung. Sayang. Yang semuanya bisa disimpulkan hanya dengan satu kata. Kaget. Kaget terlama yang pernah kualami, berjam-jam dan belum reda. Aku ingin berbicara, tapi takut bentakan demi bentakan keluar. Atau tangis demi tangis yang keluar liar dari mulutku. Emosi dan kehampaan yang kurasakan membumbung tinggi, butuh untuk dikeluarkan. Tetapi sangat sulit. Kurasakan pembuluh darah di samping kepalaku mengeras dan menyerangku dengan pening.
"Lo kenapa?" pertanyaan pelan Karen sambil menatapku lekat membuyarkan perasaanku. Aku hanya bisa mengulum bibirku perlahan, tanpa ekspresi dan tanpa pertahanan.
"......." aku mencoba untuk bicara, tapi hanya nafas yang keluar dari mulutku, membayangkan tangan-tangan gila yang mengacak-ngacak Karen, jika itu benar. Jika itu salah, mengapa muncul cerita seperti itu. Bukankah tidak ada asap jika tidak ada api? Tapi tidak pernah ada berita kebakaran, apakah hanya rumor? Kata-kata dalam semua bahasa yang kutahu tanpa aturan berputar-putar di kepalaku, mencoba menyusun diri mereka menjadi kalimat. Kalimat-kalimat yang kurasa salah. Kalimat-kalimat yang akan melukai. Melukai diriku dan dirinya.
"Lo gak mau berhenti bentar? Ngerokok dulu atau apa gitu? Kok pucet?" Pertanyaan demi pertanyaan Karen merusak pendengaranku. Membayangkan janin yang terkoyak. Membayangkan tubuh indahnya dirusak oleh tangan tangan kotor. Aku bahkan sama sekali tidak berpikir tentang kemungkinan kalau semua itu bohong. Sore menjelang malam yang dingin itu terasa seperti terik. Terasa seperti di neraka. Jika neraka itu ada.
"Serius deh. Gue tau lo gak banyak omong, tapi please, kenapa elo ?"
"Gue pengen tau..." kalimat pertamaku.
"Tau apaan?"
"Dulu"
"Dulu maksudnya?"
"Elo dulu gimana....."
"Gimana?" Karen tampak bingung mencerna kata-kataku yang keluar tanpa aturan. Patah dan rusak. Kalimat yang patah dan rusak.
"Gue pengen tau elo dulu kayak apa?"
".... Kenapa mendadak?" tanyanya balik
"Please, gue pengen tau...."
"Kan udah sering gue ceritain....."
"Bagian-bagian yang gak lo ceritain"
"Gue gak pernah bohong sama lo......."
"Bukan, bukan, maksudnya bagian yang sama sekali gue belom denger, bukan bohong atau gimana...." selidikku tanpa aturan. Sulit sekali menata kalimat di tengah panik dan perasaan hancur seperti ini.
"Lo masih mikirin berita gosip?" tanyanya bingung.
"Bukan itu... Aduh..." aku menyeka keringat dengan punggung tanganku. Karen menatapku dengan tatapan kasihan. Dia merogoh tasnya, berusaha mengambil tisu untuk mengelap keringatku. Tanpa sadar aku menahan tangannya.
"Loh?" Karen bingung melihat reaksiku. "Kenapa sih?" tanyanya bingung.
"Gue pengen tau, semua, cerita tentang lo jaman dulu..." jelasku dengan suara yang sama sekali tidak tegas dan tanpa wibawa.
"Kan udah pernah diomongin..."
"Yang detail..."
"Mau gimana lagi?"
"Pokoknya yang detail, terutama yang sebelum sama gue"
"Kok jadi gini sih?"
"Gue pengen denger langsung dari lo...." paksaku dengan lemah.
Karen hanya terdiam. Mungkin dia bingung, mungkin dia tertangkap basah, mungkin juga dia marah, tapi tidak ada yang tahu sebelum pertanyaanku terjawab olehnya.
"Kita pulang aja yuk.. Lo kecapekan pasti, ya.." Karen merajuk, berusaha menenangkanku. Padahal aku tidak terlihat marah, tidak mengamuk, tetapi aku memang terlihat seperti habis menyaksikan tabrakan beruntun di depan mataku sendiri.
"Karen. Please.... "
"Please buat apa?"
"Antara Ramses sama lo, pernah ada cerita apa?"
"Udah gak perlu lagi bahas dia...." Karen berusaha memegang tanganku.
"Gue harus denger sendiri dari elo..."
"Dengerin apa?"
"Karen please jangan muter muter gini... Gue bingung"
"Kenapa musti bingung"
"Biar gak bingung, please, gue butuh denger dari elo langsung yang ngalamin"
"Ngalamin apa?" Karen tampak ikutmenjadi pucat. Matanya seperti bingung menatapku.
"Lo pasti tau kan ngalamin apa?" jawabku dengan membingungkan.
"Please... Whatever it is, it's in the past!" Karen dengan gusar menimpaliku.
"Gue gak mau denger cerita aneh dari orang lain.... Cerita... Tolong..." suaraku malah jadi bergetar, menahan getaran yang muncul di pipiku, merambat ke mataku. Kepalaku makin liar membayangkan semua yang pernah terjadi padanya sebelum bertemuku. Karen malah menunduk, dan menyisir rambutnya dengan jarinya dengan ekspresi super tidak enak. Sedangkan aku frustasi menunggu suara apapun keluar dari mulutnya.
"Cerita yang mana?" tanyanya dingin.
"Gue denger tadi... Soal lo sama Ramses..."
"Iya, yang mana?"
"Yang gue perlu tau"
"Mau gue ceritain semuanya dua tahun dari awal?"
"Cuma dua hal yang mau gue tanya"
"...." Karen menghela nafas dengan berat. Sudah cukup alot perbincangan kami.
"Gue tau arahnya kesana..... Iya, itu bener, tapi masa itu gue gak ada pilihan" lanjutnya. "Gak ada pilihan, gue mau nyelamatin karir gue, banyak kontrak waktu itu yang gak bisa diputus. Dan sekalinya lo hamil... udah, selesai" jelasnya dengan suara lirih, seperti menahan tangis.
"Dua kali?" tanyaku pelan, menahan ledakan yang mungkin ada.
"Sekali. Pasti menurut lo sama aja. Tapi lo gak ada di posisi gue waktu itu...." Kepalaku pusing mendengar pengakuannya. Sebenarnya aku berharap itu semua hanya gosip miring saja yang tidak benar.
"Kok bisa... semudah itu?" tanyaku.
"Gak mudah"
"Tapi..." aku tak kuasa melanjutkan. Kepalaku seperti terkena hantaman yang luar biasa. Aku bahkan tak berani melanjutkan ke satu kejadian yang ingin ku konfirmasi lagi. Aku terlalu takut mendengar semuanya.
"Gue gak berani bahas sama elo... Gak mau ngerusak ini..." bisiknya. Dia melihatku tanpa putus. Aku serasa sedang mengunyah batu. Mataku makin berat, nafasku makin berat. Tak tertahan lagi. Mataku basah.
"Terus... satu lagi..."
"Apa lagi..."
"Dulu pernah..."
"Pernah apa?"
"Gue gak tau mau ngomong apa......." aku hilang dalam kata-kataku sendiri. Aku tak tega membicarakannya. Apalagi membayangkannya. Membayangkan Karen diacak-acak oleh beberapa tangan lelaki. Pantas saja sewaktu itu, dia sangat tidak menyukai tindakanku yang agak kasar ketika sedang berhubungan seks.
Akhirnya aku melebarkan pertanyaannya. "Lo kenapa putus dari Ramses, dua tahun dan dia masih bareng sama lo pas lo gugurin kan?"
Karen tampak enggan menjawab. "Dia udah parah banget ngedrugsnya. Pasti lo denger juga kan?"
"Gak sesedikit itu..."
"Banyak janji, dan gue sempet nyaman ama dia, tapi lama-lama jadi monster" lanjut Karen. Aku tak kuasa menahan emosiku mendengar semua itu. "Perlu gue ulang lagi, gue terpaksa, karena kalo gue gak lepas kehamilan gue, kontrak sinetron-sinetron gue dulu angus... Dan gue harus gantiin kontraknya"
"........" Aku pusing mendengarnya. Kepalaku seperti berputar tidak karuan. "Tunggu... monster semacam apa dia jadinya?" tanyaku.
"Monster buat dirinya sendiri. Lama-lama berlebihan dan gue muak sama itu. Jadi gue tinggalin dia"
"Maksudnya dia ngedrugsnya makin parah?"
"Iya... gue gak mau hidup kayak gitu, makanya gue nyingkir dulu abis kontrak-kontrak beres, bisa dibilang gue semi-rehab sebelom gue kecanduan"
"Semi-rehab?"
"Gue ngejauh dulu maksudnya..." Karen pun bercerita tanpa aturan.
"Baru denger gue istilah semi rehab.." telingaku panas sekali mendengarnya.
"Intinya gue males sama dia. Kayak gak mau brenti-brenti gitu... akhirnya gue tinggal aja."
"Sesimpel itu?"
"Gue gak pengen separah itu..."
"Berarti dulu parah banget? Sampe dia umpanin elo?"
"Umpanin?"
"Karen... please jangan muter-muter... Lo tau kita ngomongin apa...."
Aku benar-benar tidak bisa mengatur kalimatku lagi. Mataku basah, untunglah tangis itu dapat kutahan. Benar-benar rasanya seperti habis kecelakaan. Jantungnya tampak tak ada lagi. Perutku mual, saking mualnya sampai aku ingin mencabut kelaminku sendiri. Benar-benar tidak nyaman. Aku masih mual membayangkan proses ****** dan tangan-tangan lelaki menjamah Karen tanpa aturan.
"Itu gak pernah kejadian"
"Tapi?" Aku masih menangkap keraguan di matanya.
"Hampir.."
"Maksudnya hampir?"
"Itu gak diumpanin, lo tau lah kondisi dimana orang banyak lagi make? Gak ada satupun yang sadar?"
"Ya ampun..."
"Ada orang yang gue gak tau itu siapa, megang-megang gue. Gue refleks kabur ke kamar sebelah"
"Terus"
"Abis itu ada gosip gue diapa-apain sama orang banyak, gak tau, orang itu sendiri kali yang nyebar..." Karen berusaha menjelaskan dengan nada yang tidak enak.
Namun aku sudah keburu pusing atas penjelasannya tentang ******. Apalagi tentang semua ini.
"Dan Ramses gak belain lo?"
"Kita semua teler"
"Dan dia kan yang bikin lo hamil sampe lo mesti gugurin?" aku ingin marah, tapi semua kalimat itu keluar dengan lirih dan lemah.
"Iya"
"...."
"Gue udah gak sama dia lagi tapi. Gue sama elo. Dan hidup gue udah membaik sekarang" rajuknya. Sementara aku makin pusing melihat dia secasual itu membicarakan Ramses dan proses putusnya.
"Dulu semua kayak gampang, tapi sebenernya ngaco"
"Gue bingung..."
"Bingung kenapa?"
"Bingung, semuanya kayak mati rasa" Informasi-informasi itu semua kuterima dengan berlebihan. Otakku berhenti bekerja. Akhirnya aku tahu semuanya. Tapi semuanya terlalu gila di dadaku. Sesak. Berbagai perasaan kembali bercampur. Kecewa. Cemburu. Kasihan. Sedih. Merasa tertipu. Tapi entah tertipu oleh apa.
Perutku sudah tidak lapar lagi. Kepalaku sudah tidak sehat lagi. Aku tidak berminat untuk bicara lagi.
"Gue udah ninggalin dia, dia gak nyiksa gue kok, dia gak ngeabuse gue kok, cuma gue gak mau kena toxic dia lebih jauh lagi"
"Stop... Kepala gue sakit"
"Makan dulu yuk..." rajuk Karen yang tampaknya takut melihatku tumbang. Karena memang rasanya seperti itu.
"Gue gak bisa mikir"
----------------------------------------
Tangisku tumpah sejadi-jadinya di dalam mobil, tak lama setelah aku menurunkan Karen di Lobby apartemennya. Aku masih tidak bisa menerima semua kenyataan itu, walaupun tidak separah yang kudengar. Aku tak kuat membayangkan masa lalunya yang begitu bergelimang drugs dan hidup tanpa rem. Aku bahkan sudah tidak bisa lagi membandingkan masa laluku dengannya. Rasanya tak adil. Perasaanku hancur. Entah hancur karena apa. Karena shock? Karena semua itu? Karena apa?
Tidak ada lagi kata berpisah tadi. Diam menjadi emas. Mendadak diam menjadi jawaban dari semua percakapan tadi. Aku menyesal telah menahan-nahan emosiku yang kini meledak menjadi tangis. Aku tidak bisa mengeluarkan emosiku di depan Karen, saking kagetnya. Beban ini dan resiko ini terlalu gila.
Dan semua percintaan yang kujalani sekarang dengan Karen yang terserang resiko demi resiko. Resiko pekerjaan. Resiko masa lalu. Resiko public image. Resiko waktu. Resiko tenaga.
Aku muak dengan resiko.
----------------------------------------
BERSAMBUNG