Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT THE LUCKY BASTARD (RACEBANNON - REVIVAL)

Bimabet
BTW, mungkin nanti ketika update revivalnya MDT, bakal saya update langsung beberapa part sekaligus, biar enak dan bisa cepet beresnya juga..... Cheers
Akhirnya mau di idupin lagi... Do tunggu suhu
 
Makin seru jadi berasa kurang panjang updetannya suhu RB :lol:
But its okay. Biar makin penasaran.

Btw ada kemungkinan scene yg sama ga suhu antara LB, MDT dan Penanti?
 
THE LUCKY BASTARD – PART 37

----------------------------------------​

62234_10.jpg

"Kasian ya..."

Karen selesai mendengarkan ceritaku tentang Anggia. Aku mengangguk pelan sambil memeluknya dan mencium rambutnya yang basah. Kami ada di dalam bathtub, di apartemen Karen. Tampaknya sebuah keuntungan untuk kami, karena dia menyewa apartemen yang ada fasilitas tersebut di dalamnya.

Salah satu kegiatan favorit kami sekarang adalah berendam sambil ngobrol. Ngobrol ngalor ngidul. Apapun diobrolkan. Terutama soal pekerjaan Karen yang melelahkan. Tidak hanya fisik yang lelah. Mentalnya pun lelah, terutama soal menjaga image. Merokok tak bisa sembarangan, tingkah laku tidak boleh seenaknya, intinya kita dipaksa untuk menjadi orang lain yang bukan kita.

Setelah selesai berendam dan membersihkan diri, kami memesan makanan via aplikasi online dan proses menunggu itu pun di mulai.

Tak lama kemudian, setelah aku selesai memakai baju, Karen memberitahukanku bahwa ojek online tersebut sudah tiba, di pintu apartemen Karen.

"Babe, bisa bukain pintunya gak?" rajuk Karen.
"Emang kenapa?" tanyaku sehabis mandi dan sedang sibuk memeriksa handphone.
"Tukang gojeknya dah di depan... Aku gak bisa nerima... " Karen masih telanjang bulat. Atau tetap ingin terus telanjang. Entah yang mana.

"Sebentar" aku bangkit dan menerima pesanan makanan. Setelahnya aku taruh di counter dapur.

Karen keluar dari kamar hanya dengan menggunakan kimono tidur yang tidak ia ikat. Buah dadanya dan lekuk tubuhnya terlihat jelas di mataku. Dan siapapun dari jarak jauh pasti bisa melihatnya.

"Sayang kok ga pake baju?" tanyaku.
"Ga ah... Susah nanti kalo kita mau making love" senyumnya manis. Karen lalu menghampiriku dan membongkar pesanan kami.

----------------------------------------

Dan benar. Kami kembali melakukannya setelah makan. Aku duduk disofa. Karen ada di pangkuanku, membelakangiku. Tanpa kondom. Tanpa pengaman. Aku meremas kedua belah pantatnya dengan lembut. Karen dengan senyumnya yang sumringah berusaha melirikku dari sudut matanya.

"Sayang... Ahh...." desahnya bergema, menelan suara televisi yang sengaja kami nyalakan untuk menyamarkan suara kami.

Seks menjadi alat utama bagi kami berdua untuk berbagi kemesraan. Terasa kalau Karen sangat ingin memilikiku. Dengan segala kelembutannya dan kenyamanan yang ia berikan kepadaku saat kami sedang bercinta.

Karen lalu berbaring ke belakang, bersandar pada badanku. Dia sedikit berusaha untuk menciumku, namun sulit. Kami berdua berusaha saling berciuman dalam posisi yang sulit untuk berciuman tersebut. Tidak sampai. Karen hanya tertawa tanpa suara saat kami gagal berciuman. Sementara dia bergerak dengan susah-payah dalam posisi yang agak tidak nyaman itu.

"Bentar sayang..." bisikku. Karen lalu mengerti isyaratku. Dia berputar perlahan menghadapku, melihatku dengan matanya yang tajam. "Halo nakal" bisiknya. Kami lantas berciuman, menghentikan sejenak kegiatan tersebut. Kelembutannya bisa kurasakan. Pelukannya terasa nyaman dan menyenangkan. Pelan-pelan aku yang bergerak naik turun, mengguncang tubuhnya perlahan dengan lembut dan pasti. Karen tampak menikmatinya. Kepalanya lalu dia sandarkan ke bahuku, dengan mata tertutup dan tampak menikmatinya dalam diam. Rambut pendeknya jatuh ke badanku dengan indah, tampak paripurna di mataku.

Badannya dengan lembut terasa di kulitku. Aku sedikit bermain dengan menjatuhkan dirinya di atas sofa. Dia merespon dengan mengatur posisinya agar kami dapat bercinta dalam posisi misionaris di atas sofa. Dia sangat menyukai posisi ini. Karena dia bisa bersantai dan memperhatikanku mencintainya, katanya.

Satu kakiku menjejak ke lantai, menjadi tumpuan untuk bercinta dengannya. Karen menerimanya dengan penuh hasrat, menggenggam tanganku dengan nyaman. Dia mendesah tanpa suara sambil melihat tajam ke mataku. Koneksi yang luar biasa. "Sayang... mmmh..." bisiknya saat aku terus memompakan seluruh cintaku ke dalam tubuhnya.

Karen. Karen. Karen. Hanya dia yang ada dipikiranku sekarang. Walau aku tak bisa leluasa menjamahnya di depan publik seperti pacaran pada umumnya, karena image dan sebagainya. Tapi di dalam ruangan tertutup, kami bukanlah dua orang lagi. Kami selalu bersatu, berkomunikasi dalam cinta dan kasih sayang yang sedang kami coba untuk penuhi saat ini.

"Sayang..." Karen meringis dalam kenyamanannya.
"Kenapa?"
"Nggak... keep on going... slowly... " bisiknya. Tampaknya dia akan merasakan puncaknya sesaat lagi.

Aku dengan lembut menjamahnya, sambil menciumnya. Kurasakan gerakan penisku semakin mudah. Karen melepas ciumanku dan menggigit bibirnya. Genggaman tangannya mengeras. Lebih keras lagi. Dan badannya melenting dan berguncang lemah di atas sofa. Dia mengambil nafasnya dalam dalam. Tapi aku tidak berhenti.

"Hei... Udah... Nakal..." bisiknya.
"Bentar lagi..." balasku sambil menciumnya.

Karen terpaksa menerimaku. Merasakan kenikmatan sehabis orgasme. "Mmhh..." erangannya tertahan oleh ciumanku. Beban berat kurasakan di ujung penisku. Dan aku mencabutnya cepat. Damn. Sperma menetes pelan di atas perutnya. Karen mendadak menarikku memelukku, menciumi pipiku lembut, lalu kedua hidung kami beradu. Kami saling menatap. Menatap dalam dalam, menjadikan kami satu. Satu entitas.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

desain10.jpg

Sudah beberapa lami kami berhubungan. Dan sudah beberapa lama ini juga aku jadi lebih sering menginap di apartemennya. Memadu kasih, saling menemani dan saling mengisi. Setidaknya itu yang kurasakan.

"Kok lemes gitu?" tegur Anggia saat makan siang.
"Biasa aja ah" aku menguap.
"Kata Rendy lo makin jarang di rumah ya?" Aku mengangguk. "Gak baik ah, belom nikah juga lo ama Karen..."
"Ah santai kok gue..." balasku yak peduli.

"Tapi kerjaan ga kenapa napa kan?"
"Biasa kok Nggi..."
"Lo kayaknya beneran demen ama dia ya?" Aku mengangguk. "Sampe nginep mulu di apartemennya... ga sekali-kali dia nginep di tempat elo?"

"Kok elo yang jadi sewot Nggi" senyumku pelan mengusir rasa kantuk.
"Sewot dari hongkong..." balasnya dengan muka sinis.

----------------------------------------

yolo-i10.jpg

"Mbak boleh foto bareng?" seringai dua orang lelaki pada saar kami makan malam di daerah Senopati. Karen tersenyum manis, senyum yang sudah diprogram.

"Boleh..."
"Mas bisa tolong fotoin?" tanya salah satu dari mereka kepadaku. Aku mengiyakan dengan mengangguk. Dengan terpaksa aku menunggu mereka berpose. Salah satu dari mereka merangkul pundak Karen. Karen tampak tidak berkeberatan. Mereka bertiga tersenyum lebar. Lelaki yang merangkul Karen memasang senyum paling lebar yang pernah kutahu.

"Siap ya..." aku menghitung mundur dengan enggan. Mungkin mereka bisa mendengar suaraku menelan ludah. Setelah memfoto mereka, aku memberikan handphone itu kembali. Bisa kulihat mereka tertawa puas tanpa memberiku sedikitpun terimakasih. Hanya Karen yang mendapatkan terimakasih.

"Gapapa emang?" tanyaku.
"Apanya?"
"Dipegang-pegang gitu...." protesku.
"Biasa aja ah, gitu doang" jawab Karen ringan. Aku hanya cemberut. Karen tampak ingin menghiburku, dengan mewajarkan kejadian tadi. Tapi dia malah mengubah arah pembicaraan.

"Besok jemput gue dong ya?"
"Di?" tanyaku sambil menyembunyikan kekesalanku.
"Pacific Place.. Jam 9, bisa kan?" senyumnya.
"Bisa aja... Besok gue rapat, beres jam 8 sampe kantor..."
"Yaudah... Jemput ya?" ucapnya manja sambil memegang tanganku, berharap aku mewajarkan kejadian tadi.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

eco-dr10.jpg

Sehabis rapat dengan Nica selalu begini. Diam. Tanpa suara di mobil. Nica hanya melihat jalan tanpa suara. Atau terpaksa tanpa suara. Jam 7 malam. Jam 9 nanti aku akan menjemput Karen di Pacific Place, scbd. Perjalanan dari kantor setidaknya membutuhkan waktu kurang lebih sejam. Aku tidak bisa berkonsentrasi menyetir karena sangat lapar. Karen ada meeting terkait premier filmnya beberapa minggu lagi. Pastilah sambil makan, aku menghela nafas.

Perutku tiba-tiba berbunyi.

"Laper mas?" tanya Nica.
"iya..."
"Gak makan dulu sebelum ke kantor?" aku menelan ludah mendengar ajakannya.

"Gak usah, nanti mau makan kok..."
"Oh..."

Aku mencoba mengontak Karen. "Nanti mau kan temenin gue makan habis kujemput?". Tak ada jawaban. Last seen 18.25. Pasti dia sedang tidak membuka handphonenya. Dan akupun bosan menunggu. Restoran cepat saji mendadak muncul di sudut mataku. Aku mendadak membelokkan mobilku kesana.

"Katanya nanti?" tanya Nica dengan muka datar.
"Ga tahan, drive thru aja..."
"Tapi lagi gak buka drive thru nya" shit. Ya sudah, terlanjur masuk. Akhirnya aku dan Nica memutuskan makan disana. Nica turun dari mobil dan berjalan dengan awkward. Aku juga.

----------------------------------------

19.30

Kami makan dalam diam. Aku menghabiskan makananku dengan cepat, karena memikirkan Karen. Tinggal Nica yang masih makan dengan awkwardnya.

"Tumben makannya cepet Mas?" tanya Nica datar.
"Ada janji soalnya abis ini"
"Oh...." mendadak dia mempercepat makannya.

Aku menelan ludah, takut akan ada perbincangan lanjutan yang tidak kuinginkan. Nica tampak enggan bicara kepadaku. Untunglah.

----------------------------------------

20.00

"Kok jadi macet gini...." keluhku saat mobilku keluar dari parkiran. Aku gelisah karena macet di daerah ini tidak terduga. Jarak ke kantorku sebenarnya bisa dibilang tak jauh lagi. Cuma dengan macet seperti ini, apapun bisa terjadi. "Babe jadi mau ditemenin makan? Gue bentar lagi kayaknya beres" balas Karen tak lama sebelumnya. "lagi jalan kok ini, abis makan dulu tadi". Balasku sambil menyetir.
"Makan dimana?"
"McD"
"Sendiri?"
"Sama anak kantor"
"Anggia?"
"Bukan. Nica"
"Oh"

Aku agak menelan ludah. Karena biasanya Karen begitu talkative dimanapun ketika menghubungiku. "Oh" yang aneh. Aku kembali ke konsentrasi untuk menyetir.

20.30

Aku mengantarkan Nica ke kantor, tanpa turun dan langsung berjibaku kembali dengan padatnya jalanan Jakarta menuju tempat Karen berada. Jalanan tidak begitu macet, namun kepadatannya tidak bisa dianggap remeh. Lampu merah mengantri sangat panjang dan lama. Gelisah memenuhi hatiku.

21.00

"Dimana?" pesan singkat dari Karen.
"Jalan, bentar lg sampe"
"Kok lama?"
"Macet di jalan"
"Udah jam segini" keluhnya tanpa memedulikan alasanku.
"Bentar"

21.15

Kenapa masih disini, pikirku. Aku bahkan belum masuk kompleks SCBD. Wolter Monginsidi masih agak padat dan aku menyetir dengan agak panik.
"Dimana?"
"bentar"
"Dari tadi bentar terus..."
"Iya ini udah di Wolter"

Kata kata pendek yang tidak membuatku nyaman. Tidak terlihat seperti Karen.

21.30

"Bentar lagi sampe. Tunggu". Siluet pacific place sudah terlihat di mataku. Tak ada balasan dari Karen. "Nunggu dimana sayang?" tanyaku. Tak ada balasan dari Karen. "Parkir dulu ya dibawah". Tak ada balasan dari Karen. "Udah parkir, lo dimana?. Tak ada balasan dari Karen. Aku menelponnya. Tak diangkat. Kutelpon lagi. Tak diangkat. Kuulangi menelponnya. Tak diangkat. Ku sms. Tak ada balasan. Damn. Aku menghela nafas panjang dan berkeliling, mencari tempat makan yang mungkin didatangi. Tak ada tanda tanda.

pacifi10.jpg

22.00.

Aku menyerah. Kuputuskan untuk memacu mobil ke arah Apartemen Karen. Jalanan sudah mulai sepi. Telpon masih tidak diangkat. Aku menerobos Tendean dan Kuningan dengan suasana hati tidak keruan. Malam yang panas dan berdebu menguatkan suasana gelisah di hatiku.

22.30.

Tidak ada jawaban dari dalam apartemen, sekeras apapun aku mengetuknya. Kupanggil namanya beberapa kali, tetap tidak ada jawaban. Aku berniat kembali menelponnya. Ada pesan masuk ternyata. Buru buru kubuka.

Rendy.

"Karen ada disini... Mendadak. Mukanya kayak lagi bad mood banget. Lo dimana?" aku menghela nafas lega. Dengan buru buru aku kembali ke mobil, mencoba untuk mengejar Karen yang ada di apartemenku.

"Bentar, gue tadi ke apartemen lo, sekarang otw pulang" bunyi pesanku ke Karen. Tak ada jawaban dari Karen.

Aku memacu mobil dengan tak menentu ke arah Apartemenku. Debu jalanan menemaniku dalam gelisah.

07631510.jpg

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
THE LUCKY BASTARD – PART 38

----------------------------------------
38552010.jpg
Aku terengah-engah memasuki lift. Dengan tak sabar aku menunggu kotak besi itu mengantarku ke lantaiku. Buru-buru aku melangkah ketika pintunya terbuka untuk segera masuk dalam unit apartemenku. Ketika aku berusaha merogoh kunciku, pintu mendadak terbuka. Muka Rendy muncul dengan ekspresi khawatir. Khawatir kepadaku. Dia melirik ke arah Karen yang sedang duduk disofa. Asap rokok membumbung di sekitarnya. Aku langsung menghampiri Karen.

Rendy menyingkir dan masuk ke kamar.

"Lo kemana aja?" sinis Karen.
"Maaf tadi macet.."
"Kalo lo gak pake makan dulu sama mantan sih ga bakal telat"
"Hei... Kok konteksnya jadi aneh?"
"Ngapain pake makan dulu sama mantan?"
"Aduh... Dia junior di kantor... Dan tadi udah laper banget... Dan tau dari mana dia mantan gue?" belaku.
"Emang lo pikir gue ga pernah cari tau soal elo?? Dan gue udah nungguin lo!" bentaknya. Mukanya terlihat sangat serius.

"Dan lo telat. Gue gak suka" Karen membuang muka.
"Hei.. Kan cuma telat setengah jam, lagian kan masih bisa nunggu disana... Lo tau kan Jakarta.. Jalanannya kayak apa?"
"Jangan kebanyakan alasan"
"......"

"Dan ayolah... Gue udah ga ada apa-apa lagi sama Nica Nica itu...."
"Lo makan bareng dia"
"Soalnya tadi rapatnya bareng dia"
"Gue gak suka"
"Habis mau gimana?"
"Just... Shut up!" bentaknya.

Aku mengambil nafas panjang. Aku berusaha mendekatinya, menyentuh pundaknya. Dia menghindar. "Sayang..." bisikku.
"...." Karen hanya terdiam.
"Jangan kayak gini dong" aku berusaha memeluknya.

"Lo gak tau.... Gue gak suka kehilangan rumah gue..." bisiknya marah. Rumah. Itu yang dia deskripsikan soal diriku sewaktu dulu pertama aku menginap di apartemennya.
"Gak bakal"
"Janji?"
"Ayolah... Udah, gue gak akan telat lagi...." bujukku menenangkannya. Karen hanya diam saja. Tetapi kurasakan ledakannya masih ada walaupun dalam hening. Aku tidak suka terjebak dalam situasi seperti ini. Apapun salah. Semuanya salah.

Kami diam seribu bahasa. Karen masih mendiamkanku sambil menyalakan rokok kembali.

"Gue udah gak ada apa-apa lagi sama Nica"
"....."
"Gue yang mutusin dia karena gue ngerasa kita gak cocok, puas?" nada kekesalan terdengar dari kata kataku. Karen hanya membiarkan tubuhnya tenggelam di atas sofa sambil mematikan rokoknya.

"Maksudnya apa mendadak cerita gitu?" tanyanya sok cuek.
"Ngasih tau kalo gue udah ga ada apa-apa lagi." tanganku mencoba menyentuh tangannya. Di tidak bereaksi. Tidak menghindar namun juga tidak menolak. Dan hening itu kembali muncul.

"Lo rumah gue.... Gue gak suka ketika gue butuh rumah buat bernaung setelah energi gue habis gak ada pas gue butuhin....." ujarnya pelan. Aku hanya menelan ludah, dan memilih kata-kata secara acak dalam kepalaku. Aku sedikit merasa reaksinya malam ini berlebihan, tetapi akupun mencoba mewajarkan dan menempatkan diriku dalam kepalanya. Mencoba membayangkan pekerjaan yang menguras fisik dan mental, serta tidak adanya kebebasan dalam berekspresi pastilah juga menuntut pelampiasan kenyamanan yang tinggi.

Aku berusaha memeluk nya dan membisikkan sesuatu kepadanya. "Gue bakal bikin lo nyaman terus. Janji" bisikku. Karena berjanji untuk tidak telat di kegilaan traffic Jakarta adalah omong kosong. Aku yakin pemicu utamanya adalah kejadian dengan Nica malam ini. Kejadian sepele. Namun dia belum memahami seluk beluk hubunganku dengan Nica sebelum dan sesudah kami berpacaran. Dan kupikir aku sudah menjelaskannya tadi.

"Janji?"
"Janji"

Karen lalu menyandarkan dirinya kepadaku, masuk dalam pelukku. "Lo disini aja... Biar besok pagi aja pulangnya" bisikku pada Karen. Aku bisa merasakannya mengangguk dengan lemah.

----------------------------------------

kamar-10.jpg

Aku terbangun. Gerak gerik Karen membangunkanku. Dia tidur bersamaku, dalam balutan t shirt dan boxerku yang kebesaran untuknya. Aku menatap matanya yang terbuka dengan malas.

"Gak bisa tidur?"
"Masih kepikiran"
"Kepikiran apaan?"
"Kalo lo bener bisa jadi rumah buat gue dan lo gak main-main"
"Gue ga pernah ngingkarin janji...." bisikku ke Karen, sambil mencium keningnya dalam-dalam. Dia memelukku pelan. Aku menghirup wangi rambutnya, dan meletakkan dirinya di dalam pelukanku. Dengan perlahan kami bergumul di atas kasurku.

"Udah lama lo gak nginep sini" bisikku.
"Besok-besok diseringin deh" senyumnya tipis. Ekpresi diantara masih kesal dan senang.

Kami lantas berciuman dengan pelan, saling menyentuh dan merasakan tubuh kami masing masing. Cukup lama. Cukup lama untuk merubah rasa mengantukku ke hasrat yang lain. Yang kini merubah ciuman mesra menjadi french kiss yang panas. Sering aku mendengar pasangan yang berkelahi akan menjadi lebih bergairah jika setelahnya mereka melakukan hubungan seksual.

Aku berusaha menerima ciuman Karen yang ingin membaringkanku telentang. Ketika ia berhasil, ia lantas beringsut dan merayap ke atas badanku. Karen duduk diatas pahaku, dengan punggung tegak, menatapku dari atas dengan ekpresi yang multi tafsir. Perlahan dia membuka t shirt yang ia pakai. Kulit putihnya terlihat menyala di kegelapan. Semuanya kini terasa berbeda. Jika tadi aura buruk yang terasa, kini semuanya terasa baik baik saja. Aku menariknya, memeluknya, merasakan kelembutan kulitnya.

Aku menempelkan mukaku pada payudaranya yang lembut. Menciuminya, memainkan kulit permukaannya. Nafas Karen terasa berat, dan tangannya dengan lembut memegangi kepalaku, mengizinkanku melumat kedua buah dadanya. Aku melumatnya sambil meraba bagian bawahnya, melucuti celana yang ia pakai. Karen akhirnya benar-benar telanjang bulat dalam pelukanku. Kecantikannya tetap terlihat dalam gelap. Dia mendorongku, dan memaksa dengan pelan agar aku ikut membuka bajuku.

Aku menurut.

Tak lama setelah bajuku terlucuti, Karen memelukku dan menciumi dadaku. Tangannya menggenggam penisku dengan lembut, mengocoknya perlahan. Tak jarang ia berhenti untuk menyentuh halus semua bagiannya. Karen lalu merayap kebawah.

Karen mulai menciumi penisku perlahan. Menciuminya dengan lembut dan mesra. Tak berapa lama dia membuka mulutnya, memeluk penisku dalam bibirnya yang cantik. Perlahan ia mengulumnya, sementara kedua tangannya meraba pahaku. Karen dengan pelan menggerakkan kepalanya, sambil menatapku dengan mesra. Pemandangan yang sangat indah.

Karen terus mengulum penisku dalam diam. Rasanya luar biasa. Rambut pendeknya terlihat indah dalam situasi seperti itu. Cukup lama dia melakukannya, dengan penuh kenyamanan dia melakukannya. Mendadak ia berhenti. "Sayang..." dia menghela nafas. "Jangan pernah tinggalin gue" pintanya dalam gelap, dengan ekspresi muka yang teramat manja, sehingga kita tidak akan mampu menolaknya. Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengusap rambutnya. Dia tersenyum balik padaku dan beringsut ke arah pangkuanku. Dia mendudukiku dan berusaha memasukkan penisku ke dalam vaginanya.

"Sayang... uhhh..." rintihnya keenakan saat penisku amblas ke vaginanya. Aku meraih tangannya, mencium tangannya, sedangkan ia mulai menaik turunkan pantatnya diatas tubuhku. Karen tampak sangat cantik. Sangat menggairahkan. Aku memutuskan untuk diam dan menikmatinya. Melihatnya menahan rintihan dan desahan, sambil beraksi di atas tubuhku. Karen tampak bahagia. Aku tak tahan lagi. Aku bangkit.

Kucium bibirnya dengan erat dan penuh gairah. Tangannya lalu memeluk leherku, dengan pinggangnya kupeluk erat. Kami bersatu lagi malam itu. Di dalam hati aku berharap tidak akan pernah mengecewakannya lagi. Kami saling berusaha memuaskan dengan saling memompakan alat kelamin masing-masing. Karen berusaha untuk tidak bersuara. Dia tahu betul di kamar sebelah ada Rendy, yang sedari tadi sejak kami berdua berdebat tak sedikitpun keluar dari kamar.

Kami berciuman dengan penuh hasrat. Aku beringsut dan duduk di tepi kasur, meremas pantatnya dengan lembut, dan terus memberinya kenikmatan lewat penisku. Kakinya melingkari dan saling berkait di pinggangku. Pelukannya sangat erat, dada kami berdua bertemu dan ciuman kami tetap lekat. Tak jarang kami saling menatap, untuk menikmati wajah masing-masing di tengah kegelapan malam. Karen mendadak tersenyum, dan mendorong badanku jatuh ke kasur. Dia lantas mencabut badannya dari penisku. Dia bergerak, berubah posisi.

Mulut vaginanya kini ada di depan mukaku, dengan kepalanya ada di hadapan penisku. Tanpa aba-aba dia langsung menghisapnya dengan lembut, sambil memeluk pahaku dengan lembut. Aku bereaksi hal yang sama, perlahan aku berusaha menjilat bibir vaginanya sambil memeluk pantatnya.

Kami dalam posisi itu sangat lama. Beberapa kali badan Karen bergetar karena kenikmatan yang aku lancarkan lewat bibir dan lidahku. Itu membuat kulumannya menjadi tidak beraturan ritmenya. Karen melepas penisku. Tampaknya dia merasakan nikmat yang luar biasa dari permainan lidahku. Aku melakukannya sambil meremas pantatnya perlahan, dan kurasakan otot-otot kakinya menegang. "Sayang..." bisiknya. "Terusin..." lanjutnya manja. Dia hanya terkulai di atas badanku, menikmati stimulasiku.

Aku bisa merasakan reaksi badannya dalam menunggu kenikmatan datang. Lidahku bergerak dengan semangat, menjelajahi permukaan vaginanya. "Ugh..." mendadak ia menegang, sedikit bergetar dan pada akhirnya kudengar nafas leganya. Dia berbalik, ingin memelukku. "Enak sayang.... gak seenak kalo pake itu sih... cuma tetep enak" ujarnya berbisik sambil meraba penisku. "Gue bikin lo enak juga ya" bisiknya manja.

Karen beringsut ke bawah, duduk di samping kasur, dan mulai mengulum penisku dengan lembut. Dia sangat berkonsentrasi untuk memuaskanku. Kepalanya dengan rajin naik turun dan tangannya aktif mengocok penisku. Karen. Aku tak akan mengecewakannya lagi. Aku merasakan perlahan kenikmatan menjalar dari dalam penisku. Aku tercekat diam, saat penisku memuntahkannya. Karen hanya tersenyum, ke arahku dengan bibir basah dan sperma yang menetes dari mulutnya. Dia tersenyum dalam heningnya malam.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

"Karen masih tidur?" tanya Rendy
"Masih.. Gue mau ga mau bangunin dia kepagian" Jam 7 pagi. Aku merokok setelah sarapan.
"Terus ntar?"
"Gue anter ke apartemennya"
"Jam berapa? ntar telat ngantor lho"
"Ah paling telat bentar doang... Kasian kalo naksi, dia ga bawa mobil kan semalem" jelasku.

"BTW... sori ya men..."
"Sori apaan?"
"Kagak, Karen sering nanya-nanya ke gue soal sejarah lo... Dia tau soal Nica dari gue..."
"Gapapa, ga ada yang perlu ditutupin" jawabku mengingat pertengkaran singkat semalam. Aku hampir meringis mengingatnya. Sepele memang. Kenapa dia harus pergi ke apartemenku. Kenapa dia tidak langsung pulang? Aku paham memang, ketika kita sedang marah, kita tidak ingin melihat pesan atau mengangkat telpon dari siapapun. Tapi kenapa harus pulang ke apartemenku?

----------------------------------------

yolo-i10.jpg

"Sayang, weekend ini jangan lupa ya... Love you <3" pesan singkat dari Karen kembali kuterima siang itu.

"Karen?" tanya Anggia sambil mengunyah makanan.
"Iya"
"Udah gak marahan?"
"Udah lama kali kejadian itu....."
"Kasian lo siang itu, datang kantornya tumben jam 11 an... Biasanya jam 10 dah stand by, pake nganterin dia dulu balik sih..." nada bicara Anggia agak mengeluh.
"Biarin ah... Kasian tau..." kesalku.

"Terus jadi weekend ini lo ke premier filmnya dia?" tanya Anggia
"Jadi"
"Waduh"
"Kenapa?"
"Lo kan gak suka acara hingar bingar rame gitu...." Muka Anggia terlihat khawatir.
"Biarin lah.... sekali-kali" aku tersenyum terpaksa.
"Jangan dipaksain dong..."
"Gak papa, gue yang pengen kok" bohong. Karen yang memintaku.

----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------

film-p10.png

"Karen, liat sini dong!"
"Kenalin pacar barunya dong"

Hingar bingar pertanyaan wartawan di acara itu memusingkanku. Tak cuma Karen memang yang jadi santapan media, tapi semua pemeran di film itu. Dan mereka semua tampak dengan ramah melayani pertanyaan-pertanyaan tersebut. Aku hanya diam, menggandeng Karen dengan muka dan senyum kaku yang sudah kuprogram dari tadi.

Mereka, para pemeran film itu adalah santapan buas para wartawan. Pertanyaan-pertanyaan yang lebih buas dari pertanyaan kerabat saat lebaran menghujani mereka. Benar Anggia bilang, aku tidak mungkin bisa nyaman ada di situasi ini. Apalagi tidak ada yang kukenal selain Karen. Yang sekarang sudah hilang dari tanganku, dan berada di hadapan puluhan kamera, berpose dengan pemeran-pemeran lainnya. Mereka yang biasa kulihat di layar kaca. Senyum-senyum sumringah dan diatur. Pertanyaan yang kacau dan jawaban yang sudah disiapkan sebelumnya. Aku celingukan mencari sudut yang bisa digunakan untuk merokok. Aku sudah sering ke bioskop ini. Aku hapal letak smoking areanya.

Aku berusaha menghampiri Karen, menatap wajahnya dari jauh, memberi tanda bahwa aku akan ke smoking area. Karen melihatku, tapi lantas dia tidak menangkap maksudku. Perhatiannya keburu tersita oleh serombongan orang yang menghampirinya, yang kemudian bersalaman dan mencium pipinya. Aku menyerah. Aku memilih untuk tidak ke smoking area, untuk menghindari sulitnya Karen mencariku. Bibirku gatal dan asam. Kupingku tidak nyaman oleh semua obrolan yang tak kumengerti ini. Musik latar yang terlalu keras. Bau parfum yang bercampur. Kilatan cahaya flashlight kamera. Keringat manusia.

Aku kembali melihat Karen. Aku seperti tak tampak di matanya. Dia terlalu sibuk tersenyum dan meladeni semua obrolan yang menghampirinya. Jarak kami hanya 10 meter, jarak yang terasa bagai ribuan kilo dimataku.

------------------------------------------

"Gue ke WC bentar ya?" bisikku ke Karen.
"Jangan lama-lama.... Bentar lagi rame lagi" aku mengangguk dalam kegelapan.

Akhirnya aku bisa merasakan sepi. Di wc. Aku tak tahu kalau buang air kecil si wc bioskop bisa semenyenangkan dan selega ini. Rasanya sangat nyaman. Apalagi tanpa ada siapapun lagi disini, cuma cleaning service yang sedang membersihkan kaca.

Sempat tergoda untuk merokok. Tapi sepertinya terlalu lama akan kuhabiskan waktu. Dengan enggan aku kembali ke dalam bioskop. Meninggalkan salah satu teman terbaikku. Sepi.

------------------------------------------

eco-dr10.jpg

"Biasa aja ya?" senyum Karen dengan manis di kursi penumpang.
"Lumayan... Tadi lo bagus kok disana"
"Jangan bandingin gue tapi sama bintang utamanya... Mereka lebih banyak main film daripada gue..." bener, ini film pertamanya Karen.

"BTW, kok daritadi ga brenti-brenti ngerokoknya? Gue kan jadi pengen" seloroh Karen sambil merogoh ke dalam ranselnya yang ditaruh di jok belakang dengan agak repot. Repot memang bergerak di mobil dengan mengenakan stretch dress seperti itu.

"Ga takut diliat orang dijalan?" tegurku dalam muka kuyu.
"Udah ga tahan" serunya sambil menyalakan rokok pertamanya setelah sukses menahannya berjam jam.

Untung jarak dari Djakarta Theatre ke Casablanca tidak terlalu jauh. Lagipula hari sudah sangat malam. Kelam. Sekelam hatiku yang merasa tak nyaman. Seperti ikan air laut yang habis berenang di danau. Aku sangat menantikan kasur apartemen Karen yang bau rokok itu.

"Tumben diem aja" tegur Karen.
"Kan biasanya juga gak banyak omong"
"Malem ini lebih lebih lagi. Gak nyaman ya?"
"Biasa aja kok..."
"Yaudah... Ntar lama-lama biasa kok" ujarnya cuek sambil menatap jalanan yang berangsur sepi.

Berat rasanya mengakui itu. Tapi harus kusuarakan.

"Tapi... Tadi itu asing banget rasanya"
"Premier? Wajar kok... Apalagi kalo buat orang yang ga kerja di industri itu" jawab nya.
"Gue susah banget bisa bener-bener bareng elo tadi" keluhku.
"Yah namanya juga kerja, ini bagian dari kerjaan juga lho..."
"Tapi...."
"Kalo emang gak suka, kalo ada lagi gak ikut juga gapapa kok..." jawaban tajam yang jujur.
"Bukan gitu... Cuma gue ga familiar banget dan gue pikir lo bakal mandu gue atau seenggaknya nemenin gue yang asing sama kondisi tadi..." keluhku panjang.

"Sayang, gue itungannya kerja tadi... Oke? Gak usah diambil hati gitu, udah lah.... Ntar lama-lama biasa kok" senyumnya berusaha menenangkanku, sambil menepuk pahaku pelan. Aku tersenyum balik dengan terpaksa. Rasanya seperti rasa tidak nyamanku disepelekan.

----------------------------------------

62234_10.jpg

Aku berbaring menerawang, menatap langit-langit. Karen masih menuntaskan ritual mandinya. Aku bahkan belum membuka pakaian lengkapku, sedang berusaha menguatkan perasaan bahwa itu hanyalah perasaanku yang sensitif saja mencoba mengambil alih. Aku membayangkan reaksi orang-orang terdekatku bila kuceritakan perasaanku. Rendy dan Anggia pasti akan bersuara sama, agar aku tidak datang ke acara seperti itu lagi.

Karen keluar, dengan rambut yang sudah kering oleh ulah hairdryer, dengan badan indahnya hanya berbalut handuk. Dia tersenyum pelan.

Dia mematikan lampu dan menutup pintu kamar mandi. Lalu membuka handuknya. Tubuhnya yang putih bersih, tanpa sehelai benangpun tertampang di hadapanku.

"Kalau lo masih ngerasa gak nyaman, coba sini gue bikin nyaman...." godanya sambil merayap ke arahku.

----------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Bimabet
dilanjut om...dah lp neh saat balikan m Dian, tengkyu n sumangat ya?
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd