THE LUCKY BASTARD – PART 35
----------------------------------------
First kiss. Apa yang mengawali ciuman pertama? Hubungan? Kedekatan? Kebetulan? Atau suasana?
Saat ini aku sedang tidak bisa menjawab pertanyaan itu. Aku dan Karen sedang bersatu. Bibir kami dengan lembut bertemu. Mata tertutup, badan saling berdekatan dan tangan saling menggenggam. Di atas karpet itu, kami pertama berciuman. Waktu terasa terhenti. Rasanya satu satunya benda yang ada di dunia ini cuma bibirnya.
Karen menggenggam kerah bajuku, dan mundur selangkah. Senyum tipisnya menghiasi wajahnya yang manis. Aku membalas senyumannya.
"Gak jadi makan?" bisik Karen lembut.
"Please... Jangan tanya itu sekarang" bisikku sebelum meraih bibirnya kembali. Pertemuan bibir kami kembali menghentikan waktu. Walaupun mata kami tertutup, yang terbayang di kepalaku cuma Karen. Aku meraih badannya untuk naik ke pangkuanku. Kupeluk badannya dan kurasakan hangatnya. Kepalanya terkulai, telinga kami berdua bertemu.
"Kenapa gak dari kemaren kemaren...." bisik Karen.
"Ssst..." bisikku yang ingin menikmati suasana.
"Elo jangan pulang malem ini.... Please" pintanya dengan nada memohon. "Temenin gue". Dan kami pun tenggelam dalam ciuman yang dalam.
------------------------------------------
Satu masalah telah terpecahkan. Menelpon gerai makanan cepat saji memberikan solusi pada kelaparan. Namun rasa gundah dan rasa ingin memilikinya butuh solusi lain.
Aku memeluknya erat. Tanpa suara. Tanganku melingkari perutnya. Karen telah melepas jaket dan celana jeans nya dan menukarnya dengan celana pendek rumahan. Aku masih berpakaian lengkap seperti tadi. Kami berpelukan di atas kasur, dikelilingi oleh kardus kardus berisi pakaian dan benda lainnya. Karen berbisik memohon.
"Jangan tinggalin gue malam ini..."
"Gak bakal"
"Jangan lepas..."
"Gak bakal"
"Lo tau rasanya dicium sama elo kayak apa?" tanyanya. Aku menggeleng. "Rasanya kayak familiar. Kayak rumah" bisiknya dengan nada manja. Aku makin erat memeluknya, memberinya kehangatan sebisaku.
----------------------------------------
Kami tertidur malam itu dengan indah. Tanpa seks, tanpa nafsu, semuanya seperti diatur dengan sempurna, dari mulai pertemuan pertama, obrolan pertama dan semua hal yang terjadi sampai saat ini. Semuanya terasa begitu tepat. Dan aku terbangun dengan bau yang familiar. Rokok.
"Hei.. Pagi.." bisik Karen di antara tumpukan kardus. "Elo ngoroknya parah banget ya..." celetuknya ringan sambil memasukkan berhelai-helai baju ke lemari. Aku berusaha duduk dan melihatnya.
"Gak papa gitu baju-baju elo kena asep rokok?" tanyaku dalam kantuk.
"Santai aja... Paling ntar dimarahin Mbak Janice..." jawabnya cuek.
"Makan yuk, dah jam 11 ini" ajaknya
"Bentar, baru bangun kok langsung jalan, gak pake mandi dulu apa..."
"Ngapain pake mandi? kayak orang-orang di Kokas tau aja kita udah mandi apa belom..." senyumnya lucu.
Dan akhirnya kami pun berangkat makan berdua, dengan pakaian yang semalam. Dari parkiran, sampai memilih restoran, kami lakukan dengan bergandengan tangan. Tak sedikit yang memperhatikan kami dan kami berdua pun tak peduli. Rasanya semua waktu dan tempat tersedia untuk kami miliki. Hari minggu paling bahagia untuk kami berdua.
----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------
Pulang ke apartemen sore itu terasa lebih lega. Kini rasanya aku siap untuk menghadapi apapun. Rasanya lengkap.
"Tuh kan" Anggia menyambutku di pintu apartemen.
"Kenapa lo disini mulu sih Nggi..." sinisku.
"Nginep di tempat Karen kan?"
"Iya"
"Jadi resmi nih?" tanya Rendy dari belakang.
"Ya ampun......" kagetku.
"Gila..." geleng Rendy.
"Guys... kenapa sih... seakan-akan gue abis ngelakuin sesuatu yang salah?" tanyaku sambil berjalan ke arah sofa dan membakar rokok. Anggia menyusulku dan duduk di sebelahku.
"Jadi, cerita plis" Muka Anggia tampak sumringah.
"Apa yang musti gue ceritain..."
"Pasti lo ngapa-ngapain kan sama Karen?" selidiknya.
"Jujur. Gak ngapa-ngapain, cuma tidur di tempatnya doang..."
"Bohong. Pasti nganu kan?" kerlingnya.
"Nganu... bahasa lu ibu-ibu pkk banget sih Nggi....". Karena kesal akhirnya aku melanjutkan. "Kita gak ngapa-ngapain semalem, serius, dan udah." aku menatap Anggia dan Rendy tajam.
"Dasar Lucky Bastard... " ledek Rendy. "Kenapa musti semua mua cewek nempel sama elu dari jaman kuliah. Padahal kayaknya lu gak usaha".
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Jadi jemput gue kan?" pesan singkat Karen masuk ke handphoneku.
"Jadi, beres jam berapa pastinya?"
"Jam 10 malem. See you babe <3"
"See U. <3"
Dan sore itu aku tersenyum sendiri di meja kantorku. Sudah kurang dari seminggu ini aku dan Karen bersama. Hari-hariku kini diisi olehnya. Diisi curhatnya soal manajernya yang cerewet, kru yang genit, dan macam macam lainnya. Belum lagi dia baru dikontrak oleh satu beauty product ternama untuk jadi brand ambassadornya, jadi curhatan dia terutama soal menjaga image di publik mengisi percakapan kami.
Aku menghela nafas, dan berjalan lesu ke teras, untuk merokok. Disana ternyata sudah ada Anggia yang sedang menelpon.
"Iya aku tau... Tapi aku tetep mau dateng...". "Gak papa sayang.... Iya aku ngerti, aku gak bakal dengerin omongan apapun yang gak enak...". "Iya emang masih lama, tapi perlu diobrolin dari sekarang... Fine.. Bye... Love you"
Anggia menarik nafas dalam dan melempar handphonenya ke pangkuannya.
"Kenapa?" tanyaku.
"Adeknya Adrian mau nikah"
"Oh... Terus?"
"Dia bilang gue gak usah dateng. Padahal menurut gue harusnya gue dateng. Adek pacar lo nikah, wajar kan kalo lo dateng?"
"Apa alasan dia ga pengen lo dateng?"
"Klasik"
"Klasik?"
"Gak cuma bokap gue yang gak suka gue ama dia pacaran"
"Oh..."
"Orang tuanya juga ga suka dia pacaran beda agama, chinese lagi.."
"Dianya gimana?"
"Dianya kayak gak mikirin. Santai santai aja"
"Jadi elu yang pusing?"
"Gue pengen serius ama dia... Gak mau ngehindar hindar dari masalah kayak gini. Sedangkan dia bilang ga usah dipikirin, dan ntar pas adeknya nikah ga usah dateng aja... Padahal gue udah siap kalo dateng dicuekin atau dijudesin ama keluarganya.... Dan gue butuh dia seenggaknya untuk nguatin perasaan gue, tanpa harus dia belain gue atau apa lah di depan keluarganya... Gue cuma butuh dia nyambut gue dan seneng sama ide kalo gue berani dateng ke keluarganya......" jelasnya panjang tanpa sedikitpun mengambil nafas.
"Bahaya itu... Orangnya kayak gimana sih? Gue belom sempet kenal" tanyaku lagi.
"Baik, banget. Royal. Manjain gue abis abisan. Tapi gak serius. Dalam artian ga bisa ngomongin masa depan dan kalo ketemu konflik dia cenderung menghindar..." Anggia menggigit kukunya. Kebiasaan buruk lamanya. Sudah lama tak kulihat. Dia melakukannya kalau sedang senewen.
"Nggi... Kuku lo"
"Shit. Udah lama gak gigit gigit padahal" keluhnya.
"Lo cobain ajak ngomong dulu aja panjang lebar. Bikin dia dengerin lo" nasihatku.
"Maunya. Liat ntar deh. Anaknya lagi sibuk ngurusin bisnis apa ntah..."
------------------------------------------
"Makasih dah mau nginep lagi" celetuk Karen saat kami sedang makan bersama di living room apartemennya.
"Ngga papa lah..." jawabku sekenanya sambil berkonsentrasi makan.
"Gue kalo di tempat baru suka ga nyaman untuk beberapa lama... Jadinya kadang butuh ditemenin" senyumnya kecut. Aku hanya tersenyum kepadanya.
"Kasian ya Anggia..." celetuk Karen.
"Selalu kayak gitu.... Resiko pacaran beda agama..."
"Kenapa selalu dapet yang beda ya?"
"Belum ketemu aja kali. Tapi kan harusnya bisa diakalin... Ntah gimana... Cuman bokapnya emang susah... Keluarga gereja banget sih..."
"Woh.... Anggianya ga keliatan kayak anak gereja tapi... " kaget Karen.
"Beda sendiri dia mah. Kalo kata temen gue yang anak psikologi, keluarga kan kayak tubuh, nah dalam satu keluarga itu ada satu orang yang jadi 'tangan kiri' nya... Si orang yang selalu beda sendiri sama keluarganya... Anggia cocok banget ama deskripsi itu" jawabku panjang. Ya, teman yang aku sebut itu Val.
"Kalo elo siapa dong? Kan anak tunggal, cuma bertiga kan?" tanya Karen bercanda.
"Gak tau. Kucing depan rumah kali" senyumku.
Ini ketiga kalinya aku menginap di apartemen Karen yang baru ia sewa ini. Dan jangan tanya soal seks. Kami belum melakukannya. Kami hanya cuddling dan bermesraan sebelum tidur. Entah mengapa. Tapi rasanya lebih tepat untuk bermesraan seperti itu. Karen sudah terlalu capek di luar rumah. Pasti berhubungan seks jadi sesuatu yang akan membuatnya tambah lelah. Atau mungkin kami hanya menunggu suasana yang pas. Tidak ada yang tahu dan kami tidak berniat untuk memaksa mencari tahu.
------------------------------------------
"Lo pernah kayak gitu gak?"
"Kayak gimana?"
"Pacaran yang kayaknya lancar tapi belakangan problematik gitu" jelas Karen. Aku langsung mengingat masa-masaku dengan Nica.
"Pernah... Elo?" ?
"Sama, pernah" senyumnya awkward.
"Gue dua kali" ya, dengan Dian juga.
"Siapa troublemakernya?" tanya Karen sambil memelukku dari samping.
"Yang satu ceweknya, satunya lagi gue..."
"Oh... Tenang aja, gue familiar kok ama cowok troublemaker" senyumnya sambil terus memelukku erat.
Memang sudah jam 1 malam. Kami sedang berpelukan di balik selimut, bersiap untuk tidur. Setelah itu kami tak bersuara.
"Tidur, sayang?" bisik Karen
"Iya.. Besok kan masih ngantor" jawabku.
"Yaudah.. Good night" cium Karen lembut di pipiku.
------------------------------------------
"Sori.... Jadi kebangun ya?"
"hmmh...." aku membuka mata enggan. Pukul 4 pagi. Karen sedang membuka youtube di handphonenya. Menggunakan earphone memang, tapi aku terbangun karena posisi tubuhnya di sebelahku berubah.
"Gak bisa tidur?" tanyaku
"Gak bisa... Kecapean banget tapi malah ga bisa tidur" manjanya.
"Nonton apaan?"
"Ga tau... Ga jelas lama lama" senyumnya manis.
Aku bangkit dan duduk, lalu bersender kepada tubuhnya. "Lo besok gak ada apa-apa?" tanyaku.
"Gak ada..."
"Ya udah gapapa ga tidur juga, besok kalo ngantuk bisa tidur seharian" bisikku.
"Iya sih...." dan dia balas bersender ke bahuku. "Bosen tapi"
"Nyalain TV gih"
"TV kabel belom sempet masang"
"Kapan dong"
"Gak tau..."
Karen menyimpan handphonenya dan berpaling padaku. Dia menarikku perlahan, mencoba membuatku memeluknya. Kami berpelukan kembali di balik selimut, badannya membelakangiku, menempel erat dalam pelukanku. Tanganku melingkari perutnya.
"Bandel" bisiknya lembut.
"Apaan"
"Lo bandel"
"Gue gak ngapa-ngapain"
"Ini apa?" Karen lalu menggesek-gesekkan pantatnya tepat di penisku. Ternyata penisku menempel erat ke tubuhnya. Aku memang menyadarinya, tapi tidak berpikir untuk berbuat macam-macam karena memang itu reaksi tubuh yang normal saat kita tidur bersama perempuan yang kita sukai.
Karen lalu berbalik ke arahku dan menatapku erat. Merasa mendapat sinyal, maka aku tidak berpikir panjang lagi. Aku tiba-tiba menciumnya. Responnya tidak kalah mengejutkan. Dia menyambut ciumanku dengan mesra. Tanganku meraba punggungnya, dan kami berpelukan makin hangat.
Karen menyentuh penisku dengan lembut dari luar celana dan tersenyum.
"Lo bawa kondom?"
"Bawa"
"Nakal..."
------------------------------------------
BERSAMBUNG