THE LUCKY BASTARD – PART 34
----------------------------------------
"Ngomong-ngomong... Kakak... ama Mbak... pacaran ya?"
"Nggak kok. Kita temenan aja" jawab Karen pelan. Dengan senyum yang terlihat sangat manis.
"Kirain" senyum Nayla.
Nayla tampak terpaku melihat Karen di depan matanya. Mungkin itu yang akan kulakukan jika melihat Thom Yorke atau Morrisey di depan mataku. Aku tersenyum dalam hati. Nayla dengan malu-malu duduk di sofa dan memainkan Handphonenya. Tangannya mengetik dengan cepat.
"Jangan nulis yang aneh-aneh" seruku.
"Apaan sih. Gue update status aja ga boleh"
----------------------------------------
"Ngapain sih pake selfie bareng segala" protesku kepada Nayla, setelah Karen pulang.
"Itu Karen kaaak... Ya ampun"
"Gue juga tau itu dia"
"Makanya...." Senyumnya sambil membuka sweaternya. Dia mengacak-ngacak travel bag yang ditaruh di kamarku. Aku tiduran dengan malas di kasurku, sambil melihat laman instagram Nayla yang berisi foto selfie dengan Karen. Nayla mengambil t shirt dan celana pendek untuk bersantai.
Tanpa malu dia membuka pakaiannya di depanku. Buah dadanya yang ranum dan pantatnya yang merekah menghiasi mataku sore itu.
"Gak malu apa elo?" tegurku.
"Lah cuma sama kakak ini" jawabnya, masih hanya memakan satu stel pakaian dalam yang berwarna senada. Tak lama kemudian dia memakai pakaian lengkap kembali. Dia melempar badannya ke sebelahku.
"Kakak suka ama Karen?"
"Kan udah dibilang, cuma temen"
"Siapa juga ya yang gak suka sama dia, cantik, artis, ramah lagi orangnya" Nayla sepertinya terpukau dan tidak mengindahkan kata-kataku. Aku melirik ke arahnya. Tubuh dewasanya terlihat jelas di mata orang-orang. Entah bagaimana reaksi Rendy melihat "anak kecil" ini.
"Ntar ada temen gue lho"
"Kenal kan si Rendy itu..."
"Udah lama ga ketemu kan elo. Pake bajunya jangan yang gitu dong"
"Lah ini kan sama aja ama rumah"
"Kan ada orang lain"
"Lho emang salahnya dimana... gue kan gak telanjang kak..."
"Yaudah terserah... Ntar tidur dimana?"
"Bebas, di sofa juga boleh"
"Di kamar aja, gue yang di sofa"
"Atau kita bareng aja di sini, waktu kecil juga bobo bareng kok...." senyum Nayla innocent.
"Ngaco...."
----------------------------------------
Mata Rendy menatap tidak karuan sore menjelang malam itu.
"Kaaak ayo jangan dirumah aja" Nayla bergelayutan kepadaku yang sedang malas menonton TV.
"Emang mau kemana?"
"Apa kek, jalan-jalan nonton. Besok udah jobfair, butuh hiburan dulu"
"Jobfair bukannya hiburan juga?" tanyaku. Nayla menekuk mukanya. Dia lantas bersender kepadaku dengan muka kesal.
Rendy geleng-geleng kepala. Dia masuk ke kamar. Aku iseng memeriksa handphoneku.
"serius itu nayla?" sebuah pesan singkat dari Rendy
"lah emang siapa lagi?"
"kok jadi beda banget?"
"kan udah gede sekarang"
"pusing liatnya"
"minum paramex kalo gitu"
"gemes banget... coba gue elo"
"apaan sih...."
Nayla masih bersender kepadaku. Dia tampak memainkan handphonenya dengan ramai. "Bentar lagi makan malem" infoku.
"Tau. Udah laper dari tadi"
"Makan aja yuk di luar"
"Ayok" semangatnya.
----------------------------------------
"Gak salah itu?" Rendy bertanya pada diriku.
"Emang gitu anaknya"
"Pantesan cepet gede"
"Hus"
"Serius, kebanyakan junk food bisa bikin organ sekunder jadi gede..." lanjut Rendy sambil tetap heran.
Kami berdua menunggu Nayla yang sedang mengantri di kasir swalayan, dengan belanjaan yang super asing buat kami berdua. Cemilan. Soda. Biskuit. Apapun. Pikirkan apapun yang ada di rak makanan ringan di department store. Itu semua tampaknya ada di keranjang belanjaannya.
"Udah" senyumnya menghampiri kami.
"Abis ngerampok dimana?" jahilku. Nayla hanya menjulurkan lidah ke diriku. Inilah yang terjadi kalau anak umur 15 tahun terperangkap di tubuh perempuan umur 23 tahun.
----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------
"Serius lo, jangan tinggalin gue sendiri disini" mohon Rendy berbisik pagi itu.
"Kenapa sih... gue mau ngantor nih" jawabku kesal.
"Gak kuat men... gue...."
"Apaan sih, ngomongnya kayak om-om mesum gitu?"
"Lo gak liat tadi pagi sih..."
"Tadi pagi ada apaan?"
"Posisi tidur dia di sofa gak bener gitu... Tumpah kemana-mana, gak kuat gue sumpah"
"......" Aku tak peduli dan segera berpikir untuk buang air kecil.
"Ya ampun!" kagetku. Nayla sedang duduk di kloset, dalam pakaian tidurnya, menyikat giginya dengan malas dan menonton sesuatu di handphone.
"Ngapain sih..." tegurku.
"Inmli egnaien tuyb blltbra" jawabnya dengan sikat gigi tertancap di mulutnya.
"Yang jelas dong kalo ngomong"
"Sshyusah aksn langau gsoak gaigie"
"Buang dulu itu" dia bangkit dan meludahkan pasta gigi dari mulutnya ke wastafel.
"Lagi sikat gigi, sambil nonton ini" jawabnya dengan muka jahil.
"Udah tau, mbok ya satu-satu dikerjain dong..."
"Mbaksda asbblrb brasgaaaeoeih" Jawabnya lagi dengan sikat gigi kembali terpasang di mulutnya.
"Keluar ah. Gue mau pipis!" dan Nayla pun kabur.
----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------
"Sepupu lo kapan ada di Jakarta lagi?" tanya Karen dari balik setir.
"Ga tau, tapi bakal sering ke Jakarta dia, masih nyari kerjaan"
"Rendy jadi norak ya"
"Dia mah kalo ada Anggia juga gitu. Cuma gue heran, kalo sama elo kok gak norak" bingungku.
"Jadi maksudnya gue ga secakep mereka gitu?" tanya Karen jahil.
"Bukan gitu maksudnya..." aku menghindar dari pertanyaan itu.
"Tapi Anggia aduh... Gue kalo jadi cowok pasti senorak itu sama dia"
"Kenapa emang?"
"Cantik gilaaaa... Kalah tuh model-model yang suka seliweran di catwalk"
"Oh.." jawabku biasa saja
"Nah malah elo yang bisa-bisanya gak norak sama Anggia"
"Namanya juga temen..." jawabku ringan.
Kami sedang menuju ke apartemen baru yang disewa Karen. Di belakang kami ada satu mobil pengangkut barang yang mengangkut barang-barangnya dari Bekasi. Tadi setelah dari Bekasi, Karen menjemputku di apartemen. Harusnya Rendy ikut juga. Tapi dia terlalu sibuk tidur setelah begadang kerja semalaman.
Sudah dua minggu sejak pertemuan Karen dan Nayla yang membuatku memikirkan soal hubunganku dengan Karen. Dibilang teman ada jarak, dibilang pacaran juga kami tidak melakukan apa-apa.
"Makasih ya sebelumnya"
"Gapapa"
Setibanya di Casablanca kami bergegas memandori tukang angkut untuk menurunkan barang. Ternyata banyak juga barangnya. Banyak sekali pakaian yang ia bawa. Aku curiga semua proses ini akan memakan waktu sangat lama. Hari sabtu ini akan sangat panjang. Dimulai dari pagi ini.
------------------------------------------
Aku kecapaian. Pukul 9 malam. Aku duduk di karpet, bersandar di sofa, dengan rokok menyala dan dengan malas kuhisap. Karen keluar dari kamar, sudah berganti kostum. Celana jeans belel dengan t shirt print, dan jaket kulit membalut tubuhnya.
"Yuk makan"
"Males...."
"Kecapean?" aku hanya mengangguk untuk mematikan rokokku di asbak.
Karen lalu duduk disebelahku. Dia menyodorkan rokok kepadaku. Aku mengambilnya. Sebelum aku menyalakannya, dia menyodorkan api kepadaku dari koreknya.
"Bales yang kemaren" senyumnya manis. Kami lantas duduk berdua, selonjoran dengan latar belakang apartemen yang baru ditata. Bahunya menempel pada bahuku.
"Coba ada Rendy" celetukku.
"Iya, jadi kita gak tepar kayak gini"
"Tepar dan laper"
"Ke Kokas makanya"
"Udah jam 9... Apa kek gojek aja atau delivery" balasku.
"Boleh..." Karen lalu membuka aplikasi di handphonenya.
"Terserah deh pesenin apa aja..." bisikku lemas.
Sekitar lima menit Karen mencari-cari inspirasi untuk memesan makanan.
"Jujur.."
"Apaan?"
"Gue gak ada ide"
"Apaan dong yang harus kita makan" Aku menengok ke arahnya. Karen juga menengok ke arahku. Dari dekat mukanya memang terlihat makin manis dan menggemaskan. Dia tersenyum kecil saat melihat wajahku.
"Lucu" bisiknya. "Dari gak kenal sama sekali lo bisa bantuin gue pindahan sekarang"
"Nasib itu namanya.." bisikku juga.
Mendadak dia bersandar ke badanku. Dan melanjutkan ritual memainkan handphonenya.
"Kasih gue ide dong..." Karen meminta inspirasi untuk memesan makanan.
"Ide apaan?" Tanganku meraih ke arah kotak rokoknya, karena rokokku habis.
"Eh" Karen kaget. Karena tanganku malah menyentuh tangannya yang sedang beristirahat di arah pahanya. Aku pun kaget, karena tadi di sana ada kotak rokok. "Colongan!" senyumnya jahil.
"Engga kok, lagian rokoknya lo taro mana?"
"Nih" tangan satunya memegang kotak rokok. Aku harus meregangkan badan meraihnya. Karen dengan jahil menjauhkan kotak itu dariku. Dia tertawa saat aku bersusah payah mengambilnya. Aku berhasil menangkapnya. Tapi tenagaku berlebihan. Karena sekarang posisi kami sangat awkward. Karen seperti ada di dalam pelukanku. Karen hanya membuka mulutnya dengan aneh, dan melihat mataku dalam-dalam. Aku tak tahu harus berbuat seperti apa. Kami terdiam.
Nafas kami bertemu. Dan terjadilah ciuman itu.
--------------------------------
BERSAMBUNG