THE LUCKY BASTARD – PART 38
----------------------------------------
Aku terengah-engah memasuki lift. Dengan tak sabar aku menunggu kotak besi itu mengantarku ke lantaiku. Buru-buru aku melangkah ketika pintunya terbuka untuk segera masuk dalam unit apartemenku. Ketika aku berusaha merogoh kunciku, pintu mendadak terbuka. Muka Rendy muncul dengan ekspresi khawatir. Khawatir kepadaku. Dia melirik ke arah Karen yang sedang duduk disofa. Asap rokok membumbung di sekitarnya. Aku langsung menghampiri Karen.
Rendy menyingkir dan masuk ke kamar.
"Lo kemana aja?" sinis Karen.
"Maaf tadi macet.."
"Kalo lo gak pake makan dulu sama mantan sih ga bakal telat"
"Hei... Kok konteksnya jadi aneh?"
"Ngapain pake makan dulu sama mantan?"
"Aduh... Dia junior di kantor... Dan tadi udah laper banget... Dan tau dari mana dia mantan gue?" belaku.
"Emang lo pikir gue ga pernah cari tau soal elo?? Dan gue udah nungguin lo!" bentaknya. Mukanya terlihat sangat serius.
"Dan lo telat. Gue gak suka" Karen membuang muka.
"Hei.. Kan cuma telat setengah jam, lagian kan masih bisa nunggu disana... Lo tau kan Jakarta.. Jalanannya kayak apa?"
"Jangan kebanyakan alasan"
"......"
"Dan ayolah... Gue udah ga ada apa-apa lagi sama Nica Nica itu...."
"Lo makan bareng dia"
"Soalnya tadi rapatnya bareng dia"
"Gue gak suka"
"Habis mau gimana?"
"Just... Shut up!" bentaknya.
Aku mengambil nafas panjang. Aku berusaha mendekatinya, menyentuh pundaknya. Dia menghindar. "Sayang..." bisikku.
"...." Karen hanya terdiam.
"Jangan kayak gini dong" aku berusaha memeluknya.
"Lo gak tau.... Gue gak suka kehilangan rumah gue..." bisiknya marah. Rumah. Itu yang dia deskripsikan soal diriku sewaktu dulu pertama aku menginap di apartemennya.
"Gak bakal"
"Janji?"
"Ayolah... Udah, gue gak akan telat lagi...." bujukku menenangkannya. Karen hanya diam saja. Tetapi kurasakan ledakannya masih ada walaupun dalam hening. Aku tidak suka terjebak dalam situasi seperti ini. Apapun salah. Semuanya salah.
Kami diam seribu bahasa. Karen masih mendiamkanku sambil menyalakan rokok kembali.
"Gue udah gak ada apa-apa lagi sama Nica"
"....."
"Gue yang mutusin dia karena gue ngerasa kita gak cocok, puas?" nada kekesalan terdengar dari kata kataku. Karen hanya membiarkan tubuhnya tenggelam di atas sofa sambil mematikan rokoknya.
"Maksudnya apa mendadak cerita gitu?" tanyanya sok cuek.
"Ngasih tau kalo gue udah ga ada apa-apa lagi." tanganku mencoba menyentuh tangannya. Di tidak bereaksi. Tidak menghindar namun juga tidak menolak. Dan hening itu kembali muncul.
"Lo rumah gue.... Gue gak suka ketika gue butuh rumah buat bernaung setelah energi gue habis gak ada pas gue butuhin....." ujarnya pelan. Aku hanya menelan ludah, dan memilih kata-kata secara acak dalam kepalaku. Aku sedikit merasa reaksinya malam ini berlebihan, tetapi akupun mencoba mewajarkan dan menempatkan diriku dalam kepalanya. Mencoba membayangkan pekerjaan yang menguras fisik dan mental, serta tidak adanya kebebasan dalam berekspresi pastilah juga menuntut pelampiasan kenyamanan yang tinggi.
Aku berusaha memeluk nya dan membisikkan sesuatu kepadanya. "Gue bakal bikin lo nyaman terus. Janji" bisikku. Karena berjanji untuk tidak telat di kegilaan traffic Jakarta adalah omong kosong. Aku yakin pemicu utamanya adalah kejadian dengan Nica malam ini. Kejadian sepele. Namun dia belum memahami seluk beluk hubunganku dengan Nica sebelum dan sesudah kami berpacaran. Dan kupikir aku sudah menjelaskannya tadi.
"Janji?"
"Janji"
Karen lalu menyandarkan dirinya kepadaku, masuk dalam pelukku. "Lo disini aja... Biar besok pagi aja pulangnya" bisikku pada Karen. Aku bisa merasakannya mengangguk dengan lemah.
----------------------------------------
Aku terbangun. Gerak gerik Karen membangunkanku. Dia tidur bersamaku, dalam balutan t shirt dan boxerku yang kebesaran untuknya. Aku menatap matanya yang terbuka dengan malas.
"Gak bisa tidur?"
"Masih kepikiran"
"Kepikiran apaan?"
"Kalo lo bener bisa jadi rumah buat gue dan lo gak main-main"
"Gue ga pernah ngingkarin janji...." bisikku ke Karen, sambil mencium keningnya dalam-dalam. Dia memelukku pelan. Aku menghirup wangi rambutnya, dan meletakkan dirinya di dalam pelukanku. Dengan perlahan kami bergumul di atas kasurku.
"Udah lama lo gak nginep sini" bisikku.
"Besok-besok diseringin deh" senyumnya tipis. Ekpresi diantara masih kesal dan senang.
Kami lantas berciuman dengan pelan, saling menyentuh dan merasakan tubuh kami masing masing. Cukup lama. Cukup lama untuk merubah rasa mengantukku ke hasrat yang lain. Yang kini merubah ciuman mesra menjadi french kiss yang panas. Sering aku mendengar pasangan yang berkelahi akan menjadi lebih bergairah jika setelahnya mereka melakukan hubungan seksual.
Aku berusaha menerima ciuman Karen yang ingin membaringkanku telentang. Ketika ia berhasil, ia lantas beringsut dan merayap ke atas badanku. Karen duduk diatas pahaku, dengan punggung tegak, menatapku dari atas dengan ekpresi yang multi tafsir. Perlahan dia membuka t shirt yang ia pakai. Kulit putihnya terlihat menyala di kegelapan. Semuanya kini terasa berbeda. Jika tadi aura buruk yang terasa, kini semuanya terasa baik baik saja. Aku menariknya, memeluknya, merasakan kelembutan kulitnya.
Aku menempelkan mukaku pada payudaranya yang lembut. Menciuminya, memainkan kulit permukaannya. Nafas Karen terasa berat, dan tangannya dengan lembut memegangi kepalaku, mengizinkanku melumat kedua buah dadanya. Aku melumatnya sambil meraba bagian bawahnya, melucuti celana yang ia pakai. Karen akhirnya benar-benar telanjang bulat dalam pelukanku. Kecantikannya tetap terlihat dalam gelap. Dia mendorongku, dan memaksa dengan pelan agar aku ikut membuka bajuku.
Aku menurut.
Tak lama setelah bajuku terlucuti, Karen memelukku dan menciumi dadaku. Tangannya menggenggam penisku dengan lembut, mengocoknya perlahan. Tak jarang ia berhenti untuk menyentuh halus semua bagiannya. Karen lalu merayap kebawah.
Karen mulai menciumi penisku perlahan. Menciuminya dengan lembut dan mesra. Tak berapa lama dia membuka mulutnya, memeluk penisku dalam bibirnya yang cantik. Perlahan ia mengulumnya, sementara kedua tangannya meraba pahaku. Karen dengan pelan menggerakkan kepalanya, sambil menatapku dengan mesra. Pemandangan yang sangat indah.
Karen terus mengulum penisku dalam diam. Rasanya luar biasa. Rambut pendeknya terlihat indah dalam situasi seperti itu. Cukup lama dia melakukannya, dengan penuh kenyamanan dia melakukannya. Mendadak ia berhenti. "Sayang..." dia menghela nafas. "Jangan pernah tinggalin gue" pintanya dalam gelap, dengan ekspresi muka yang teramat manja, sehingga kita tidak akan mampu menolaknya. Aku mengangguk sambil tersenyum dan mengusap rambutnya. Dia tersenyum balik padaku dan beringsut ke arah pangkuanku. Dia mendudukiku dan berusaha memasukkan penisku ke dalam vaginanya.
"Sayang... uhhh..." rintihnya keenakan saat penisku amblas ke vaginanya. Aku meraih tangannya, mencium tangannya, sedangkan ia mulai menaik turunkan pantatnya diatas tubuhku. Karen tampak sangat cantik. Sangat menggairahkan. Aku memutuskan untuk diam dan menikmatinya. Melihatnya menahan rintihan dan desahan, sambil beraksi di atas tubuhku. Karen tampak bahagia. Aku tak tahan lagi. Aku bangkit.
Kucium bibirnya dengan erat dan penuh gairah. Tangannya lalu memeluk leherku, dengan pinggangnya kupeluk erat. Kami bersatu lagi malam itu. Di dalam hati aku berharap tidak akan pernah mengecewakannya lagi. Kami saling berusaha memuaskan dengan saling memompakan alat kelamin masing-masing. Karen berusaha untuk tidak bersuara. Dia tahu betul di kamar sebelah ada Rendy, yang sedari tadi sejak kami berdua berdebat tak sedikitpun keluar dari kamar.
Kami berciuman dengan penuh hasrat. Aku beringsut dan duduk di tepi kasur, meremas pantatnya dengan lembut, dan terus memberinya kenikmatan lewat penisku. Kakinya melingkari dan saling berkait di pinggangku. Pelukannya sangat erat, dada kami berdua bertemu dan ciuman kami tetap lekat. Tak jarang kami saling menatap, untuk menikmati wajah masing-masing di tengah kegelapan malam. Karen mendadak tersenyum, dan mendorong badanku jatuh ke kasur. Dia lantas mencabut badannya dari penisku. Dia bergerak, berubah posisi.
Mulut vaginanya kini ada di depan mukaku, dengan kepalanya ada di hadapan penisku. Tanpa aba-aba dia langsung menghisapnya dengan lembut, sambil memeluk pahaku dengan lembut. Aku bereaksi hal yang sama, perlahan aku berusaha menjilat bibir vaginanya sambil memeluk pantatnya.
Kami dalam posisi itu sangat lama. Beberapa kali badan Karen bergetar karena kenikmatan yang aku lancarkan lewat bibir dan lidahku. Itu membuat kulumannya menjadi tidak beraturan ritmenya. Karen melepas penisku. Tampaknya dia merasakan nikmat yang luar biasa dari permainan lidahku. Aku melakukannya sambil meremas pantatnya perlahan, dan kurasakan otot-otot kakinya menegang. "Sayang..." bisiknya. "Terusin..." lanjutnya manja. Dia hanya terkulai di atas badanku, menikmati stimulasiku.
Aku bisa merasakan reaksi badannya dalam menunggu kenikmatan datang. Lidahku bergerak dengan semangat, menjelajahi permukaan vaginanya. "Ugh..." mendadak ia menegang, sedikit bergetar dan pada akhirnya kudengar nafas leganya. Dia berbalik, ingin memelukku. "Enak sayang.... gak seenak kalo pake itu sih... cuma tetep enak" ujarnya berbisik sambil meraba penisku. "Gue bikin lo enak juga ya" bisiknya manja.
Karen beringsut ke bawah, duduk di samping kasur, dan mulai mengulum penisku dengan lembut. Dia sangat berkonsentrasi untuk memuaskanku. Kepalanya dengan rajin naik turun dan tangannya aktif mengocok penisku. Karen. Aku tak akan mengecewakannya lagi. Aku merasakan perlahan kenikmatan menjalar dari dalam penisku. Aku tercekat diam, saat penisku memuntahkannya. Karen hanya tersenyum, ke arahku dengan bibir basah dan sperma yang menetes dari mulutnya. Dia tersenyum dalam heningnya malam.
----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------
"Karen masih tidur?" tanya Rendy
"Masih.. Gue mau ga mau bangunin dia kepagian" Jam 7 pagi. Aku merokok setelah sarapan.
"Terus ntar?"
"Gue anter ke apartemennya"
"Jam berapa? ntar telat ngantor lho"
"Ah paling telat bentar doang... Kasian kalo naksi, dia ga bawa mobil kan semalem" jelasku.
"BTW... sori ya men..."
"Sori apaan?"
"Kagak, Karen sering nanya-nanya ke gue soal sejarah lo... Dia tau soal Nica dari gue..."
"Gapapa, ga ada yang perlu ditutupin" jawabku mengingat pertengkaran singkat semalam. Aku hampir meringis mengingatnya. Sepele memang. Kenapa dia harus pergi ke apartemenku. Kenapa dia tidak langsung pulang? Aku paham memang, ketika kita sedang marah, kita tidak ingin melihat pesan atau mengangkat telpon dari siapapun. Tapi kenapa harus pulang ke apartemenku?
----------------------------------------
"Sayang, weekend ini jangan lupa ya... Love you <3" pesan singkat dari Karen kembali kuterima siang itu.
"Karen?" tanya Anggia sambil mengunyah makanan.
"Iya"
"Udah gak marahan?"
"Udah lama kali kejadian itu....."
"Kasian lo siang itu, datang kantornya tumben jam 11 an... Biasanya jam 10 dah stand by, pake nganterin dia dulu balik sih..." nada bicara Anggia agak mengeluh.
"Biarin ah... Kasian tau..." kesalku.
"Terus jadi weekend ini lo ke premier filmnya dia?" tanya Anggia
"Jadi"
"Waduh"
"Kenapa?"
"Lo kan gak suka acara hingar bingar rame gitu...." Muka Anggia terlihat khawatir.
"Biarin lah.... sekali-kali" aku tersenyum terpaksa.
"Jangan dipaksain dong..."
"Gak papa, gue yang pengen kok" bohong. Karen yang memintaku.
----------------------------------------
----------------------------------------
----------------------------------------
"Karen, liat sini dong!"
"Kenalin pacar barunya dong"
Hingar bingar pertanyaan wartawan di acara itu memusingkanku. Tak cuma Karen memang yang jadi santapan media, tapi semua pemeran di film itu. Dan mereka semua tampak dengan ramah melayani pertanyaan-pertanyaan tersebut. Aku hanya diam, menggandeng Karen dengan muka dan senyum kaku yang sudah kuprogram dari tadi.
Mereka, para pemeran film itu adalah santapan buas para wartawan. Pertanyaan-pertanyaan yang lebih buas dari pertanyaan kerabat saat lebaran menghujani mereka. Benar Anggia bilang, aku tidak mungkin bisa nyaman ada di situasi ini. Apalagi tidak ada yang kukenal selain Karen. Yang sekarang sudah hilang dari tanganku, dan berada di hadapan puluhan kamera, berpose dengan pemeran-pemeran lainnya. Mereka yang biasa kulihat di layar kaca. Senyum-senyum sumringah dan diatur. Pertanyaan yang kacau dan jawaban yang sudah disiapkan sebelumnya. Aku celingukan mencari sudut yang bisa digunakan untuk merokok. Aku sudah sering ke bioskop ini. Aku hapal letak smoking areanya.
Aku berusaha menghampiri Karen, menatap wajahnya dari jauh, memberi tanda bahwa aku akan ke smoking area. Karen melihatku, tapi lantas dia tidak menangkap maksudku. Perhatiannya keburu tersita oleh serombongan orang yang menghampirinya, yang kemudian bersalaman dan mencium pipinya. Aku menyerah. Aku memilih untuk tidak ke smoking area, untuk menghindari sulitnya Karen mencariku. Bibirku gatal dan asam. Kupingku tidak nyaman oleh semua obrolan yang tak kumengerti ini. Musik latar yang terlalu keras. Bau parfum yang bercampur. Kilatan cahaya flashlight kamera. Keringat manusia.
Aku kembali melihat Karen. Aku seperti tak tampak di matanya. Dia terlalu sibuk tersenyum dan meladeni semua obrolan yang menghampirinya. Jarak kami hanya 10 meter, jarak yang terasa bagai ribuan kilo dimataku.
------------------------------------------
"Gue ke WC bentar ya?" bisikku ke Karen.
"Jangan lama-lama.... Bentar lagi rame lagi" aku mengangguk dalam kegelapan.
Akhirnya aku bisa merasakan sepi. Di wc. Aku tak tahu kalau buang air kecil si wc bioskop bisa semenyenangkan dan selega ini. Rasanya sangat nyaman. Apalagi tanpa ada siapapun lagi disini, cuma cleaning service yang sedang membersihkan kaca.
Sempat tergoda untuk merokok. Tapi sepertinya terlalu lama akan kuhabiskan waktu. Dengan enggan aku kembali ke dalam bioskop. Meninggalkan salah satu teman terbaikku. Sepi.
------------------------------------------
"Biasa aja ya?" senyum Karen dengan manis di kursi penumpang.
"Lumayan... Tadi lo bagus kok disana"
"Jangan bandingin gue tapi sama bintang utamanya... Mereka lebih banyak main film daripada gue..." bener, ini film pertamanya Karen.
"BTW, kok daritadi ga brenti-brenti ngerokoknya? Gue kan jadi pengen" seloroh Karen sambil merogoh ke dalam ranselnya yang ditaruh di jok belakang dengan agak repot. Repot memang bergerak di mobil dengan mengenakan stretch dress seperti itu.
"Ga takut diliat orang dijalan?" tegurku dalam muka kuyu.
"Udah ga tahan" serunya sambil menyalakan rokok pertamanya setelah sukses menahannya berjam jam.
Untung jarak dari Djakarta Theatre ke Casablanca tidak terlalu jauh. Lagipula hari sudah sangat malam. Kelam. Sekelam hatiku yang merasa tak nyaman. Seperti ikan air laut yang habis berenang di danau. Aku sangat menantikan kasur apartemen Karen yang bau rokok itu.
"Tumben diem aja" tegur Karen.
"Kan biasanya juga gak banyak omong"
"Malem ini lebih lebih lagi. Gak nyaman ya?"
"Biasa aja kok..."
"Yaudah... Ntar lama-lama biasa kok" ujarnya cuek sambil menatap jalanan yang berangsur sepi.
Berat rasanya mengakui itu. Tapi harus kusuarakan.
"Tapi... Tadi itu asing banget rasanya"
"Premier? Wajar kok... Apalagi kalo buat orang yang ga kerja di industri itu" jawab nya.
"Gue susah banget bisa bener-bener bareng elo tadi" keluhku.
"Yah namanya juga kerja, ini bagian dari kerjaan juga lho..."
"Tapi...."
"Kalo emang gak suka, kalo ada lagi gak ikut juga gapapa kok..." jawaban tajam yang jujur.
"Bukan gitu... Cuma gue ga familiar banget dan gue pikir lo bakal mandu gue atau seenggaknya nemenin gue yang asing sama kondisi tadi..." keluhku panjang.
"Sayang, gue itungannya kerja tadi... Oke? Gak usah diambil hati gitu, udah lah.... Ntar lama-lama biasa kok" senyumnya berusaha menenangkanku, sambil menepuk pahaku pelan. Aku tersenyum balik dengan terpaksa. Rasanya seperti rasa tidak nyamanku disepelekan.
----------------------------------------
Aku berbaring menerawang, menatap langit-langit. Karen masih menuntaskan ritual mandinya. Aku bahkan belum membuka pakaian lengkapku, sedang berusaha menguatkan perasaan bahwa itu hanyalah perasaanku yang sensitif saja mencoba mengambil alih. Aku membayangkan reaksi orang-orang terdekatku bila kuceritakan perasaanku. Rendy dan Anggia pasti akan bersuara sama, agar aku tidak datang ke acara seperti itu lagi.
Karen keluar, dengan rambut yang sudah kering oleh ulah hairdryer, dengan badan indahnya hanya berbalut handuk. Dia tersenyum pelan.
Dia mematikan lampu dan menutup pintu kamar mandi. Lalu membuka handuknya. Tubuhnya yang putih bersih, tanpa sehelai benangpun tertampang di hadapanku.
"Kalau lo masih ngerasa gak nyaman, coba sini gue bikin nyaman...." godanya sambil merayap ke arahku.
----------------------------------------
BERSAMBUNG