THE LUCKY BASTARD – PART 24
----------------------------------------
"Kesel gue" Anggia menatap tajam ke aku dan Rendy pagi itu. Kami berkumpul di balkon kamar utama. Semalam Anggia benar-benar rewel dan merajuk padaku untuk menemaninya tidur lagi, karena kegagalannya semalam. Aku dan Rendy saling lihat-lihatan. Muka kami entah antara kasihan padanya atau ingin tertawa. Anggia yang legendaris mendekati lelaki gay. Kalau seantero anak jurusan kami tahu, entah bagaimana jadinya.
"Tapi gw jadi takut euy" celetuk Rendy
"Takut apaan?" tanyaku
"Iya si Lucas kan gay... entar gue diapa-apain lagi"
"Ya kali Ren..."
"Serius men"
"Lo suka cewek kan Ren?" tanyaku lagi
"Iya"
"Lo mau merkosa Anggia gak sekarang?"
"Gila lo! Ya gak mau lah"
"Ya sama aja kali mereka, cuma bedanya mereka suka cowok aja" Rendy lalu mengangguk berusaha untuk paham.
"Masalahnya dia gak melambai atau kecewek-cewekan! itu kan nipu banget!" seru Anggia setengah berbisik.
"Ya... banci salon aja kan mereka biasanya punya anak dan beristri, cuma kelakuannya aja yang begitu.." jawabku ringan.
"Si bule satu ini laki banget! Gak ada gay-gay nya!" Anggia masih belum terima.
"Beda kali Nggi pembawaan ama sukanya ama apa" aku menahan geli melihat tingkah Anggia.
"Kenapa dia gak bilang dari awal sih....."
"Mungkin dia ga nyangka kalo elo flirting ama dia..."
"Mana bisa gitu"
"Ya buktinya sekarang bisa"
"Pokoknya gue mau pulang ke Jakarta" keluh Anggia
"Ya mana bisa kayak gitu...." jawab Rendy. "Udah lah nikmatin aja sisa liburannya" lanjutnya.
"Bodo.. mana gw masih hangover berat lagi... terserah kalian deh hari ini mau kemana! Gue mau di sini aja"
------------------------------------------
Aku menyetir siang itu dengan santai, berkeliling Ubud dengan ringan, tanpa rencana-rencana ribet Anggia dan kepatuhan Rendy terhadapnya. Anggia memutuskan untuk tinggal di Villa, meredakan hangovernya. Lucas entah kemana, mau jalan-jalan kaki sendiri. Dan Rendy sudah dijemput Arya tadi, berdua entah kemana. Tinggal aku dan Val yang tersisa hari ini, dan kami berdua akhirnya jalan bareng.
Tak banyak yang aku tahu soal pulau ini, jadi dengan bodohnya aku hanya mengulang rute jalan-jalanku dulu bersama Dian dengan Val.
"So... She's takin' it hard rite?" tanya Val membuka percakapan di mobil
"Who?"
"Anggia... about Lucas"
"Well...." aku bingung harus menjawab apa, reaksi yang menyebabkan Val tertawa.
"You're close to Lucas?" tanyaku
"Very close. We share a same taste in boys" tawanya. "How 'bout you? Any siblings?" lanjutnya.
"Nope. I'm the only child"
"That's why you're like this" senyumnya.
"Like what?"
"Overthinking problems. Because you don't have siblings to share anything" benar juga. Aku baru menyadarinya. Dan dia satu-satunya yang pertama mengobservasiku seperti itu, walau hanya baru kenal selama tiga hari.
------------------------------------------
Kami duduk berdua didepan gelato shop yang cukup terkenal di Ubud. Waktu aku bersama Dian ke Bali, tempat itu jadi salah satu tujuan utama Dian. Dian and ice cream, pasangan sejati, setidaknya itu yang kuingat dari dia.
"Anjing..." seru Val dengan muka aneh. Aku hanya tertawa. "That's how you curse people?" tawanya.
"Yeah" jawabku dengan konyol.
"But you said Anjing is Dog..."
"That's true"
"How can you curse people by calling them the name of the most loyal animal in this planet?" bingungnya. Aku hanya tertawa dan fokus memakan gelato di tanganku.
"And let me try again... Ngen.... Damn... Ngen..." Val berusaha mencoba memaki dalam bahasa Indonesia.
"Ngentot" bisikku.
"Yeah, whatever. It's so hard to say 'fuck' in your language" tawanya. Mendadak dia memperhatikan mukaku. Menyentuh bawah hidungku. "So sloppy" ujarnya sambil tersenyum. Ternyata ada bagian yang terkena gelato. Lucu. Bahkan akupun tidak menyadarinya.
"Let's do this often for the rest of your stay in Bali" bisik Val.
"Do what?"
"Like this, just the two of us, five's to crowded" bisiknya lagi dengan senyumnya yang manis.
------------------------------------------
Perjalanan hari ini dengan Val ternyata sangat menyenangkan. Harus diakui, aku memang curang dengan mengajaknya ke tempat-tempat yang pernah kudatangin bersama Dian. Tapi mendatanginya dengan orang baru dan semangat baru ternyata bisa membuatku sedikit lebih ceria. Dan Val menyadari hal ini. Dia merasa bangga bisa membuatku banyak bicara dan tertawa dalam waktu hanya tiga hari. Entah mengapa. Apakah karena suasana Bali yang begitu mendukung ataukan koneksi instan antara aku dan Val sangat membantu.
Malam itu kami duduk berdua di bar. Ditemani keramaian disana, dengan bir di tanganku dan minuman entah apa di tangan Val. Kami berbincang sangat banyak, dan aku baru banyak tahu soal Michigan dari dia. Selama ini aku tidak pernah mendengar informasi apa-apa soal kota tersebut dari siapapun. Dan percakapan kebanyakan didominasi oleh informasi mengenai dirinya dan Lucas, hingga mungkin Val pun ingin tahu banyak soal diriku.
"So tell me more about yourself..." dia memulai penyelidikannya.
"Well... Feel free to ask"
"How old are you?" tanya Val membuka rentetan pertanyaan.
"30"
"Im 25. What do you do for a living?" pertanyaan kedua.
"Graphic Designer"
"Cool. I jusy graduated from college"
"What major?"
"Psychology" pantas. Deduksinya lumayan tajam.
"That answers a lot of things" jawabku.
"Such as?"
"Why are you observing me, for example?"
"Not just you" dia tersenyum kepadaku.
"I bet your ex isn't the only thing that bugging your mind" selidiknya. Aku hanya senyum tertahan. "I bet she's not only cute and innocent. And i also want to know why it's not working". Aku menghela nafas panjang. "But if you don't want to, it's okay. I'm not trying to be your shrink. It's just painful to see you daydreaming, just smoking outside, gazing into nothing". Mendadak dia tersenyum dan memegang tanganku lembut.
"Okay..." Aku menghabiskan botol bir di depanku, dan lalu menyalakan rokokku. Musik di bar tersebut terdengar makin keras, seperti ingin melalap suaraku. Tapi akhirnya aku beranikan diri berbicara.
"It's not working because....... She's like giving me all that she got, her time, her attention, her everything to me... But....."
"She demands too much?" tanyanya
"Her idea about her future, the obsession with marriage.. and after we separated, she's still sending me messages.... And...." aku seperti tercekik.
"And?"
"If we're alone, she always speaks to me as if we're still a couple......."
"Really?" aku hanya mengangguk.
"She had this big idea about you. It's obvious that you can't give what she wants, but she believes that you're the one no matter what" sangat menggambarkan kondisi Nica sekarang. Entah mengapa yang ia gambarkan mirip seperti yang orang-orang gambarkan soal diriku, dan ideku akan Dian.
"Is she like this since the beginning?" tanyanya.
"Nope"
"So? Since when?"
"Since she met my other ex" Aku berhenti sejenak dan menarik nafas panjang.
"It's allright if you want to stop talking" ujarnya menenangkanku. Aku menatap mukanya yang selalu tersenyum.
"We can speak later. We still got four days. Now i want to drink" lanjutnya dengan tenang.
------------------------------------------
Di bar itu ternyata Val minum cukup banyak. Tapi entah mengapa dia tidak semabuk Anggia dan Nica waktu pesta pernikahan beberapa waktu yang lalu. Mungkin dia sudah biasa, atau yang dia minum tidak sebanyak yang kupikirkan. Dalam hati aku sedikit bersyukur karena aku tidak begitu menyukai minuman keras lain selain bir dan wine. Karena sudah semakin larut, maka aku memutuskan untuk segera membayar bill dan pulang.
Kami berjalan menuju tempat parkir perlahan. Aku berjalan di sebelah Val yang tampak terlihat senang malam itu. Sudah pukul 12 malam. Aku menarik nafas dan berhenti sejenak, menyalakan rokok dan memandang ke langit. "Cheer up" mendadak Val berbisik kepadaku, dan menggandeng lenganku menuju mobil. Beberapa pasang mata kulihat memperhatikan kami.
Di mobil kami berdua hanya diam, terkadang kulirik Val yang dengan lunglai bersender di sebelahku, yang pasti selalu membalas senyumku. Val memang manis, murah senyum dan benar-benar pendengar yang baik.
Dan ketika sampai di villa, kami disambut oleh Anggia yang bermuka kuyu.
"Masih hangover? Sekarang kan udah malem..." tegurku.
"Masih rada pusing..." jawabnya pelan. "Malem banget sih pulangnya"
"Apaan kayak nyokap2 aja sih Nggi...."
"Huh...." Anggia tampak sedikit bad mood, dan langsung menuju ke kamar atas.
Sejenak aku dan Val saling berpandangan setelah terdengar suara Anggia masuk ke kamar dan menutup pintunya. "Let's go to your room" bisik Val. Dia langsung berjalan ke kamarku. Aku mencoba mengikutinya, memperhatikannya kalau-kalau gaya berjalannya yang pelan menyebabkannya tersandung. Dia lantas melempar badannya ke kasur dan memainkan handphonennya. Aku duduk di samping kasur, dan melihatnya tersenyum sambil memainkan handphonenya.
"I love this one" celetuknya, sambil memperlihatkan foto selfie kami berdua memakan gelato. "What's your instagram account? i'll tag you" sumringahnya. Kami benar-benar melakukan obrolan yang menyenangkan malam itu.
Whatsapp. Aku berdoa mudah-mudahan bukan Nica lagi.
Ternyata memang bukan. Dari Anggia tapi.
"T_T" pesannya singkat
"apaan"
"sini dong"
"gue lagi ngobrol ama val"
"gue butuh elo"
"ntar ya"
"sekarang"
"nggi"
"sekarang sekarang sekarang sekarang sekarang"
Aku menghela nafas. "Sorry Val, i have to sleep now.." bisikku berbohong. "Whaaaat..... Come on, stay up a little bit longer" senyumnya. "Just wait... I have to freshen up a lil' bit", bisiknya, lalu mendadak dia tersenyum dan mencium pipiku dengan cepat. "Wait here..." lalu dia berjalan dengan muka senang ke dalam kamar mandi. Tadi itu apa? Aku merasakan diriku tersipu malu menerima ciuman Val.
------------------------------------------
Val sudah masuk kamar mandi, dan aku tak tahu apa yang akan terjadi setelahnya. Mendadak aku mendengar pintu kamarku dibuka. Anggia mendadak masuk.
"Lho"
"Kok gak ke atas" Anggia tampak kesal.
"Kan udah gue bilang"
Anggia mendadak memadamkan lampu utama, menyisakan lampu baca yang temaram. Dia memakai kimono tidur malam itu. Rambutnya diikat, tentunya dengan muka super jutek darinya yang pernah kulihat.
"Gue butuh elo"
"Iya tapi..."
"Gak pake tapi-tapi" Anggia membuka kimononya. Dia hanya memakai setelan dalaman bermotif floral berwarna pink. Dia merayap dengan cepat ke arahku, menimpa badanku. "Gue bilang gue butuh elo" bisiknya dengan nafas penuh nafsu. Dia memaksa menciumku, bahkan tangannya sudah berusaha untuk meraba masuk dalam bajuku.
Dan.
"What the hell...." Val keluar dari kamar mandi, tanpa pakaian. bisa kulihat bentuk badannya yang indah dengan rambut coklat panjang tergerai. Kulit putihnya terlihat sangat sehat. Mukanya masih kaget, melihat Anggia dengan pakaian dalamnya ada di atas tubuhku.
Aku dan Anggia pun melongo. "You said you're not lover" Val masih kaget. Kami pun masih kaget melihatnya telanjang bulat. "I just.. want.. to... " dengan awkward dia menunjuk ke arah dirinya dan diriku. "I'm Sorry" balas anggia dengan malu juga. "I thought you were not here..."
"But did you say.. you two are not together?" dahi Val berkerut, tapi mukanya tampak menahan senyum. "We.. we just... " aku dengan canggung menunjuk Anggia. "We... " aku dan Anggia saling melihat dengan panik.
Mendadak Val tersenyum. Dan dia duduk di kursi, tangannya menutupi buah dadanya yang proporsional. Aku dan Anggia malah kaget. "I get it..." celetuknya. "You... What?" kami berdua malah makin bingung, dari tadi posisi Anggia dan aku tidak berubah sama sekali. "You're one of those guys. Friends with benefits, rite?" senyumnya. "It's allright" lanjutnya. Tebakannya tidak salah. Malah sangat benar, dan membuat kami berdua semakin malu. Anggia mendadak beringsut mundur, mencoba meraih kimononya lagi.
"Sorry, I think I ruin your night..." maaf Anggia. "It's allright" senyum Val dengan muka malu. "I'm going back upstair..." ujar Anggia sambil menelan ludah, meraih kimononya yang jatuh ke lantai.
"It's okay" balas Val.
"Okay then..." Anggia bersiap untuk pergi.
"I said it's okay" Val tersenyum sambil melihat kami berdua dengan muka antara kegelian, excited dan malu. "Stay here.." lanjutnya.
"I think it could be insteresting..." Val bangkit dan merayap manja ke atas kasur.
------------------------------------------
BERSAMBUNG