Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

The Nymph of Mountain

----------------------------
Malaikat Hati


: tak pernah terkelupas
siluet membayang
jiwamu pada tatahan memoar batinku

'ngkau menjelma musim
mengutuh
mengharum ruap
menjadi udara bagiku

tetapi
tetap saja..
aku tak pernah
menjadi malaikat bagimu
------------------------------------


Selimut dingin diasuh gemericik tirai hujan.. berjatuhan tanpa jeda di bumi Dempo sediniharian.
Sementara.. di luar sana malam masih berpusing riuh angin kesiur..
Padahal.. harusnya rembulan penuh memandikan bersama rinai cahayanya.

Ya.. mestinya.. ia menemani dinihari ini.

Tetapi di sini.. saat ini.. aku masih terpapar.. terjaga dalam remang kematian cahaya.
Berusaha mencoba bersabar.. menunggu pagi datang.. tanpa tanya..

Ugh..! Seketika saja.. situasi dan kondisi seperti saat ini.. bagai mengusik.. lalu mengundang ingatanku menziarahi padang memoar.. segala kenangan tentang perempuan pertama yang kucinta.. setelah ibuku.
Ahh.. memori.. ingatan.. kenangan.. memoar.. Mereka njelma bagai tiupan tornado.. berpusing riuh.. membongkar hingga ke akar.

Brukk..! Tiba-tiba saja mereka menabrakku.. tanpa samasekali kuminta.. tak mampu kuhindari.
Semerta Ia nyelonong.. berjejal-jejalan hingga luap.. meluber semena-mena.
Terlalu banyak hal yang mampu menjadi pemicu.. dan muskil kutaklukkan.
Dan.. Itu cukup dahsyat menjebol bendungan otak kecilku.

Dari sore kemarin.. sejak mataku merekam tatap binar bening mata.. paras wajah.. lengkung dawai bibir.
Hingga mampu melecut tuas jantungku.. seketika berdesir-berdenyar-berdenyut.. seperti ditonjok.. atau terbentur benda tajam..

Ketika otak tak mampu memerintah mata untuk lekang.. tak bersitatap dengan indah sepasang mata gadis itu.

Mata itu..
Wajah itu..
Senyum itu..

Seperti pernah kubaca dan kutangkap.. sinarnya.
Seperti pernah mematri, melukisi menghiasi batinku.. parasnya.
Seperti pernah kucecap-kukecup lembut.. bibirnya..

Yang sanggup membuat wajahku saat itu pias.. terpucat.. bagai hilang darah..
juga bibir yang tiba-tiba mengering dan ludah yang terasa pahit ketika diteguk.

Menghumbalangkan hati, jiwa dan qalbuku.. serasa tercemplung dalam sebuah blackhole.
Teramat palung.
Kaku terdiam.
Perempuan yang kucintai.. kujuluki sebagai malaikat hati.

Lalu derai hujan.. rintik menggerimis.. lebat menderas.. silih berganti.
Lebih dari cukup sebagai detonator untuk meledakkan kenang..

hujan dan kenangan..
hmm..
sebuah kombinasi yang entah..

lantas..
terbuat dari apakah kenangan itu
apakah itu seperti segelas kopi
selalu dirindu hidu aromanya
atau
seperti lengkingan sax Kenny G
getir
dan menyayat di malam basah
bergelimang kabut

mungkin benar..
hidup adalah perca memori
penuh memoar
sebuah kisah sambung menyambung
pada kisah lain
terkadang..
rangkaian indah menyempurna
hingga
selalu inginkan ruapnya hadir lagi
dihidu
dalam senyum

kadang pula
tercabik sana sini
meninggalkan perih yang mengiris
tak diingin hadir
dilontarkan sejauhnya
agar
tak rembes airmata..


Masih dalam ruam dingin tenda.. meski sedang berdekapan berbagi kehangatan dengan sesosok mahluk indah..
justru semakin meluberkan segala ingatanku.
Seperti de javu.. tetapi pada tempat dan waktu berbeda. Ahh..

Memoar beberapa tahun berlalu.. terpancing ruap.. meluap.. bagai pipa air bocor. Memberai berloncatan dari file-file dan lemari otakku..
----------

Semester Gazal –ganjil..– tinggal menghitung hari saja.. tak sampai 2 – 3 minggu lagi usailah perkuliahan.
Saat itu.. seingatku di ujung semester 3.. persiapan libur semester, kumanfaatkan semepetku.

Aku sedang mencari-cari buku kuliah di sebuah toko buku di jalan Sudirman.. sekalian baca-baca buku-buku gratis..
–Gramedia belum ada kala itu, tahun 1993..– Hehe..

Soalnya.. saat itu emang cuma di sana satu-satunya toko buku yang lumayan bermutu.. di mana aku bisa membaca secara gratis.

Ketika aku sedang menikmati membaca buku Persiapan Seorang Aktor, karangan Stanislavski..
aku menyandarkan tubuhku di tembok di sebelah rak buku.. sebentaran saja aku telah tenggelam dalam imaji bacaanku..
cuek pada keadaan di sekeliling.

Entah pada halaman keberapa.. dan tanpa sadar aku menarik-narik hidung.. –kebiasaan burukku ketika sedang berpikir atau membaca–
saat itulah.. tiba-tiba aku melihat sebuah kepala.. muncul dari balik buku yang kupegang.

"Riza..!?" Seruku hampir tak mempercayai penglihatanku sendiri..

"Bara..? Bener Bara, kan..!? Kok nambah item..?"
Seruan riang sang gadis tak kalah sengit.. terkekeh geli.. menyaksikan aku yang melongo sembari mengucek-ucek mata.

Kami berdua tanpa sadar jadi ketawa-tawa lepas.. sambil berpegangan tangan erat.. berpelukan ringan beberapa saat..
hingga hampir saja aku kebablasan akan menciumnya..

Sampai tiba-tiba Riza mengingatkan.. bahwa kami saat itu sedang berada di tempat umum..
Repot juga kan kalo adegan ‘tak senonoh’ itu dilihat orang di sekitar kami, ya ga..? Hehehe...

"Ssstt.. banyak orang.." bisik Riza sembari melirik lalu menoleh ke arah sekitar kami.

"Hahaha.. iya. Sori. Yok.. nyari tempat ngobrol.." ajakku sambil menaruh buku yang tadi kubaca kembali ke tempatnya.

Kugandeng tangannya keluar dari toko buku itu.
Kami akhirnya mengambil tempat di salahsatu warung yang terdapat di sebelah toko buku itu.
Berhadapan duduk.. Tanpa pernah sekalipun kami melepas tatap dan tautan mata.
Amboii.. qalbuku tergetar. Lagi.

Meski ragu.. skeptis.. aku masih mencoba ‘membaca riak’ pada tatap bening mata itu.

Riak sendu yang cepat berubah tenang.. bernada rindu di sana.. benarkah..?
Ada palung nan berbinar.. bagai sinyal kebahagiaan di situ.. mungkinkah..?
Juga kerdip bertalu ceria.. bagai cerling lampu mercusuar.. pertanda apakah..?

Ahh.. masih sama. Tetap tak pernah mampu kumaknai dengan segenap kecerdasan emosiku..

"Eh, Bar, gimana aja kabarnya.. umm.. hampir 2 tahun yah..?" Ujarnya menyentak langut lamunku.

Ah.. ya. Hampir 2 tahun, terasa begitu lama memang.. apalagi bagiku.

"Hehe.. lumayan baik. Kamu..?" Tanyaku dengan mata berbinar.

Begitupun yang kubaca di binar jeli matanya. Mata yang selalu menyiramkan keteduhan.. dalam rindang teduhnya.
Yang selalu memberikan kenyamanan.. setiapkali menatap mataku.
Seolah selalu dan selalu saja berhasil merogoh.. menelisik.. menela’ah isi qalbuku. Ugh.

Seakan menyiratkan miliaran makna.. yang ga pernah mampu aku artikan.
Tiapkali itu dia lakukan. Bahkan.. hingga saat ini pun.

Setelah beberapa saat ngobrol ngalor-ngidul melepas kangen.. Riza lantas menceritakan tentang dirinya.
Bagaimana ia setelah tamat SMA.. lulus UMPTN.. hingga harus berangkat ke Jakarta untuk meneruskan kuliah S1-nya di Fakultas Kedokteran sebuah universitas negeri di sana.

Nah.. nantinya.. setelah kuliahnya tamat, ia kembali ke SumSel dan bertugas beberapa waktu di RSUD di Lubuk Linggau..
–sebuah Kota di Kabupaten Musi Rawas..– untuk kemudian kembali berdinas di RS di Jakarta. Kelak.. beberapa tahun kemudian.

Yup.. Riza. Nama lengkapnya RA Feriza. Lebih lengkapnya lagi.. Dokter Raden Ayu Feriza.


Tetapi.. gadis cindo –cantik, bahasa Palembang..– berdarah biru.. asli Palembang ‘nian’..
Keturunan ningrat.. bangsawan Kesultanan Palembang ini lebih suka dipanggil Feriza atau Riza.
Tanpa ada embel-embel gelar bangsawannya. Haha..

Entah kenapa.. dengan gadis ‘sahabatku’ satu ini.. aku benar-benar lumer selumer-lumernya.
Meski aku tau.. dan sadar sesadarnya.. perempuan cantik dan ayu ini.. jelas ‘ga selevel’ untukku.

Itu dalam artian strata sosial.. dan soal hati..! Aku bagai jangkrik yang merindukan bulan.. haha..

Tapi kalo soal otak.. bukannya sombong.. aku berani bertanding cepat mengerjakan soal matematika.. kalkulus sekalipun..
aku masih sanggup mati-matian.. dan ga akan kalah. Sungguh.

Maka dari itulah.. dengan gadis cindo satu ini.. aku lantas mencoba untuk dapat lebih bersikap pure..
seakan memang hubungan bilateral yang ‘murni persahabatan’ tokh.

So.. aku mengenal Riza sejak kelas 1 SMP. Selalu berada dalam kelas yang sama. A.
Alias.. kelasnya anak-anak yang ber-IQ diatas rata-rata. Hehehe.. bukan nyombong loh..

Semasa kami SMA saja yang berpisah kelas. Soalnya Dia memilih program A2 –Ilmu Biologi, IPA..– sebagai tujuannya.
Sedangkan aku.. lebih memilih program A3 –Ilmu Sosial– yang kurasa lebih sesuai dengan kepribadianku.

Lagian kupikir.. saat itu program A3 atau Ilmu-ilmu Sosial.. –IPS, kalo sekarang– lebih eksklusif.
Soalnya cuma menyediakan 3 kelas saja. Coba bandingkan dengan 5 kelas untuk Program IPA, terbagi 2 kelas A1 dan 3 kelas A2.

Zaman itu.. sekitar tahun 80-an hingga pertengahan atau akhir 90-an..
Kurikulum SMA masih menggunakan sistem program A1, A2, A3, A4 dan A5.. untuk SMA/MAN sederajat.

Kalo yang lebih spesifik lagi.. ya sekolah kejuruan.. seperti STM (Sekolah Teknik Menengah)..
SMEA (Sekolah Menengah Ekonomi Atas) atau SMIP (Sekolah Menengah Ilmu Pariwisata) dll. Dsb.

Nah.. Program A1 adalah program pelajaran yang lebih terspesifikasi pada Ilmu Fisika.
Sedangkan program A4 lebih khusus pada pelajaran atau ilmu Bahasa. Program A5 lebih terspesifikasi pada pelajaran Agama.

Sebenarnya.. Riza ini bisa dikatakan tipikal ‘gadis kemayu’ yang lumayan berani memberontaki adat istiadat Palembang..
yang dirasanya terlalu ketat dan mengekang bagi gadis-gadis asli Palembang.

Terlebih lagi dengan ‘gelar kebangsawanan’ yang disandangnya.. jadi semakin mengikat Riza –untuk tidak dikatakan ‘terpasung’..–
untuk bisa beraktivitas lebih luas. Terlalu banyak yang ‘harus dipandang’.
Ga boleh begini.. tak boleh begitu.. ini harusnya seperti itu.. itu mestinya beginu, eh.. begini.

“Repot..!” ungkapnya suatu waktu.. “Kalo aku sih mikirnya.. udah ga terlalu penting. Ga ngaruh sama kehidupan sehari-hariku.. ya kan..?
Lagian juga kayaknya Jadul banget, deh.. Pake gelar-gelaran segala..” ketika pernah kutanya mengenai tatanan dan hierarki serta adat istiadat Palembang, khususnya lagi yang terkait perempuan asli.. plus.. keturunan bangsawan. Hehe..

Sedikit mengenai Gelar pada Suku Palembang. –‘Wong Kito’ Palembang..–
Suku Palembang merupakan sisa-sisa kerabat bangsawan Kesultanan Palembang.
Di mana.. kerajaan ini telah lama dihapuskan oleh kolonialis Belanda.

Raja yang terkenal karena kegigihannya berperang melawan Belanda.. adalah Sultan Mahmud Badaruddin II.. yang kini namanya diabadikan sebagai nama Bandar Udara –Airport– Palembang.. Sultan Mahmud Badaruddin II.
Sebelumnya Bandar Udara di Palembang bernama Talang Betutu.. yang diambil dari nama lokasi keberadaan Bandar Udara tersebut.

Nah.. pernah mendengar gelar-gelar kasta di Bali..? Anak Agung, I Gusti, I Made, I Gde Putu, I Ketut, dll.
Hampir serupa, tapi tak sama.. Palembang juga menganut gelar kebangsawanan atau ‘kasta’ semacam itu. Jika pernah ketemu nama orang Palembang yang di depan namanya ada kata-kata singkatan; seperti Mgs.. itu merupakan singkatan dari Masagus.

Pemakaian gelar di depan nama orang seperti; Raden (R), Kemas (Kms), Kiagus (Kgs), Masagus (Mgs), Nyimas (Nys), Masayu (Msy)..
Adalah penanda yang paling mudah.. untuk mengidentifikasi.. bahwa orang tersebut bersuku Palembang.

Di dalam kekerabatan Kesultanan Palembang itu.. ada semacam hierarki atau semacam strata –kasta..– yang membedakan pemakaian gelar kebangsawan itu.
Tetapi.. pada hakikatnya.. hal itu lebih menunjukkan pada ‘profesi’ atau ‘kelas’ apakah seorang bersuku Palembang yang menggunakan atau menyandang gelar tersebut.

Di Sumatera Selatan, terlebih Palembang sebagai pusat pemerintahan.. terdapat pemukiman masyarakat yang masih memiliki garis keturunan bangsawan.. kesultanan Palembang. Cikal bakal mereka.. diduga dari bangsawan-bangsawan kerajaan Majapahit.. atau sebaliknya..
–Wangsa Syailendra..– sehingga jumlah kata dalam bahasa komunikasi hampir memiliki banyak kesamaan.

Elite tradisional yang masih terdapat di Palembang.. membentuk masyarakat dengan stratifikasi sosial yang didasarkan atas tingkat kebangsawanannya.. seperti Raden.. Mas Agus.. Ki Agus.. dan Kemas, untuk bangsawan laki-laki.

Sedangkan untuk gelar kebangsawanan wanita.. Raden Ayu.. Mas Ayu.. Nyi Ayu.. dan Nyi Mas.
Disamping itu terdapat juga kelas rakyat jelata.. yang sering memakai sebutan Si.

Dalam stratifikasi sosial.. Raden sebagai bangsawan tertinggi dan sekaligus kelas penguasa dalam menjalankan tugas sehari-hari.. dibantu oleh ‘kelas pekerja’ yang bergelar Mas Agus dan Mas Ayu.

Sedangkan Ki Agus.. sebagai penasihat kelas penguasa atau Raden. Fungsinya mirip seperti kasta Brahmana di Bali.
Sementara Kemas.. lebih sering tugasnya menyerupai ‘tentara, polisi’ atau ‘bodyguard’ dengan persenjataan keris, pedang dan tombak.
Untuk kelompok rakyat jelata sebagai pekerja, pembantu, petani dan pedagang.

Pada zaman Belanda, golongan bangsawan yang bergelar Raden mendapat perhatian, dengan hidup enak dan fasilitas tercukupi.
Mereka mendapat tunjangan dari pemerintah dan kemudahan kerja.. serta pendidikan.
Oleh karena itu.. mereka kurang mau -untuk tidak dikatakan 'tidak mau'- membaur dengan masyarakat kelas bawah atau rakyat jelata.

Contoh urutan strata sosial.. dari yang ‘paling tinggi ke yang paling rendah..
Raden (R), untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuannya diberi gelar Raden Ayu (R A).
Misalnya R. M. Syafwan Hadi, RA. Nurkhairani, dst. Lebih menunjukkan ‘status’ atau ‘kelas’ bangsawan.

Masagus (Mgs), untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuannya diberi gelar Masayu (Msy). Misalnya Mgs. Usman Said, Msy. Latifah.
Merupakan ‘kelas pekerja’ atau eksekutif dari strata di atasnya.

Kemas (Kms) untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuannya diberi gelar Nyimas (Nys). Misalnya Kemas Ahmad Taufik, Nys. Hamidah Halaily. Lebih bersifat fungsional sebagai ‘tentara, polisi’ atau ‘bodyguard’, pengamanan dan keamanan.

Kiagus (Kgs) untuk laki-laki, sedangkan untuk perempuannya diberi gelar Nyayu (Nyayu).
Misalnya Kgs. Umaruddin, Nyayu Armita. Fungsinya lebih sebagai penasihat kelas penguasa atau Raden.

Itulah kenapa.. Rumah Adat Palembang ‘Limas’ Ruangannya seperti bertingkat-tingkat.
Tingkat serupa undakan nan lebar itu.. akan menunjukkan ‘posisi tempat duduk’, posisi atau strata sosial wong Bangsawan Palembang.

Wuaduh.. jadi kepanjangan deh.. ngebahas strata sosial dan adat Palembang.. nih. Maaf, pembaca.
Harap dimaklumi. Aku cuma pingin memberikan salahsatu landasan serta alasan yang nantinya akan sangat erat kaitannya bahkan sempat mengguncang perjalanan hidup.. eh, cintaku.
-------

Kembali ke si-kontol-panjang-cret..! Alias.. Situasi Kondisi Toleransi Pantauan dan Jangkauan Cerita..! Hehe..

Riza ini adalah ‘teman’ wanita paling akrab denganku.. hingga jadi sahabat bagiku. Entah bagi dia.
Saking akrabnya.. aku bahkan dengan tanpa beban.. menceritakan segala yang pingin dia ketahui.

So.. jelas saja dia jadi tau.. semua hal tentangku. Kecuali tentang ‘keperjakaanku’ yang raib digondol tanteku, Bi Cik Arin.. pada usia 9 menjelang 10 tahun.
Atau aktivitas seksualku bersama Ping-Ping, yang kini melanjutkan pendidikannya di Aussie setamat SMAnya 3 tahun lalu.

Termasuk juga beberapa pengalaman seksualku dengan beberapa orang gadis lain.. selama aku menjalin ‘persahabatan’ dengannya.
Jangan sampai deh. Kalo bisa dia ga usah tau. Bisa panjang urusannya, kan..!? Hehe..

Meski kami satu angkatan.. usia Riza sebenarnya 2 tahun lebih tua dari usiaku. Dia cuma 2 bersaudara. Dan keduanya perempuan.
Riza anak sulung, sedangkan adiknya.. Grista.. berjarak tiga tahun dengan Riza.. satu tahun di bawah usiaku.
Kini Grista masih duduk di bangku SMA kelas 3, di sebuah SMA Negeri almamaterku dan Riza dulu.
-------------

“Eh.. Bar.. temenin aku ke Linggau, yuk..?” Ajak Riza padaku tiba-tiba.. beberapa saat sebelum tiba di dekat gerbang tinggi ‘rumah bari’..
–antik, kuno, rumah Limas, rumah adat Palembang..– keluarganya.

“Oh, eh.. kapan..? Eh, maksudku ada acara apa ke Linggau..?”
Aku yang masih sedikit terkejut atas pertemuan tak disangka-sangka tersebut tergagap menjawab.
Syok lagi deh.. Duakali.. jadinya. Anjritt..!

“Ga kenapa-napa, sih. Cuma kangen sama Nyai –nenek, bahasa Palembang..– aja.
Kan udah lama aku ga ketemu Nyai sejak Yai –kakek..– meninggal..”

“Ouw..” Jawabku gamang. Bingung harus menjawab apa lagi..

“Ya udah. Mau, ya.. Bar. Ya.. ya..?” Desaknya dengan nada memelas namun manja.

Jelas saja hatiku lumer seketika. Mana pernah aku mampu menolak setiap permintan ‘malaikat hatiku’..
Ya.. begitu aku menjuluki ‘sahabat’ perempuanku ini.

Lempeng saja aku menjawab.. “Oke. Kapan mo berangkatnya, Za..?”

“Sipp..! Gitu dong. Itu baru namanya Bara Magma..” Riza terlihat girang sekali.. sampai melonjak-lonjak hampir seperti mau memelukku.
Tapi ga jadi.. lantaran mungkin, dia tiba-tiba tersadar -lagi- sudah berada pada ‘danger zone’.. di depan gerbang rumahnya.

“Hehe.. iya.. besok malem langsung ketemuan di stasiun Kertapati aja, ya..!” Ujar Riza lagi sebelum masuk ke pekarangan di balik gerbang..
Ia masih sempat melongokkan sebagian tubuh atasnya dari balik gerbang tinggi rumahnya.

“Oke. Ciaoo. I’ll be there..!” Teriakku sembari melangkah menuju pulang.
--------------

Waduh.. gawat juga ini. Aku lupa nanya ke Riza.. siapa-siapa lagi yang mau berangkat besok malam.
Berapa lama ‘tamansya’ yang dia rencanain..? Oke.. kalo luncur ke Lubuk Linggau-nya sih.. jelas naik kereta api.

Asu..dah..lah. Show must go on sajalah.. pikirku ga mau pusing-pusing ikut mikir.
Auh.. padahal libur semester gazal –ganjil– belum lagi tiba.. Damn.


Untung saja perkuliahanku di semester itu sudah hampir selesai.
Memang sih.. masih ada beberapa mata kuliah dan pertemuan yang tersisa dan belum terjalani.
Tapi ga masalahlah.

Yang penting.. sekarang aku segera prepare.
Menyiapkan apa-apa yang nanti kubutuhkan selama ‘menemani' sang Malaikat Hati ini ‘bertamansya-ria’. Hehe..

Aha.. nekad saja, ah.. Akan ‘kujebak’ Riza untuk ‘mengenal duniaku’ lebih akrab.
Salahsatu dunia yang kugeluti sepenuh hati.. segenap jiwa. Mencintai Alam.

Aku akan menyiapkan sebuah ‘hidden agenda’.
Dia akan aku ajak mendaki Bukit Kaba.. di Curup, Bengkulu..! Haha.. Kekehku senang, dalam hati.
--------

Besok Malamnya.. di Stasiun Kereta Api Kertapati

Riza cuma bisa melongo.. lantas geleng-geleng kepala.. ketika melihatku melangkah tegap namun santai menghampirinya di peron.

“Ck.ck.ck.. Busett..! Emang mau ke mana Bar..? Pake gendong-gendong ransel gede segala gitu..?”
Tanyanya dengan senyum simpul disertai tatapannya yang.. ahh.. Kembali qalbu tergetar.
Ampuunn dah..!

Seraya merendengi Riza yang menunjukkan 2 tiket kereta kelas Bisnis yang telah dibelinya..
kami lantas melangkah ke arah gerbang masuk menuju ‘sepur’ atau rel lintasan kereta api.

Memang.. jika berjalan berdampingan.. kami akan terlihat sangat kontras.
Kontradiktif.. alias bertolak belakang.

Bagaimana bisa..? Jelas saja.. kontras.

Lah.. aku dengan pakaian ber-style ala pegiat alam bebas.. kaos oblong hitam kesukaanku.. celana lapangan.. plus pake sandal jepit doang. Hehe..
–sepatu trekking kumasukkan di dalam carrier. Ribet kalo dipake untuk sekedar di atas kereta doang..–

Nah.. Riza sendiri.. Atasannya dia pake kemeja pink ketat. Itu jelas menonjolkan hal-hal yang memang ‘sudah menonjol’ di tubuhnya.
Dengan flat shoes di kaki.. yang juga berwarna senada dengan kemeja ketat yang dikenakannya. Pink. Hadouww...!

Untuk bawahannya Riza mengenakan rok hitam yang juga ketat.. jelas saja mencetak-menjiplak cembungan pantat dan pinggulnya yang membulat sempurna..

Hohoho.. sepertinya ia memang benar-benar tau dan menyadari.. di mana-mana saja bagian tubuhnya yang ‘memiliki karakter’. Hehe..

Ampunn dah.. lumer lagi hati.. eh, kali ngga ding..
Justru si prajurit gebleg segera pasang ancang-ancang.. bersiap mbalelo dan.. coup de etat..! Hadoww.

“Hehe.. siap-siap aja. Kalo aja ntar pingin ke Bukit Kaba. Kan bisa sekalian ndaki.. ya, ga..?” Jawabku.. berusaha sesantai mungkin..
mencoba menetralisir qalbuku yang barusan ‘terganggu frekuensinya’.. dan coba menenangkan si prajurit gebleg di ‘jeroan’ celana..! Haha..

“Ouw.. iya, ya. Nghh.. aku boleh ikut ga, nih..?”

“Jiahaha..! Apa sanggup ‘CaBuD’ ntar ndakinya..? Ntar kalo tepar.. aku malah yang repot ngurusin Calon Bu Dokter. Hehe..”
guyonku ringan.. sembari berusaha menutupi tonjolan di depan celana dengan kedua telapak tangan yang kusatukan..
eksesi sundulan bajul nekad, alias si prajurit gebleg.

“Heii.. kita liat aja nanti..!” Tantangnya.. dengan tatap mata melotot.. yang justru teramat indah kusaksikan.

“Hehe.. boleh.. boleh. Eh, jangan minta gendong aku ya.. kalo ntar gempor..!?”

“Ogah. Emang monyet.. pake digendong-gendong..” Kilahnya dengan mata jenaka.. berbinar.

“He-eh. Kamu kan monyet paling cantik di sini..” ledekku ga mau kalah.

“Enak aja. Berarti kamu siamangnya, ya..? Kan udah sesuai kulit tuh..!?” Sengitnya kian ramai.. sambil mencubiti pinggangku dengan gemas.

‘Gurau mesra’ kami yang disaksikan beberapa calon penumpang lain itu tiba-tiba saja terhenti.. lantaran dicut oleh corong di atas peron.

Mereka berbunyi dengan nada do-mi-sol-do.. berulang tigakali..
memberitahukan pada penumpang yang telah memiliki tiket.. untuk segera menaiki gerbongnya masing-masing.
Sebentar lagi kereta akan segera diberangkatkan.
-----------

Di dalam Gerbong Kereta Api

Kami mendapat gerbong ketiga di belakang.. dari 9 rangkaian gerbong paling belakang dengan tujuan Kota Lubuk Linggau.
Jarak Palembang – Linggau 314 km.. jika menggunakan angkutan darat seperti kereta api..
biasanya waktu tempuh perjalanan normalnya sekira 8 – 9 jam.

Jadi.. jika waktu keberangkatan kereta Sindang Marga yang kami tumpangi ini pukul 21.00 WIB..
estimasinya.. kami akan tiba di Kota Lubuk Linggau pada sekitar pukul 05.00 atau 06.00 WIB.. setidaknya..
itupun jika ga ada gangguan serius selama perjalanan.

Setelah menaruh tas-tas kami pada bagasi yang berada di atas kepala.. kami langsung mencocokkan nomer kursi yang tertera di tiket.
Sebenarnya ga harus.. sih. Soalnya tak banyak penumpang yang bepergian bersama kami saat itu.
Dari 60 kapasitas penumpang.. terhitung ga sampai seperempat kursi di gerbong kami terisi.

So.. gerbong yang kami tumpangi terasa lengang. Mungkin lantaran memang bukan musim libur.
Lagipula memang masih ada beberapa stasiun-stasiun kecil.. yang barangkali akan menaikkan penumpang.

Nah.. kursi yang kami tempati.. tepat berada bersebelahan dinding WC di samping kanan..
Dengan posisi duduk membelakangi lokomotif.. dan destinasinya. Kota Lubuk Linggau.
Jadi.. di sebelah kanan.. jelas ga ada kursi untuk penumpang duduk.

Setelah menaruh tas jinjing berisi cemilan dan makanan ringan di bawah meja kecil di depan jendela..
Riza langsung mengambil posisi menyandar bahu dan kepala di dekat jendela.
Aku.. ya jelas saja.. mau ga mau di sisi luar kursi.

Sebenarnya sandaran kursi di depan kami bisa didorong ke depan.. hingga berubah orientasinya jadi menghadap ke arah tujuan lokomotif.
Tapi Riza melarang aku untuk mengubah posisi sandaran itu.

“Biar aja Bar. Lebih adem..” alasannya. Ya sudah. Pikirku. Youre The Boss..! Hehe..

Lagian memang posisi sandaran kursi tersebut jadi mengalingi posisi tempat duduk kami.. hingga terkesan eksklusif..
lantaran cuma aku dan Riza saja.. berdua di kursi paling belakang gerbong. Huft.

Kami duduk berdampingan tetapi dengan leher dan kepala setengah menyamping menghadap ke arah jendela kereta di samping kiri..
gelap di luar.. di sebatas lanskap pandang.. sesekali saja terlintas kerlip cahaya.. entah apa.

Seperti hampir ‘kebanyakan’ kondisi gerbong kereta api masa itu –meskipun kelas bisnis, apalagi yang kelas enokomi..– di Indonesia..
interior gerbong yang kami tumpangi kala itu ‘cukup lumayanlah’ –untuk tidak mengatakan rada kusam–.

Untungnya penumpang tak banyak. Jelas tak membuat gerah dan hawa panas di dalam gerbong.
Bakalan ga nyaman juga kan.. kalo dalam satu gerbong dipadati penumpang.. sampai-sampai berkaparan di lorong-lorong gerbong..
seperti saat mudik lebaran, misalnya..!? Aduh.

Beberapa lampu neon berbentuk seperti tabung yang berderet panjang di langit-langit gerbong.. mati pada beberapa tempat..
termasuk yang di atas lorong tempat duduk kami.
Itu bagai menciptakan blok-blok cahaya dan bayangannya di setiap kursi-kursi penumpang.

Hingga.. jika ada yang melintas berjalan dari arah gerbong belakang.. posisi tempat aku dan Riza duduk.. tak akan terlihat.. hanya remang..
kecuali benar-benar jika telah berjarak sekira satu deret bangku saja..
Sebab.. cahaya yang keluar dari lampu-lampu di deretan belakang sana.. tak sampai ke tempat kami..

Satu hingga dua jam berlalu.. bertukar cerita.. kami isi dengan perbincangan dan obrolan riuh..
Saling ledek.. dalam remang cahaya.. saling menceritakan kenangan semasa SMP dan SMA..
Tergelak kami berdua berbicara.. kadang bergantian.. kadang saling serobot.. akrab.

Sungguh kemesraan yang wajar.. tanpa tendensi. Ahh.. senangnya hatiku.
Tak ada kepura-puraan dalam setiap tindak tanduk dan ucapan kami berdua.. semuanya terasa cair dan mengalir..

Bahkan entah berapakali diselingi cubitan-cubitan gemas Riza yang mampir di bagian tubuhku..
hingga terputus oleh kehadiran kondektur dan Polsuska –Polisi Khusus Kereta Api..– memeriksa tiket.

Sementara.. penumpang-penumpang lain di bangku-bangku mereka masing-masing telah tak banyak menampakkan aktivitasnya.. kantuk yang menyerbu.. menekan.. menyerang.. hingga memaksa untuk lelap tertidur.. dibuai alun goyangan dan lonjakan kereta.

Suasana perlahan menjadi begitu sepi.. ya.. sepi yang sublim.
Sebab.. cuma gerung dan raung bunyi si ular besi yang mendominasi.. merajai resonansi ruang malam terjelang dinihari itu.
------------------------

Malam telah dikejar dinihari hingga terlewat setengahnya.. tanpa peduli sang waktu yang masif.. mengarungi masa.
Sementara itu di kereta api.. aku telah dicerca-maki.. dihasut salahsatu ritual panggilan alam mahapurba manusia.
Lapar. Ya. Kelaparan telah mengepungku.
Bahkan cacing-cacing di perutku telah mulai merengek dan melancarkan aksi demonstrasi.. menuntut perbaikan gizi. Hihihi..

“Za.. bawa makanan ga..? Bagi dong. Laper nih..” rengekku sambil mengelus perut yang telah pula berkriuk-kriukan..
memainkan musik keroncong kelaparan.

“Ouw.. sebentar. Ada nih, Bar. Aku tadi bawa roti bakar. Untung kamu ngingetin.. deh..”
ujar Riza sembari menarik tas jinjing yang Ia taruh dekat dinding gerbong di bawah meja dan jendela.

Tanpa basa-basi.. segera saja aku bergegas menyambut dan langsung mencomot irisan roti bakar bekal bawaan yang disajikan Riza tersebut.
“Wahh.. mantab ini. Enak banget, loh, Za..” komentarku.. dengan mulut penuh.. sambil mengunyah dengan lahap irisan roti bakar itu.
Lagian memang aku sudah lapar.. ditambah lagi pengaruh udara dingin.. dan hujan yang masih menderai.. jelas saja selera makanku tak terbendung.

Meskipun roti bakar yang dibawa Riza telah dingin.. tetapi dengan lahap dan sesekali berebutan dengan Riza.. tetap saja mampu kami habisi antapnya sajian tersebut.
Hingga tuntas tak bersisakan sedikitpun makanan yang disajikan Riza.

“Iiih.. kamu itu lapar apa hobi, ya..!?” Kelakar Riza mengomentari kelakuanku yang bagai orang ga makan sebulan itu..

“Hehe.. Dua–duanya..” sahutku dengan mulut yang penuh.. ga peduli tatapan mata indah yang tidak pula kusadari.. seperti ‘bersinar aneh’ saat itu.

“Sini.. kuhapus..” ujar Riza mendekat dan menggosokkan tissu ke bibirku.
Wajahnya sangat dekat dan tercium wangi yang khas gadis yang telaten merawat diri.

Kubiarkan saja jemari lentiknya tersebut membersihkan sisa-sisa dan remah roti.. yang menempel di luar bibirku.

Aha.. assoy geboy.. asyik banget.. aku diladenin.. dilayanin seorang gadis bangsawan, nih. Batinku riang. Seperti dapet lotere saja.
Kunikmati betul-betul momen-momen yang indah.. menurutku itu. Kemesraan seorang sahabatkah..? Atau..? Pikirku kian ge-er.

Beberapa detik selanjutnya.. tanpa terduga sama sekali..
Cup..! Tau-tau saja sebuah kecupan Riza sekilas dan teramat cepat.. mendarat pada ujung bibirku sebelah kiri..
Tipis memang.. teramat cepat sih.. sungguh. Tapi.. ‘kecurangan dan pencurian momen’ itu.. mampu membuatku terperangah..

Itu sanggup membuat wajahku.. di remang cahaya dalam gerbong saat itu.. berpose like a dumber..!
Ya.. seperti wajah orang bego.

Sungguh ga ngerti aku. Apa maksud Riza melakukan blitzkrieg.. alias serangan kilat barusan..?
Asyemm..! Ini kok kayak pelecehan.. sebuah penggodaan..! A covert seduction..! Pikirku jadi geregetan.. plus kebingungan.

Meski cuma di biasan lampu yang temaram.. tetapi bisa kupastikan.. kalo pipi dan wajah gadis ningrat yang tadi melancarkan serangan kilat terhadap ujung bibirku.. telah rona memerah. Sangat yakin, aku.

Bukan kenapa-napa. Entah apa yang mendorongnya berbuat begitu padaku.. seorang laki-laki.
Sebab aku tau pasti.. selama aku mengenalnya.. Riza belum pernah memiliki seorang kekasih.
Bahkan berpacaran pun.. setauku dia tak pernah sekalipun.. semasa SMP atau SMA dulu.
Entah di luar itu.. maksudku setelah hampir 2 tahun terpisah jarak dan waktu.

Sambil tersenyum dan agak sedikit menundukkan kepala.. –malu mungkin..–
Riza membereskan benda-benda yang kami gunakan makan tadi..
memasukkan dan menyusunnya lagi di dalam tas jinjing yang ia bawa.. lalu menaruhnya di samping dinding bawah jendela.

Selanjutnya adalah senyap. Ya.. kesenyapan yang membingungkan.. seketika merajai dan meratui kami berdua.
Sama berdua merasa kikuk.. ‘serba salah’ dan ‘malu hati’ sendiri-sendiri.. atas ‘kecerobohan’ yang entah sengaja atau tidak.. telah berlaku beberapa waktu belakang tadi.
----------

Hingga tiba di Muara Enim, kereta yang kami tumpangi berhenti beberapa saat.. kebisuan masih menyapa kami.
Mungkin tak lama terhenti di sana.. entah menurunkan atau menaikkan penumpang.. aku kurang begitu menyadari.. lantaran jiwaku sudah mengambang dalam keadaan setengah merayau.. melayang diipuk kantuk untuk segera menjelajahi alam tidur.

Tak lama.. setelah melepaskan raungannya kurasa kereta kembali bergetar.. bergoyang terhentak beberapakali.. dan lalu kembali melaju.. meniti bentangan rel-nya.. menembus malam yang mulai dirayu hujan..
Dengan riang mereka turun satu-satu.. merintik. Dan aku.. melanjutkan perjuangan untuk tidurku.

Di luar bingkai jendela.. tirai hujan serupa jarum kian ramai.. menderai dan mulai menggerimis..
kini terlihat bagai mendesing putih kekuningan tertimpa cahaya lampu-lampu di samping-samping rel..
mengundang angin basah yang sesekali menyelinap dari celah pertemuan kaca jendela.

Uh, begitu romantis.
Kalau saja Panca, gadis cantik adik kelasku yang berada di sampingku.. pasti kepalanya sudah bersandar di bahuku dan tangannya memeluk lenganku. Gumam khayalku tiba-tiba.

Ahh.. kalau saja..

”Eh, apa kabarnya Panca, Bar..?” Tiba-tiba –lagi..– suara bening Riza memecah kediaman kami.. seperti menembus resonansi dan kolaborasi ritme berulang si ular besi dengan desau angin dingin.
Mengejutkanku.

Kok kayak nyambung gitu, ya..? Seolah Riza mampu menembus.. membaca khayal dan ingatanku yang barusan saja melayang berkelana pada sesosok bayang indah gadis cantik adik kelas kami semasa SMA, Panca Paramita.

”Eh..? Apa, Za..?” Jawabku tergagap. Bagai orang yang ke-gep, alias ketauan maling.

”Panca. Apa kabarnya, ya..?” Riza mengulang pertanyaannya.

”Hmm.. kurang tau, Za. Tapi terakhir kudengar Dia kuliah di IKJ..” jawabku ragu dan penuh deguban jantung.

”Ouw.. di Jakarta juga dong.. kalo gitu..?” Intonasi suara Riza mulai ’terdengar aneh’ di telingaku.

Crashh..! Kilapan lidah kilat pecah di luar sana.
Sekilas kutangkap ada perubahan air muka gadis cindo kemayu yang tengah menatap mataku.

Dan.. seperti biasa.. aku tetap tak pernah mampu ’mendefenisikan’ apa makna tatap bening mata itu.

”Ya iyalah. Masa’ IKJ di Papua, Za..” kilahku mencoba bercanda.. mengedipkan mata.. lebih kepada berkelit dari ’tudingan’ dan hujaman matanya.

”Ouw.. gitu. Kukira kalian udah baikan lagi, sih..” Kali ini suara bening itu bernada dingin.
Teramat dingin, malah.. bagai uap yang keluar dari bungkahan es batu.

Sepersekian detik selanjutnya.. Riza memalingkan wajah.. ke arah jendela.
Entah memandang apa di gelap luar bingkai jendela sana.

Sedangkan aku.. jadi sibuk sendiri.. menela’ah.. apa maksud ’alunan nada’ kalimat terakhir yang Riza utarakan barusan.
’Sesuatu’ apa kira-kira.. yang menciptakan ’intonasi aneh’ tiap kata pada kalimatnya tadi..?

Kulirik gadis cindo di sampingku.. kini Ia menyandarkan punggungnya yang sesekali terlonjak oleh getaran lari kereta di sandaran kursi.
Beberapa saat selanjutnya senyap suara..
Yang mengisi adalah bunyi riuh dan derak sambungan antara gerbong.. ditingkahi desau angin.

Dari remang cahaya.. sekilas kembali kulirik si gadis cindo yang kini terlihat menutup matanya..
sementara kedua lengannya bersilangan di bawah bungkah payudara.. seperti penyangga.. agar kedua bola sekal yang tumbuh di situ tak jatuh.. dan menggelinding.

Aku lantas dilamun pertanyaan-pertanyaan spesifik tentang persahabatanku dengan Riza.
Hmm.. apalagi yang tidak kuketahui mengenai gadis cindo berdarah biru ini..?

Paling perihal keluarganya secara lebih akrab saja yang kurang.. lanjut pikiranku mencoba mengingat-ingat.

Memang sih.. dari sejak pertama kenal dengannya.. hampir lebih 9 tahunan..
aku cuma ’pernah main’ dan masuk ke ’rumah bari’ keluarganya sekali.. ketika kami kelas 2 SMA.

Ya. Satukali saja.. dalam sembilan tahun usia ’persahabatan’ kami.
Dan.. itupun beramai-ramai bersama teman-teman sekelas.. ketika sanjo –bertamu, bahasa Palembang- lebaran..!
What the hell.. kan..!?

Alasannya saat kutanya.. kenapa aku ga bisa –untuk mengatakan ga boleh– ’main’ ke rumahnya;
”Laki-laki yang diperbolehkan datang ke rumahku.. untuk bertemu denganku.. adalah calon suamiku, kelak..”
Katanya ketika itu dengan santai.. dan ujung sebelah matanya seperti berkedip.

Nah loh..!? Apa maksudnya, coba.. dengan kedipan mata genit waktu itu..?

Aku sedikit membuka mataku. Memperhatikan suasana saat itu.
Kilatan cahaya dari luar kereta memberikan sedikit penglihatan pose kami saat itu.
Sesekali angin kencang dan tempias hujan menerobos dari sela kaca jendela.. seperti berlomba cepat dengan laju kereta..

Kulirik lagi gadis kemayu nan cindo sahabatku. Kulihat matanya juga terpejam.. telah lelap tertidurkah..?

Tiba-tiba dalam ’gerak lambat tidurnya’ gadis cindo ini menggeser sedikit tubuhnya.
Ya.. kini berposisi lebih dalam ke arahku.

Kami berdua kini jadi duduk makin berdempetan..
berdamping dalam keremangan cahaya lampu kereta yang terlalu minim untuk sampai ke tempat kami berada.

Sisi samping kiri tubuhku jadi menempel pada bagian kanan tubuhnya.
Wah.. kehangatan meruap dari tubuh sang gadis.. otak iblisku mulai meniupkan racun permesuman.

Hmm.. penuh perasaan.. kuhidu harum aroma rambut dan parfumnya hingga merasuki hidungku.
Ahh.. Shit..! Merinding rasanya. Aku mulai terangsang jadinya.

Seketika saja.. kombinasi antara ’otak mesum’ dengan deep feeling.. menciptakan sebuah pertempuran batin yang maha dahsyat menghentakku.

Tanpa perhitungan dan nekad saja.. tubuhku, terutama pada lengan yang kini tepat di payudara Riza serasa meringan..
bagai balon diisi gas hidrogen atau helium.. seolah memacu keberanianku untuk ’mendapatkan yang lebih..’
untuk menyentuh bagian tubuh seksinya.. bagai memicu percobaanku untuk lebih berani lagi menjelajah.

Pura-pura ’menggeliat dalam tidur’.. tubuhku aku condongkan sedikit ke depan.. kemudian bergeser ke arahnya..
lalu kembali menyender di sandaran kursi..

Sekarang keadaanku dengan tangan bersidekap di dada.. persis dengan pose Riza..
sehingga posisi saat itu.. ujung lenganku dari sebatas siku jadi tepat di depan dadanya. Haha..

Ouh.. tubuh sekal gadis ningrat sahabatku ini diam saja.. seperti benar-benar terlelap dalam tidurnya.
Meski sekilas dapat kurasakan.. ada ketegangan pada tubuh itu.
Ada getar menggemetar pada tubuhnya di sana.. tersamar oleh getaran laju kereta.

Sementara itu gimana dengan aku..?
Kurasakan dadaku debag-debugan ga karu-karuan.. bahkan aku bisa mendengar degup jantungku di telingaku sendiri. Anjritt..!

Perlahan sekali.. lenganku kemudian kutekan sedikit ke belakang.. hingga aku bisa merasakan sesuatu yang begitu empuk.. tonjolan di dada yang bergerak naik-turun.

Ya, payudaranya. Payudaranya perawan nan kenyal dan kencang. Tak besar.. sedang-sedang saja.
Tapi aku yakin dan berani bertaruh.. payudara kenyal yang tengah ’menempel’ di lenganku itu belum pernah diremas oleh tangan laki-laki manapun.. –ga tau kalo cewek, ya.. Hehe..–

Dari tekanan sisi luar lenganku itu.. aku bisa merasakan volumenya ketika lenganku menggeseknya.
Sangat kenyal dan empuk. Menghantarkan kehangatan yang membara ke sekujur tubuhku.

Dengan jantung berdegub.. kemudian kuputar sikuku perlahan.. membuat gerakan melingkar di dadanya.
Kembali dengan teramat pelan.. sikuku bergerak.. melawan arah jarum jam.

Aku tidak mau membuat gadis cindo sahabatku ini lantas berpikir macam-macam.. dan kemudian menamparku. Hehe..

Tubuh itu diam saja. Kulirik matanya. masih terpejam.
Tapi aku mendengar Riza menghela napas.. tersamar segala bunyi di sekeliling kami.

Eh.. apakah ia terangsang, ya..?
Aku..? Jelas sangat terangsang.. konak-sekonaknya..!

Kurasakan dadaku berdentum-dentum.. seperti letusan dan ledakan mercon atau kembang api.. pada malam tahun baru.
Kepalaku seolah berputar-putar.. karena aliran darah yang sangat cepat ke otakku.

Dan.. tiba-tiba –lagi– meski samar.. timbul tenggelam.. lalu pelan terhanyut.. ada ’perasaan berdosa’ seperti menyergap akal sehatku..
menggelitik ’rasa persahabatanku’.

Ugh. Ini tidak benar..! Ini pengkhianatan..!

Seruan yang teramat ambigu.. sangat hipokrit.. berkali-kali menudingku.
Meski seruan-seruan dan tudingan tersebut sayup-sayup saja mengelus batinku yang mulai terdesak dikepung gairah purba.

Benar saja.. perasaan itu.. nafsu itu.. hampir benar-benar membuatku gelap mata.. nyaris tak mampu lagi menahan gairah.

Akan tetapi.. meskipun telah begitu gamangnya aku.. tak pelak lenganku terdiam juga sebentar..
dari kegiatan menggeseki bungkah tonjolan dadanya yang perlahan kurasakan kian mengeras di balik bra.

Untuk beberapa jenak lamanya.. ’kami’ jadi terdiam dalam ’pose nikmat’ tersebut.

Dalam rangka ’menikmati’ kekenyalan nan hangat di lenganku.. aku lantas disibukkan untuk menerka-terka..
mendengarkan bincang sengit hati dan nafsu.. yang saling tuding.

Seperti main catur imaji.. aku jadi memperhitungkan segala aspek.. semua kemungkinan langkah-langkah pergerakan..
ke mana lagi baiknya bermanuver-ria.
Asu..dah..!

Dalam sitiasu batin yang tengah bergejolak pertempuran dahsyat tersebut..
seperti tanpa beban.. perlahan Riza merebahkan kepalanya di bahuku..! Hadeww..

Aih.. kasihannya.. mungkin Ia kecapean.. dan kini memang telah lelap tertidur.. pikirku berpositif thinking.

Nah.. dengan kondisi dan posisi semacam itu.. ‘mau tak mau.. ya pasti maulah..’ aku lantas ‘terpaksa’ merespon, kan..?

Kuangkat lengan kiriku untuk kemudian melingkarkannya dari belakang lehernya.. ke bahu gadis sahabatku itu.. seolah mencoba memberikan kehangatan.. mengimbangi udara yang mulai dingin dinihari ini.. hehe..
-------

Di luar.. hujan masih ramai menyanyikan dan menarikan liuk jarum airnya.
Sementara angin tak mau kalah meningkahi.. mereka berkelindan.. bersama dalam irama.. seolah berlomba menciptakan dingin.

Untuk beberapa waktu kemudian.. aku masih dapat menikmati kehangatan.. kelembutan tubuh nan sintal gadis ningrat sahabatku ini..

Meski arah jatuhan tempias dan percikan hujan ke arah depan kami.. atau mengikuti arah laju kereta..
Tetapi.. tempias hujan dan angin yang membawanya.. terkadang bahkan mulai sering menerobos celah jendela yang tak bisa sempurna dirapatkan.

Akibatnya.. dingin nan basah mulai menabuh dan mengelusi tubuh kami yang semula hangat dalam peluk setengah badan.. terutama Riza.
Tentu saja. Sebab.. posisi tubuhnya yang lebih dekat ke jendela.

Berusaha tak mengurai pelukanku.. dan tanpa mengganggu Riza.. aku mengubah sedikit posisiku..
menggeser pinggul dan pantatku.. agar lebih dalam bersandar ke sandaran kursi.

Sebelumnya kutarik jaket bulu angsa dari belakang tubuhku.. yang setadian kujadikan sebagai pengganjal pinggul dan pinggangku di sudut pertemuan jok dengan sandaran kursi.

Dengan perlahan dan hati-hati.. agar tak membangunkan ’kelelapan tidur’ Riza.. kututupkan di atas dada dan perutku.. sedangkan sebagian lainnya lagi kesampirkan ke tubuh Riza.. menutupi tubuh bagian atasnya.. dari leher di bawah dagu.. hingga ke setengah pahanya..

Jadi.. selama prosesi ’penyungkupan jaket’ berlangsung.. secara otomatis aku beringsut lebih rapat lagi mendekapi tubuhnya.. ya ga..?

Uhuyy.. Jadi tambah anget, oii..! Hehe..


Setelah memastikan posisi jaket telah benar-benar nyaman untuk kami berdua.. kemudian tangan kananku yang tadi menyampirkan dan menjepitkan tangan jaket ke belakang bahu kiri Riza..
tidak kukembalikan lagi ke samping tubuhku.. seperti semula.

Tangan kananku itu kuletakkan bersedekap di bawah lehernya dari balik jaket bagian dalam.. lalu kupertemukan dan kutautkan jemari tangan kanan itu dengan jemari tangan kiri.. yang lengannya masih nyaman berada di belakang leher Riza..
hingga tepat menyilang di atas kedua bungkah dadanya.

Nah.. posisi demikian ini.. apabila dililhat dari jauh, seperti orang yang bersedekap tangannya..
seolah menahan serbuan angin dingin dan tempias air hujan.

Yup benar. Pada awalnya.. itu kulakukan untuk menyungkupi tubuh bagian depan kami yang mulai disengat dingin dan tempias hujan..
tak bertendensi.. dan tanpa ada maksud lainnya. –Ah.. masa’ sih..!? Hehe..–

Pada akhirnya.. sodara-sodara.. Pertempuran sesengit apapun pasti usai.
Dan.. ternyata.. deep feelingku kalah. Tau kan siapa yang menang..? Hihihi..

Dalam SiKonTol TeKun, alias situasi kondisi dan toleransi teramat mendukung tersebut.. jelas saja aku horni berat..
Hingga ga pake lama.. tak sampai 3 menit kemudian.. otakku kembali kram..!

Dia segera berkoalisi dengan si prajurit mbalelo di selangkanganku.. lalu melancarkan agitasi pada seluruh jaringan dan indra di tubuhku..

Sebentaran saja.. tangan kananku yang memang sudah berada pada PW, alias Posisi Wuenak.. segera terhasut dan langsung melancarkan aksi penyusupan tanpa diperintah lagi.

Ya.. bener banget. Tangan kananku yang tadi terpentang di bawah dagu.. di atas bungkahan payudara sekalnya.. kini mulai bergerak turun ke arah dadanya. Sangat pelan.

Kemeja pink ketat yang Riza kenakan berbahan katun lemas.. sehingga hal itu semakin membuatku bisa merasakan tekstur renda BHnya.

Sementara.. dengan bawahan roknya yang juga ketat serta berbelahan di sisi kanan-kiri dari bawah lutut sampai di betis itu.. ikut memperlihatkan kemulusun dan lencir tungkai kakinya di bawah sana.

Glekk.. Betapa indah dan menggairahkan. Semakin merangsang imajinasi mesumku.
Jujur saja.. sebenarnya aku gemetar. Sangat gemetar.. malah.
Aku benar-benar sudah ga sanggup bertahan dari serbuan gairahku sendiri..

Jemari tanganku itu mulai menyusuri bukit indah yang tertutup kain.. mulai dari tepi.
Kupejamkan mataku.. aku sangat menghayati momen langka ini.

Kapan lagi coba..? Ga 9 tahun sekali aku punya kesempatan langka kayak gini.. ya, kan..?
Hasutan mesum penuh gairah birahi dilontarkan sang otak.. tanpa malu, apalagi segan.

Pelan-pelan kuelus bukit indah itu, dari tepi ke kanan.
Sedikit kuremas, tapi tidak banyak. Aku tidak mau menyakiti bukit indah itu.

Sungguh tak pernah kusadari sebelumnya.. betapa gadis sahabatku ini ternyata mempunyai payudara yang begitu sempurna.
Tak besar, memang.. tapi.. sangat kenyal dan menggoda. Dapat pula kurasakan renda behanya.

Aku membayangkan bentuknya.. mengingat warnanya.. kalo ngga merah.. krem.. atau senada dengan kemeja yang dikenakannya, ya..?
Pink..!? Dan rendanya sedikit tembus pandang. Mungkin cupnya cuma setengah.

Apa cupnya tidak bisa menahan volume payudaranya yang setegap itu, ya..?
Oooh.. bangsat..!

Kukutuki diriku yang terbangkit jiwa iblis.. yang semakin terangsang hebat oleh kehangatan.. kelembutan nan kenyal..
tubuh gadis di pelukanku ini..

Dan yang lebih terkutuk lagi adalah.. aku terangsang oleh gadis sahabatku sendiri..!? Arrghh..!
Bahkan kini.. malah tanpa tedeng aling-aling serta ga tau diri.. telah mulai grapa-grepe toked kenyalnya..!?
Damn..!
----------------------------------------
 
Terakhir diubah:
--------------------------------------------

Spasi tanpa Tanda Kutip


: sekelebatan bising
siluet ophelia menusuk memoar tertatah..
"aduhai.. tak ingin kuutarakan
apapun yang terjadi pada lalu waktu
kuibaratkan saja seekor laron
menabrak lampu pijar
dengan sebenarnya
aku tak pernah menyesali
segala yang tercipta
antara 'ngkau dan kenangan
ku.."

---------------------------------------------

Pelan namun pasti kehangatan kian menjelma pada dinihari itu.. seperti menceritakan dan lalu menyempurnakan ‘segala keriuhan’ yang tercipta.
Dari deru angin.. gemeratak sambungan gerbong.. tempiasan dan bunyi jatuhan air hujan.. ditingkahi pula derit gesekan rel dengan roda kereta.. ditambah kini deguban jantungku yang dipompa tuas jantung.. membahanakan kekhawatiran dan kegugupan sepasang manusia yang tengah dilanda gairah.

Adalah sesuatu yang luarbiasa.. jadi cukup mengejutkan bagiku.. namun kuakui membahagiakan..
ketika saat ini aku dapat duduk rapat berhimpit dengan Riza.. berduaan saja..
dengan aroma tubuh dan ‘keringat’ yang teramat dekat hingga bercampur terhidu.

Bahkan tak pernah terpikir atau terlintas di benakku sedikitpun sebelum-sebelumnya.. bahwa aku dan Riza rapat berdekapan tubuh seperti sekarang.. teramat rapat.. yang bahkan kini dapat saling menghidu ruap aroma tubuh masing-masing.

Jelas saja.. selama ini aku hidup di duniaku.. dengan segala ‘aktivitas kelelakianku’.
Sedang Riza hidup di dunianya.. dengan segala ‘she’s women’s world-nya’.

Meski memang kami berdua ‘cukup akrab’ semenjak SMP.. tetapi kedekatan kami selama beberapa waktu lalu..
adalah murni didasari nilai dan rasa persahabatan.. plus ‘persaingan sehat’ di bidang akademik belaka.

Tak ada yang mau mengalah diantara kami berdua untuk persoalan nilai akademik dan peringkat juara di kelas..
setiap mata pelajaran.. sejak SMP kelas satu hingga kelas 1 SMA.
Sebuah rivalitas yang menyenangkan bagiku.

Jika dalam 10 soal yang diujikan.. aku dan Riza tak pernah kurang dari salah satu saja yang keliru menjawab.
Lainnya selalu saling mengungguli dan atau berimbang, alias sama.

Cuma pada praktikal olahraga saja Riza harus mengakui keunggulanku. Hehe..
Soalnya.. sejak kelas 4 SD aku sudah diajarin seni beladiri pencak silat oleh pamanku..
Lalu atas keinginanku sendiri.. aku mulai pula ikutan latihan beladiri impor dari korea.. Taekwondo.

Apalagi sejak SMP kelas 1 aku ikutan latihan atletik, lari khususnya..
Nah.. selaras aktivitas olahraga atletik itu.. juga lantaran sering bersamaan waktu latihan pada satu tempat pula.. di Stadion Bumi Sriwijaya..
aku kemudian tertarik juga pada olahraga paling digemari dan –menurutku– demokratis.. alias olahraga rakyat. Ya.. sepakbola.

Aku yang pada awalnya sekedar amatiran dan ikut-ikutan, alias olahraga rekreasi doang..
Nantinya bahkan ‘terjerumus’ lebih serius pada olahraga prestasi..

Sebab, ketika SMA kelas 2-nya aku lolos seleksi Tim Piala Suratin.. –saat itu masih U-18..– mewakili Palembang Junior.
Tau Posisiku di mana..? Sebagai fullback.. atau sering juga merangkap jadi wing back.. kiri atau kanan. Huft.

Hehe.. Jelas saja kan.. Riza kalah bersaing untuk bidang satu itu, alias bagian ‘adu otot’ denganku.
Oleh karenanya.. setiapkali usai menjawab soal ujian tertulis.. entah ulangan hariankah.. entah quiz.. entah ujian semesterkah..
kami segera membandingkan hasil jawaban sesaat usai dibagikan.. dengan riuh dan disertai saling ledek jika berhasil ‘mengalahkan’ satu dengan lainnya.

Meski pun sebenarnya kami memiliki ‘kelompok belajar’ terdiri dari 5 – 7 orang yang seringkali berganti..
namun tetap saja anggota inti adalah aku dan Riza.. plus Wella, sahabat Riza sejak SD.. yang juga rumahnya menjadi Posko kelompok belajar kami.

Wella pun sebenarnya tak kalah cantiknya dengan Riza.
Bahkan sedikit lebih semok dibanding Riza.. yang menurutku sebenarnya sudah montok. Hehe..

Dengan darah India dari bapak.. dan Tionghoa dari garis keturunan ibu.. mengalir di tubuhnya..
Wella yang sejak kecil di semasa SD-nya memang sudah cantik bagai boneka.. semasa remajanya menjelma menjadi gadis yang luar biasa cantik.

Hingga.. aku sendiri ga bisa mendeskripsikan kecantikan khas yang menjadi anugerah bagi Wella tersebut.
Sungguh, deh. Teramat sulit bagiku menggambarkan keelokan rupa.. dan wajah Wella.

Tapi.. penilaian fisik semacam begitu.. kupikir terlalu subjektiflah. Sangat relatif.
Apalagi jika dibikin penilaian berdasarkan ’angka-angka’ belaka. So Naif.

Sebab menurutku.. bagaimanapun juga ga akan pernah bisa dibanding-bandingkan pribadi yang satu dengan pribadi lainnya.
Toh setiap pribadi itu memiliki keunikannya sendiri-sendiri, kan..?

Ntar deh.. di sub-chapter berikut-berikutnya akan aku ceritakan sedikit storyku dengan Wella.
Dan itu tetap diluar sepengetahuan Riza, loh. Hehe..

Kembali ke SiKonTol Panjang Cret.. alias Sitiasu Kondisi Toleransi Pandangan dan Jangkauan Cerita..

Jadi.. Semasa SMP hingga tamat SMA.. kami, maksudku aku dan Riza.. ga pernah benar-benar ’dekat dan merapat’ secara fisik.. –apalagi hati– seperti sekarang.

Soalnya.. pada masa-masa itu aku ’memaksa diri dan hatiku’ untuk benar-benar menganggap Riza adalah seorang sahabat.. malaikat hatiku.
Yang akan selalu dengan sabarnya menasihati kebengalanku.. mengingatkanku untuk belajar..
entah belajar sendiri di rumah atau belajar kelompok.. ’menyelamatkan absensi’ siswa ketika aku terlambat datang ke sekolah..
–lebih sering minggatnya.. hehe..– apalagi semasa sekolah Riza paling sering menjadi pengurus OSIS.

Bahkan di kelas 2 SMA Ia yang menjabat Ketua OSIS di sekolah kami.
Selain itu juga.. Jabatan sebagai Ketua OSISnya malah kadang ’disalahgunakan’ untuk menyelesaikan hal-hal yang sering melibatkanku dengan geng-geng yang pada masa itu banyak di sekolahku.

Nah.. diluar itu semua.. kini ada satu lagi hal yang lebih mengejutkanku.. yang hampir-hampir tak pernah kupercaya jika tak mengalaminya sendiri.. bahwa.. tanpa disadari.. percik gairah berupa ’keintiman’ padaku muncul dan mencuat juga dari gadis cindo sahabatku ini.

Entah kapan Ia memulainya.. ternyata.. tangan gadis sahabatku ini mengelus pahaku..!? Astaganaga..!

Meski tersamar gerak dan guncangan kereta.. tetapi dapat kurasakan.. tangan kanan gadis ini mengelus pahaku..
pelan sekali.. seperti tak sengaja.. seolah-olah gerakan orang yang sedang bergerak dalam tidurnya.
Aduhaii.. tangannya itu.. kurasakan sangat perlahan mengelus kakiku.. kini bergerak menggerus pelan dari mulai pangkal paha sampai di atas lututku.

Dengan segera kurangkul tubuh sintal nan mulus sang gadis cindo.. menarik rapat ke tubuhku.
Dengan agak ragu.. kurasakan lengan kanan Riza membujur di paha bagian atasku.. dari sebatas siku hingga telapak tangannya menangkup di lututku

Menyebabkan dua tubuh kami kian berdempet.. berhimpit ketat.
Kurangkul tubuhnya lebih rapat.. meresapi kehangatan yang ditimbulkan pergesekan pelan namun menimbulkan denyar..
tiapkali kulit pada bagian tubuh kami yang tak tertutupi pakaian bersentuhan.

Kami terdiam. Yang terdengar hanyalah gemuruh hujan di tengah gemuruh deburan dada kami masing-masing.

Ya.. jemari lentik itu merambati pahaku yang dibalut celana lapangan bermerek Alpina
–Sepertinya sekarang udah ada lagi pabriknya, pernah bangkrut sekitar pertengahan tahun 2000an..– warna coklat gelap.

Sempat terkesiap dan merinding seluruh bulu di tubuhku.. Namun.. agar tak ’mengejutkan’ dan tak membuat malu gadis cindo ini..
maka aku lantas menghentikan ’aktivitas’ remasan lembutku di payudaranya.

Coba kulirik ke arah wajah sang gadis cindo yang berada di pelukan tangan kiriku sejenak..
Ah.. tak terlihat samasekali.. sebab posisi kepalanya berada di sebagian dada dan bahuku..
sedangkan pendar cahaya lampu di atap gerbong tertutup oleh sandaran kursi di depan kami.

Lucu juga jadinya, kupikir..
Peristiwa ’saling raba dalam tidur’ itu terjadi dalam kondisi kami berdua berpeluk dan bersender dengan mata terpejam..!

Sama berpura-pura seolah ’tidak saling mengetahui’.
Seolah masing-masing tak menyadari aktivitas tangan kami masing-masing.. hehe..

Ibarat sebuah kalimat yang belum terselesaikan.. maka saat itu terciptalah beberapa spasi.. tanpa tanda kutip di antara kami.

Kediaman yang mencipta ruang.. jeda beberapa saat.. seolah kami saling coba mencerna.. menenggang rasa..
buah pertikaian nan riuh.. antara batin.. nalar.. dan logika kami masing-masing.

Masih saling berdiaman.. kubuka sebelah mataku.. –semestinya dua-duanya juga ga apa-apa..
toh posisi kepalanya berada sedikit di telinga kiriku.. ga akan bisa dia lihat, kan..?–
Kurasakan.. Dia masih terus mengelus pahaku perlahan di sebalik jaket yang menyungkupi sebagian kedua tubuh kami..

Meski begitu.. dalam ’keterkejutan keduaku’ itu.. tetap saja gemetaran tangan dan tubuhku tak mampu kututupi..
betapa ragu dan nafsu sedang bercumbu.. mengobrak-abrik pertahanan akal sehat.. menghantam logikaku.

Meski sempat kehilangan kesabaran.. tapi tetap perlahan dan tersisa keraguan..
telapak tanganku lantas menangkupi punggung telapak tangan kanannya.. mengangkatnya sedikit mengambang..
menuju sebuah titik pendaratan.

Dan.. tak mampu pula dia tutupi.. tangan yang kutangkupi itu pun terasa gemetar.. serta bepeluh dingin..

Yups. Satu tanganku yang setadian ’nganggur’ alias ’kurang kerjaan’ itu.. kemudian dengan tekad senekadnya..
dan deguban jantung kian cepat.. memandu arah tangan Riza yang tadinya mengelusi pahaku..
perlahan menuju keberadaan si prajurit gebleg yang telah tegang.. menggelar demonstrasinya.

Hupp..! Plekk..!
Telapak tangan mulus dan lembut itu kini mendarat.. tepat di atas gundukan celana lapanganku..
di mana sang prajurit mbalelo dengan gegap-gempita menyambutnya.. mengangguk-angguk senang.. penuh keriangan..

Uyee..! Rupanya dia mengerti, ding. Batinku ikutan senang.

Maka.. aktivitas rambat-merambatpun segera berlanjut dengan elus-mengelus..
dan semua kegiatan mendebarkan itu tetap dalam kediaman yang sublim.. hening yang aneh.

Cuma sesekali terdengar tarikan nafas lirih.
Entah nafasku atau Riza. Ga taulah.. Pokoknya silih berganti ditingkahi segala bunyi saat itu.

Aku mengelus-elus.. plus mulai sedikit remas-meremas tonjolan kenyal payudaranya..
Sedangkan Riza.. mulai mengelusi kontur si prajurit gebleg di tonjolan celana lapanganku dengan jari telunjuk dan jempolnya..
yang tercetak jelas dari dalam celanaku..!

Ough.. mantab.. benar-benar sebuah kejutan –lagi– yang Riza beri untukku..
setelah blitzkrieg.. alias serangan kilat.. berupa secercah ciuman di ujung bibirku.. lalu kini ..

“Barr.. ini..?” Desisnya tak sadar.. seperti berbisik pada dirinya sendiri.
Matanya tetap terpejam, mungkin.
Mataku sih, ngga. Malah mendelik.. campuran rasa kaget.. enak.. nikmat.. sekaligus konak sekonaknya.

Padahal Dia baru mengelus si prajurit gebleg dari luar celana lapangan..
Bijimana kalo Dia langsung mengelusnya skin to skin.. coba..!? Auuhh.. ah.

Kian terpancinglah aku untuk melanjutkan ’kenakalanku’ pada gairah permesuman ke tingkatan yang lebih menuntut..
lebih meminta.. sebuah penuntasan.

Kali ini.. dua kancing tepat di depan busungan dadanya itu kubuka.. pelan sekali.. dan dengan lumayan susah payah.
Bukan lantaran Riza ga kooperatif.. pun bukan pula karena saking ketatnya kemeja pink yang Riza kenakan, bukan.

Akan tetapi sebuah pertempuran dalam dirilah yang tengah bergejolak.
Hasrat versus Logika masing-masing.. kuyakini yang lebih mendominasi kami saat itu.

Pertempuran dahsyat yang menimbulkan kalut.. bingsal –bingung dan kesal, bahasa Palembang..–
untuk melanjutkan atau menghentikan ’perbuatan nikmat’ yang berbenturan langsung dengan ’anggapan rasa’ persahabatan diantara kami.

Itu menurutku, sih. Entah yang terjadi dengan kondisi kejiwaan Riza. Aku ga tau.

Pelan dan penuh perasaan.. kugosokkan telapak tangan kiriku di bahu dan lengan Riza.. mencoba menghantarkan kehangatan pada gadis berdarah biru nan cantik itu

“Ceglukk..” mau ga mau aku meneguk ludah..

“Za..” panggilku pelan.. memecah diam yang mengungkung.. sekedar melepas beban pikir.

“Hmm..” gumam Riza sumir jawaban.

Terdiam.. aku menunggu kata-kata lanjutan.. yang tak kunjung keluar dari bibir merah gadis itu.

Tak lama berselang.. Riza sedikit menoleh dan mendongakkan wajah.. seperti memberi sinyal untukku berbuat lebih jauh.

Nekad aja ah..! Pikirku mempersetankan segala resiko.

Kurengkuh lebih erat bahunya.. bagai gerakan memiting.. atau kuncian siku bagian dalam lenganku.
Menundukkan wajah.. kulihat.. ternyata Riza juga tengah memandang ke arahku.. sendu.

Tersamar remang cahaya neon.. wajah lembut keibuan dengan bola mata yang biasanya cemerlang itu.. bergerak-gerak pada bagian hitamnya.
Hidungnya yang bangir.. melancip pada ujungnya.. kini terasa teramat dekat untuk bisa kucium.

Akhirnya.. dupa berbara gairah.. menimbulkan reaksi kimia.. membangkitkan ruap aroma birahi..
Meski pelan.. tetapi sangat menghanyutkan.. dan dengan pasti mulai menyelimuti kami.

Tak mau terburu.. dengan sama gemetar kucumbu bagian cuping telinga kanannya.. kukecup.. lalu menjilatinya penuh kelembutan.
Aroma wangi terhidu olehku dari setiap kulit Riza yang mendapatkan belaian lidahku.

“Oh.. Barr..” desis Riza perlahan.. seolah melepas beban diam yang setadian membelenggunya.

Di keremangan cahaya lampu kereta.. kunikmati sejenak matanya yang terpejam-pejam..
menikmati rasa yang timbul dari setiap jalinan percumbuan.

Gairah memanas di bidang sempit itu kini melantunkan desahan.. bagai memantulkan rintihan.. erang tertahan Riza..
terimbangi dengusku dalam setiap gerakannya.

Dapat kurasakan jemari lentik Riza kemudian meluncur perlahan ke bidang tengah celana yang kukenakan..
Ia menemukan rits celana lapanganku.. lantas menariknya juga dengan perlahan ke bawah.

Di sanalah.. Ia akhirnya menemukan sebuah tonjolan.. mengeras di balik celana dalamku..
Ya.. demonstrasi si prajurit gebleg yang dengan riangnya telah mbalelo..!

Nah.. sekali lagi.. aku dibuat terkejut oleh ‘keberanian’ seorang gadis cindo kemayu berdarah ningrat sahabatku ini..
Meski masih terasa keraguan di situ.. tetapi kini dapat kurasakan telapak tangan berjemari lentik itu meremasnya perlahan..!

Kontan aku terlonjak.. Kembali aku tersentak. Karena eh, karena.. tau-tau jemari Riza, seperti tak mau kalah dengan aksiku..
meski terlihat ragu awalnya.. tetapi dengan pasti Ia tetap menarik rits celana lapanganku.

Menelusupkan telapak tangannya meluncur di karet celana dalamku.. lalu menariknya..
untuk menyembulkan batang tegar si prajurit gebleg yang mulai mbalelokan dirinya.. membesar elastis.. keluar menunjukkan eksistensi.

Sepertinya tak leluasa jemari lentik itu melukar ritsleting.. Ia lantas memetik kancing besar celana lapanganku..
Hehe.. kubiarkan saja begitu.

Soalnya.. aku sedang berkonsentrasi dan ‘menikmati keterkejutanku..
Sangat emosional rasanya.. ketika si prajurit gebleg yang tengah mbalelo mendapat ‘serangan nikmat’ tangan berkulit halus nan lembut..
jemari si gadis cindo.

Bahkan kini.. dengan keberanian yang entah datang dari mana.. jemari itu meluncur ke balik celana dalam.. menyelusup pelan..
dan lalu mengurut serta meremas langsung di sana.. meremas tubuh kejal si prajurit gebleg..!

“Nnghh..” Tak pelak.. aku hanya dapat melenguh.. terpejam-pejam mata..
menikmati ‘keliaran’ jemari lincah tersebut pada batang pejal si prajurit gebleg yang mengangguk-angguk penuh keriangan..
seolah menyambut kedatangan tamu berkulit halus yang mengelus-elusnya mesra.

Aku blank..! Logikaku macet.
Merespon ‘tindakan brutalnya’ pada si prajurit.. segera saja kurangkul lebih rapat.. lebih mesra.. tubuh sintal gadis cindo ‘sahabatku’ itu.

Perlahan menurunkan posisi kepala.. bibirku menyusur turun.. menemukan bibir lembut yang sedikit membuka.. seolah tengah menanti serbuan.
Kujatuhkan kecupan-kecupan tipis sporadis pada dawai bibir merah tersebut.. untuk beberapa saat kemudian melumatnya dengan segala gemas.

“Mffhhh..” desah perlahan mulai terdengar.. terlepas.. menjadi bumbu candu beraroma birahi.

Kami berdua bagai terseret gelombang menghanyutkan.. ga mampu kami elakkan.. di kemabukan candu birahi yang meletupkan segala keinginan.. naluri.. alam bawah sadar kami.

Ahh.. kurasakan kedua bibir Riza menyambut dengan tak kalah hangatnya.
Lidah kami kini saling membelit.. bergumul bercercapan.. berpindah-pindah beberapakali.
Kadang lidahku menyelusuri kelembutan bibir tersebut hingga ke sudutnya.

Kadang salahsatu dari mereka menyeruak.. dan lalu bergumul dalam mulut Riza nan hangat membasah..
untuk beberapa saat berikutnya kubelit.. kuisap.. kutarik.. kusedoti.. kuseruput ke dalam kehangatan rongga mulutku.

Lidah kami saling berpalun di dalam mulut Riza.. saling membelit di kelembaban nan hangat.
Entah kenapa.. rasanya cepat sekali kami jadi terbangkit gairah nan mesra.. bergelora.

Sementara tanganku yang perlahan telah pula menyelusup ke balik blus yang dikenakan Riza..
merabai kelembutan hangat dada yang membusung di sebalik bungkusnya itu dengan lincah..

Kini tanganku telah berada di balik blus Riza.. meremas kelembutan bukit yang terbungkus.
Perasaan hangat timbul dalam diriku.. sangat nyaman.. di tengah dinginnya udara yang dihantarkan oleh gerimis dan kesiur angin.

Seperti tak mau kalah dengan aksi remasan pada lembut-kenyal payudaranya.. telapak tangan dan jemari lentik Riza pun lincah ‘bermain coblosan..’ naik-turun perlahan pada batang tegar si prajurit gebleg yang telah menjulang 70 derajat.. keluar dari celana dalamku.

Hanya saja.. kini keluarnya si prajurit gebleg yang tengah mbalelo itu tidak melalui ritsleting..
melainkan akibat celana lapangan dan celana dalamku yang entah kapan telah bergeser.. melintir-melorot ke bawah di setengah pahaku.

Napas Riza kudengar mulai tersengal. Deru nafsu telah membahana di ruang sempit tersebut.
Tempias hujan menumbuki kaca jendela.. lalu bergulir cepat diseret angin kencang.

Punggungnya kini menyandar di sudut dinding gerbong.. di pertemuan sandaran kursi dengan dinding jendela..
sementara tubuh bagian bawahnya Ia naikkan ke atas kursi kereta.. berposisi seperti duduk miring dengan kaki kanan berlipat ke dalam..
di bawah pantat dan paha kirinya.

“Uhh..dahh.. Bar..” bisik Riza melepas debur napasnya.. skeptis.. hampir tak terdengar.

Loh.. kok udahan..? Kan baru aja mulai.. Ini belum apa-apa, sayang..
Batinku.. sembari meneruskan aksi.. tak membalas bisikan lirihnya.

Tanpa perhitungan lagi.. kutarik saja bra yang dikenakan Riza ke atas.. ke arah bawah dagunya..
Blupp..!
Maka menyembulkan bukit dadanya yang membusung padat di remang cahaya.. yang menerobos alingan kursi kereta di depan kursi yang kami tempati.

Aih.. betapa sekal.. dengan bentuk teramat indah.. dihiasi noktah yang pada saat itu terlihat berwarna kecoklatan dengan puncak yang tegak.

“Slurpp..”
Langsung saja bibirku beraksi melumat lembut bukit membusung tersebut.

Isapan lembut namun gemas.. yang kubarengi gerakan melingkarkan lidahku pada puncak bukit itu.. sontak mengelinjangkan tubuh indah Riza.

“Hmmffhhh.. Barra..ahh..” desahnya perlahan.
Seolah melepaskan segenap desakan yang memenuhi paru-parunya.
----------------

"Ah.. Mmmhh.."

Kudengar kini Riza mengeluh-lenguh lirih.. dan tubuh bergetar-getar..
Matanya terpejam.. meninggalkan garis kepasrahan.. saat penuh perasaan kugenggam susunya dengan telapak tangan kananku..
dengan putik puting yang mengacung di lumatan lembut namun gemas bibir serta lidahku.

Sip.. Gotcha..! Otakku berderak.. pikiran pun mulai bergerak cepat.. up-date data.. bikin rencana susulan..

Kini.. dalam kondisi pantat Riza setengahnya menggantung di bibir kursi kereta..
kutempelkan telapak tangan kiriku ke belakang lehernya.. menekan kepalanya supaya aku bisa melumat.. meratah..
seluruh kontur putik payudaranya lebih dalam.

"Hhhh.. Zaa.." melepas lumatan pada kekenyalan puting payudara menegangnya.. lirih aku ikutan mendesah.. memancing..
coba mencari-cari langkah lanjutan yang lebih merangsangnya.

Masih penuh perasaan plus kegemasan.. kuremas tempurung dadanya di genggaman telapak tangan kanan..
menikmati kekenyalannya untuk beberapa remasan lembut.. gemas dan mesra.. coba memancing lebih besar kobaran gairah.

Serta merta tubuhnya merespons.. menggeliatkan liukan erotis.. seolah memberitakan resah nan nikmat.. dalam desah lirih..
saat remasan telapak tanganku bablas terlalu keras memilin ketegangan puting payudara.

"Bar.." desahnya.. yang resah digaruk-garuk birahi.. diipuk-ipuk –dirayu, bahasa Palembang..– gairah jiwanya.

Sepadan dengan aroma birahi yang kian menguasaiku.. sang Iblis paling mesum mulai lancar menyetir otakku saat itu..
apalagi setelah mendapat SIM-nya, alias Sinyal Iblis Mesum-nya dariku.

Hingga.. ‘tanpa berseganan lagi’ makin intenslah remasan gemasku.. pada ibu bukit buah dada padat empuk dan kenyalnya.. berbareng seruput bibir.. disertai cercapan melintir pada putik puting yang serasa buah cherry –ceri..– di kekasapan lidahku.

–Ceri adalah kelompok tumbuhan maupun buahnya anggota marga Prunus. Ceri tidak mencakup satu jenis saja, tetapi ada beberapa, seperti P. cerasus, P. avium, dan P. emarginata. Ceri adalah pohon yang sangat disukai di Jepang.. dan bunganya disebut sakura..–

Grodag.. gludag-gludag-gludug-gludag-gludug-gludug..! Tau-tau.. bunyi-bunyian pentalan roda-roda besi bergesek rel.. derit sambungan antar gerbong menggelontor.. bagai oskestra keriuhan.. tanpa ampun datang dari arah bordes.. seolah turut mengiringi.. kandasnya didihan gairah kami saat itu.. terputus semerta dentuman petir yang tiba-tiba pula menggelegar.. mengagetkan..

Sementara.. di luar sana hujan kian riuh.. masih ramai.. bagai ikut menyemangati.. memacu.. memanasi..
mengipas-ngipas bara gairah dan hasrat kami berdua.. tak tau bahwa telah terjadi ‘peristiwa kentang spesial’ di sebuah gerbong kereta. Huh, dongkol juga aku..!

“Bar.. jangan. Udah ahh. Malu.. ntar ada orang lewat, tuh..”
Putus Riza dengan napas tersengal.. seolah ‘tersadar’ begitu saja.. lantas malu sendiri atas respon tubuhnya atas jarahan mesumku.

Matanya melirik ke arah kiri.. semerta sedikit gelengen kepala.. seolah memberi tanda atas adanya bayangan menutupi cahaya neon yang semakin memburam.
Ahh.. Sial..! Ada orang mau ke toilet, rupanya.

Bayangan itu bergerak-gerak makin memendek.. kian dekat ke kursi kami berada.
Cuma tersisa beberapa puluh detik saja lagi.. untuk ’berbenah ala kadarnya’ .. pikirku cepat.

Aku.. dengan sangat kentangnya ‘terpaksa’ berusaha merapikan celana lapanganku yang terbuka.. akibat ‘kenakalan’ tangan Riza tadi.
Dengan sigap aku sedikit menggeser posisi pantat dan pinggulku ke kanan.. lalu kembali menyender setengah miring ke arah Riza..
Aku hanya bisa menarik karet kolor.. lantas menutupi si prajurit yang telah menaikkan bendera sepenuh tiang ditambah sungkupan sebelah jaket.

Gimana dengan Riza..? Walahh.. Ternyata Dia jauh lebih cepat bergerak daripada aku..
Sedetik dari aku menggeser tubuhku tadi.. Ia dengan gesit namun ga begitu kentara.. menggeser sebagian tubuh bagian atasnya untuk menyender di ujung kursi dengan bahu kiri bersandar di sudut pertemuan kursi dengan dinding gerbong.

Gerakan sembarinya itu dengan tak kalah gesit pula Ia membenahi pakaian.. juga dengan se-ala kadarnya.. untuk kemudian menelusupkan kedua tangannya itu di bawah sungkupan jaketku.. lantas melipatnya di depan dada.. kembali berpura-pura tidur.. menutupi dua kancing di dadanya yang tadi terbuka lebar.
Entahlah.. sekarang masih terbuka atau malah sudah kembali Ia kancingkan, aku ga tau.

Trap.. trapp.. trapp.. trap..! Bunyi langkah kaki kian mendekat.
Hampir bersamaan waktu dengan selesainya ’prosesi berbenah’ kami.. muncullah tubuh si pencipta bayangan..

Hmm.. ternyata seorang wanita bersama anak perempuannya berusia sekitar 3 atau 4 tahunan..
mereka bergerak dalam langkah terhuyung akibat pentalan lari roda besi.. di lorong pemisah deretan kursi kereta..
Waduhh.. bakalan lama tuh ibu-ibu di toilet. Serapahku dalam hati.
Hedeww.. Kembali aku harus memulai prosesi perjuangan Sisyphus dari awalan lagi, nih. Busyet dahh..!

Beberapa jenak kemudian kami kembali jadi saling diam.. tak berkata–kata.. kembali ditegur kediaman yang merisihkan.
Disibukkan pikiran masing-masing.. Aku dengan gemuruh perasaan kentang spesial.. yang belum tertuntaskan.
Entah dengan Riza. Aku ga mampu memindai denyar emosinya saat itu.

Percakapan kami hanya lewat pancaran mata.. yang menyiratkan gairah membara di biasan remang penerangan kereta.. eh, itu mataku.
Kalo sinar mata Riza, sih.. aku masih ga mampu menyurat makna yang tersirat itu.
Aku masih tetap ga bisa membaca dan memaknai pancaran membias binar matanya.

Jantungku masih berdegup keras.. masih belum berdetak normal akibat aktivitas yang terpotong.. terinterupsi tiba-tiba barusan.
Hedeww.. Lama banget dua beranak itu di toilet. Ngapain aja sih..! Gerutu batinku, jengkel.

Aku jadi mulai hampir kehilangan kesabaran. Bahkan.. si prajurit gebleg perlahan malah sudah mulai menyusut.. mengkerut kayak labi-labi mingsep –masuk bersembunyi, bahasa Palembang– dalam rumahnya.
Ya.. iyalah.. baru juga warming up, alias pemanasan awal. Udah kepotong deh.. bagaimana ga jengkel bin dongkol, ya ga..?

Hingga beberapa jenak berikutnya.. setelah hampir kesal menunggu.. akhirnya wanita dan anak perempuannya itu lewat juga di samping kami. Uuuh.. betapa lega dan senangnya aku..

Meski kembali harus berjuang memancing kemunculan hasrat dan gairah Riza.. tapi ga apalah. Toh semuanya membutuhkan proses, ya ga..? Batinku menyenangkan hati.. plus mengipuk si prajurit gebleg yang kelihatannya mulai ngambek. Hehe..

Maka.. kembali aku yang tadinya hampir putus asa lantaran terinterupsi gairah..
selayak Sisyphus mendorong batu besarnya ke atas bukit.. mulai kembali terbangkit gairah.

Riza kini bersandar lebih rapat ke lenganku.. sehingga aku dapat merasa kembali kekenyalan bukit payudaranya yang ga terlalu besar..
pun ga bisa dibilang kecil itu.. kini tepat pada posisi tersandar di lenganku.

Untuk kali ini.. meski belum dapat menyaksikan lebih jelas dan dalam suasana yang lebih terang.. aku sudah ga heran lagi.
Payudaranya memang kecil ga.. gede juga ngga. Sedang-sedang aja, sih.
Tetapi.. putingnya yang agak gede dan mengacung tegak itu justru meninggalkan tanda serupa bulatan di dada kemejanya.

So.. berarti.. Ia belum sempat menutupkan beha pada kedua tempurung dadanya, ya kan..? Hiahaha..! Sorakku senang dalam hati.
Dan juga aku tahu persis bahwa semua gesekan tubuh kami yang ’seolah-olah ga saling tau’ itu.. merupakan foreplay yang efektif.

Seolah coba mencari posisi yang nyaman pada jaket yang menyungkupi bagian atas kedua tubuh kami..
puting susunya selalu kusentuh pada saat yang tepat.. ’antara sengaja.. dan tidak sengaja' .. hehe..

Itu kulakukan agar rasa segan atau malunya dapat berganti dengan rasa gatal yang menebar di ujung-ujung syaraf tubuhnya..
yang aku yakini setadian telah ’memanas’ sejak foreplay kentang yang terputus barusan.

Dinihari terus mendaki.. melewati sang malam yang muram berderai hujan..
sementara lengan tangan kiriku telah pula kembali menempel perlahan.. mendaki kelembutan tanjakan kenyal nan mulus..
lembah di antara 2 bukit indah berputik manis.

Mencoba menata ’langkah-langkah baru’ trik permesuman..
mencoba mencari celah untuk kembali mengobarkan bara birahi gadis cindo sahabatku ini.. lebih lembut.. dan lebih terencana.. Hihi..

Ah.. tapi apa masih bisa disebut dengan kata ’sahabat’ gadis cindo kemayu di sebelahku ini..? Setelah apa yang baru saja termulai.. lalu terputus..? Atas segala rasa dan gairah yang telah tersulut..? Entahlah. Aku ga mau tau. Dan kini aku ga pingin tau.

Entah berapa saat kemudian.. tangan dan kini lenganku.. telah nyaman nemplok.. berada di tengah-tengah susu Riza.
Sementara kepalanya sedikit terkulai bersandar di bahuku.. seperti tengah ’kembali tertidur' ..

Jemari tangan kananku makin sering hinggap ke beberapa ruas di titik-titik tubuhnya.. mengelus rambut di atas dahi atau keningnya..
mengusap kehalusan resap kulit langsatnya.. sembari meledek geliatan si prajurit gebleg yang liar mem-mbalelokan diri di dalam celana.. haha..

Tanpa dapat Ia cegah.. berat badan Riza akhrnya perlahan seperti hampir jatuh seluruhnya di lengan kiriku..
Sehingga.. ketika bagian bawah lengan kiriku itu bergantian bergerak ke atas untuk mengusap rambutnya..
maka lengan kiri bagian atas akan menggeser kekenyalan payudaranya.. merasakan keempukan kontur munjung si buah dada.

Nah.. kalau aku agak menekan-nekan lebih keras buah dadanya.. maka.. tanpa pula Ia sadari jemari tangan kanannya akan kembali meremas paha kiriku.. bagai mexican wav di stadion sepakbola. Seperti gerakan berantai..

Hehe.. aku tau.. Riza sedang menikmati susunya ’terusap-usap’
–awalan ’ter’ menyatakan seolah tidak disengaja. Haha..– oleh gerakan menggesekku tersebut.
Kali ini aku lebih hati-hati.. tetapi tetap coba melakukannya dengan sangat lembut.. dan seolah ’ga sengaja’ -lagi..- sebagai pembukaan alinea pembuka.. eh, alasan pembuka menuju ’ketanpapenolakan’ Riza.

Dan hal itu terbukti efektif. Soalnya –menurutku..– Riza lebih memilih untuk kembali menikmati denyar perasaan gairah dan gatalnya ketimbang menyingkirkan lenganku dari bidang gumpalan dadanya. Entahlah.

Gesekan itu terus kulakukan.. berulang-ulang.. Ga pake lama.. aku mulai merasakan counter attact-nya..
karena.. aku semakin merasakan tekanan dada Riza kian rapat ke lenganku. Asyik..! Udah tersulut dan meletik lagi, nih bara gairahnya.
Sorak batinku makin mesum.

Ga pake ragu-raguan lagi.. segera kugamit tangan kanannya.. yang semula disampirkannya ke lututnya yang sedang ditekuk di atas tempat duduk.. kugenggam dengan jemari tangan kiriku.. kemudian secara refleks kubawa ke bibirku.. kukecup lembut penuh mesra.. lalu kusandarkan di dadaku.

Beberapakali saat berselang.. mulai kurasakan.. jemari lentiknya yang kutarik masuk.. menggeser perlahan puting susuku.
Sebenarnya Ia hanya mengikuti tuntunan tangan kiriku saja. Tapi hal itu ternyata cukup membuatku menggelinjang.

Setengah desah Riza berbisik.. "Rasanya seperti apa ya, Bar..?” Eh.. ngomong juga akhirnya gadis cindo ini..?
Tapi kudiemin aja.. ga kujawab atau kukomentarin..
Aku lantas sedikit menggeser lengan kananku yang out of range-nya.. kini berposisi persis di atas puting susunya.

Srett.. Hupph..! "Ouwhh.. Seperti gini ya, Bar..? Ga pake teori-teorian.. langsung praktik..?"
Tanyanya retoris.. mendesah lirih sambil senyum tipis.. hampir ga terlihat di buram dan remang cahaya neon
Nah.. tambah banyak suaranya muncul, kini.

Menoleh ke kiri ke arah Riza yang posisi kepalanya sedikit lebih rendah dari kepalaku..
kudekatkan bibirku ke telinga kanannya.. lantas berbisik lirih beberapa milimeter saja dari daun telinga di sebalik geraian rambut hitamnya..
coba menggelitik titik rangsangnya dengan kekuatan audio..

"Rasanya merangsang banget.. Za.." Semerta begitu.. kuembuskan nafasku.. yang kupastikan akan dapat menggelitik di rongga telinga Riza.. Tetapi.. karena di balik sungkupan jaketku itu lengan kanannya berada di balik lengan kiriku.. sedang lengan kirinya yang kini berada di dadaku kudekap dengan tangan kananku.. karena itu Riza jadi ga bisa menghalangiku dengan tangannya.. sedangkan tubuhnya pun juga ga bisa digerakkan bebas. Hehe.. Jelas saja Riza ga bisa menghindari semburan lembut nafas hangatku yang mengusik rongga telinganya itu kan..?

So.. refleks saja kukira.. kepalanya lantas Ia tekankan ke bahuku..
Nah.. saat itulah aku tahu.. gairahnya kembali muncul.. membubung pelan dan pasti.
Itu terdeteksi.. dari puting susunya yang ’tertekan dan terusap-usap’ oleh lengan kiriku bagian atas.

Sebelum kepalanya tiba di bahuku.. kupingnya bersentuhan bibirku. Lidahku kujulurkan ke arah telinga Riza lalu kujilat dua kali.
”Aghh.. Barra..hhh..” Lirih suara Riza tersiar dalam rintih tertahan.
Telapak tangan kirinya refleks bereaksi.. balik meremas dadaku.. menggeser puting susuku kembali.

Malam kian tertinggal sang dinihari yang merangkak naik.
Tangan kananku berpindah ke lutut Riza sambil bergerak turun membelai-usap paha bagian dalamnya dari luar rok yang Ia kenakan..
lantas merayap pelan.. menelusup dari celah belahan rok hitam panjangnya.

Kutebak.. saat itu mata Riza pasti tengah terpejam-pejam. Hehe.. Soalnya.. semua aktivitas perangsangan pada titik-titik erotis pada tubuhnya itu.. terus kulakukan dengan sangat lembut.. teramat ’berperasaan’. Haha..

Dan.. ketika tangan kiriku yang mengenggam pergelangan tangan kanannya.. kutuntun dan kubawa turun hingga punggung jari-jari tangan kanannya berhenti tepat di atas selangkanganku.. di atas tonjolan si prajurit gebleg yang bersemayam gelisah di balik kolor..
Drett..! Kurasakan tubuh Riza yang ’setengah tertidur’ kurasakan agak tersentak..

Hampir bersamaan dengan itu.. jemari tangan kananku yang setadian menjelajah kehalusan kulit pahanya.. kian intens mengelus hingga meratah.. menyelusup lebih dalam.. ke wilayah serbu paha bagian atasnya.. kini telah menyentuh tepian selangkangan bibir cipetnya dari luar celana dalam.

Sontak menggeliat.. Riza secara refleks merapatkan jarak pahanya.. sambil menggumam lemah.. "Mmmm.. udah ah, Bar. Jangan nakal lagi.. ah.."
Tanpa mempedulikan ’protes tanpa tekanan’ Riza.. makin kutekan punggung tangan Riza ke atas posisi si prajurit gebleg yang telah kembali mbalelo.. menegang ngeras.. dengan otakku kian ngeres..!

Si prajurit yang kembali mendapat serangan refleks.. kali ini punggung tangan mulus si gadis cindo.. langsung menegang-regang-tegang.. Sebanding reaksi Riza.. kurasa pada bagian atas lengan kiriku.. yang menyandar di buah dadanya.

Ia terkadang menjepit bagian bawah lengan kananku yang kini bertumpu pada paha di sisi rekahan cipetnya.. dengan pahanya.
Dan aku ga terkejut lagi.. ketika ruas jariku terasa menyentuh satu titik yang basah di celana dalam Riza.. tepat di daerah mulut kemaluannya.

“Ughh.. Barra..hhh.. udahh..” Riza mengerang dengan mata terpejam dengan geliat tubuh seperti panik dan terpatah.
Sementara aku.. semakin menekan permukaan celana dalamnya dengan telapak tangan kananku.

Terasa remasan Riza pada dadaku.. sampai hampir seperti mencubit.. Hehe.. gemas dia, cing..!

"Barra..hhh.." desisnya lirih memanggil dalam rintih tertahan. Aku menolehkan kepala hingga mulutnya sangat dekat ke pipiku.

Ia meneruskan bisik lirihnya.. "Heii.. aku belum pernah begini.. Bar. Malu aku, ah.."
Ga langsung-langsung menjawab.. belagak pilon kupindahkan saja jarahan tanganku dari permukaan celana dalam di tengah selangkangannya.. lantas berpindah ke rambutnya.

Pura-puranya aku mau menenangkan dirinya dengan cara mengusap dan mengelus mesra rambutnya.
Tapi.. itu kulakukan ga lama.. sekedarnya saja, sih.. biar Riza ga malu-malu banget, gitu. Hehe..

Sebelum Riza sempat membenahi posisi depan rok panjangnya yang tertarik hingga sebatas pangkal paha.. beberapa saat kemudian tanganku tanpa basa-basi kembali meloroh.. merogoh.. menelusup ke sebalik rok.. menelusuri bidang lencir mulus paha.. meluncur semulus kulitnya..
ke arah selangkangannya.

Happ..! Ketika sampai di tujuannya.. kutekan lagi perlahan bidang belah si Cipet sambil mengusap bercak cairan yang menjeplak basah pada lepitan parit Cipet dari arah bawah dekat liang anusnya.. menuju sang biji nikmat.. klitorisnya.
Srett.. srett..
Bergerak perlahan.. menyusuri mili demi mili sepanjang garis parit vertikal vagina.. lepitan Cipet Riza yang kian rembes membasah.. sah.. sah..!

Blarr..! Jgerr..! Rrrggg.. Brakk.. Blagg.. Bugg..bugg..!
Gedubrakan dan geritan bunyi daun pintu serupa pintu geser ala rumah-rumah di Jepang.. beberapakali menyalak..
bertabrakan dengan dinding gerbong.. seakan ingin mengalahkan jerit besi sambungan antar gerbong di belakang kami sana.

Sementara itu.. suasana di dalam gerbong yang kami tumpangi seperti mati suri.
Ga ada aktivitas yang berarti dari para penghuninya pada dinihari berhujan angin itu.

Pada saat yang sama.. aku masih berjuang merebut kenikmatan.. dan berusaha ’merampok harta nikmat’ milik sahabatku sendiri.. Riza.

Panjang kursi di mana kami duduk bersisian.. kini terasa begitu sempit..
Padahal sisi jok sebelah kanan tempatku duduk.. kini malah ’terlihat kosong’ ..
lantaran posisi tubuhku yang terlalu jauh ’memepet’ ke arah dinding gerbong.. di mana posisi Riza berada.

Ga leluasa rasanya kedua tanganku melakukan gerilya di titik serbu tubuhnya..
tersebab kursi di mana kami ‘berpeluk-gumul’ hanyalah bidang sempit.. seluas 80 x 150 sentimeter saja itu..
Tapi.. ya sudahlah. Nikmati saja apa yang saat ini bisa dinikmati..! Pikirku menyenangkan hati. Hehe..

Jadi.. untuk beberapa saat kemudian.. jemariku berhenti di situ.. sebagai destinasi awal.
Orientasi Medan dulu, ah..! Saran si otak mesumku sumringah.

Oke. Observasi Lapangan segera dimulai..!
Beberapa jenak kemudian kugunakan ‘usaha memindai’ .. merasakan bentuknya yang setadian begitu menggodaku untuk merambahnya.

Srett.. Hepp..! Hmm.. agak sedikit bergelombang. Kurasakan kontur dan lipatan vertikal di baliknya sana.
Kunikmati beberapa jenak.. sebelum ‘mengirisnya’ perlahan dengan ujung jari.. mengikuti alur belahan paritnya.

Kress.. kress.. kress.. Kunikmat-rasakan gemerisik lembut bunyi geseran bulu-bulu halus dengan kain penutupnya.. ketika ujung jariku bergerak sedikit demi sedikit di atasnya.. mulai merambahi bulu-bulu halus di sekitarnya.
Ga tebal.. tipis saja.. dan sebagian besar kini telah sangat basah..! Entah keringat.. entah apa.

Kuelus perlahan garis parit lipatan basah itu.. sepelan mungkin.. setekan mungkin.. coba mengirimkan impuls nikmat di situ..
“Sshhh.. Oughh..” Desisnya tanpa Ia sadari dengan kedua paha kian rapat menjepit tanganku.

Oh, tidak.. Dia tidak hanya mendesis.. Ia mengerang-lenguh.. lirih dan berat.
Namun tetap dalam pejaman mata.. terkatup dengan kelopak yang berkedut.. seolah berkejap-kejap dalam tidur.

Orgasmekah beliau..? Tapi.. masa’ udah orgasme, sih..? Pikirku menduga-duga.

Nah.. makin beranilah aku.. Kujemba tepian elastis pada carik kain penutup bibir cipetnya..
kusampirkan ke sisi kiri rekahan bibir vagina.. lantas menahannya agar tak kembali.. dengan sisi kanan telapak tangan kananku.

Tiba-tiba.. Ctapp..! Ia memegang tangan jahilku.. mencekalnya erat.. seolah mencegahku untuk meneruskan ‘kegilaanku’.

“Nghh.. aku buka ya, Za..?” bisikku di telinga Riza.

”Jangan ahh..! Udah. Aku ga mau, Bar..” Cetusnya lirih.. dekat sekali di telinga kiriku.. semerta embusan nafasnya.
Hangat terasa menebah cuping telingaku.

Yahh.. apa boleh buat.. aku turuti saja dulu. Menghentikan aksi.. Pending sebentar perjuangan merebut salahsatu titik serbu nikmat.
Mundur dulu selangkah.. untuk nantinya maju sepuluh depa..! Haha..

Dengan demikian.. Prosesi Perjuangan Merebut Kenikmatan.. kembali harus kulakoni..
Terdiam beberapa jenak.. untuk beberapa detik selanjutnya aku kembali melanjutkan misi yang tertunda.

Bergerak perlahan.. tanganku kembali jahil.. mengelus tipis.. cembungan indah dadanya.
Sedikit kuremas tepian bukit payudara sekalnya.. kembali merasakan pertemuan syaraf-syaraf indra perasa pada kulit kaki bukit payudara itu dengan ujung jemari.. dan kulit telapak tangan.. berupa sentuhan-elusan.. semerta remasan ’menggunakan perasaan’.

Lembut saja semuanya kulakukan. Dan sensasinya.. benar-benar luar biasa..! Cobain saja sendiri, deh.. kalo ga percaya. Hihi..
Buktinya..? Riza.. sang puan pemilik 2 bukit kenyal.. sontak mendesis lirih. Tubuhnya terkejat-kejat.

Beberapa detik kemudian disusul efek kejutnya pada kepalaku.. yang jadinya serasa berdentum-dentum.
Jantungku berdebar-gedebugan sangat keras.. terpicu tuasnya oleh pompaan darah yang membanjiri otakku.

“Buka.. aja ya, Za..?” Bisikku lirih.. memberanikan diri ’lebih merapatkan spasi’ kediaman kami..
plus saran mesum untuk sesuatu ’yang terasa agak mengganggu’ adegan selanjutnya. Haha..

Beberapa jenak berlalu.. Riza masih ga ngerespon..
Apa mungkin.. dia ga terdengar.. akibat distorsi bebunyian dari segala arah saat itu, ya..?
Atau.. masih tersandung malu.. kebablasan ngeladeni kemesumanku..?

Atau ..

Eh.. tau-tau saja Dia berhenti mengelus si prajurit gebleg.. lantas membungkukkan sedikit badan bagian torsonya..
dan kemudian seperti bergerak berusaha melepas kait behanya di belakang punggung.

Haha.. ternyata dia mendengar, cing..!

Entah terkendala sesuatu apa.. bagiku jadi terasa lama banget dia membuka kait penutup.
Nah.. selagi dia membuka kait behanya.. perlahan kembali kuturunkan ritsleting celanaku hingga terbuka tuntas..
untuk kemudian aku sedikit mengangkat pantat.. memberi kelonggaran menurunkan celana lapangan hingga setengah batang pahaku.

Setelah itu aku memelorotkan celana dalamku.. Ga melorot sih, sebenarnya.
Cuman mengaitkan karet kolornya ke bagian bawah si prajurit gebleg.. di kedua bijinya yang mulai ikutan menghangat.

Ga nyaman, memang.. sumpah deh. Akan tetapi.. dengan posisi demikian.. meski tertutup di bawah bentangan jaket.. tapi si prajurit gebleg jadi bisa bebas mengacung menunjuk langit-langit gerbong.

Lumayanlah.. daripada lu manyun, kan..!? Ledekku pada si prajurit.
Eh.. Ia malah mengangguk-angguk riang.. ga peduli dia dengan ’posisi tergencet’ karetnya..
seolah ngerti dan sudah ga sabar menanti datangnya elusan tangan berkulit halus itu.

Ya, sudah.. suka-suka kamulah, Toll..! Umpatku lagi dalam hati.. pada si prajurit gebleg.

Perhatianku lantas beralih pada usaha si gadis cindo. Sepertinya kaitan behanya sudah lepas..
untuk selanjutnya ia langsung membenahi posisi tubuh dan duduknya.. menelusupkan tubuh.. kembali tersungkup di bawah hamparan jaket.

Selang beberapa detik kemudian.. si prajurit yang telah ’tegang menghangat’ tiba-tiba jadi semakin hangat..

Ough.. rupanya tangan gadis cindo sahabatku ini yang sama berada di bawah hamparan jaket.. ga mau kalah gertak, rupanya..
kini Riza lebih berani.. kalo tadinya masih mengelus-elus.. kini Ia balas ’meremas-gemas’.. meski masih terasa keraguan di gerakannya itu.. haha..

Tanpa bisa dicegah..
–lagian aku memang ga pernah mencegahnya.. malah nyuruh, kog.. hehe..– mulai menyusup.. melipir ke satu arah yang pasti..

Ya.. Ia kembali mencari ’si prajurit’ gebleg .. yang jelas saja menyambutnya riang gempita..
perlahan namun pasti Ia sudah kadung mbalelo.. sembalelonya.. malah dengan suka-citanya Ia mengangkat sangkurnya lagi..!

Telapak tangan berkulit langsat nan lembut itu lantas mendekap.. meremas..
seolah menakar-nakar kelenturan dan kekejal-kerasan urat-urat pada otot tegang batang si prajurit.

Jelas saja.. pelan dan pasti.. si prajurit kembali mengangguk-angguk setuju. Asyemm..! Tapi nikmat juga, sih. Hehe..
Untuk selanjutnya ’ngeradag’ kembali ke satu arah tujuan lagi..
Dan nampaknya.. tangan itu sepertinya mulai cerdas.. kembali mencari sasarannya yang tadi ’terpaksa’ Ia lepas.
------------------------------------------
 
Filsafat.. Hobi naik gunung.. Jago bertutur. . RG banget..
Secara personal ente kenal RG bro?
Standing applus :tepuktangan:buat ente..
 
Biasnya gue kalo baca cerita gua suka skimming.. Baca cepat..
Begitu baca cerita ente, gue cermati kalimat perkalimat.. kata perkata.. Rugi banget rasanya kalau ada satu kata saja yg terlewat.. :thumbup:thumbup:mantap::tepuktangan::tepuktangan:
 
Baru nemu cerita ini semalam pas otw dari Bng ke Jbi (provinsi tetangga ente). Sampai rumah sekitar jam 2 malam lanjut baca sampai sequel Displeasingly Momento.... Crot sebelum sempat menyelesaikan squel ini.. Istirahat. .
Dilanjut baca pagi sebangun tidur sampai sequel Time reversal theory tuntas.. Crot...
Siap siap ke dunia nyata agar dapur tetap ngebul...
Rencana sehabis jum'atan mulai lagi.. Gak usah buru buru, nikmati alur cerita kata perkata, kalimat perkalimat, paragraf per paragraf..
Bravo Dulur.. Teruslah berkarya..
 
Busyet...membangkitkan imajinasi ber-TTM-an secara membabi buta...ahahahahaha...mantabz
 
Filsafat.. Hobi naik gunung.. Jago bertutur. . RG banget..
Secara personal ente kenal RG bro?
Standing applus :tepuktangan:buat ente..

:bye: Waahhh.. jadi malu Nubi-nya, brada..
Kelas kang RG jauh di atas Nubi mah..
Kebetulan aja menyukai kegiatan alam bebas, brada..

Hehe.. kalo secara personal sih memang ga ada..
Cuma memang pernah ngobrol bareng aja.. dulu sih..
Zaman2 pergerakan reformasi dulu.. hehe.. (ketauan udah tuwir yaa.. haha..)

Trims Brada.. Moga Terhibur n KEEP SEMPROT..!
 
Bimabet
Baru nemu cerita ini semalam pas otw dari Bng ke Jbi (provinsi tetangga ente). Sampai rumah sekitar jam 2 malam lanjut baca sampai sequel Displeasingly Momento.... Crot sebelum sempat menyelesaikan squel ini.. Istirahat. .
Dilanjut baca pagi sebangun tidur sampai sequel Time reversal theory tuntas.. Crot...
Siap siap ke dunia nyata agar dapur tetap ngebul...
Rencana sehabis jum'atan mulai lagi.. Gak usah buru buru, nikmati alur cerita kata perkata, kalimat perkalimat, paragraf per paragraf..
Bravo Dulur.. Teruslah berkarya..

:beer: Tabik n Trims Brada.. atas Apresiasinya..

Sayangnya Nubi harus 'sedikit ngerombak' plus ngedit cerita2 di masa kecil plus remaja si Bara.
Karena pasti 'terkena' aturan underage..
Makanya rada2 kelimpungan juga Nubi ngeditnya..

Hehe.. sekali lagi Trims brada..
Sampai jumpa di kelanjrotan The Nymph of Mountain..
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd