CHAPTER 74: AKU SAMPAI DI SINI
Habis. Habis sudah. Ternyata cuma sampai sini…
Veranda menatap nanar Dryad dan segorombolan anak buahnya. Tanpa sadar air matanya meleleh.
Valkyrie akan hancur, gara-gara aku gagal…
Veranda perlahan melihat sekitar, ke arah teman-temannya yang terkapar pingsan.
Naomi. Riskha. Nabilah. Beby. Maafkan aku. Gara-gara aku… Kalian…
Ingatan akan keluarga, teman-teman dan Valkyrie tiba-tiba memenuhi pikirannya.
Iya, aku pernah dengar ini. Ketika seseorang akan mati, semua kenangan akan teringat jelas…
“Ekkhh!” Jari-jari lentik Saktia mencekik kencang leher Veranda, kemudian mengangkat tubuh Veranda naik sampai ke atas kepalanya. Para preman yang menyaksikan itu terpana. Bagaimana mungkin seorang wanita bisa mengangkat orang lain hanya dengan satu tangannya?
Pasti dia berilmu.
Pantas saja dia bisa jadi Bos, pikir mereka.
“Hidupmu, sampai di sini saja hihihi.”
Srakk! Dengan satu gerakan tangan, tali ransel yang disandang Veranda diputuskan oleh energi tak terlihat.
“Kamu kira bisa menghentikan aku hanya dengan dokumen sialan ini?”
Sekali lagi, energi tak terlihat mengoyak sisi belakang ransel itu dan menceraiberaikan isinya ke udara. Beberapa kertas di dokumen merah itu robek.
“Kamu lihat? Aku bahkan tidak peduli isi berkas itu. Saktia bodoh. Kenapa kau harus menyimpan dosamu sendiri? Khehehehe.”
Dryad mendekatkan wajahnya ke hadapan Veranda. Mata hitamnya terlihat jelas. Penuh amarah dan kegelapan yang menyeramkan.
“Tubuhmu akan aku lahap tanpa sisa.”
Veranda merinding ketakutan dan memalingkan wajahnya, melihat ke samping. Dari balik para preman yang mengerumuninya, Veranda dapat melihat jelas lift jauh di belakang mereka. Lift yang sebelumnya menjadi penyelamatnya. Lift tempat keluarnya Trio SMA yang bertugas melindunginya.
Apa tidak ada lagi kejaiban dari sana? Tolong, Seseorang tolong.
Seperti mendengar seruan minta tolongnya, angka di atas lift bergerak. Dari lantai 8.
***
Yona terduduk. Sekujur tubuhnya merinding. Tak pernah dia merasa setakut ini. Kerasnya kehidupan jalanan yang dia alami dulu sebelum bergabung dangan Valkyrie, tidak ada apa-apanya dibanding apa yang dia saksikan sekarang.
Lautan darah memenuhi lantai kantor Management Talent. Belasan tubuh, yang beberapa di antaranya sudah menjadi mayat, bergelimpangan. Rintihan kesakitan dan teriakan menggema di ruangan besar itu.
Di tengah suasana itu, seorang wanita berdiri. Satu-satunya yang masih berdiri setelah dua puluh menit lalu terjadi pertempuran hebat. Pertempuran dua melawan banyak. Bajunya compang camping berhias bekas sabetan, darah dan memar. Kepalanya menunduk dan matanya terpejam. Wajahnya sedikitpun tidak berekspresi. Seakan semua yang terjadi di sekitarnya adalah hal yang biasa.
“Kamu ini… siapa sebenarnya?” Yona berbisik sambil terisak. Dia seakan tidak mengenal wanita yang menjadi rekan kerja dan partner di ranjang.
Beberapa meter dari posisi Yona, Kartika susah payah mencoba bersandar di kaki meja sambil meringis kesakitan. Tusukan golok mengoyak ligamen bahunya. Keringat bercampur darah mengucur. Dia sama sekali tidak menyangka. Gracia, pegawai divisi CPR yang dia kenal lembut dan senang membantu, benar-benar berubah menjadi orang lain. Yang kejam dan tanpa ampun. Dia menoleh ke samping. Arman tidak jauh berbeda kondisinya. Lututnya habis dihajar tongkat besi Yona dan perutnya berdarah diterjang golok Gracia.
“Brengsek! Gila!” jerit Kartika penuh putus asa.
Gracia yang mendengar itu, berbalik badan kemudian berjalan pelan ke arahnya. Kartika merinding.
“Jangan… Jangan! Jangan!”
Masih tanpa ekspresi, Gracia jongkok dan mencondongkan badannya ke arah Kartika. Tatapannya kosong namun terasa mengerikan. Kartika dapat merasakan hawa membunuh Gracia dengan jarak sedekat ini. Badan Kartika menggigil membayangkan apa yang bisa terjadi padanya.
“Kamu… kenapa sampai begini… huhuhu…maaf aku telah menusukmu… maaf…” sambil terisak Kartika menunduk, tidak berani menatap Gracia.
“Kenapa?” Gracia akhirnya bersuara, “Kenapa? Kamu tanya kenapa? Kenapa?” Gracia terus mengulang dengan nada yang sama seperti kaset rekaman.
“Kenapa?,” kali ini Gracia meletakkan ujung golok di leher Kartika, “kamu kira kesalahanmu karena menusukku?”
“Kamu tanya kenapa? Kesalahanmu adalah…" Gracia berbisik sepatah dan perlahan, “kamu berani mengkhianati… merusak… bahkan melukai keluargaku Valkyrie…”
“Kau… dan orang-orangmu… berani mengganggu… ketentraman… rumahku… yang telah… memberimu kehidupan…”
“Dan tidak ada…” Gracia pelan-pelan mulai menyayat leher Kartika, “ampun untuk… pengkhianat… keluarga ini…”
“Ekhhh! Ohokkhh! Kkhhh” K
artika tersedak saat darah muncrat dari lehernya, menyemprot wajah Gracia yang masih tanpa ekspresi menontonnya kesakitan dan perlahan menemui ajalnya. Matanya memutih. Tangannya keras mencengkram lehernya. Kartika mengejang, seperti ikan yang menggelepar di darat.
“Tidak ada tempat… di dunia ini… untuk orang seperti kalian…”
***
Lantai 7. Lift itu berhenti.
Ayolah. Cepat. Tolong aku.
Lantai 6. Lift itu juga berhenti. Seakan seseorang di dalamnya ingin memeriksa setiap lantai.
“Apa yang kau lihat? Owh! Lift! Mari kita lihat siapa ya datang!” Dryad berseru girang.
Lantai 5. Sekali lagi lift itu berhenti agak lama.
Ayolah. Bang Simon. Bos Titan. Om Minmon. Tim Elite Keamanan. Siapapun.
Tring! Akhirnya lift tersebut sampai di lantai 4.
“Mari kita lihat siapa yang datang.” Dryad menyeringai, “kalau yang datang adalah temanmu, maka aku,” Dryad menjilati bibir dan giginya, “akan membunuhnya di depan matamu hahaha!”
Tidak. Kau tidak akan semudah itu membunuh Bang Simon dan tim nya! Mereka kuat! Mereka…
Tring! Pintu terbuka. Harapan Veranda melambung. Pasti penyelamatnya datang. Bos Titan. Atau Bang Simon. Atau bahkan polisi…
Namun ketika pintu lift terbuka, harapan Veranda yang sudah tinggi langsung buyar saat tubuh lemah dan kering, berbaju compang camping dan berjalan dengan tertatih, keluar dari lift tersebut.
“Hahahahaha! Ini kah penyelamatmu?! Hahaha astaga! Mengharukan sekali! Kau menaruh harapan pada… Rio?! Orang yang sudah aku lahap?!”
Selesai. Sudah. Kali ini aku pasti mati.
***
Beberapa preman yang tadi merintih kesakitan kini tidak bersuara. Entah mereka pingsan, atau menemui ajal. Yona bangkit berdiri dan mulai mendekati Gracia yang berjalan ke balik pilar besar. Apa yang akan dilakukannya kali ini?
Jantung Yona berdegup kencang. Apakah kali ini aku aman untuk mendekatinya? Namun ketika menyadari kondisi Gracia dan kondisinya saat ini membutuhkan pertolongan medis, Yona bergegas berjalan menuju balik pilar.
Saat dia melihat ke balik pilar, dia mendapati Gracia mengambil posisi bersila. Kepalanya tegak dan tangannya bertumpu di atas lututnya yang ditekuk. Matanya terpejam. Dengan kondisi penuh luka dan menuju kritis seperti ini, tentu tidak baik berdiam diri. Mereka harus mencari bantuan.
“Gre…” Tidak ada jawaban.
“Gre…” Sekali lagi Yona memanggil, “kondisimu… kamu butuh pertolongan. Ayo, aku bantu kamu. Kita cari med-“
“Yon.” Yona terdiam.
“Aku disini saja. Aku sampai di sini. Tenang, aku tidak akan mati.”
“Ya. Dia tidak akan mati.” Tiba-tiba, dari belakang mereka, entah datang dari mana, muncullah sosok perempuan berumur berbaju serba putih, tersenyum ke arah Yona. Parasnya yang cantik dan auranya yang menenangkan, membuat Yona terpana tidak bisa berkata apa-apa.
“Dia akan aman bersama saya. Kamu ke bawah saja, Viviyona. Saat ini ada yang lebih membutuhkan pertolonganmu.” Senyum wanita berumur itu seperti menghipnotis Yona, membuatnya berdiri dan tanpa berkata apa-apa bergegas menuju tangga darurat, untuk menolong teman-temannya.
“Nak,” wanita itu mengusap rambut Gracia, “lihat apa yang kamu lakukan. Kamu tidak perlu lagi seperti ini ya…”
***