HANNA'S SIDE STORY
PART 2
POV Hanna
Hari ini adalah hari keempat aku di kota kelahiranku ini. Pada hari kemarin lusa dan kemarin, kami sekeluarga sudah jalan-jalan ke berbagai destinasi wisata terdekat selama 2 hari itu. Seru sih menjelajahi destinasi wisata yang berbeda suasananya dengan Australia.
Tapi, kurasakan kalau hari ini aku sangat bosan sekali. Setelah pulang, aku langsung membaca habis novel koleksiku. Kucari-cari lagi novel lain di toko digital langgananku, tapi gak ada yang benar-benar menarik diriku.
Aku pun mulai berselancar di internet untuk mencari novel yang memiliki tema yang sesuai dengan seleraku. Kudapati beberapa novel yang tampak menarik walau ditulis dalam bahasa Indonesia.
Sepertinya kali ini aku harus back to basic nih, aku bakal mencoba menjajal novel berbahasa Indonesia. Selain menambah khazanah pengetahuanku tentang novel Indonesia, juga untuk membuktikan kalau aku masih mencintai negara asalku walau aku adalah warga negara Australia.
Kali ini, aku juga pengen ngebacanya novel cetak bukan novel digital. Setelah melihat uang sakuku masih cukup, maka aku putuskan aku akan memborong novel incaranku. Lumayan juga kalau nanti bisa dibawa ke Australia. Maka aku harus menuju ke toko buku ternama di Indonesia yang terletak di mall.
Duh… orang tuaku lagi sibuk pula. Jadi gak ada deh yang bisa menemaniku pergi ke toko buku. Kak Samuel juga sedang pergi entah kemana untuk menemui teman lamanya. Aku hanya menghela nafas pasrah.
"Kamu kenapa, Nak Hanna?" tanya Tante padaku.
"Aku pengen keluar beli novel, tapi orang tuaku lagi sibuk," tuturku dengan nada yang kecewa. Aku sengaja tidak menggunakan lu-gue dalam berbicara dengan orang tua, karena bagaimanapun aku tetap seorang gadis yang masih punya tata krama dan adat ketimuran warisan orang tuaku.
"Gimana kalau Tante minta Ricky aja yang nemenin kamu?" tanya Tante yang membuat mataku sedikit berbinar dan jantungku sedikit terkejut.
"Kan dia masih sakit, Tan." Sebenarnya sih aku pengen banget jalan sama Ricky, tapi aku benar-benar malu banget. Lagian, kasian juga kan kalau dia masih butuh istirahat lebih.
"Ah, mana ada. Kemarin Tante lihat sosial medianya, ternyata lagi main futsal sama teman-temannya."
"Oh gitu."
"Ya udah, Tante telepon dia ya biar jemput kamu di sini."
"Iya, Tan."
YASSS!
I feel like I'm in the top of the world! Kapan lagi aku bisa jalan dengan Ricky? Benar-benar mimpi jadi kenyataan ini.
My God, I still can't believe it!
"Senang banget sih kamu," celetuk Tante yang menyadari perubahan sikapku.
"Ah, gak kok."
"Kamu suka ya sama si Ricky?"
"Eh… gak kok, Tan. Senang aja akhirnya ada yang nemanin aku beli novel."
"Oh gitu. Kirain kalau kamu suka, Tante suruh dia sekalian nembak kamu hehe…." Aku tahu kalau Tante hanya bercanda saja, tapi candaannya itu benar-benar membuat diriku panas dingin dan jantungku berdetak tak menentu. Bayangkan kalau itu benaran, aduh... aku bisa pingsan di tempat kayaknya.
"Halo, Ricky."
"Kamu jemput Hanna ya di sini, kasihan gak ada yang bisa bawa dia ke toko buku."
"Alasan kamu aja, Ricky. Kamu lagi sakit perut atau takut pacarmu cemburu?"
"Ya udah, jemput ya. Masak cewek secantik Hanna ini kamu tega kasih pergi sendiri?"
"Ya, Mama tunggu ya. Awas kalau kamu gak datang."
Tante pun menutup teleponnya dan tersenyum padaku. Dari percakapan mereka saja, aku bisa menyimpulkan kalau Ricky akhirnya bersedia menjemputku walau dengan agak terpaksa. Walau aku senang karena aku bisa naik kendaraan berdua dengan Ricky, tapi aku jadi gak enak hati sama pacarnya. Kalau aku di posisi pacarnya, pasti aku juga bakal cemburu kalau melihat Ricky menjemput cewek lain.
Maka setelah Tante meninggalkanku, aku langsung mendandani diriku sebaik mungkin. Aku harus meninggalkan kesan yang baik pada Ricky. Maka aku memakai kaos lengan panjang berwarna coklat muda dan celana panjang berwarna pink pastel. Kububuhkan juga lip tint dan sedikit BB
cream di wajahku. Tak lupa aku juga menyemprotkan sedikit parfumku yang seharga 100 dolar per botol --bukan mau pamer ya hehe….
Setelah Ricky tiba di sini, aku langsung dipanggil oleh Tante. Aku mengambil tas selempang kecilku yang berwarna merah. Kemudian aku pun keluar dari kamar dan melihat Ricky yang sedang bercengkrama dengan ibunya.
"Udah nih, Tan," ucapku yang langsung menyita perhatian mereka berdua.
"Tuh, Ricky. Udah siap dibawa jalan tuh si Hanna."
"Hmm cantik," komentar Ricky begitu melihat diriku.
Aku langsung tersipu begitu dipuji begitu oleh Ricky. Tante hanya tersenyum saja melihat pipiku yang mungkin udah memerah. Kemudian Ricky menyiapkan kunci motornya dan pamit kepada ibunya.
"Ya udah, hati-hati ya, Nak. Jagain baik-baik tuh si Hanna," pesan Tante kepada Ricky.
"Pasti, Ma. Buat apa aku celakain sepupuku sendiri?"
"Kalau kamu lapar, bilang aja ya sama Ricky."
"Tenang aja, Ricky dah siapin duit kok."
"Tuh, mau ditraktir loh sama si Ricky," goda Tante padaku.
"Gak perlu ah, Ricky. Gue juga punya duit kok."
"Yang mau traktir kamu siapa? Ini duit buat makan aku sendiri," kata Ricky sembari tertawa kecil karena telah berhasil mengerjai diriku.
"Jahat banget sih sama Hanna. Nih Mama tambahin 200 ribu biar kamu bisa traktirin Hanna," ujar Tante seraya mengeluarkan 2 lembar uang 100 ribu dari sakunya.
"Eh gak usah, Tan. Jangan repot-repot," tolakku dengan menahan tangan Tante ketika akan menyerahkan uangnya pada Ricky.
"Udah, gak dosa kok ditraktirin. Sekalian Tante juga mau menambah amal baik."
"Bisa aja, Ma."
"Ihh, Tante. Aku gak enak jadinya."
"Gak usah dipikirin lagi deh, Tante benar-benar ikhlas kok."
"Makasih banyak ya, Tante."
"Sama-sama, ponakan Tante yang paling cantik."
Selesai cipika-cipiki dan berpamitan dengan Tante, kami pun pergi menuju mall terdekat dengan diriku yang dibonceng oleh motor Ricky. Dadaku jadi berdebar-debar rasanya saat duduk di belakangnya Ricky.
Oh My God! Keringatku aja mengucur deras gara-gara grogi banget nih. Aku gak nyangka aku bisa duduk sedekat ini dengan Ricky, sampai-sampai aku bisa mencium dengan jelas bau pengharum badan yang dipakai Ricky. Aku pengen banget meluk Ricky, tapi aku takut dan malu sehingga aku memilih jaga jarak saja.
Kami tak berbicara selama perjalanan ini. 10 menit kemudian, kami pun sampai di mall ini. Dari parkiran motor, kami berjalan kaki ke dalam mall yang agak sedikit jauh dari parkiran motornya. Karena malu dan sadar kalau Ricky sudah punya pacar, maka aku berjalan agar tak terlalu mepet dengan Ricky. Nanti aku dianggap perebut cowok orang lagi.
"Ke toko buku kan, Hanna?" tanyanya sesaat setelah menghentikan langkahnya di lobi mall.
"Iya, Ricky."
"
All right, follow me."
"
Okay."
Karena aku berusaha menjaga jarak dengan Ricky, aku tak sadar kalau jarak antara diriku dengan dia semakin renggang. Kulihat banyak pula anak-anak seumuran kami yang sedang berjalan-jalan di mall. Aku sedikit kesulitan untuk terus mengikuti Ricky dengan jarak yang seperti ini.
Selang beberapa menit kemudian, aku tak melihat Ricky di depanku lagi. Kini aku telah tersesat di sebuah mall yang asing bagiku. Dengan perasaan yang dagdigdug karena tak hafal area ini, aku membuka ponselku dan mencoba menelpon Ricky. Namun sebelum aku memencet ikon gagang telepon berwarna hijau, tanganku tiba-tiba ditahan oleh seseorang.
"Jangan misah jauh-jauh, Hanna. Susah loh nyariin kamu."
"Maafkan gue ya, Ricky. Gue gak bermaksud buat ngerepotin lu," ucapku dengan penuh penyesalan.
"Gak apa, Hanna. Selanjutnya jangan ulangi lagi ya. Kalau jalan, dekat aja sama aku, jangan sampai mencar jauh."
"Gue… gue takut kalau lu dianggap selingkuh sama pacar lu sendiri," ungkapku jujur.
"Santai aja. Aku udah ngasih tahu dia kalau aku lagi jalan sama sepupuku."
"Oh, gitu ya."
"Yuk, kita lanjutin jalannya."
Duh… hatiku gembira sekali saat ini. Harapanku menjadi kenyataan saat ini. Kini aku bisa berjalan berdua bareng si Ricky. Udah berasa kayak pacarnya aja, minus gandengan tangan sih hehe….
Kami pun naik ke atas untuk mencari toko buku tujuanku. Sesampainya di sana, aku langsung menuju ke bagian novel dan mulai melihat-lihat bila ada novel yang kuinginkan. Tak lupa, Ricky juga berjalan di belakangku untuk mengawasi diriku agar tak hilang seperti tadi lagi.
Sekitar 15 menit, aku telah berhasil mendapatkan 3 buah buku novel yang kuinginkan. Maka kami berjalan menuju ke kasir dan aku membayar untuk ketiga novel tersebut. Dengan hati yang riang karena sudah mendapat bacaan, kami pun melangkah keluar dari toko buku namun sesaat kemudian, Ricky menghentikan langkahnya.
"Kenapa, Ricky?"
"Hmm gini. Jujur aja, aku ini malas sebenarnya nemenin kamu hari ini. Tapi berhubung kita berdua udah di sini, aku gak mau kita hanya menghabiskan belasan menit cuma buat nyari buku dan pulang."
"Lu mau jalan lagi gitu?"
"Ya, pasti. Tanggung banget kalau kita cuma datang bentaran doang. Aku kasih lihat deh kalau mall di sini gak kalah sama yang di luar. Lagian, lu bentar lagi bakal balik ke Aussie kan?"
"Iya, Ricky." Duh, jadi berat kalau ngingat aku bakal pulang lagi ke Australia. Baru juga aku merasakan kenyamanan bareng Ricky, besok udah mau pulang aja. Coba aja kasih aku beberapa hari biar aku bisa bersama dengan Ricky.
"Ya udah, yuk kita keliling deh. Sekalian kita main di
Arcade Center, gimana?" ajak Ricky padaku.
"Hmm boleh deh."
"Tenang aja, aku punya kok kartunya."
Kami menuju ke lantai atas tempat terletaknya
Arcade Center tersebut. Di
Arcade Center, terdapat banyak mesin-mesin permainan arkade yang menunggu untuk dimainkan oleh kami. Suasananya juga lumayan mengasyikkan, dengan lampu dari layar mesin-mesin arkade mengerlap-ngerlip dan suara dari mesin permainan yang saling bersahut-sahutan satu sama lain.
"
Hey, Hanna.
Could you challenge me on this?" Ia duduk di hadapan sebuah mesin arkade yang berisi
game sepak bola. Maka aku menerima tantangan yang dilontarkan oleh Ricky dan duduk pula di sebelahnya. Setelah menggesek kartu permainan pada mesin yang disediakan, maka
game pun berjalan dan kami memainkannya dengan penuh riang.
"Haha…
look at you. 11-3.
What a pity!" ejek Ricky setelah berhasil menang telak dariku.
"Ihh, gue kan gak bisa main."
"Ya udah.
Second challenge. Main balap mobil yuk."
"
I'm not afraid at all," kataku dengan mantap karena untuk game yang satu ini, aku sudah sering bermain bersama teman-temanku di Australia.
"
We'll see then."
Kami berjalan menuju ke mesin permainan balap mobil. Mengambil posisi yang menurutku nyaman, aku memilih salah satu mobil yang kira-kira cocok dengan gaya main diriku. Ricky menatap diriku sembari terseringai, tanda kalau ia sangat yakin menang melawanku. Huh… liat aja nanti, Ricky!
Balapan
virtual pun dimulai. Dengan
skill yang kumiliki selama ini, aku bisa menyalip mobil yang ada di depanku satu persatu. Sekarang aku mendapati posisiku sudah berada di posisi pertama, disusul oleh Ricky yang terus mengejar di belakangku.
"Hmm boleh juga si Hanna," gumam Ricky yang terdengar olehku.
Aku terus berfokus pada layar permainan. Jika dilihat di peta kecil yang ada di pojok layar, sebentar lagi aku akan memenangkan permainan ini. Dengan perasaan bangga dan wajah yang tersenyum, aku melepas kemudiku dan hanya menginjak gasnya saja. Aku merentangkan tanganku ke atas sesaat sebelum ke garis finish untuk mengejek Ricky. Namun tak kuduga, tangan kiri Ricky langsung menyambar kemudiku dan membelokkannya ke kiri sehingga mobilku keluar jalur. Hasilnya aku tersalip oleh Ricky dan mobil di belakangku sehingga aku harus puas berakhir di posisi ke 5.
"Hahahaha…." Ricky tertawa puas melihat kegagalanku. Ughh! Aku jadi kesal melihat tingkah laku Ricky yang sangat curang ini. Ia masih tertawa puas, mengejek diriku yang berhasil dipecundangi secara tak adil olehnya.
"RICKY!
I HATE YOU!" umpatku kesal pada Ricky.
"Hahaha… makanya jangan sok dulu sebelum benar-benar menang."
"Lu curang banget, Ricky!"
"Aku kan cuma memanfaatkan kesempatan, apa salah?"
"Ya salah dong! Lu udah curangin gue.
You drive me cranky!" Aku jadi bete sama si Ricky. Pengen banget aku gampar cowok kayak dia. Gak sportif banget ah. Sama cewek lagi curangnya.
"Aduh, sorry lah. Jangan marah dong, Hanna."
"Gue bete banget sama lu. Lu beraninya sama cewek." Aku berpura-pura tambah ngambek aja deh. Kulihat pas aku lagi ngambek, Ricky jadi lebih perhatian deh ke aku.
"Ya, marah dong sepupuku yang cantik ini," godanya sambil mencolek-colek bahuku.
"Gue gak peduli sama gombalan lu."
"Gak ada yang gombalin kamu kok, aku udah punya pacar lagian." Ricky, kamu kejam banget! Pakai ngingetin lagi kalau kamu udah gak jomblo. Pedih tahu dengarnya, pedih!
"Pokoknya lu curang pakai banget, titik."
"Ya ngambek deh cewek Aussie satu."
"Aku pulang sendiri aja deh," ambekku sembari berpura-pura merapikan tasku.
"Silakan, gak ada yang larang kok," ujarnya dengan santai sembari mengulurkan tangannya ke arah keluar.
"Ihh lu mah gitu, cewek lagi ngambek malah lu nantangin lagi."
"Jadi kamu maunya apa kalau ngambek? Mau dipeluk? Sini deh." Wahhh! Pengen banget dong! Tapi aku sadar, dia itu udah punya pacar. Gengsi dong kalau aku pelukan sama pacar orang.
"Siapa juga yang mau dipeluk sama lu?" jawabku untuk menjaga
image.
"Lah dari tadi ngode, dikasih malah gak mau. Aku sih gak masalah."
"Emang lu pikir gue cewek yang kayak gitu?"
"Mana tahu."
"Huh…."
Maka kemudian Ricky mulai beranjak dari sini. Dengan santai, ia berjalan meninggalkan diriku. Maka aku langsung mengejarnya dengan panik karena takut ketinggalan lagi seperti tadi.
"Ricky, gue takut ditinggalin!" seruku sembari mengejar dirinya dengan berlari kecil.
Secara spontan, tiba-tiba saja aku mendekap tubuh Ricky dari belakang. Ia agak sedikit terkejut namun dia gak melepaskan dekapanku. Aku langsung berkata dengan nada yang bergetar "Ricky, gue takut. Jangan tinggalin gue!"
"Siapa juga yang mau ninggalin kamu? aku mau jalan lagi tahu. Ngapain juga kita lama-lama di sini?"
"Lu sih, main jalan aja."
"Iya-iya, lepasin dong. Gak mungkin gue bisa jalan kalau lu meluk kayak gini."
Aku langsung melepaskan dekapan tanganku yang ada di perutnya. Kemudian aku melemparkan senyuman kikukku pada Ricky. Aihh… malu banget aku ah. Baru juga pertama kali jalan bareng, udah main meluk aja. Udah gitu yang dipeluk pacar orang, di tempat umum pula. Sorry ya siapapun cewek yang jadi pacar Ricky. Aku gak bermaksud buat ngerebut Ricky, walau sebenarnya aku mau banget sih hihi….
Ricky menatapku sekilas. Senyumannya yang manis tercetak di kedua sudut bibirnya. Duh… jadi salting banget aku. Aku langsung membuang mukaku dan agak menjauh dari Ricky.
"Yuk dah, habis keliling kita pulang."
"Eh, yuk," ucapku dengan nada yang agak gelagapan.
"Ok,
let's roll."
Sembari berkeliling mall ini, aku menyempatkan diri untuk berbelanja beberapa hal yang bisa kujadikan cinderamata buat teman-temanku di Australia sana. Di mall ini, banyak banget barang-barang unik yang menurutku bakal susah ditemuin di Australia. Sampai-sampai aku membeli belasan cinderamata yang berbeda dengan uangku sendiri. Tak apa deh, sekalian mengenalkan produk
made in Indonesia hehe….
Selesai berbelanja, kami kembali berjalan menyusuri mall ini. Aku tak tahu bakal jalan kemana lagi, mungkin sudah saatnya kami untuk pulang. Aku juga gak hafal dengan mall ini, jadi aku ikut saja kemanapun Ricky pergi. Ternyata sekarang kami menyambangi sebuah food court dan Ricky menatap diriku.
"Makan gak?" tanyanya padaku.
"Eh, boleh deh."
"Ya udah, yuk!"
Kami memesan dulu makanan dan minuman kami di kasir sebuah gerai makanan cepat saji ternama. Kupesan ayam goreng dada ukuran sedang dan juga sebuah burger ukuran sedang pula. Lalu untuk minumannya, aku mengambil air jeruk saja. Sedangkan Ricky, ia memesan ayam goreng dada ukuran besar dengan nasi serta segelas minuman bersoda, khas orang Indonesia kalau ke restoran ini.
"Gak makan nasi, Hanna?"
"Gak ah, lagi males makan nasi."
"Dasar cewek Aussie."
"Lu baru pulang dari Amrik beberapa bulan udah gak doyan burger."
"Bosen tahu makan burger terus di sana, di sini aku bakal menjadi orang Indonesia seutuhnya dengan makan nasi."
Setelah membayar dan mendapat pesanan kami, maka kami menempati sebuah meja kosong yang terletak gak jauh dari sini. Kemudian kami menyantap makanan kami masing-masing. Kulihat Ricky walau lagi makan kayak orang kelaparan, tetap ganteng ya.
Selesai makan dan mencuci tangan, kami melangkah pergi menuju ke parkiran motor. Kulihat jam di ponselku sudah menunjukkan pukul 13.00. Sebenarnya aku gak ingin pulang, aku pengen jalan-jalan lagi sama Ricky. Tapi ya mau gimana lagi, aku bukan pacarnya dan dia cuma memenuhi perintah ibunya buat nemenin aku ke toko buku. Huhu… sedih banget deh.
Maka Ricky memboncengku pulang ke rumah orang tuanya. Sepanjang perjalanan, aku tak sanggup buat menahan air mataku. Di balik kaca helm ini, aku menangis tanpa suara karena membayangkan kalau aku tak akan melihat Ricky lagi sampai waktu yang lama atau mungkin aku tak akan bertemu lagi dengannya.
Aku tak bisa menahan rasa rinduku lagi. Aku langsung mendekap perut Ricky dengan erat. Kutumpahkan air mataku yang tentu saja tak diketahui oleh Ricky. Sepanjang perjalanan, ia tak protes walau perutnya didekap sangat erat olehku. Mungkin orang lain mengira kami ini sepasang kekasih, bukan saudara sepupu. Tapi itu yang sangat kuharapkan, menjadi kekasih dari Ricky.
Tak terasa, kami sudah tiba di rumah orang tua Ricky. Aku sampai terlena hingga Ricky mengingatkanku untuk turun. Dengan rasa sedih dan berat hati, aku turun dari motornya karena aku sangat tak mampu melepas kepergian Ricky.
Aku mengucapkan terima kasih kepada Ricky yang sudah bersedia menemaniku. Namun karena aku habis menangis, tentu saja suaraku berubah menjadi serak. Ricky yang menyadari itu kemudian menyuruhku membuka kaca helm dan ia melihat wajahku yang masih menyisakan air mata kesedihanku.
"Kamu kenapa, Hanna?" tanyanya dengan wajah yang cemas.
"Gak, gue gak apa." Aku mencoba memaksakan senyum padanya. Namun itu malah membuat wajahnya jadi tak nyaman dan semakin cemas.
"Aku ada nyakitin hati kamu ya?"
"
No, not at all."
"Terus kenapa kamu nangis?"
Aku jadi bingung harus berterus terang atau tidak. Tentu aku malu kalau aku harus mengungkapkan apa yang kurasakan. Apalagi Ricky sekarang udah punya pacar dan aku adalah saudara sepupunya.
"
No, I'm really fine. Thanks for your caring."
"
Something's wrong, I'm sure about that."
"
Nevermind, Ricky.
I will go back into the house."
"Hey!" Ia menahan tanganku sebelum aku pergi. Ia melayangkan sebuah pandang yang dalam padaku. Tatapannya itu benar-benar bisa menembus hingga ke dalam kedalaman lubuk hatiku sampai aku jadi sangat terenyuh dengan tatapannya.
"
Sorry, Ricky.
I don't think this is a worth telling something."
"
It's ok. I will be fine with anything you'll say."
"
I… I don't know, Ricky."
"Hmm
I'm pretty sure you might want to say something. But I can't force you anymore, I'll leave you alone then."
"Ricky…."
Ia menarik diriku semakin mendekat ke dirinya. Kemudian ia turun dari motornya dan melepaskan helmku. Ia menatap diriku dan membelai pelan rambutku. Aku pun diajak masuk ke dalam rumah orang tuanya, namun ada sesuatu yang menahanku untuk melangkahkan kaki ke dalam.
Kuberanikan diriku untuk menatap wajahnya lagi dan mengajukan sebuah permintaan yang sepatutnya sangat tak pantas. Tapi ini adalah kesempatan terakhir yang kumiliki dan aku harus memanfaatkannya betul-betul. "
Ricky, can I ask you something?"
"
What something is this?" tanyanya balik.
"Ehm…
Can I… kiss your cheek?" tanyaku dengan nada yang sangat bergetar dan suara yang agak tercekat.
"
Sure, just a kiss doesn't make a problem."
WAHHH! SENANG BANGET! Aku tak bakal menyangka kalau Ricky mengizinkanku buat mencium pipinya. Wajahku langsung berubah menjadi ceria seperti anak kecil yang baru mendapat mainan. Namun saat aku akan menciumnya, tiba-tiba diriku bergetar dan aku jadi terpatung. Aku tak mampu melakukannya, aku benar-benar gugup sekali!
"
Why it took so long?"
"Ehm…
I'm so terrified."
"
Why? Do I have to kill you exactly after the kissing?"
"
No… but…."
"
This is so goddamn long. I'll do it for you then."
SLURP! Dadaku langsung berdebar saat ini. Aku merasa sangat terkejut dengan apa yang dilakukannya saat ini. Kukira ia akan mencium pipiku, namun tak kusangka ia malah menyosori bibirku ini. Selama 5 detik, ia melumat bibirku dan aku hanya bisa diam saja. Selama 5 detik itu pula, aku merasa menjadi wanita yang sangat beruntung dan kembali menitikkan air mata karena rasa bahagia yang kurasa.
"Yah, nangis lagi cewek Aussie satu."
Ia kembali mengusap air mataku dengan jari jempolnya. Kemudian aku hanya tersenyum padanya tanpa bisa mengeluarkan kata-kata. Ia membawaku masuk ke dalam rumah orang tuanya dengan agak merangkul bahuku saat berjalan. Duh… aku benar-benar gak bisa mengungkapkan rasa bahagiaku saat ini.
"Eh, udah akrab banget nih anakku dengan ponakanku yang sama-sama cakep ini."
"Ini si Hanna, Ma, tiba-tiba aja dia nangis. Nanti kalau kutinggal, dikirain aku ngapa-ngapain si Hanna lagi."
"Kok bisa sampai nangis?"
"Mana tahu, tanya aja sendiri sama orangnya."
Aku hanya tersenyum saja kepada Tante. Kemudian Ricky pun pamit kepada ibunya tersebut. Ia juga pamit kepadaku dan tak lupa ia memeluk diriku sembari membelai sekilas rambutku. Aku hanya tersenyum sembari menatap Ricky yang melangkah pergi dari rumah ini.
"Tante tahu kok, kamu suka kan sama Ricky?"
"Eh, Tan…."
"Udah, tenang aja. Itu wajar kok. Ricky kan memang ganteng dan baik anaknya."
"Tapi… dia udah punya pacar, Tan."
"Ya begitulah. Sayang banget, kamu telat datangnya. Harusnya pas kemarin kekasihnya baru meninggal, kamu di sini buat menyemangati dirinya kembali."
"Pacarnya meninggal?"
"Iya, kecelakaan pesawat. Saat itu Ricky benar-benar terpuruk banget dan sampai sakit. Untungnya sekarang ia sudah berhasil bangkit dari rasa kehilangannya."
"Hmm, aku tambah salut sama Ricky."
"Tambah salut atau tambah suka hayo?"
"Ihh, Tante!"