Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Jumpa Lagi, Rina!

Bimabet
Akhirnya, penantian hampir 6 tahun terbalaskan. Semangat update suhu. Makasih sebelumnya.
 
Berasa nonton film avatar. Lanjutan nya bertahun tahun kemudian. Tetep di tungguin ko suhu. Semangaat
 
68747470733a2f2f73332e616d617a6f6e6177732e636f6d2f776174747061642d6d656469612d736572766963652f53746f7279496d6167652f676b676b6d4c6650377379376a513d3d2d313232373336373931352e313730313963376666346565366436333233303331303236363630352e706e67


9

Hari itu adalah hari Minggu. Aku tidak pergi ke mana-mana dan hanya menghabiskan waktu menonton Youtube di kosanku. Pikiranku masih kesal karena terbayang-bayang dengan perkataan Rina yang membangkitkan hantu dari masa laluku. Sialnya, menonton video-video di Youtube tidak berhasil menghilangkan ingatan buruk itu. Beberapa tokoh yang muncul dalam video malah semakin mengingatkanku pada sosok Eva.

Akhirnya kuputuskan untuk berolahraga. Berhubung malas keluar rumah, aku mengambil sepasang barbel yang kusimpan di kolong lemari, kemudian melakukan latihan ringan: push up, sit up, plank, dan latihan biseps. Sewaktu kuliah dulu, aku pernah cukup rajin nge-gym (Aris yang awalnya mengajakku). Namun hectic-nya kehidupan pekerja ibukota membuatku lebih sering menjadi kaum rebahan.

Keringat mulai bercucuran. Otot-otot yang lama tak dilatih mulai kembali bangkit memperkuat dirinya. Detak jantung meningkat, napas memburu. Ternyata benar, olahraga bisa memperbaiki mood yang sedang buruk. Semakin banyak energi yang kukeluarkan, aku merasa semakin bisa meluapkan kegelisahanku.

Namun ketika aku sedang menikmati kegiatan itu, tiba-tiba saja seseorang mengetuk pintu kamarku. Siapa? Tetangga sebelah? Ibu kost? Aku mengambil handuk dari gantungan dan mengelap tubuhku sekenanya. Kaosku masuk penuh keringat, tapi tidak ada waktu untuk ganti baju dulu.

Aku membuka pintu kost sedikit, melongok dari celah-celahnya. Di antara celah pintu itu aku dapat melihat seorang gadis mungil dengan sepasang kacamata bulat, berusaha tersenyum semanis mungkin. Anehnya senyum itu malah membuat perasaanku semakin suram.

"Mas Panji," ujar Rina. "Sori aku ke sini nggak bilang-bilang dulu."

"Dari mana lo tau kosan gue?" tanyaku tanpa mempersilakannya masuk.

"Dari temen Mas yang namanya Dimas," jawabnya.

"Ooh. Terus?" tanyaku.

"Terus ... aku boleh masuk atau kita ngobrol di pintu sambil ngintip-ngintip kaya gini aja, nih?"

Aku menghela napas, kemudian membukakan pintu lebih lebar lagi dan mempersilakannya masuk ke dalam kamar. Untunglah kosanku ini termasuk "kosan campur". Mayoritas penghuni bangunan ini adalah karyawan kantor dan keluarga kecil, jadi tidak ada yang suka ikut campur dengan urusan orang lain.

Rina masuk ke dalam kamarku dan melihat barbelku yang masih tergeletak di atas lantai.

"Lagi olahraga ya? Sori ya, aku ganggu," ujarnya.

"Nggak apa-apa, udah selesai kok," jawabku.

Aku mempersilakannya duduk sambil kembali mengambil handuk dan mengelap sisa-sisa keringat di leherku. Ia duduk di atas tempat tidurku sementara aku duduk di kursi depan meja komputer. Maklum saja, kamar kostku memang kecil dan tidak dirancang untuk menerima tamu.

Rina hanya terdiam sambil memperhatikanku. Aku tahu apa yang ingin ia bicarakan, tapi sepertinya ia sedang menyusun kata-katanya.

"Mas, kayak yang aku bilang sebelumnya, aku mau minta maaf atas ucapanku kemarin," ucap Rina dengan suara yang agak gemetar.

"It's okay," ucapku sambil menggosok-gosok rambut dengan handuk. "Itu bukan salah lo, Rin. Gue aja yang oversensitif."

"Mulai sekarang aku janji nggak akan ungkit-ungkit nama itu lagi, Mas," kata Rina.

Aku menghela napas. Sejak melihat ekspresi rasa bersalahnya dan ucapannya itu, muncul dorongan di dalam diriku untuk menceritakan kisah tentang Eva kepada Rina. Selama ini aku selalu menutup cerita itu rapat-rapat karena menganggapnya sebagai aib. Namun aku dan Rina sudah menyimpan satu rahasia, apa salahnya jika menyimpan satu rahasia lagi?

"Eva itu mantan pacar gue dulu. Gue pacaran sama dia dari awal masuk kuliah sampe tingkat tiga. Ya, lo tau kan, romantika Ospek? Para maba yang sama-sama disiksa senior ngerasa senasib dan sepenanggungan, terus jatuh cinta. Waktu itu lo belum jadian sama Aris, makanya lo ga kenal dia," ucapku.

Rina memperhatikan dengan serius. Aku melanjutkan ceritaku.

Eva adalah satu-satunya wanita yang kucintai saat itu. Dia bisa dibilang nyaris sempurna: supel, ramah, cerdas, dan pengertian. Di samping itu, tentu saja secara fisik ia sangat cantik. Ia adalah primadona di agkatanku.

Meski kami saat itu masih mahasiswa semester lima, tapi kami sudah membuat perencanaan untuk masa depan. Ia sudah mengenal keluargaku, begitu juga sebaliknya. Setelah lulus kuliah dan mendapatkan pekerjaan yang layak, aku berjanji untuk segera melamarnya.

"Secara hubungan, kami juga pacaran sehat dan saling menjaga. Lo nggak tau, kan? Dulu gue pernah jadi anggota rohis kampus."

Tiba-tiba saja ekspresi wajah Rina berubah dari serius menjadi aneh. Pipinya mengembung menahan tawa.

"Kalau mau ketawa, ketawa aja," kataku.

Rina tertawa cekikikan. Tiba-tiba saja suasana berubah menjadi lebih santai.

"Serius, Mas? Mas Panji? Rohis kampus?" tanya Rina dengan tubuh bergetar karena menahan tawa.

"Cuma sebulan, sih, pas bulan puasa. Tapi kan tetep aja pernah," ujarku.

"Oke, jadi kalian pacaran yang ... apa namanya? Pacaran syar'i? Taaruf gitu?" tanyanya.

"Nggak gitu juga, sih. Cuma yang jelas, gue nggak pernah ngelakuin apa-apa sama dia selama pacaran. Skinship cuma sebatas pegangan tangan sama rangkulan. Nggak pernah lebih. Kissing pun nggak pernah."

"Serius? Ya ampun, Mas. Terus gimana?" tanya Rina dengan mulut menganga.

"Terus, suatu hari, gue nemuin video sextape dia di internet," ucapku dengan suara tercekat.

"Hah? Sama siapa? Bukannya kalian nggak pernah ...."

"Ya sama cowok lain, lah. Muka cowoknya nggak kelihatan, tapi muka Eva jelas banget. Nggak bisa disangkal lagi."

"Sebentar, Mas. Bukannya aku sok tau, tapi apa mungkin itu video dia ... sama mantannya? Mungkin dibuat waktu dia belum jadian sama Mas Panji, terus mantannya itu nyebarin revenge porn gitu?" tanya Rina.

"Nggak. Nggak mungkin. Di video itu dia ML sambil pakai kalung hadiah dari gue. Kalung itu cuma ada satu di dunia karena gue bikinnya custom. Gue kasih kalung itu untuk hadiah anniversary kami satu bulan sebelumnya," jawabku. "Parahnya lagi, video itu nggak cuma satu. Ada beberapa part video yang durasi totalnya sekitar setengah jam."

Rina menelan ludah. Ia seperti sulit mempercayai cerita yang baru saja ia dengar.

"Jadi ... dia selingkuh?" tanya Rina.

Kata selingkuh yang keluar dari mulut Rina entah kenapa terasa jauh lebih menusuk. Kata itu seperti bumerang yang akan berbalik dan menghantam wajah kami sendiri.

"Iya, dia selingkuh. Dia ngaku. Video itu dijual orang di twit**ter, sempat jadi sensasi di kampus. Kami putus. Gue mutusin dia. Setelah itu dia pindah ke luar kota, nggak tau ke mana. Semua medsosnya dihapus. Mungkin karena ngerasa bersalah, mungkin karena malu," kataku.

Rina terdiam. Dia mungkin sedang memilih kata-katanya agar tak menyakiti perasaanku lagi. Ia mungkin bisa memahami suaraku yang semakin lemah dan gemetar. Namun dalam kondisi ini aku sama sekali tak ingin menangis. Yang ada dalam dadaku bukan lagi kesedihan, tapi kemarahan dan kekecewaan.

"Tapi, Mas, bukannya dia dalam posisi sebagai korban? Ya, aku setuju dia emang salah, tapi aku juga kasihan karena ....," tanya Rina pelan.

"Soal penyebaran video, dia emang korban. Tapi dia ... tapi dia mengkhianati gue, si bajingan itu!" Aku menggebrak meja. Rina tersentak.

"Maaf, Mas."

"Dia ngebohongin gue, dia bikin gue nggak percaya lagi sama komitmen. Bukan cuma itu, video yang gue tonton itu, video dia lagi ngewe sama cowok lain itu, selalu kebayang-bayang di pikiran gue sejak saat itu!"

Dadaku bergemuruh. Ini ulahku sendiri. Akulah yang menawarkan diri untuk menceritakan kenangan buruk itu kepada Rina. Sekarang, malah aku sendiri yang hancur.

Rina bangkit berdiri dan berjalan mendekatiku. Ia mengusap pundakku, mencoba membuatku lebih tenang. Tak lama kemudian, tanpa kusadari aku sudah bersandar di dadanya sambil menahan tangis. Rina mengusap kepalaku dan membiarkanku meneteskan air mata. Tidak banyak, cuma satu tetes.

Ketika emosiku sudah mulai reda, aku memperbaiki posisi dudukku.

"Kalau lo liat videonya, lo mungkin tau. Video ini pernah viral di kalangan mahasiswa kampus kita dulu," ucapku.

"Hah?"

Entah kegilaan apa yang merasukiku. Aku menyalakan komputer yang sebelumnya dalam mode sleep, kemudian membuka sebuah folder bertuliskan SAMPAH. Aku mengklik dua kali sebuah file berjudul Video-1.

Tak lama kemudian, sebuah aplikasi video terbuka. Pada jendela aplikasi itu, muncul wajah seorang perempuan cantik berambut panjang dan berponi. Hidungnya mancung, matanya bulat, dan kulitnya cerah. Ia tersenyum ke arah kamera sambil memain-mainkan bibirnya sendiri. Tampaknya ia sedang berada di atas kasur di sebuah kamar hotel.

Tiba-tiba saja, ia mendesah. Mulutnya terbuka, beberapa desahan merdu meluncur keluar dari mulut indahnya. Tubuhnya bergerak maju mundur, bergoyang dan berguncang. Sesuatu--atau seseorang--baru saja memasukinya dari belakang.

"Itu ... Eva?" tanya Rina.

Aku mengangguk. Mataku tak bisa terlepas dari video itu.
 
Terakhir diubah:
10

Wajah Eva maju-mundur di layar komputerku. Matanya setengah terbuka, mulutnya menganga, suara desahan terus meluncur keluar dengan merdunya. Sepasasng payudaranya yang bulat padat menggantung dan bergoyang-goyang. Seorang pria yang tak kukenal sedang memegangi pinggangnya dari belakang dan menggenjotnya, menghentak-hentakkan tubuhnya, memasuki lubang intimnya berkali-kali.

Tubuh itu, tubuh yang sedang disetubuhi itu, adalah tubuh dari wanita yang dahulu selalu kukagumi dan kujaga kesuciannya. Itu adalah tubuh yang sedikit pun tak berani kujamah. Melihat tubuh itu dijamah dan dipermainkan oleh orang lain telah memunculkan berbagai perasaan yang saling bertolak belakang dan menghancurkan satu sama lain. Marah, cemburu, kecewa, benci, sedih, putus asa .... tapi juga nafsu birahi yang meletup-letup.

"Mas?" panggil Rina.

"Ha?" gumamku.

Aku mendengar suara Rina, tapi pikiranku terpaku pada video itu, pada tubuh ramping Eva yang menunduk dan berguncang maju mundur.

"Mas?"

"Ya?"

Rina menepuk pundakku, membuatku tersadar dari fantasi ini. Ketika aku menoleh ke arah Rina, aku dapat melihat wajahnya yang tampak khawatir. Mungkin ia takut bahwa aku sedang menyakiti mentalku sendiri. Ia cukup beralasan, itu memang benar.

"Mas Panji nggak apa-apa?" tanya Rina.

"Hah? Nggak kok, nggak apa-apa," ucapku, tiba-tiba saja tersadar.

"Tapi kok ... itunya Mas ...," ucap Rina sambil menunjuk ke arah selangkanganku.

Benar saja, rupanya celana pendek yang kukenakan di bawah sana sudah menonjol tinggi. tak bisa dipungkiri, video yang kulihat itu memang membangkitkan nafsu birahiku, apalagi ditambah celana olahraga berbahan tipis yang kukenakan, semakin jelas saja terlihat.

Kulihat Rina menggigit bibir, bergantian memandangi ekspresi wajahku dan melihat ke arah selangkanganku. Rasanya aneh sekali. Ini adalah ereksi yang tidak kuinginkan. Jauh lebih tidak kuinginkan daripada ereksi yang kualami ketika di bus bersama Rina.

"Gue nggak ngerti, ini mungkin reaksi biologis. Harusnya ... harusnya gue marah dan sedih, bukannya malah horny," ucapku sambil menahan gejolak kekesalan yang membesar di dalam dadaku.

Mungkin melihat konflik batin yang kualami, Rina mengelus-elus pundakku, berusaha membuatku lebih tenang. Namun melihat tidak banyak perubahan yang terjadi, Rina mencoba cara lain.

"Mas, sakit ya?" tanyanya.

Aku hanya mengangguk. Lebih tepatnya, sakit dalam hatiku.

"Aku coba meringankan, ya?" kata Rina lagi.

"Hah? Maksudnya?"

Tiba-tiba saja tangan kanan Rina menyentuk tonjolan di celanaku dan mulai mengusapnya dengan lembut, sementara tangan kirinya masih mengelus punggungku. Aku dapat merasakan ketenangan sekaligus ketegangan pada saat yang sama.

"Rin? Ahh..." desahku.

"Mas Panji lihat monitor aja. Aku akan bantu Mas di bawah sini, tapi Mas nggak usah mikirin aku. Mas bebas untuk ngebayangin Eva, nonton videonya, nikmatin apa aja yang terlintas dalam imajinasi Mas. Aku tau, Mas Panji butuh pelepasan. Udah bertahun-tahun kan, Mas memendam perasaan ini? Mungkin ini satu-satunya cara untuk meringankan beban di hati Mas Panji."

Tangan Rina tiba-tiba saja menurunkan celana olahragaku hingga sebatas lutut, kemudian tangan lembutnya segera menggenggam batang penisku. Sementara aku mulai kembali menyaksikan video skandal Eva, tangan Rina mulai mengocokku dengan perlahan. Ketika aku menolah untuk melihat wajah Rina dan apa yang sedang ia lakukan pada penisku, tangan kiri Rina mendorong pipiku, memintaku agar tak usah mempedulikannya.

"Liat yang di sana aja," kata Rina.

Aku kembali menyaksikan adegan dalam video itu. Kali ini, Eva mundur ke belakang. Posisinya menyamping dari kamera. Tubuhnya masih menungging, sementara pria di belakangnya masih menyetubuhinya dengan gaya doggy. Namun dalam posisi ini pun, kepala sang pria masih tak terlihat.

Tubuh ramping Eva bergoyang kembali ke kanan dan ke kiri. Payudaranya yang bulat sempurna itu berayun dengan indahnya. Payudara itu tak pernah kulihat secara langsung, bahkan belahannya pun tidak. Ia selalu mengenakan kemeja flanel longgar atau t-shirt gombrong. Satu kalinya aku pernah sedikit merasakan payudara itu adalah ketika tanpa sengaja bersentuhan dengan lenganku saat kami bergandengan tangan.

Namun di dalam video itu, sepasang payudara Eva yang indah itu dengan kasarnya diremas-remas, dipijat-pijat dan ditekan-tekan oleh sang pria. Sesekal ia memelintir putingnya yang kecil mungil itu, dan itu membuat Eva melenguh keras, sambil punggungnya melengkung merasakan kenikmatan.

Dari speaker komputerku, suara desahan dan lenguhan Eva terdengar semaki nyaring. Aku tidak pernah menyangka ia punya suara yang seseksi dan semerdu itu. Ada perpaduan antara warna suara yang halus manja dengan sedikit serak pada desahannya itu, dan itu membuat tegangan tubuhku semakin memuncak.

Di bawah sana, Rina masih terus mengocok penisku.

Eva mengganti posisinya. Kali ini sang pria tiduran di kasur dalam posisi telentang. Seperti kuduga, wajah pria itu disensor dengan efek blur. Ia telentang pasrah saat Eva menduduki selangkangannya dan dengan tidak sabaran memasukkan penisnya (yang sejujurnya tampak lebih besar dari milikku) ke dalam vaginanya. Ketika batang itu sudah sepenuhnya masuk, tanpa ragu Eva langsung bergerak maju mundur, menggoyang pinggulnya, kadang-kadang dalam gerakan memutar.

Aku hanya bisa membayangkan. Ya, hanya bisa membayangkan. Selama aku kenal dengannya, aku selalu mengira Eva memiliki pantat yang rata. Namun dalam video ini, aku dapat melihat pantatnya yang tampak bulat padat dan cukup berisi. Pantat itu sedang mengulek batang penis pria tak dikenal dengan liarnya.

Di bawah sana, Rina masih terus mengocok penisku.

Aku tidak pernah menyangka bahwa Eva yang lembut dan dewasa ternyata dapat terlihat liar dan sangat bergairah di video itu. Sambil menikmati goyangan Eva, sang pria meremas-remas payudara Eva, dan itu membuat goyangan Eva semakin ganas. Ketika agak kelelahan, Eva akan memperlambat gerakannya, kemudian menggulung dan mengikat rambut panjangnya sambil menahan napas. Samar-samar, aku dapat melihat tetesan keringat yang mengalir di belakang leher Eva.

Di bawah sana, Rina masih terus mengocok penisku.

Entah pada menit ke berapa, aku dapat melihat goyangan Eva semakin cepat. Mungkin ia hampir mencapai puncaknya. Hingga pada satu titik, gerakan pinggulnya itu berhenti sesaat, dan Eva melengkungkan punggungnya hingga ia terlihat seperti busur panah. Kepalanya menengadah ke atas, mulutnya terbuka lebar, sebuah erangan halus terdengar keluar dari mulutnya.

Dadaku panas rasanya. Eva mendapatkan kenikmatan sedahsyat itu dari seorang pria yang bukan diriku? Selama beberapa detik, ia terdiam. Ia mengatur napasnya yang tampak kelelahan, atau mungkin ia sedang menikmati detik-detik ekstasi di sekujur tubuhnya.

Namun video ini tidak berhenti sampai di situ. Sekaran giliran sang pria. Ia membalikkan tubuh Eva, membuka kedua pahanya hingga mengangkang, kemudian menghunjamkan penisnya ke vagina Eva yang terekspos. Ia menindih tubuh Eva dan menyetubuhinya dengan ganas. Mungkin melihat Eva sudah terpuaskan, pria itu merasa tak punya batasan lagi. Ia merasa bebas memakai tubuh cantik dan mulus itu sesuka hatinya demi kepuasan hasrat birahinya sendiri. Melihat itu, aku semakin terangsang. Aku membayangkan apa yang dirasakan pria itu, apa yang dirasakan Eva, apa yang terlintas dalam pikiran mereka dan bagaimana mereka menikmati momen itu tanpa sedikitpun memikirkan perasaanku.

Di bawah sana, Rina masih terus mengocok penisku. Kali ini tidak cukup sampai di situ. Rina mungkin memutuskan untuk meningkatkan permainannya. Tangan kiri Rina mengangkat kaosku ke atas, kemudian tiba-tiba saja wajah Rina mendekat ke badanku. Ia mengeluarkan lidahnya, kemudian mulai menjilati puting dada kananku. Rasa geli dan nikmat yang kurasakan di putingku itu dengan cepat menjalar ke seluruh tubuh, sambung-menyambung dengan kenikmatan kocokan tangan Rina yang masih kurasakan pada batang penisku. Tanpa sadar, aku mulai mendesis dan mendesah.

Di layar monitor, aku melihat tubuh Eva sedang disetubuhi oleh pria itu, sementara di bawah sini, aku dapat melihat Rina, kekasih sahabatku sendiri, sedang mengemut dan menjilati putingku sambil mengocok penisku. Aku tidak lagi dapat mendeskripsikan perasaan yang aku alami saat ini.

Semua itu terus terjadi. Napasku terus memburu. Rina terus merangsang puting dan penisku. Di monitor, pria itu tampak sudah tak tahan lagi dengan kenikmatan lubang vagina mantan pacarku. Pada satu titik, ia mencabut penisnya, kemudian dengan terburu-buru mengarahkannya ke arah wajah Eva. Eva membuka mulutnya, menjulurkan lidahnya seperti seekor anak anjing penurut, kemudian tiba-tiba saja cairan putih kental muncrat dan mendarat di pipi, hidung, dan lidahnya. Laki-laki itu mendengus, mengerang, dan terus memuncratkan spermanya ke wajah Eva hingga habis tak tersisa.

Di bawah sini, giliran Rina yang berhasil membuatku mencapai puncak. Ia menghisap putingku kuat-kuat, seperti bayi yang sedang menyusu, kemudian mempercepat kocokannya.

"Jangan ditahan, Mas. Lepasin aja semuanya. Biar Mas lega," bisik Rina di sela-sela hisapannya.

Dan dengan itu, aku pun tak kuasa lagi. Aku memuncratkan spermaku tinggi-tinggi, hingga sebagian cairan itu mengenai layar monitorku sendiri, tepat di bagian wajah Eva yang berlumuran sperma selingkuhannya.

-----
 
Jumpa lagi Rina.... :baris:
Akhirnya... suhu @azlamm. Bravo. Cerita yg dr awal muncul sll Nubie tungguin dengan sabar. Suka dengan alur ceritanya yg konsisten. Mengalir natural, sex scenenya fresh. Mantap.
Semangat Hu, lanjut sampe tamat ceritanya Hu.
Semoga diberikan kelancaran di RL nya
Karya yg bagus Hu
Monggo dilanjut
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd