Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

FANTASY - TAMAT Dari FANTASI berujung REALISASI

Saya berencana mmbuat grup tele'gram untuk mendengar usulan dan masukan para pembaca. Apakah setuju?

  • Setuju

    Votes: 447 78,1%
  • Tidak

    Votes: 125 21,9%

  • Total voters
    572
Status
Please reply by conversation.
KHILAF

"Hmmmmfffhhhh"

"Udah ih, kapan masaknya kalau begini? Bu Aminah udah mau nyampe tuh"

"Hehehe", terkekeh Pak Yanto memangku Mirna di sofa. Kendati Pak Yanto sudah meraih kepuasannya ia belum puas memeluk dan mencium Mirna.

"Sudaah, cukupp"

"Memekmu basaah, bener gak mau diapa-apain?"

"Iya, cukup, enggak usah ngapa-ngapain"

"Masukkin yuk", pinta Pak Yanto mengelus-ngelus paha Mirna.

"Enggak! Udah lemes gitu apa yang mau dimasukkin?"

"Ya enggak sekarang, lain kali..."

"Udah ah", ujar Mirna. Ia bangkit berdiri. Namun tangan Pak Yanto menariknya terduduk. Pak Yanto kembali mencium bibir Mirna.

"Hhmmmmmmmffhhh...."

"Isshhh udaahhh"

Entah sampai kapan aku bertahan di kamar anakku, Rengga. Sementara Bu Aminah yang belum juga menunjukkan batang hidung hanya memberi kesempatan bagi Pak Yanto lebih leluasa. Penis Pak Yanto sudah takluk. Sangat memungkinkan kembali garang apabila istriku dan Pak Yanto dibiarkan kelamaan berdua. Lihat geliat Pak Yanto seolah-olah tidak berkenan Mirna berpakaian, dari tadi terus menyentuh dan membujuk rayu. Aku bersembunyi, mendekam dalam kebimbangan. Peluang emas melabrak Mirna tersedia di depan mata, namun aku justru menikmati permainan antara istriku dan Pak Yanto. Gumam batin berbicara "Nanti Dulu, Nanti Dulu, Nanti dulu". Sebaliknya pengunduran akan mengurangi kesempatan menyudutkan Mirna yang hampir selalu memenangi perang kata. Akan tetapi, kaki kiri dan kanan seakan-akan memiliki beda arah jalan.

"Mana harga dirimu, ******!", bisik batin mengompori. "Binimu itu bukan ladang milik laki-laki tua tengik itu! Kamu yang semustinya yang menggarap! Masih waras kau?! Hey! Binimu itu! Tolol!"

"Jangan dulu! Entar dulu! Susah payah kau berharap, bodoh! Ini peluang emas kau lihat binimu enak-enak dengan pria lain, coy! Mau kau sia-siakan?! Pasang matamu lebar-lebar! Melek!"

Jakun naik-turun, irama jantung berdegub cepat, menyongsong siang keringat mengucur setetes demi setetes karena pengapnya kamar Rengga. Sumpeklah pikiran. Aku kegerahan ingin keluar dari kamar ini walau agak berkeras hati untuk bertahan. Aku perlu menentukan sikap yang tegas dan lugas sebagai seorang suami yang sah dari Mirna. Aku tidak boleh lembek hanya karena nafsu belaka. Aku memiliki kehormatan dan harga diri yang harus dijunjung dan dijaga, bukan dipreteli sendiri. Lagipula ini kesempatan menunjukkan diri siapa aku supaya Mirna tidak lagi merendahkan, berkelit bahwa dialah yang benar. Kalau bukan sekarang, masihkah ada kesempatan di depan? Belum tentu. Atau malah kehilangan akibat mengulur-ngulur. Ayolah!

"Aaaahhhh udaaah!!", desah Mirna. Pak Yanto mendorong, menelungkupkan tubuh istriku di sofa. Ia memeloroti paksa celana dalam istriku, meski Mirna telah berusaha merenggut dan mengelak.

"Belum! Aku ingin cium bau memekmu, sayang! Hehehehehe"

"Eitssss jangan! Enggak bolehh!",

"Udah diaaam! Grrrrmmmmh!", Pak Yanto beringasan, meremas-remas bongkahan pantat Mirna.

"Aaaaiiiiiihhhh! Enggggaaak!"

"Apaa susahnya diam?! Sebentar saja!", desak Pak Yanto ngotor.

"Aaaaihhhhh Aaakuuu teriak nih?!! Supaya orang-orang pada dengerrr semua?!!!""

"Gggrmmmmhh!"

"Aaaaaaaahhhhhhh!! Engggaaakkk!!!!", jerit Mirna keras, menghentak Pak Yanto agar lekas berhenti. Begitu pula hati sanubariku sebagai seorang suami tersambar menyahut, ITU TOLONG ISTRIMU ******!! JANGAN PLANGA PLONGO! KAU PENGECUT??!! SUDAH PENGECUT, ******??!! KAMU LAKI!!
Segera AKU MEMANTAPKAN HATI, BULAT TEKAD, dan MEMBERANIKAN NYALI BAHWA AKU PUNYA HARGA DIRI DAN MARTABAT. RUMAH TANGGAKU HARUS KOKOH. FANTASI BOLEH, SETIDAKNYA KAMU MESTI TUNJUKKAN HARGA DIRIMU SEBAGAI SUAMI. AKU BUKA DAN BANTING PINTU, MENAMPAKKAN DIRI GAGAH DI HADAPAN PAK YANTO DAN MIRNA. MEREKA TERKAGET-KAGET! TERCENGANG! BUBAR!

"Ampun Pak Riko!! Ampun! Maaaf!! Saya bisa jelaskan!"

"HEY ANJING TUA! Seharusnya sudah kubikin kau MAMPUS kemarin!!", gertakku keras dengan nada menggelegar, lantang penuh amarah, menukik, menghantam mental Pak Yanto yang berubah ciut serta luluh lantak dipenuhi rasa bersalah. PERCUMA! AKU TEMPELENG KEPALANYA. DIA TERUS SAJA MENUNDUK.

PPPPLLLAAAAAAKKK!!

"Saya bisa jelaskan semua ini Pak Riko! Ampun! Maaf Pak! Maaf!", Pak Yanto berlutut merengek, hingga bersujud-sujud mengemis maaf.

"Mirna!!! Kemari kamu!! Jangan mengurung diri di kamar!! Mirna!! Hoy Mirna!!", meledak murka.

Kegaduhan di dalam rumah ternyata mengundang tetangga-tetangga berkerumun di depan. Pak Yanto semakin kecut. Raut mukanya kisut, khawatir ditangkap warga lalu diarak bugil. Namun Aku tidak berharap massa yang mengadili. Ini perkara antara aku dan Pak Yanto.

"Ini bukan sepenuhnya salah saya pak! Ampun!! Ampuun Pak Riko!! Tolong lindungi saya! Saya takut diamuk warga paakkk!!!

"TENANG! AKU TIDAK AKAN SAMPAI HATI MENGIZINKAN WARGA MENGHUKUMI DAN MEMUKULI KAU! KAU BUKAN MALING!"

"Ampunn! amppun Pak! Tolong lindungi saya! Tolong!"

"SUDAH JANGAN TERUS BILANG AMPUN! KAU JELAS SALAH! AKU AKAN POTONG TITIT KAU! PAHAAMM??!"

"Jangaan Pak!!! Ampun! Jangan!!!"

"Sudah diam dulu di sini!! Jangan banyak omong! Semakin banyak omong, warga semakin penasaran ingin masuk"

Aku menghampiri kamar, langkah mengentap memburu, aku menggedor-gedor pintu agar Mirna keluar, bukannya malah mengurung diri dan menangis. Kupanggil-panggil dia tak menyahut, sekedar tangis yang merajalela karena tak bisa lagi berkelit dan membela diri. Padahal aku sudah ingin membeberkan dan mendebat Mirna seandai dia masih membantah karena semua sudah terang dan jelas. MAIN API!

DOORR DOOORR DOOORR

"MIRNA BUKA PINTUNYA! MIRNA!! BUKA PINTU!! BUKAA!!! KELUAR KAMU!!! HEY MIRNA!!"

DDOORRR DOOORRR DOOORR

"MIRNA! BUKA PINTU!"

Mirna hanya menangis sejadinya. Aku memberinya kesempatan merenung dan kiranya mempersiapkan alasan untuk disampaikan ke hadapanku. Sekarang aku mau mengurus Pak Yanto.

"PAKAI BAJUUU!!"

"Ampun pak!!"

"Sudah cukup bilang ampun. Pakai bajunya!! Kubawa kau menghadap RT dan RW!"

"Saya mau diapakan?!"

"BIAR MEREKA BERDUA YANG POTONG TITIT KAU!"

Aku membuka pintu depan sembari menunggu Pak Yanto berpakaian. Aku hendak menghadap Pak RT yang telah menunggu dan berkali-kali mengucap salam. Di belakangnya beberapa warga di antaranya ibu-ibu dan bapak-bapak saling bercengkerama satu sama lain. Salah satu di antara mereka ada Bu Aminah. Pak RT bertanya kiranya ada masalah dan ribut apa karena sampai terdengar keluar, baik dialog hingga jerit perempuan. Aku bilang ke Pak RT agar warga diredakan dan ditenangkan terlebih dulu karena ini masalah aib rumah tangga serta Aku ingin menutupinya agar tidak terumbar keluar. Pak RT dapat memaklumi. Kemudian ia mendatangi kerumunan warga yang sudah tak sabar mendapatkan informasi peristiwa apa yang sebenarnya terjadi. Akan tetapi, Pak RT sekedar menerangkan kepada warga bahwa ini adalah masalah rumah tangga biasa, sebaiknya tidak perlu heboh dan kembali pulang ke rumah masing-masing.

Setelah kerumunan warga membubarkan diri, aku mengajak Pak RT masuk sambil menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi di dalam rumah. Pak Yanto terduduk menunduk. Aku minta ia diam agar Pak RT tahu duduk persoalannya sehingga dapat ketemu solusi paling bijak atas permasalahan ini.

"Hoalah Pak Yanto, inget umur pak..."
"Kemarin juga baru sakit, seharusnya dibanyakin ibadah, malah manjain burung"

"Yaa maaf, sebetulnya bukan karena salah saya seorang saja, Pak RT. Saya terpancing rayuan ibu Mirna"

"Tapi Mirna tidak sampai ngajak adu kelamin, hey! DASAR OTAK TITIT!!", bentakku ke Pak Yanto.

"Mulanya kan dari fantasi Pak Riko"

"LAMA-LAMA KUHAJAR KAU!"

"Sabar Pak Riko, Sabar" ucap Pak RT menahan-nahan.

Seandai tidak ada hukum pidana dan dosa sudah kuhajar ini orang. Selanjutnya aku menerangkan ke Pak RT bahwa Pak Yanto yang keterusan dan tidak bisa mengendalikan diri. Aku menolak Mirna disalahkan di hadapan mereka berdua, kendati sejatinya aku tetap mengakui dalam hati secara pribadi bahwa Mirna turut bersalah. Aku akan selesaikan berdua dengannya karena perlu dikulik dalam-dalam, sedangkan Mirna masih mengurung diri.

"Ampun Pak! Maaf! Ampun! Jangan bawa saya ke polisi! Saya tidak mau mati di dalam penjara"

"Bagaimana Pak Riko? Cukup? Saya serahkan semua ke Pak Riko. Saya di sini hanya menengahi"

PPPPUUUNNNCCCHHHHH BRRRRRUUGGGH
Satu kepalan keras tangan melayang ke pipi Pak Yanto. Aku meninjunya dengan sekuat tenaga, mengumpulkan seluruh ledakan amarah dan melepaskannya lewat tinjuan tersebut. LEBAM dan BERDARAH. Pak Yanto terhuyung mengaduh-ngaduh sakit.

"Sudah Pak! Sudah! Jangan emosi lagi...", ucap Pak RT.

"Aduh! Ampun Pak Riko! Ampun! Sakittt bener ini pak!"

"MAMPUS!"
"KAU PERGI DARI PERUMAHAN INI! PULANG KE KAMPUNG SANA! SUPAYA KUMPUL DENGAN ISTRI DAN ANAK! KALAU PERLU ISTRI DAN ANAKNYA TAHU KELAKUAN BAPAKNYA INI DI JAKARTA! BUKANNYA CARI DUIT, TAPI MALAH CARI LUBANG MEMEK!

PUUNNNNNCCCHHHH BRRRUGHHHHHH
Bogem mentah nan keras kembali menghantam pipi Pak Yanto, kini yang sebelahnya.

"Addddduuuuh sakittttt Pak!! Bengap saya!", jawab Pak Yanto memegang pipinya.

DARIPADA JANTUNG KAU KUBIKIN BENGAP?!!

"Baikkk saya akan pergi dari sini... ampun... jangan pukul lagi... sakiit...".

"Sudah, cukup, Pak Riko! Cukup! Jangan emosi", ujar Pak RT berupaya meredam emosiku.

=Y=​

Pak RT menemani dan mengantarkan pulang Pak Yanto ke rumahnya. Kami telah mendapatkan jalan penyelesaian bahwa kasus ini tidak perlu dilaporkan ke Polisi. Aku hanya ingin Pak Yanto angkat kaki dari rumahnya serta jangan pernah kembali ke perumahan ini, menghubungi, dan bertemu Mirna selamanya. Ada ketahuan melanggar, aku tidak segan-segan melaporkan ia ke pihak yang berwajib. Selesai urusan dengan Pak Yanto, kini giliran Mirna. Ia masih menangis sesengguk-sengguk, meratapi yang baru saja terjadi, sedangkan Aku sedang mendinginkan pikiran sejenak, tak berniat membikin isi rumah gaduh. Aku mempersilakan Mirna merenung. Pria sejati bukan yang mengamuk-ngamuk dan berlaku kasar kepada perempuan. Aku ingin berbicara empat mata dengan Mirna, sampai ia benar-benar siap.

Akan tetapi, aku tunggu baik-baik, ia malah tidak keluar kamar. Aku mengelola kesabaranku.

"Mirna! Buka pintunya... mau sampai kapan kamu di dalam?!"

"....."

"Buka pintunya!", teriakku. Mirna tidak menggubris. Alhasil, tidak ada pilihan, aku harus benar-benar menunggu Mirna menenangkan dirinya. Aku terpaksa menghabiskan waktu sendirian. Kembali ke kantor menjadi enggan dan rumit apabila kondisi begini. Aku duduk bersandar di sofa menonton konten musik di Youtube seraya menghibur diri, sampai kantuk datang tak diundang. Nyaris tertidur, tiba-tiba ada suara perempuan mengucap salam di depan rumah.

"Assalamuaikum! Assalamualaikum!"

"Walaikumsalam Bu...", jawabku menghampiri Bu Aminah di depan pagar.

"Tadi ada apa Pak Riko kedengerannya ribut-ribut di dalam? Saya ke sini bolak-balik situasinya masih sama"

"Hehehe biasa bu, masalah rumah tangga, sekarang sudah beres kok. Ada apa ya bu kemari?"

"Emmmhhh... iya katanya ibu hari ini kan mau ditemani masak-masak jadi apa enggak ya? Saya sudah hubungi lewat WA tidak dijawab", tanya Bu Aminah. Aku awalnya ingin bilang tidak, namun aku ingin menanyakan ke Mirna dulu barangkali bisa memancing Mirna keluar dari kamar.

"Tunggu sebentar ya bu, saya panggilkan Mirnanya. Ayo Bu Aminah silakan masuk, kelamaan berdiri pegel juga"

"Baikkk....", jawab Bu Aminah. Setelah aku bukakan pagar, ia berjalan mengikuti.

Aku mengantarkan bu aminah sampai ruang tamu."Ayo silakan duduk dulu..."

"Iya terima kasih Pak Riko..."

Aku kembali berdiri di depan pintu kamar Mirna, memanggil istriku agar mau keluar dari dalam kamarnya. Aku menaruh harapan Mirna membukakan pintu,

"Bilang saja tidak jadi! Aku cape!"

"Kamu temui dulu Bu Aminahnya, dia di depan itu", balasku. Selanjutnya Mirna membungkam lagi kendati aku terus membujuknya keluar.

"Maaf ya Bu, sepertinya tidak jadi. Kata Mirna, dia sedang cape"

"Oh baiklah, enggak apa-apa, paling tidak saya dapat informasi. Hehehe"

"Hhhmmm kalau boleh tahu, pagi tadi ibu belanja bareng Mirna?"

"Betul"

"Itu berdua saja?", tanyaku penasaran.

"Enggak, ada Pak Yanto nemenin"

"Oooo.... sudah berapa sering itu?"

"Siapa? Maksudnya?"

"Iya, ibu, Mirna, dan Pak Yanto jalan bareng"

"Baru dua kali...", jawab Bu Aminah tidak terbebani pertanyaan interogatifku.

"Enggak ada yang aneh kan?"

"Aneh seperti apa? Normal-normal saja kok Pak. Yang namanya belanja ya belanja"

"Hehehe iyaa yah"

"Baik, saya pamit, berarti masak-masaknya tidak jadi"

"Maaf ya Bu Aminah, terima kasih banyak sebelumnya, lain kali jadi kok ", ucapku mengantar Bu Aminah ke halaman depan. Sesudahnya aku duduk bersandar kembali di sofa mengulang aktivitas sembari menunggu Mirna melunak karena aku ingin bicara empat mata dengannya, tentunya tanpa emosi dengan kepala dingin.

Menjelang Siang Pukul 10.30

Wawan: terima kasih banyak Pak Riko. Akhirnya saya bisa bekerja setelah lama menganggur, bakal bisa punya uang sendiri. Bahagiain bapak sama ibu.
Aku: ya alhamdulillah. Rajin-rajin dan disiplin ya nanti, Wan.
Wawan: siap Pak. pakaiannya kemeja celana bahan gitu pak?
Aku: bawa kaos ganti kalau mau. Kamu nanti kan berkeringat.
Wawan: oh yaa, kalau boleh tahu pak, atasan saya nanti orangnya bagaimana ya?
Aku: hahahaha belum kerja sudah nanya bosnya.
Wawan: hehehe deg-degan, siapa tahu ada hal-hal yang perlu saya perhatikan dari tipikal karakter bos saya nanti"
Aku: kamu intinya mesti rajin, disiplin, jangan lamban. Bos kamu nanti namanya Pak Jajang. Dia orangnya pengen serba cepet, tuntas.
Wawan: engghh, galak pak?
Aku: galak? Hahaha kalau kamu baik ya dia baik.
Wawan: kok saya mendengar ada keraguan dari jawaban bapak yah.
Aku: santai, Wan. Setiap pekerjaan ada tantangannya. Jangan lupa berkawan juga.
Wawan: itu mah paham pak hehehe.

Beberapa hari ke depan Wawan sudah mulai bekerja. Tidak disangka, mulanya itu pekerjaan untuk Pak Yanto, ternyata rezekinya untuk Wawan. Dia sangat antusias segera bekerja karena selama ini ia menghabiskan hari melamun dan berharap panggilan datang kepadanya. Zaman semakin sengit dan kompetitif pemuda seperti Wawan pastinya ingin segera bekerja demi membahagiakan orang tua juga hidup mandiri. Selama ini ia bekerja pontang panting memelas belas kasih. Meski yang didapat dari bekerja serabutan 'nguli' tak menentu, baginya uang adalah kehidupan, sumber kebahagiaan. Apalagi sekarang memperoleh gaji yang jelas. Wajahnya tak murung semenjak mendapatkan pekerjaan.

=Y=​

"Kamu mau ke mana?! Kita mesti ngomong!"

"Aku mau pulang ke rumah orang tuaku mas! Jangan tahan aku!", jawab Mirna. Aku terbangun dia sudah keluar kamar menenteng koper serta mengenakan jaket dan celana jeans.

"Loh ini masalah belum selesai kamu sudah mau pergi, apa kata ibumu seandai tahu yang kamu lakukan hari ini?! Heh?!"

"Terserah kamu Mas, yang jelas aku begitu gara-gara kamu juga", tuduh Mirna terisak-isak. Kami sedang bertengkar.

"Kenapa jadi aku?! Kita kan sudah buat perjanjian, aku sudah tidak berfantasi macam-macam, di mana salahku?! Di mana?!"

"Kamu kira aku bisa melewati semua ini dengan mudah?! Psikis aku sudah terlanjur kena Mas! Mentalku sudah kena! Dulu aku itu perempuan normal, namun semenjak kamu hujani aku dengan fantasi-fantasi gilamu, aku sudah tidak normal lagi, mental dan psikisku hancur! Hancur!"

"Alasan kamu! Psikis kena itu ke Psikiater bukannya malah 'wenak-wenak' sampai ngisep kontol begitu, kurang parah apa?! Kamu sadar?! Kalau sadar kamu semestinya ngomong jujur, bukan malah diam-diam, ngeluh belakangan. Lagipula sebelumnya kita sudah pernah bicara seperti ini, kenapa saat itu tidak sekalian kamu bilang?!"

"Sulit aku bilangnya Mas, sulitt!!!!", Mirna menumpahkan air matanya. Ia lemas dan memutuskan duduk di sofa sembari menangis memegang dahi. "Iyaaa....Aku mengaku salah, mengaku salah melakukan itu semua, karena aku merasa tertekan, terpojok, tidak memiliki pilihan, Mas"
"Aku minta maaf, aku menyesal, aku merasa gagal menjadi istrimu. Biarkan aku pulang ke tempat ibuku sekarang, aku merasa sudah tidak pantas tinggal di sini bersama kamu, tolong biarkan aku pergi"

Pengakuan Mirna barusan menggerus amarahku yang konsisten berusaha menepis apabila Mirna terus merasa benar. Aku sudah mengetahui semuanya dan bukti-bukti bisa diperlihatkan jika Mirna belum berhenti mengelak. Akan tetapi, karena sudah terpojok, Mirna hanya mampu menangis melepas air mata penyesalan. Dia mengaku secara jujur melakukan itu semua dengan Pak Yanto secara sadar penuh disebabkan hasutan fantasiku selama ini yang berhasil merasuk alam bawah sadarnya. Aku meyakini bahwa Mirna butuh perjuangan keluar dari hal tersebut. Ditambah aku bukan sekali dua kali memberi sugesti negatif ke Mirna, itu hampir tiap kali aku lakukan agar Mirna mau menuruti kemauanku yakni disetubuhi pria lain. Meskipun fantasi itu sudah surut, segalanya sudah terlanjur basah. Mirna hampir selalu bisa menolak, tetapi penolakannya itu menyisakan persoalan mental yang aku tidak memahaminya.

Bagiku mungkin fantasi sudah larut menguap, tetapi bagi Mirna ada 'sampah' pikiran yang harus dimuntahkan. Sampah pikiran itu menumpuk menjadi masalah yang mengendap sehingga kacau pikirannya. Kita kaum pria barangkali menikmati sesuatu mengedepankan logika, namun perempuan sejatinya hampir melibatkan emosi atau perasaan. Aku mengabaikan poin tersebut. Betapa egoisnya aku sebagai seorang suami. Maafkan Aku Mirna, maafkan aku sayang, aku suamimu terlalu egois, terlalu bodoh. Masalah ini tidak remeh. Mudah dilupakan bagiku, melainkan tidak bagi Mirna. Ia perlu dibantu keluar dari proses sulit ini.

"Maafkan aku sayang, aku yang salah, aku yang lupa diri"
"Sudah jangan menangis lagi. Ini semua salahku"
"Aku akan bantu kamu keluar dari masalah ini. Aku tidak akan membiarkan berjuang sendirian", ucapku duduk memeluk Mirna. Aku belai rambut dan cium ubun-ubun kepalanya. Mirna tak bisa menanggapi. Ia hanya dapat menangis sejadinya dalam dekapan eratku.

"Maafkan aku juga, mas"

"Iya, tapi salahku jauh lebih banyak. Kamu jangan pergi ya..."

"Iyaa, enggak. Tapi aku malu, aku berhak dihukum, bukannya kita sudah bikin janji??"

"Pssssssttttt, sudah, enggak perlu ada dihukum-hukum, kamu salah ya aku salah juga, semustinya karena kita berdua sama-sama salah justru jadi semakin saling sayang-menyayangi. Kalau dihukum karena salah seperti ini, bukannya sayang tapi benci"

"Terima kasih ya, Mas"

"Iyaa, sudah jangan menangis lagi"

....................................

Semenjak saat itu aku menata ulang kehidupan rumah tanggaku dengan Mirna. Aku menemaninya berobat ke psikiater, keluar dari situasi sulit yang disebabkan oleh ulahku. Di sisi lain, Mirna sudah mengenakan hijab ketika keluar rumah. Aku mendukungnya karena dulu akulah yang menyebabkan Mirna melepas hijab. Sekarang ia sudah mengenakan hijabnya kembali sehingga ke luar rumah jika berbelanja tidak ada yang perlu aku risaukan. Bagian tubuh dan auratnya tak mencolok. Fantasiku juga tak hilang-muncul lagi. Aku sepenuhnya normal menjalankan hubungan suami-istri dengan Mirna. Pak Yanto sudah tidak menghuni rumahnya lagi semenjak aku memperingatinya keras. Dia sudah pulang kampung berkumpul bersama istri dan anaknya. Rumah itu kini kosong, kendati masih rumah Pak Yanto, semua terasa tinggal kenangan. Aku tersenyum betapa bahagia akhir-akhir ini hidup tanpa fantasi gila dan jorok, kecuali angan-angan menonton film porno masih kulakoni. Biarlah fantasi tetap menjadi fantasi, tidak menjadi realita yang belum tentu kita sanggup menghadapi dan menjalaninya.............

Sekarang aku bukan berteman dengan Pak Yanto lagi, melainkan Wawan yang bisa menjadi karib di tempat kerja dan di rumah. Bahkan ia menjadi mata-mataku karena dia merupakan anak buah Jajang. Dari Wawan justru aku mendapatkan kabar bahwa Jajang benar menyimpan niat dan maksud terselubung tinggal satu tempat kos dengan Rani. Mirna yang mengetahui hal itu mengatakan bahwa Jajang sedang melakukan pendekatan iblis, tujuannya tidak lain, tidak bukan adalah SELANGKANGAN. Aku tertawa terbahak-bahak.

6 Bulan Kemudian........


Aku: Pak Yanto bagaimana kabarnya?
Pak Yanto: alhamdulillah sehat. Maaf ini siapa?

BERSAMBUNG
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd