Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Birahi Papa dan Mama

Status
Please reply by conversation.
yaahh,,,ngbro
Diusik Mba Yanti


Keramaian hanyalah milik mereka yang berada di luar. Bercengkerama bersama, tawa-canda teruntai lepas. Sebaliknya mereka yang berada di bawah atap rumah, menikmati istirahat panjang kalaulah akhir pekan adalah jalan membikin tubuh ini sehat dan berguna lagi. Bono, kini bisa tertidur nyenyak. Tanpa obat tidur yang ditaburi secara sengaja oleh Yanti pun dia ngorok kekenyangan. Pada akhirnya ia tahu bagaimana bermalam minggu. Berbanding terbalik dengan abangnya, Jaka, yang belum pulang kala dini hari menjelang. Orang tua mereka juga demikian, Gono dan Mirna. Setelah nafsu birahi mereka tuntaskan, Gono dan Mirna asyik ngobrol di meja makan. Mereka mengemil makanan ringan. Pelan suara mereka berbicara agar yang lain tidak terusik. Gono yang bertelanjang dada, sekali-kali menggaruk badannya. Beberapa nyamuk menggerayangi. Mirna tak kesian. Ia justru menunggu apakah syarat yang diajukannya disanggupi utuh oleh Gono atau tidak.

"Beneran nih?"

"Iya", jawab Mirna sesekali membetulkan piyamanya agar tidak terlihat begitu sensual caranya berpakaian.

"Aku ragu. Bukan ragu mau ngelakuin. Tapi ragu kamu marah apa enggak"

"Yang kasih syaratkan aku, Mas"
"Kamu tidak perlu ragu, buktikan saja di depanku".

"Baiklah..."

"Aku ke kamar dulu", pamit Mirna meninggalkan Gono sendirian di ruang makan.

Beberapa menit kemudian, Gono berjalan ke sudut belakang rumah. Ia berencana menemui Yanti, pembantunya. Diketuk pintu kamar Yanti pelan-pelan. Yanti yang selalu siap berjaga apabila disahut dan diperlukan terbangun. Terbukalah pintu kamar. Lalu Ia sedikit kaget karena dilihat olehnya sang majikan tidak memakai baju. Yanti salah tingkah. Ditambah Ia tidur mengenakan daster kembang yang mengekspose bagian ketiaknya.
Yanti buru-buru ingin mengambil kain penutup, tetapi Gono mencegah.

"Maaf ya, Pak. Apakah boleh saya mengambil jaket saya dulu?"

"Gak usah, saya gak lama-lama kok" "Cuman mau nanya, beneran yakin kamu mau pulang ke kampung Minggu depan?"

"Beneran Pak, saya sudah kangen dengan anak saya. Ibu mana yang tega ninggalin anak berbulan-bulan tanpa bertemu sekalipun dalam setahun"

"Oke kamu saya kasih izin. Saya juga udah sempet ngomong sama Ibu. Kalau dia pun ngizinin".

"Haduh! Terima kasih banyak ya Pak", sangat sumringah wajah Yanti. Ia memyalami Gono dan makin tak sabar raganya bertemu putra semata wayang.

"Baiklah, itu saja yang saya mau beritahukan. Tapi saya boleh minta tolong?"

"Iya boleh. Ada apa?"

"Bikinin saya kopi. Ibu ngantuk berat, jadinya..."

"Baik, saya bikinkan Pak...", Yanti gerak cepat. Padahal, Gono belum selesai bicara.

Yanti meraih jaketnya. Kemudian Ia bergegas ke dapur seraya memanaskan air agar kopi hangat yang diinginkan Gono lekas jadi dan Yanti bisa pulas kembali. Gono membuntuti Yanti. Ia berdiri di dapur mengamati Yanti mempersiapkan kopi yang tak sabar diseduh malam-malam. Bokong Yanti yang luput ditutupi, tersorot oleh kedua mata Gono. Bulat berisi sehingga terbayang oleh Gono bagaimana rupanya apabila Yanti tak berbusana.
Gono mengira-ngira, Yanti yang sudah lama tak bertemu suami bagaimana menyalurkan hasrat birahinya. Gono merasa ingin mengisi kekosongan itu apabila ada kesempatan.

Yanti yang sibuk menyediakan kopi, tidak sadar sedang diperhatikan oleh majikannya. Di pikirannya sekarang adalah bagaimana tugasnya malam ini cepat selesai.

"Ini kopinya, Pak", ucap Yanti berbalik badan.

Gono berusaha berdiri lebih dekat dengan Yanti, seraya meraih secangkir kopi yang telah jadi. Ditatapnya wajah Yanti. Demikian Atas-bawah tubuhnya
seakan ada sesuatu yang salah.

"Ada apa ya Pak?", Yanti mundur selangkah. Memalingkan muka, merasa tak sopan menatap paras majikannya.

"Enggak apa-apa. Saya sekedar ingin bertanya, soal suamimu bagaimana? Apa sudah ada kabar?"

"Belum juga. Sekarang saya pasrah saja, Pak. Kalau suami saya masih ingin bertemu saya, pastinya dia akan mencari. Bukannya saya yang terus-terusan ke sana kemari".

"Kamu cantik loh, Yan"
"Lebih baik kamu cari suami lagi"
"Tentunya yang ekonominya lebih baik sehingga kamu gak harus kerja jauh-jauh begini dari anak kamu"
"Memangnya di kampung gak ada juragan atau pengusaha yang naksir sama kamu?"

"Status saya jelas masih istri dari seorang suami. Naksir boleh. Tapi apa dikata orang di kampung bila saya berhubungan dengan lelaki lain?"

"Begitu yaa..."
"Mari kita lanjutkan obrolan yang sempat terputus", bujuk Gono mengarah ke ruang tamu.

"Duh Pak, apa gak bisa besok pagi saja?"
"Gak enak kalau sampai dilihat ibu..."

"Loh kenapa gak enak? Kita kan baik sama kamu. Kamu juga baik sama kita. Gak ada kita punya sangkaan buruk terhadap kamu, Yan".
"Yuk"

Yanti terpaksa menurut. Sebetulnya Ia sudah mengantuk, tetapi apa boleh buat, majikannya berkata lain. Mereka tampak mau melanjutkan obrolan yang terpotong oleh Bono yang kelaparan. Jadi, sehabis makan malam, Yanti menghadap Gono, kiranya mengutarakan niat akan mudik Minggu depan. Gono sebagai majikan yang baik tentu mengizinkan. Malahan, Ia bertanya Yanti ada ongkos pulang atau tidak. Meski Yanti menolak dibayarkan, Gono tak sungkan membiayai kepulangan Yanti. Selebihnya, ia sempat memberikan sejumlah uang untuk keperluan Yanti di kampung. Bagi Gono, itu adalah balas jasa terhadap Yanti atas kerjanya selama ini. Bukan berarti berakhir kontrak kerja Yanti mengasuh di rumah Gono.

"Mas Farid (kerabat Gono yang mengusulkan Yanti kerja di rumahnya), sudah tahu soal kamu mau mudik?"

"Belum, Pak. Rencananya besok", jawab Yanti digiring duduk di ruang tamu.

"Kamu jangan sampai lupa dengan beliau, gitu-gitu banyak jasa beliau ke kamu..."

"Pastinya pak, kalau bukan karena Mas Farid, saya gak tahu musti kasih makan apa anak saya di kampung".

"Anak kamu sapa yang rawat sekarang?", tanya Gono meniup-niup secangkir kopi yang sedikit panas.

"Kakak saya..."

"Uhmm", Gono mengamati Yanti yang duduk berhadap-hadapan dengannya, di tengahi meja tempat Gono menaruh secangkir kopi.

"Namanya siapa? Udah gede ya sekarang?"

"Randi. Iya, sudah 10 tahun umurnya".

"Hhhmmm..."
"Oh ya, baru kali ini loh, saya lihat kamu pakai daster"
"Cantik banget kamu, Yan.."
"Kalah cantik kembang yang ada di daster kamu"

"Hehe, makasih, bisa aja Bapak gombalnya. Gimana ibu gak sayang sama bapak, gombalnya aja begitu", Yanti hanya terkekeh pelan, menunduk-nunduk ketika pujian dihaturkan oleh Gono.

"Oh ya, Yan. Besok kamu gak sibuk kan?"

"Ya begini aja Pak. Ngebersihin rumah, nyuci piring, nyapu..."

"Besok temenin saya jalan ya?"

"Boleh pak, asalkan Ibu diajak"

"Tentu Yanti, masa ibu bapak tinggal gitu aja di rumah...", ujar Gono memerhatikan beberapa kali Yanti menguap.

"Maaf, pak. Apa ada lagi yang bisa saya bantu?"

"Yasudah, kamu istirahat lagi sana..."
"Besok kita jalan bareng Ibu", perintah Gono yang hendak membawa secangkir kopinya ke kamar karena akan ditinggal sendirian oleh Yanti di ruang tamu.

Yanti kembali ke kamarnya. Sementara Gono sampai di kamar, Ia mendapati Mirna tertidur nyenyak. Ia geleng-geleng. Kopi diseduhnya sendirian di dekat istrinya sambil membuka-buka ponsel. Dengan sedikit kesal, apa yang dilihat Gono berbeda dengan isi pikirannya. Mengecek satu per satu chat yang belum sempat Ia baca, Gono justru terbayang kebersamaan dengan Yanti yang belum lama berlalu. Pikir Gono, ia ingin segera menghabiskan kopinya. Kemudian mengulang kebersamaan dengan Yanti. Dia berharap Yanti mau membikinkan kopi untuknya lagi.

Gono seperti tidak percaya. Yanti sudah nyaris setahun mukim di rumahnya. Namun, baru kali ini ia amat terpesona kepada sosok Yanti. Gono malah menganggap kerabatnya pintar mencarikan pembantu. Yanti tidak malas, telaten dalam bekerja. Parasnya lumayan cantik. Majikan merasa tak rugi lama-lama tinggal di rumah. Itu mengapa Gono hampir tidak pernah menggerutu mengenai cara kerja Yanti. Di sisi lain, rupa-rupanya baru kali ini Gono mengamati Yanti mengenakan daster. Apakah Ia terlampau sibuk bekerja sehingga pulang larut malam, lalu yang sering dilihat hanyalah istrinya seorang.

"Duh Yanti, Yanti,...", timbul sekelebat pesan dalam benak Gono. Kopi yang diseduhnya sekedar beberapa teguk diminum. Gono menyusul Mirna yang tidur lebih dulu.

=O=​

Pagi hari, Aku berlari pelan menelusuri jalanan di sekitar komplek perumahan. Jalanan yang masih tampak lengang membuat aku semakin bersemangat untuk berolahraga. Kurang lebih sejam aku berputar-putar. Keringat yang sudah membasahi baju mendesakku untuk segera pulang. Apalagi kondisiku memang sudah lelah. Jika dipaksakan aku tidak mau sakit sampai membuatku tergeletak lemas di kasur. Tiba di rumah kulihat Mama mengenakan kerudung bergo warna biru gelap dengan celana legging training abu-abu, beserta t-shirt biru lengan panjang. Ia bersiap senam di lapangan dekat kantor RW bersama ibu-ibu sekitar sini. Kendati aku senang Mama berolah raga, aku sedikit risih dengan pakaiannya. Kerudung sudah sedikit benar dipakai. Akan tetapi, ukuran payudara Mama yang terbilang besar jelas terlihat dari t-shirt yang rasanya terlalu sempit digunakan. Buah dada yang Mama melambung tidak berhasil ditutup seluruhnya oleh kerudung Mama, karena jangkauan ujung kerudungya berukuran pendek.

Meskipun memakai bra, sulit bagi siapapun untuk tidak berpikir ngawur jika melihat Mama. Ditambah dengan celana legging yang digunakan, bentuk jenjang kaki Mama mengundang perhatian mata laki-laki yang haus akan kasih sayang. Pahanya sedikit padat nan gempal, justru itulah yang menjadi daya tarik yang paling mencolok. Apalagi bentuk bokong Mama membuat siapapun jadi bebas melihat walau sebagian bagian bawah t-shirt mampu menutupinya.

"Mama baru mau olahraga?"

"Iya nih...", jawab Mama sedang pemanasan lalu dibuntuti oleh Mbah Minto (63 Tahun), kakekku.

"Mbah mau olahraga nih? beneran masih kuat?"

"Kamu meragukan kemampuan Mbah? Dikira Mbah udah sepuh banget ya?"

"Haha canda, Mbah".

"Nah, Mirna! Pakaian begini baru cocok banget kalau dipakai olahraga. Walau kamu berusaha menutup aurat, tetapi disesuaikan model dan tempatnya juga".

"Iya, Yah. Kan ayah yang ngusulin. Kalau bukan ayah yang kasih nasihat mana mungkin aku tahu..."

Mamaku yang beberapa tahun yang lalu belum mengenakan hijab. Kini sudah berhijab. Semua berkat usaha keras Mbah Minto guru spiritual keluarga kami sekaligus ayah kandung Papa. Mbah Minto rajin memberikan petuah religius di keluarga kami. Dia kadang berusaha mengingatkan akan pentingnya tuntunan ilmu agama. Apa yang dilakukannya, bukan tidak ada hasil. Bahkan, Mama mulai mengenakan hijab itu adalah prestasi terbesar Mbah Minto. Pada awalnya, Mama sedikit tidak yakin untuk mengenakan hijab. Ia khawatir dibilang baru bertobat atau hanya ikut trend saja. Mba Minto berusaha meyakinkan Mama. Kalau mengenakan hijab tak ada rugi. Tak heran, sampai detik ini, Mama apabila keluar rumah, seperti bertemu orang asing, Ia tak lupa mengenakan hijabnya.

Beberapa menit kemudian muncul Ibu Sinta (42 Tahun). Beliau adalah kawan mama di komplek dan juga tetangga kami.

"Jalan sekarang aja, yuk? Keburu panas"

"Bukannya kamu udah dipanasin sama suami kamu semalam", canda Mbah Minto kepada Ibu Sinta. Aku agak tidak mengerti dengan candaan tersebut. Yang jelas aku menganggapnya canda bernada vulgar.

"Wush, buruan cari bini baru, mau sampai kapan gelisah gini terus sampai pagi", ledek Ibu Sinta yang mengetahui status Mbah Minto yang telah ditinggal wafat istrinya 5 tahun yang lalu.

"Aku naksirnya kamu, Sin"

"Idih ngarep banget nih mertua kamu, Mir"

"Hehe, bilangin suamimu aja Mbak", sahut Mama.

Tiba-tiba Mbah Minto mencubit pantat Ibu Sinta," Aduh sakit! Gak enak dilihatin anak-anak?! Noh si Bono jadi bingung kan?"

"Lama-lama dia nanti juga ngerti urusan kayak gini", ujar Mbah Minto menengok ke arahku.

"Udah yuk berangkat, inget Yah kita habis senam, mau jalan bareng Mas Gono!"

Oh iya, bener!"

"Bono gak mau ikut?", ajak Mama.

"Enggak, Mah.., aku masih banyak yang belum dikerjain. Lagian badanku basah sama keringat begini".

"Nanti jangan lupa jalan sama Papa dan Mama, sama Mbah juga..."

"Iya", jawabku masuk ke rumah.

Bersambung
[/size][/b]
yaahh,,,,ngbrol lagi dong sma yanti
 
Gara-Gara Mimpi

"Saya salut loh sama sampean Pak"
"Masih suegeerrran aaa..ajah"

"Belum apa-apa itu, Bapaknya si Raras, kepala tujuh masih bisa gowes..."

"Gowes istrinya?!"
"Haha..."

"Haha...."

"Husssh, bener, kuat sepedaan sampai Monas katanya..."

"Ndak mungkin, engap-ngapan,
terus bisa-bisa hilang nyawa dia"

"Woalah ngawur!"

"Enggak! Enggak! Bapakku umurnya belum 70 tahun. Seumuran dengan Pak Minto kok!"

Raras (28 Tahun) tergopoh-gopoh dari kejauhan, mendatangi kerumunan bapak dan ibu, seumuran orang tuanya, yang masih saja duduk dan berdiri di dekat sebuah pohon beringin besar lapangan RW 03, Komplek Kebon Mangga. Raras dapat informasi dari salah seorang yang mengatakan bahwa bapaknya sedang diomongi. Katanya tua panjang umur. Kuat, tapi gempor. Monas cuma bayang-bayang bisa disinggahi menggunakan kendaraan roda dua yang perlu stamina lebih mengayuhnya. Sebagai anak, Raras tidak terima meski sebetulnya Ia hendak mengingatkan kepada para bapak dan Ibu untuk mulai bergerak, membuat barisan. Alunan musik aeorbik telah diputar. Kegiatan senam merupakan rutinitas di akhir pekan yang biasa dijumpai.

Raras merupakan seorang Ibu muda yang rajin mengikuti kegiatan senam pagi ini. Bayi laki-lakinya yang berusia 1 tahun setengah, rela ditinggal bersama suaminya di rumah. Tentu, setelah menyediakan sarapan dan menyuapi si kecil melompatlah Raras ke lapangan RW 03. Ia merupakan peserta senam yang bersemangat dibandingkan para ibu dan bapak yang lebih sering menggunakan kegiatan ini sebagai arena bertukar cerita/gosip terbaru yang bisa disebarluaskan. Tidak pernah mencampuri kegiatan macam itu, jelas Raras kemudian protes ketika bapak kandungnya menjadi sasaran cerita. Biarpun itu sekelebat lewat. Bukan topik utama.

"Bercanda neng Raras"
"Hehe..."

"Kebiasaan emang Bu Permadi"
"Sekali-kali mulutnya Mas Bowo ini musti dilakban, biar gak ngerocos yang asal-asal!"

"Bercanda gue ya Allah!"
"Pade serius amat nanggepinnya"
"Yang mulai kan si Ibu! Loh! Loh!"

"Sudah! Sudah! Hayo Bapak/Ibu langsung atur barisan aja, kita mau mulai senamnya nih..."
"Tuh kan udah mulai terik..."

Raras mencoba meredakan suasana. Syukurlah, ternyata Ia menyangka para bapak dan ibu itu hanya sedang berkelakar saja gara gara terlampau lama kegiatan senam dimulai. Penyebabnya ialah radiotape yang selalu mereka gunakan telah habis usia. Bukan sekali dua kali kejadian seperti ini. Karena senam yang sifatnya mingguan itu mengapa radiotape nya lambat ditangani. Beruntung, Mirna salah seorang yang tanggap. Berbeda dengan ayah mertuanya, Mbah Minto, yang tak bisa dibantah berada di tengah kerumunan bapak/ibu yang suka berseloroh dan bergunjing.

"Burungmu loh Mbah! Bangun ituh!", tegur Ngadimin (38 Tahun), seorang Duda yang dikenal dekat dengan Minto. Ia bangkit berdiri seraya ingin berjalan ke tengah lapangan.

"Astaghfirullah, Manah?!! Gak ada! Kamu jangan bikin omongan yang gak bener?! Hush!"
"Bahaya, kalau sampai didenger!"

"Didenger siapa? Neng Raras?"
"Hehe".

"Mulutmu itu ya, sekali lagi hati-hati"
"Kalau Raras tahu, aku yang bisa-bisa digosipi tidak mengenakkan"
"Kamu mau aku jadi candaan Istrinya Permadi dan Bowo gendeng itu?!",

"Kalau candaan mereka mah buat saya gak apa apa, Mbah"
"Tapi kalau sampai Neng Raras gak mau senam lagi gimana?"

"Nah itu! Yang Dikhawatirkan!"
"Wibawaku juga bisa jatuh!"

"Lagian si Mbah, kok bisa-bisanya sekarang tersipu-sipu sama si Raras"
"Kemarin-kemarin naksirnya sama Mba Sinta"

"Ini beda Miin..."
"Kamu Ndak akan ngerti"

"Beda bagaimana?"
"Aha! Pasti gara gara senam seminggu yang lalu itu kan Mbah? Iya kan?"
"Mbah kan sempet dipasangin sama Raras"
"Wah jangan jangan sempet megang yang anu-anu yak", Ngadimin berdiri di sebelah Mbah Minto ketika senam akan dimulai. Mereka terus saling berbisik-bisik hingga terjeda saat gerakan oleh instruktur senam dipertunjukkan.

Seminggu yang lalu Raras dipasangkan oleh Mbah Minto saat keduanya bergantian Sit Up. Ketika Giliran Mbah Minto memegangi kaki Raras, di situlah Ia berpaling mutlak dari Sinta. Belum lagi kala Raras minta dibantu Sit Up yang dilakukannya begitu tertatih-tatih, Mba Minto menolong dengan begitu bersemangat. Memegangi kedua lengan Raras, memerhatikan bagian yang lain. Kendati Raras memakai sporty sweatshirt lengan panjang, dan terbilang cukup sopan. Bagi Mbah Minto yang lima tahun menduda, hal yang sudah ditutupi Raras tetap saja terlihat. Sesekali Ia meremas lengan Raras yang baru dikaruniai satu orang anak. Mbah Minto tak peduli meskipun Raras sudah bersuami. Lagipula, suami Raras tidak ikut senam. Mbah Minto mengira itulah celahnya mengambil hati Raras.

Padahal, sebelumnya Mbah Minto menaruh hati kepada Sinta. Bisa dibilang lebih cocok Mbah Minto bersanding dengan Sinta daripada Raras. Akan tetapi, keduanya tetap sudah bersuami. Mbah Minto tidak sepatutnya menyukai perempuan milik orang lain, kecuali Ia adalah seorang janda. Yanti di rumah? Mbah Minto menghindari perkara di rumah. Di sisi lain, Yanti sudah dianggapnya anak sendiri. Tangis dan sedih Yanti yang kadang tercurahkan kepadanya, membuat Mbah Minto pikir-pikir memperistri Yanti. Konon, suami Yanti yang belum jelas keberadaannya diceritakan Yanti adalah bekas jawara. Itulah yang membuat Mbah Minto tidak mau melakukan sesuatu yang membikin umurnya pendek.

"Mbah! gerak! jangan pelototin yang lain!", teriak seseorang menduga sorot mata Mbah Minto mengarah kepada Sinta yang berada serong di dekatnya. Padahal, Mbah Minto menatap ke arah Raras yang berada di depan.

"Istighfar Mbah...", gerutu Sinta, berhenti sejenak.

"Istighfar kenapa?"

"Senam jangan sambilan lihatin yang lain-lain"

"Yang gue perhatikan cuma luh, gak ada yang lain", kelakar Mbah Minto.

"Idih kan bener"
"Mir, bapak mertua kamu nih"
"Kumat lagi"

"Lu segitu aja segala diaduin Sin"
"Kaga gue apa-apain juga luh...", sahut Mbah Minto melirik ke arah Ngadimin.

"Akur-akur dong..."

"Haduh, hah,... aku gak kuat, Min", Mbah Minto tiba-tiba keluar dari barisan mencari tempat duduk. Ia tidak bergerak banyak, tapi tampak lelah sekali. Sinar matahari yang sudah terik membuat kepalanya pening dan bergoyang. Mbah Minto inisiatif berjalan menuju tempat duduk di bawah pohon beringin seraya mengurut kepalanya. Mereka yang terus senam, tidak terlalu memedulikan Mbah Minto. Memang sudah biasanya lelaki paruh baya itu tidak pernah menuntaskan senam hingga selesai. Oleh karena itu, Mbah Minto hanya terdiam melamun memerhatikan yang lain olahraga dan mendengarkan musik aerobik yang kurang cocok dengan selera musiknya. Lama kelamaan Mbah Minto merasa kepalanya tambah puyeng. Rasa-rasanya tubuhnya akan oleng.

"Mirna! Mbah Minto!"

"Woalah Mbah! Sampean kenapa?!"

"Bisa-bisaan si Mbah aja ini"
"Eh iya, mana katamu si Mbah katanya segeran?"
"Olahraga sebentar aja udah sempoyongan"

"Diem! Mending bantuin Mirna".

=O=​

Gono mengintai situasi. Dari jendela, Ia lihat ayahnya sudah berada di luar bersama istrinya. Lembaran surat kabar yang sedang dibacanya lalu dilipat. Kemudian Ia meminum secangkir kopi buatan istrinya untuk membuat suasana batinnya tenang. Gono masih terus mengawasi ayah dan istrinya yang belum bergerak menuju lapangan kantor RW 03. Gono yang pernah diajak ikut senam oleh istrinya, tidak berminat. Ia meyakini kalau dari senam itu hanya mendapatkan capek, letih, dan lelah saja. Aslinya, memang Gono yang malas berolah raga. Gono menutup pintu pelan-pelan. Ia yang tak mau lama menunggu beranjak dari ruang tamu menuju dapur, sepertinya ia ingin dibikinkan kopi lagi. Namun, kini oleh Yanti.

Semalam Gono mimpi aneh akibat ditinggal tidur oleh istrinya, dan Ia malah asyik ngobrol pendek dengn Yanti. Singkat obrolan itu membentuk kesan sendiri di benak Gono, sampai-sampai Ia bermimpi kalaulah Yanti perempuan lain yang bisa memuaskan birahinya di ranjang. Dalam mimpi itu, Gono mengalami sensasi dahsyat bersetubuh dengan Yanti, membikin Yanti kejang-kejang dan hamil lagi. Kendati hanya mimpi, Gono juga bisa mengingat betapa puas rudal kepunyaannya dilayani oleh liang vagina Yanti yang sudah pasti lama tidak disinggahi.

Gono, ingin membunuh mimpinya. Khayalnya tentang Yanti membikin penasaran nan kepalang. Dilacaknya Yanti, Ia mengetahui perempuan itu sedang mandi pagi. Bagi Gono ini adalah kesempatan emas, tetapi ia harus ekstra hati-hati. Keadaan rumah kosong karena anak sulungnya belum pulang dari sejak semalam, dan anak bungsu juga belum tiba di rumah semenjak keluar dari pagi buta. Gono masih penasaran dengan Yanti yang ditatapnya semalam dan semua serba tanggung. Padahal, Gono tetaplah akan bertemu Yanti hari ini. Apalagi Ia bersama keluarganya dan juga Yanti akan pergi keluar jalan-jalan. Namun, bukan itu yang dinanti Gono. Sekarang, Suami Mirna itu tampak gelisah, menyadari Yanti belum juga selesai mandi. Ia mondar mandir ke arah ruang tamu, mengamati ayah dan istrinya yang belum juga bergegas.

"Yan! Mandimu masih lama?!", teriak Gono sambil mengetuk pintu kamar mandi.

"Iya kenapa?! Kenapa Pak?! Bu?!"

"Mandi kamu masih lama, Yan?!" Gono menggunakan suara sedikit lebih keras.

"Oh Bapak, sebentar lagi. Ada apa Pak?"

"Keluar sebentar! saya ada perlu!"

Tak memberi bantahan, Yanti yang baru saja keramas, terpaksa tak menyabuni tubuhnya dulu. Ia bela-bela menghandukki tubuh seadanya, kemudian berpakaian menggunakan piyama yang digunakan semalam. Saat membuka pintu kamar mandi, Gono tanpa ada omongan nyelonong masuk ke kamar mandi seraya menarik tangan Yanti sehingga perempuan itu juga terbawa ke dalam.

"Maaf Pak, apa-apaan ini, kok bapak ?masuk-masuk? Kalau sampai ketahuan Ibu dan Mbah, saya bisa-bisa langsung dipecat sama mereka"
"Bapak gak malu?"
"Aduhhh.."
"Saya mohon banget, bapak segera keluar"
"Tolong pak...."

Gono justru menyosorkan tubuhnya lebih dekat dengan Yanti. Bahkan Ia memeluk tanpa rasa takut sama sekali.
"Mereka gak akan bisa mecat kamu Yan..."
"Yang gaji kamu itu SA... YA..."

"Ahhh Paakk, ishhh...."
"jangan lakukan hal yang macem-macem. Karena Yanti masih berpikir positif kalau bapak orang baik", Yanti berusaha mendorong tubuh Gono agar menjauh. Ia juga hendak keluar dari kamar mandi.

"Saya mimpiin kamu semalam"
"Kalau gak karena mimpi itu, aku gak akan seperti ini,.."

"Sudahlah Pak, atau Yanti saja yang keluar dari kamar mandi..ahh"
"Bapak, gak kasian sama anak-anak yang udah pada gede-gede?"
"Sama Ibu yang tentunya jauh lebih cantik ketimbang saya ini..."

"Terserah kamulah, Yan...", Gono berangasan, tak patah arang ingin memeluk Yanti dan berbuat tidak senonoh kepada janda itu. Ia berusaha melepas satu demi satu kancing piyama Yanti, atau menyingkap bagian bawahnya.

"Haduh, Pak..."
"Yanti mohon hentikan...."

"Aku gak kuat sama tubuh milik kamu inih..."
"Hhh...."

Yanti dikepung oleh birahi majikannya. Selain itu, Ia juga penasaran apa yang membuat sang majikan jadi bernafsu kepadanya. Apakah karena momen berdua semalam, selagi Yanti mencurahkan problema yang dia derita sebagai seorang Ibu dengan satu orang anak? Selebihnya majikan perempuannya jauh lebih cantik. Bahkan bagi Yanti yang pernah melihat majikan perempuannya hanya mengenakan pakaian dalam, minder Yanti dalam hati. Lalu apakah gerangan sekarang? Apakah majikan perempuan lupa memberi jatah? sehingga majikan laki-lakinya mencoba menjadikan Yanti hanya sebagai pelampiasan birahi semata?

"Aduh, jangan!?? jangan!!"
"Iini karena ibu lama gak kasih bapak jatah ya?"
"bapak mimpi apaan sih semalem?"

"Mimpi entot memekmu, sayang..."

"Istighfar Pak... Ahh", Yanti terus mengelak, menangkis setiap tangan Gono yang bersikeras melepas kancing pakaian Yanti.

"Hayukk, Yan..."
"Ohhh....", Semakin Yanti melakukan perlawanan, semakin gencar pergerakan Gono. Gagal melepas kancing piyama Yanti, Ia meremas kedua buah dada Yanti yang diketahui tak terbungkus bra.

"Ahhhhhh!"
"Jangannn pakk!"

"Sama besar sepertinya susumu dengan susu Ibuk..."
"Bedanya, aku belum merasai punyamu"
"Hehe..."

Yanti histeris. Ia tak henti-hentinya mengaduh dan berusaha meloloskan diri. Melawan nyaris mustahil karena memohon-mohon dilepaskan tidak dikabuli. Maka, Ia berpikir cepat kiranya apa yang bisa membuatnya lolos dari kebiadaban majikan lelakinya ini. Jelasnya, Yanti tidak mau dipecat. Apalagi dipergoki melakukan hal tidak senonoh.

"Baik Pak..."
"Baik, Yanti mau melayani bapak"
"Asalkan tidak sekarang"
"Yanti berharap mau mengerti ini"

"Loh kok? Mau tetapi kenapa tidak sekarang?", Gono sempat-sempatnya mencium pipi Yanti.

"Ya coba bapak pikir..."
"Kalau kita melakukan itu di sini, ketahuan yang lain bagaimana?"
"Yanti kan juga mau sampai dipecat, Pak"

"Emm, ada benarnya juga kamu..."
"Saya juga kan mau menikmati permainanmu lebih lama"
"Tapi...", Gono meloloskan celana pendek yang dikenakan.
"Apa yang bisa kamu perbuat sekarang, Yan?"
"Tega kamu biarin punya bapak yang sudah tegang begini?"

Kendati ukuran kemaluan penis majikannya normal, Yanti cukup terkejut. Yanti sudah jarang sekali melihat burung laki-laki karena sudah hampir tidak pernah dirinya dijamahi. Yanti cukup bingung apa yang bisa dilakukannya, sementara Ia sudah cukup lega bahwa majikannya tidak jadi berniat menggagahi tubuhnya.

"Sekalian nanti aja ya Pak?"
"Yaaa?", pinta Yanti memelas.

"Gak bisa begitu"
"Kamu harus ngelakuin sesuatu"
"Udah bikin kontol saya tegang dalam mimpi"
"Terus gak mau bertanggung jawab?"

"Cuma mimpi bapak..."

"Eit jangan sepelekan itu, kamu..."
"Emm, kalau kamunya begitu, mending beneran sekarang aja saya kenthu kamu"
"Engghhhhhh...."

"Aaaaahhhhh, jangan!!"
"Iya deh, iyaa, Yanti akalin gimana caranya...", Yanti hampir ditelanjangi.

"Terus gimana sekarang?"

Yanti tak mau bikin dirinya dan majikan laki-lakinya lama di dalam kamar mandi. Sebab, sama saja, walau tak melakukan apa apa, tapi dipergoki berduaan? Dugaan yang melihat bisa salah kaprah, meski benar kalau Yanti hendak digagahi.

"Ohhhh"
"Gimana punya saya, Yan?"
"Gede gak? Heh?"
"Kamu suka?", tanya Gono sedikit tak percaya karena tangan Yanti tiba-tiba meraih batang penisnya yang sudah keras.

"Hhhh....", Yanti tidak menyahuti pertanyaan Gono. Ia mulai mengocok lembut penis majikan lelakinya. Yanti membatin seakan lupa bagaimana cara memperlakukan kemaluan jantan. Maklum, Ia terakhir kali berhubungan badan dengan sang suami lama sekali. Pun memperlakukan penis dengan cara mengocokki.

"Heeemm, enakk...."
"teruss, Yan, terussss..."

Tangan Yanti mengurut kemaluan Gono secara perlahan. Gono yang melenguh di hadapannya pula tampak berusaha mengajak Yanti berciuman. Namun, Yanti enggan melakukan itu, sekadar membiarkan Gono meremas buah dadanya.

"Aaah, haduh, jangan dikasarin gitu, Pak..."

"Kamu sih gak mau diajak ena-ena"
"..."
"Yaudahlah gini aja dulu juga gapapa"

"Iya, ngerti, tapi bapak gak juga harus remes tetek Yanti dengan cara gitu dong Pak..."

"Heh? Terus mau kamu gimana?"
"Tadi katanya gak mau? Sekarang malah mau..."
"Hehe..."

"Aaaaaaahhh jangan ishhh", Yanti terperangah, Gono tiba-tiba mencopoti kancing piyama bagian aatasnya. Yanti berusaha menjauh.

"Saya mau melihat bentuk susumu Yan"

"Kan Yanti bilang tadi, Yanti cuman mau mainin punya bapak ajah..."

Suasana dalam kamar mandi mendadak berubah saat mendengar suara Bono tak lama kemudian. Gono pun buru-buru membetulkan celananya, dan berjalan tergesa-gesa masuk ke kamarnya. Sementara Yanti kini bisa menarik nafas dalam-dalam. Ia bersyukur majikan laki-lakinya tidak jadi melakukan hal yang tidak senonoh. Setelah dirasa cukup aman, Yanti melanjutkan mandinya yang tanggung. Ia kembali menelanjangi tubuhnya dan membersihkan diri secara buru-buru. Yanti ingin keluar rumah habis mandi pagi ini seraya melupakan apa yang baru saja terjadi.

=O=​

Setelah mandi, sambil menyelesaikan sarapan, Aku sedang mengetik pesan kepada abangku, Jaka. Ia belum kunjung pulang, sedangkan Papa sudah marah-marah, melepas kekesalannya kepadaku, karena ulah abangku. Sejujurnya, aku jarang melihat Papa seamuk ini, kecuali memang ia sedang banyak pikiran lalu ditambah beban pikiran yang lain. Meledaklah isi otaknya, amuknya jadi tak keruan. Aku sedikit takut. Dulunya takutku bukan main. Lama-lama hal itu membuatku hafal karakter Papa sehingga mulai terbiasa. Sekarang Papa sedang istirahat di kamarnya. Aku yang mencari-cari Mbak Yanti karena ada perlu dibantu membelikan susu di warung dekat rumah, tak menemukan pembantuku itu. Aku terakhir melihatnya setelah berangkat lari pagi. Mungkin ia tengah belanja ke pasar. Diminta Mama belanja banyak sehingga tampak lama kepulangannya. Atau, ia mampir-mampir dulu. Ngobrol-ngobrol dengan pembantu lain sekitar komplek ini.

Belum selesai aku mengetik, kudapati kehebohan di ruang tamu.

"Mbah?! Mbah kenapa?!", aku lekas tergesa-gesa menghampiri Mama dan Mbah Minto, keduanya ditemani Ibu Sinta dan Mas Ngadimin. Kulihat wajah si Mbah sedikit pucat. Tubuhnya direbahkan di sofa ruang tamu. Kendati sadar, aku tetap mencemaskan kedaan Mbah.

"Mbahmu ini cuma kecapean aja", ucap Mas Ngadimin, kemudian memintaku untuk mengambilkan air putih.

"Sudah aku bilang kan Mirna, ayah mertuamu ini jangan diajak senam lagi, gak kuat dia...", sebelum aku menuju dapur, kudengar suara Ibu Sinta.

To be continued...
sebentaarr lagi,,,,lanjut boz
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd