BAB IV
Cinta Itu Persahabatan
Ada yang bilang cinta itu berawal dari persahabatan mungkin itulah yang pantas dan cocok bagi diri Nayla dan Ridwan saat ini. Keduanya tak pernah menganggap cinta, tapi kedekatan mereka bisa dianggap seperti itu. Namun mereka adalah sahabat. Semenjak peristiwa di perkemahan itu, mereka berdua makin akrab. Bahkan sampai bercanda juga melebihi bercandanya seorang teman biasa. Di saat yang bersamaan Ridwan sudah tak lagi membahas tentang masalah Ike. Baginya Ike sudah lewat. Diibaratkan bahwa Ike bagaikan fatamorgana, sedangkan Nayla adalah nyata. Bukan pelangi, melainkan sebuah matahari yang menyinari semuanya.
Namun hari-hari seperti biasa masih berlanjut, sekalipun Ridwan mulai dekat dengan Nayla. Seperti hari di mana buku tulis Ridwan digilir oleh Danang dan anggota gengnya. Dan seperti biasa pula pagi itu Ridwan sudah mempersiapkan sebungkus sarapan nasi pecel seperti yang Danang inginkan tiap hari. Setelah buku tulis Ridwan digilir oleh teman-temannya Danang pun menghampirinya.
Rid! Sebentar lagi kan akan ada kejuaraan antar kelas, kata Danang.
Trus?
Aku ingin kamu sedikit dukung kami biar kelas kita menang, toh kamu anggota OSIS kan? Pasti juga jadi panitia, kata Danang.
Wah, aku nggak bisa, kata Ridwan.
Apa? Coba bilang lagi, kata Danang.
Aku nggak bisa. Soalnya itukan-- belum sempat Ridwan meneruskan omongannya perutnya sudah ditinju.
Kalau kamu bilang nggak bisa, awas! Aku bisa lakuin lebih daripada ini, kata Danang.
Ridwan memegangi perutnya. Lalu kepalanya ditempeleng oleh Danang, kemudian yang lainnya pun mengikutinya. Beberapa saat lamanya Ridwan menundukkan kepalanya ke meja. Ia sudah biasa menahan rasa sakit seperti ini. Ibunya pun sudah biasa mendapati dirinya bonyok setiap pulang dari sekolah. Tapi berbuat curang untuk mereka itu hal yang lain. Memang benar sebentar lagi akan ada kejuaraan antar kelas. Seperti basket ataupun sepak bola. Dan biasanya pengurus OSIS yang akan menjadi wasitnya. Dan di sini pengurus OSIS diharapkan untuk netral. Bukan diharapkan sih tapi diwajibkan. Lagi-lagi Ridwan gentar. Tapi untuk yang satu ini ia ingin sekali melawan. Ia tahu konsekuensi kalau sampai ketahuan berbuat curang. Namanya akan jelek di mata orang-orang. Bahkan mungkin dia bisa dipecat dari anggota OSIS.
Ketika jam istirahat. Ridwan menuju ke masjid. Tampak ada Fuad yang sedang berbicara dengan beberapa teman-teman SKI-nya. Ridwan kemudian ke tempat wudhu dan mengambil wudhu. Setelah itu ia melakukan shalat dua raka'at. Setelah itu dia tambah lagi dua raka'at. Dan dia total shalat sampai dua puluh raka'at sampai jam istirahat selesai. Fuad agak heran karena di akhir shalat Ridwan tampak berdo'a sambil menangis. Entah apa yang diinginkan oleh Ridwan.
Ketika jam pelajaran berakhir dan semua murid-murid pulang. Ridwan mampir ke masjid. Fuad ada di sana.
Belum pulang? tanya Ridwan.
Ngurus kegiatan buat besok Sabtu, jawab Fuad.
Oh iya, ada MABIT, kata Ridwan. Aku kepengen ikut kalau kamu tidak keberatan.
Lho, siapa yang nolak? Kami malah seneng, kata Fuad.
Bukannya itu acara untuk kelas satu saja? tanya Ridwan.
Iya, memang. Tapi ini lebih ke anggota baru, kata Fuad. Ada masalah apa kalau boleh aku tahu?
Ah nggak ada apa-apa koq, kata Ridwan.
Rid, kita udah temenan lama di SMP. Aku tahu orang yang kena masalah dan tidak. Coba ceritakan siapa tahu aku bisa membantu, kata Fuad.
Ridwan tersenyum, Aku tahu kamu baik orangnya, hanya saja masalah ini aku ingin diriku sendiri yang menyelesaikannya. Tenang aja bukan masalah cinta koq.
Oh, baiklah, kata Fuad.
Ngomong-ngomong, acara besok itu ngapain aja?
Ada pengajian, tilawah, kemudian shalat malam. Intinya sih kebanyakan materi-materi agama seperti tauhid, fiqih dan lain-lain.
Ridwan melirik ke ruang ta'mir masjid. Di sana tampak beberapa anggota SKI lainnya. Mereka entah sedang membicarakan apa.
Oh ya, kalau kau tak keberatan, kita ada kelompok nasyid. Kau bisa nyanyi? tanya Fuad.
Kau tahu sendiri suaraku pas-pasan, ngebas dan fals, ujar Ridwan sambil tertawa.
Justru itu kami butuh suara yang ngebas. Ikut yuk, group nasyid SMA kita. Bulan depan ada lomba lho.
Ridwan menggaruk-garuk rambut kepalanya. Aduh gimana ya, aku nggak pernah melakukannya.
Tenang aja, kita latihan bersama koq. Belum bisa juga nggak masalah. Kalau kita menang kan lumayan. Ada tropi, piala dan uang lho, kata Fuad. Luqman! Ari! Wahyu! Sini!
Dari ruang ta'mir muncul tiga orang. Luqman adalah orang yang paling pendek. Ari adalah orang yang kurus dan tinggi, wahyu orangnya normal. Mereka bertiga beringsut mendekati Fuad.
Nah, kami berempat ini group nasyidnya, ujar Fuad.
Kamu ikutan juga Yu? tanya Ridwan ke Wahyu.
Iya dong, kata Wahyu.
Kurang satu orang dan kalau nggak keberatan kamu ikut saja, kata Fuad.
Yaah...baiklah, aku ikut, kata Ridwan.
Nah, pas kan? Bagus deh kalau begitu, kata Fuad.
Sejak saat itu Ridwan pun resmi menjadi anggota nasyid remaja masjid sekolahnya. Ridwan berusaha membiasakan dirinya dengan lagu-lagu nasyid, bahkan Fuad membantunya untuk mengcopy file-file lagu-lagu nasyid. Ridwan sebenarnya tak pernah mengetahui tentang nasyid, bagaimana bentuknya dan apa saja lagu-lagu mereka. Dari situ Ridwan tahu, kekuatan nasyid bukan kepada musiknya, bahkan ia dan Fuad memilih nasyid-nasyid yang musiknya tak ada, tapi sya'ir-sya'irnya adalah kekuatan utama dari sebuah nasyid.
***
Nayla belajar sambil mendengarkan musik dari ponsel melalui earphone-nya. Dia mengangguk-anggukan kepalanya sendiri ketika menulis di bukunya. Kamarnya penuh dengan poster-poster band-band terkenal. Meja belajarnya berwarna putih. Di atasnya terdapat rak buku yang berisi banyak macam-macam buku pelajaran. Di bawah meja belajarnya juga ada rak, namun berisi buku-buku novel dan komik. Setelah dia selesai mengerjakan PR-nya dia lalu berbaring sejenak di ranjang. Ia melepaskan earphone-nya dan bergumam sendiri hingga tiba-tiba ia bangkit kemudian mengambil gitarnya yang ada di sudut kamar. Lalu ia mulai memetik gitar, bernyanyi dan memadukan melodi. Ia buru-buru mengambil kertas dan mencatatnya. Kemudian lagi dia memetik gitarnya, memadukan melodi-melodi dan bergumam sendiri.
Pintu kamarnya diketuk.
Masuk! kata Nayla.
Kakaknya masuk ke kamar, Lagi sibuk?
Biasalah kak, sedang menuangkan ide, ujar Nayla. Ada apa?
Pengen masuk aja, kata Rita.
Kalau kepengen curhat, bilang aja. Nggak usah malu-malu. Pasti tentang cinta lagi, goda Nayla.
Rita lalu menutup pintu dan langsung menoyor kepala adiknya. Nayla ketawa.
Dasar!
Bener kan? Hihihi, Nayla cekikikan.
Rita menghela nafas.
Cerita deh, cerita! Kakakku ini emang begini kalau galau, kata Nayla. Adikmu ini siap mendengarkannya.
Ini cerita tentang yang kemarin itu sahabatku, Dani. Dia nembak aku, kata Rita. Tapi akunya masih belum menjawab.
Wah, bagus dong. Mas Dani kan orangnya baik, kata Nayla.
Masalahnya, ada orang yang nembak aku juga, namanya Riko. Bingung milih yang mana, kata Rita. Kalau Dani kan memang sudah jadi sahabatku sejak lama. Sejak kita sama-sama di putih abu-abu, sedangkan Riko dia ini baru aku kenal ketika kuliah. Masih satu angkatan sih. Tapi aku juga mulai dekat dengan Riko karena sering belajar bareng.
Kira-kira menurut kakak di antara keduanya yang paling baik yang mana? tanya Nayla. Aku belum tahu soal cinta-cintaan kak, masih kecil. Hehehe.
Bingung juga sih, keduanya sama-sama baik. Tapi kalau soal yang lebih tahu tentang sifat-sifatnya hanya Dani. Aku kenal baik dengan dia. Gebetannya siapa saja aku tahu, dia galau aku juga tahu, ukuran sepatunya aku tahu, bahkan dia punya kebiasaan ngorok pun aku tahu. Kami sudah kenal lama, sudah kenal kelebihan dan kekurangan masing-masing. Bahkan ia orang yang paling baik yang pernah aku kenal. Dia selalu menolongku, bahkan ketika aku putus sama Si Bimo dulu, dia yang menghiburku. Kami saling tahu satu sama lain. Hanya saja Riko juga baik, kalau aku misalnya milih Riko pasti hubunganku ama Dani bisa renggang. Tapi kalau aku milih Dani, takutnya Riko malah jaga jarak ama aku, duh bingung.
Kak, tahu laguku tentang sahabat dong?
Iya, kenapa?
Sya'irnya gini nih, 'Sahabatku...aku tak tahu ini cinta ataukah persahabatan. Namun ketika ku jauh darimu, aku pun mulai sadar kubutuh dirimu, hanya engkau yang mengerti aku, duhai sahabatku. Cinta ini adalah persahabatan'. Gitu kak.
Rita tersenyum. Ia diam sejenak. Adiknya kemudian kembali memainkan gitarnya. Melantunkan melodi-melodi dan sya'ir.
Sepertinya aku akan pilih Dani, kata Rita.
Nayla menghentikan permainan gitarnya. Yakin?
Menurutku kehilangan seorang teman aku bisa mencari teman yang lainnya. Tapi kan itu tidak semua teman, orang yang tidak punya teman tentu tak akan mengenal apa artinya cinta dan persahabatan. Tapi kalau aku kehilangan Dani, aku bisa kehilangan banyak hal. Banyak memory yang sudah aku buat bersama dia. Kami sahabat sejak dulu dan aku tak mau menghancurkan persahabatan ini. Bahkan mungkin kalau dia mau nembak aku pun, aku sepertinya lebih mantab untuk menerimanya. Makasih ya dek, lagumu menginspirasi banget, kata Rita sambil mencium kepala adiknya.
Sama-sama kak, semoga langgeng sampai ke pelaminan, kata Nayla.
Sepertinya Dani bakal melamar kakak deh kalau sampai aku menerimanya, kata Rita.
Heh? Yang bener? tanya Nayla terkejut.
Beneran, ia sendiri bilang begini, 'Kalau kau menerimaku, tak usah pacaran kita langsung kawin saja. Toh kita sudah kenal satu sama lain sudah lama. Secepatnya aku akan melamarmu!' begitu, kata Rita.
Cieeeh...selamat ya kalau begitu. Dari sahabat akhirnya jadi manten, kata Nayla.
Rita pun keluar kamar. Tak berapa lama kemudian ponsel Nayla berbunyi. Dari nomor tak dikenal. Dia lalu mengangkatnya.
Halo, dengan keluarga Kusmoharjo di sini, kata Nayla.
Nay? Ini aku Ridwan, kata Ridwan.
Oh, Mas Ridwan? Iya mas. Ada apa?
Nggak, cuma kepengen nelpon aja. Aku tanya sana-sini buat tahu nomor telponmu, kata Ridwan. Lagi sibuk?
Oh nggak juga koq, sedang cari inspirasi buat lagu baru, jawab Nayla.
Wah hebat ya, selalu mencari ide. Aku nggak punya bakat musik sama sekali, tapi boleh aku minta tolong? tanya Ridwan.
Minta tolong apaan?
Begini, akukan ikut group nasyid sekolah. Hanya saja suaraku fals dan aku tak pernah latihan vokal. Kamu kan musisi pasti ada cara-cara tertentu untuk bisa melatih suara agar bisa merdu gitu.
Oh, begitu ceritanya. Ada sih, bisa bisa.
Nah, kau bisa bantu aku?
Bisa, tapi kapan?
Habis pulang sekolah gitu?
Nayla berpikir sejenak. Nggak masalah, OK.
Trims ya Nay, bantuanmu sangat berarti banget!
Jangan dipikirkan Mas, santai saja kita kan temen. Kalau bukan temen nggak bakal mau aku.
Sebenarnya aku sangat senang punya teman seorang musisi sepertimu. Rasanya gimana sih manggung gitu? Pasti ada rasa grogi atau gimana.
Ada dong, tapi kalau sudah terbiasa nggak koq. Emang mau ada lomba?
Iya, lomba nasyid bulan depan.
Wah, semoga menang Mas.
Lho, makanya itu tolong latih aku-lah. Aku kan nggak tahu menahu soal vokal. Mumpung ada yang ahli.
Aku nggak begitu ahli Mas, biasa saja.
Ah, merendah. Semua orang juga tahu kamu itu vokalis
The Girls. Aku suka lho ama lagu-lagumu.
Makasih.
Besok Sabtu ada MABIT, kamu ikutan?
Hmm...Sabtu yah? Wah, sepertinya nggak bisa. Sabtu aku ada latihan, tapi coba aja deh.
Kamu ikut ekskul apa sih sebenarnya?
Oh, ikut ekskul musik.
Hmm...ya ya, sesuai dengan bidangnya.
Mereka berdua terdiam sejenak selama beberapa detik.Tak tahu apa yang akan mereka bicarakan lagi. Saat-saat inilah yang paling aneh menurut Ridwan. Kenapa juga tiba-tiba ia berhenti bicara.
Oke deh, sepertinya tak ada lagi yang perlu dibicarakan, kata Ridwan. Makasih Nay, sampai besok.
Iya, mas. Sama-sama.
Assalaamu'alaykum
Wa'alaykum salam
Nayla melempar ponselnya ke ranjang. Dia lalu merebahkan diri dan meletakkan gitarnya ke tepi ranjang. Menurutnya Ridwan ini sedikit unik. Tapi baik, ketemu tak sengaja. Dan kalau tidak ada dia, mungkin acara manggungnya berantakan. Group Band
The Girls dikenali dengan mata biru dari para personelnya, yang itu semua pake lensa kontak.
Esok pun menjelang. Nayla hari itu naik sepeda. Nayla agak kesiangan hari itu. Entah kenapa tidurnya pulas sekali. Dan ia pun mendapati seperti biasanya Ridwan duduk di teras masjid.
Hai Nay, nanti ya jangan lupa, kata Ridwan.
OK, beres deh! katanya.
Nayla bersiul-siul menuju ke tempat parkir dan memarkir sepedanya. Dia pun kemudian menuju ke sekolahnya. Ia bersenandung lagu baru ciptaannya yang tadi malam baru saja ia ciptakan. Dia membetulkan kacamata minusnya ketika melihat pengumuman di Mading. Surat cinta?? Siapa orang iseng yang menempelkan surat cinta di Mading? Dan ketika melihat tandan tangannya adalah Ridwan. Nayla pun ngakak. Itu adalah surat cinta dari Ridwan untuk Ike beberapa waktu lalu yang membuat Ridwan malu. Entah kenapa surat itu masih menempel saja di Mading sampai sekarang.
Ya ampun, Mas Ridwan, katanya. Ia pun berlalu dari Mading masih tertawa cekikikan.
Setelah mengikuti pelajaran pada hari itu ketika jam pulang Nayla menemui Ridwan di sanggar pramuka, karena Ridwan saat itu sedang ada di sana. Melihat wajah Nayla, Ridwan serasa senang.
Masuk saja Nay! pinta Ridwan.
Di sanggar pramuka itu ada beberapa orang yang sepertinya sedang iseng saja di sana. Ridwan pun mempersilakannya duduk lesehan di salah satu sudut sanggar.
Wah, gila. Aku baru kali ini masuk di sini, kata Nayla. Dia melihat piala-piala berjejer di dalam sebuah lemari kaca. Beberapa peralatan kepramukaan seperti
tongkat, bendera dan tali tampak tersusun dengan rapi di sanggar tersebut. Keren ya. Banyak pialanya.
Iya dong, kata Ridwan.
Mereka lalu diam sejenak. Ridwan agak canggung. Nayla cuma menatapnya saja. Ridwan lalu mengerutkan dahi.
Mulai dari mana? tanya Ridwan.
Langsung mulai? tanya Nayla.
"Iya dong, aku harus gimana? tanya Ridwan.
Oke, begini. Coba kamu bersuara do re mi fa so la si do! perintah Nayla.
Ridwan pun melakukannya. Seketika itu pula Nayla geleng-geleng sambil nyengir.
Suaramu fals banget ya. Coba gini deh, kamu akan lembut sedikit, pake suara perut, ujar Nayla.
Ridwan pun mengulanginya. Ridwan pun akhirnya enjoy dengan pelajaran vokal yang diberikan oleh Nayla. Tak terasa mereka pun telah belajar cukup lama. Ridwan dan Nayla pun berjalan pulang bersama sambil menuntun sepeda.
Terima kasih ya hari ini, aku jadi sedikit faham, kata Ridwan.
Mas Ridwan itu suaranya secara lahir fals banget. Mendingan mas sering minum air putih, jangan minum es atau makan gorengan dulu. Biar suaranya bagus, kata Nayla.
Emang pengaruh ya?
Iya dong.
Baiklah, aku akan coba tiap hari banyak minum air putih.
Eh iya, mas di Mading aku baca surat cinta, kata Nayla sambil ketawa. Itu beneran?
Wah, itu kerjaan temen-temen itu. Emang belum diturunin? Bikin malu aja, kata Ridwan.
Siapa itu Ike?
Temen sekelas, tapi ah udahlah nggak usah dipikirkan.
Kenapa? Ditolak?
Ridwan mengangguk.
Hihihi, kasihan Mas Ridwan. Yah, semoga ada ganti yang lebih baik nantinya. Tenang aja, kata Nayla sambil menepuk-nepuk pundak Ridwan.
Kau pulang ke arah mana?
Aku ke arah selatan. Masnya?
Ke utara. Jadi kita di sini berpisah.
Iya. Sampai besok.
Sampai besok.
***
Ridwan hari itu kelupaan bawa dompet. Dia memukul-mukul kepalanya sendiri. Koq bisa kelupaan sih. Dan dia sudah ada di sekolah. Biasanya dompet itu memang ia taruh di ranselnya. Ia kelupaan setelah tadi malam bersama Erik dan kawan-kawannya berada di kafe. Dia pasti akan dihajar oleh Danang hari ini. Sebab setiap pagi hari dia harus menyiapkan sarapan buat Danang. Kalau tidak ia pasti kena bogem mentahnya.
Dan dia pun dihadang oleh Danang sebelum masuk ke kelas.
Beliin sarapan yah, seperti biasa, kata Danang.
A...aku nggak bawa uang, kata Ridwan.
Apa kau bilang barusan? tanya Danang.
Aku nggak bawa dompet, kata Ridwan.
Peduli amat, kau sediain atau tidak? Mau nyuri kek, mau ngapain kek aku nggak mau tahu. Beliin aku sarapan atau aku hajar kamu! kata Danang.
Aku benar-benar nggak bawa uang, kata Ridwan.
Sebuah bogem mentah dipukul ke perutnya. Ridwan langsung tersungkur. Danang memberi aba-aba kepada beberapa teman-temannya untuk menyeret Ridwan ke tempat parkir. Tempat parkir itu memang berada di belakang sehingga tak akan kelihatan oleh guru-guru. Tempat parkir ini tak begitu lebar hanya selebar dua meter. Sepeda-sepeda saja yang bisa masuk ke sana, itu pun tak bisa dilalui oleh dua orang. Karena sepeda hanya bisa berjajar dan satu jalan searah saja yang bisa dibuat berjalan. Di tempat parkir ini Ridwan ditendang perutnya sekali lagi. Dia mengaduh.
Kamu tahu aku nggak suka kalau kau bilang 'aku nggak bawa uang' emang itu urusanku? Danang lalu mengambil sebuah sepeda. Ia lalu menarik jeruji sepeda yang ada di rodanya. Kekuatannya cukup untuk menariknya hingga jeruji itu putus.
Tahu nggak rasanya orang lapar itu seperti apa? Perutnya melilit. Pegangi dia! perintah Danang kepada teman-temannya.
Mau apa kalian? tanya Ridwan.
Ini hukumanmu! kata Danang. Ia menyabetkan jeruji itu ke perutnya.
AAAARGGHH! jerit Ridwan. Rasanya panas sekali. Dan Danang melakukannya berkali-kali hingga kulit perut Ridwan melepuh.
Rasanya melilit bukan? Kalau kau menolak lagi dengan berbagai alasan, kau bakal rasakan ini lagi! Danang lalu memberi aba-aba agar melepaskan Ridwan.
Pemuda yang sering dibully ini pun berbaring di atas lantai tempat parkiran. Dia tak bisa bangun, perutnya sangat panas seperti terbakar. Darah pun membasahi baju putihnya. Ia pun berguling dan mencoba meraih pegangan. Ia berusaha untuk berdiri.
Hari itu Ridwan tak ingin masuk kelas dengan kondisi seperti itu. Dengan bersusah payah dia pergi ke ruang UKS. Petugas UKS yang saat itu sedang piket terkejut melihatnya. Mereka pun segera menolong Ridwan.
Rid, ini parah lho Rid! kata Nanang, salah satu temannya yang ikut PMR.
Nggak apa-apa. Obati saja seadanya. Aku tak mau ketinggalan pelajaran, ayo! Kasih antiseptic atau apa kek gitu, ujar Ridwan.
Ambilin Rivanol! kata Nanang kepada temannya.
Butuh waktu satu jam lamanya hingga Ridwan bisa tenang setelah menahan rasa sakit diberi obat antiseptic. Lukanya benar-benar parah. Ridwan bahkan sempat pingsan selama setengah jam karena tak kuat menahan sakitnya. Setelah Ridwan siuman dia pun memaksa Nanang untuk memerban lukanya agar darahnya tak merembes ke baju seragamnya.
Tapi Rid, Nanang khawatir. Kau harus ke rumah sakit. Parah ini.
Persetan! Cepat, lakukan! Ridwan membuka baju seragamnya. Aku pinjam seragamnya, kumohon!
Nanang menghela nafas. Teman-temannya pun berpandangan. Akhirnya mau menuruti kata-kata Ridwan.
Mereka sudah keterlaluan Rid, kenapa kau tak melawan? tanya Nanang.
Aku tak punya kekuatan melawannya, jawab Ridwan.
Tapi kau harus melawan balik, tak mungkin kau setiap hari menerima perlakuan mereka sampai seperti ini, kata Nanang.
Tapi mereka teman-teman sekelasku sendiri. Bahkan semua teman-teman sekelasku kompak tak ada yang membela aku. Terus? Apa yang harus aku lakukan? tanya Ridwan. Katakan!?
Nanang tak bisa membantahnya.
Setelah perban selesai dibalutkan ke perut Ridwan, dia pun berdiri. Masih terasa perih. Tapi Ridwan berusaha menahannya. Nanang pun meminjamkan baju seragamnya untuk dipakai oleh Ridwan. Sementara Nanang memakai baju PMR.
Terima kasih ya, kata Ridwan. Dengan langkah gontai dia pun berjalan menuju kelasnya. Ia memegangi perutnya. Rasa perihnya belum hilang.
Ketika dia sudah sampai di pintu kelasnya, semua teman-teman sekelas melihatnya. Saat itu ternyata sedang pelajaran Agama, Pak Nur yang mengajar. Melihat Ridwan memegangi perutnya, dia pun berpikir Ridwan baru saja sakit perut.
Masuk! kata Pak Nur.
Ridwan duduk di bangkunya.
Rid, kalau misalnya nggak kuat mengikuti pelajaran ke ruang UKS saja, ujar Pak Nur.
Nggak apa-apa koq pak, kata Ridwan. Lagian, ini pelajaran yang saya sukai. Saya tak mau ketinggalan.
Pak Nur tersenyum. Baiklah, terserah. Tapi kalau memang tidak kuat, bapak ijinkan kamu tidak ikut.
Kuat pak, kata Ridwan.
Di bangku belakang tampak Danang dibisiki teman-temannya, Kau nggak keterlaluan itu? Sampai seperti itu.
Biarin, dia akan mendapatkan pelajaran dari kejadian ini, kata Danang.
***
Pulang sekolah, Ridwan kepalanya ditempeleng oleh Danang.
Ingat, besok seperti tadi awas akibatnya! ancam Danang.
Ridwan tak mempedulikannya. Rasa sakitnya mengalahkan segalanya. Danang pun pergi dari kelas. Saat itu Ridwan teringat dengan janji Nayla yang mengajarinya vokal. Dia lalu mengambil ranselnya dan berjalan terhuyung-huyung. Saat sampai di sanggar pramuka, dia melihat Nayla.
Hai mas, kenapa? tanya Nayla.
Ridwan memegangi perutnya. Saat itu Nanang yang kebetulan sangar pramuka dekat dengan ruang UKS melihat Ridwan. Nanang langsung menolong Ridwan.
Rid, kau harus istirahat. Besok jangan masuk sekolah. Kau harus istirahat di rumah, kata Nanang.
Lho, kenapa Mas? tanya Nayla khawatir.
Nggak apa-apa koq. Cuma sakit perut, kata Ridwan. Hari ini maaf ya, kayaknya nggak bisa latihan hari ini.
Oh, nggak apa-apa. Kalau memang sakit, kata Nayla.
Ya udah, aku pulang dulu, kata Ridwan.
Dengan kondisi seperti itu, Ridwan masih mengayuh sepedanya untuk pulang. Ketika sampai di rumah, melihat kondisi Ridwan terluka seperti itu segera saja sore itu Ridwan dibawa ke dokter. Ridwan tetap diam membisu ketika ditanya kena apa. Dia hanya menjawab jatuh di tempat parkir. Namun ibunya tak pernah percaya, karena hampir setiap saat anaknya pasti pulang dengan babak belur. Di sinilah awal mula ibunya mencium sesuatu yang aneh terhadap anaknya.
***