Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

AKU GURU BERHIJAB TAPI BINAL (pindahan)

Bagian 4 AWAL PERSELINGKUHAN

Aku terbangun sekitar pukul tiga sore, karena kedinginan. Kubuka mataku, menemukan ketelanjanganku. Sebuah lengan lelaki memalangi tubuhku pas di bawah dadaku. Walau aku tahu siapa pemiliknya, tetap aku menoleh ke kiri melihat wajahnya. Pak Joko... tentu saja. Siapa lagi...
Permainan gairah kami tadi rupanya terlalu menguras tenaga, sehingga kami berdua terlelap setelahnya. Ku perhatikan wajah Pak Joko, seperti baru mengenalnya. Tidak ganteng. Jauh dibandingkan suamiku. Aku menghela nafas panjang. Menerawang melintasi waktu. Batinku berkata, “Dan terjadi lagi....”

AWAL DARI SEGALANYA (enam tahun sebelumnya)

Pagi itu aku berangkat kuliah dalam keadaan galau. Pikiranku melayang kesana kemari, gak karuan. Tidak satupun perkuliahan yang masuk ke dalam memoriku. Kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut para dosen, hanya numpang lewat saja. Masuk kuping kiri keluar kuping kanan.

Aku sedang galau berat. Semalam aku bertengkar dengan suami. Pertengkaran pertama dalam umur pernikahan kami yang belum berumur 2 tahun. Suamiku mengaku habis bertemu teman SMPnya, Endang namanya, perempuan.

Suamiku pernah bercerita, bahwa dalam kenakalannya ketika kelas dua SMP, dia dan teman-temannya yang cowok suka menyelundupkan novel panas ‘Nick Carter’ ke kelas. Dan membacanya. Biasanya anak cewek gak peduli hal seperti itu. Kecuali Endang. Dia suka membaca cerita Nick Carter. Dan suka membacanya berdua. Endang menyukai scene-scene erotisnya.

Jadi aku tak percaya ketika suami cerita mereka hanya makan malam di rumah Endang yang ketika itu sepi. Bagaimana mungkin berdua dengan cewek binal itu di sebuah rumah sepi, dan gak ngapa-ngapain. Mungkin saja mereka saling bercumbu. Atau malah sampai berhubungan sex. Mengingat itu aku jadi marah.

Lalu begitu saja melintas dipikiranku, bagaimana rasanya ngesex dengan orang lain. Aku belum pernah berhubungan sex dengan laki-laki lain. Aku masih perawan ketika malam pertama dengan suamiku. Pengalamanku terkait sex minim sekali.

Aku hanya dua kali pacaran sebelum berhubungan dengan suamiku. Ketika SMA aku sempat pacaran dengan Rahman teman sekolah ketika di kelas 1 SMA. Rahman adalah teman sekelas dan teman pengajian. Saat itu aku baru mulai berhijab dan aktif mengikuti majelis taklim.

Tentu saja pacaran kami jauh dari aktivitas sexual. Palin jauh hanyalah saling bergenggaman tangan. Itu pun kami sudah merasa bersalah karena bersentuhan kulit dengan berlainan jenis. Itu hal yang aku percayai haram. Aktivitas lain paling sekedar boncengan motor. Selebihnya hanya sekedar ngobrol-ngobrol saja.

Sebelum SMA, aku punya teman sepermainan sejak kecil. Tetanggaku, Kirman namanya. Aku memanggilnya Kak Kirman. Dia lebih tua 3 tahun dariku. Memasuki masa remaja, orang-orang di sekitar kami meledek kami pacaran. Kami sendiri tidak keberatan. Karena kami memang saling menyukai. Mungkin itu yang disebut sebagai cinta monyet.

Aku sendiri sangat akrab dengan keluarganya. Kak Kirman 3 bersaudara dia anak kedua, Kakaknya cowok seorang polisi, tinggal di Bekasi. Pacaranku dengan dengan Kak Kirman justru lebih jauh dibandingkan dengan Rahman. Wajar karena sebelum SMA, aku masih remaja yang bebas. Belum hijrah. Rokku sering kali masih cukup pendek. Di atas lutut. Kak Kirman senang meraba-raba lututku. Mungkin agak naik sedikit ke ujung paha tidak jauh dari lutut. Kami beberapa kali berciuman. Beberapa kali tangan Kak Kirman meremas dadaku dari luar pakaianku. Aku selalu menepis tangannya dari dadaku.

Aku jadi memikirkan Kak Kirman dan betapa lamanya aku tidak menjumpainya. Semenjak SMA aku pindah menempati rumah Ayahku yang berlokasi lebih dekat ke sekolah. Tinggal bersama Kakak dan adikku. Sesekali aku bertemu dengannya, pada saat aku main ke rumah orang tua. Tapi hanya sekedar saling melontarkan basa basi.

Aku juga jadi teringat cumbuannya ketika remaja dulu. Ingatan itu menimbulkan sedikit geli di antara kedua pahaku. Bagaimana Kak Kirman sekarang? Pikirku. Apa dia sudah pacar? Ngapain aja sekarang dia kalau pacaran? Aku jadi malu ketika membayangkan seandainya Kak Kirman masih pacaran denganku sekarang ini. Apakah kami akan bercumbu seperti dulu. Masihkah dia tertarik padaku? Ah Mana mungkin. Aku sekarang sudah bersuami. Tentu juga dia sudah pacaran dengan cewek lain.

Tapi bisa saja Kak Kirman masih tertarik padaku. Aku masih cantik. Bodyku masih seperti gadis, walaupun sudah memiliki satu putri. Sepertinya gak ada yang berubah. Aku jadi penasaran Bagaimana aku bisa tahu kalau aku masih semenarik dulu? Pikirku. Cowok manapun pasti tidak berani mendekatiku ketika tau aku sudah bersuami. Tentu mereka takut dituduh melecehkanku.

Bagaimana kalau aku goda Kak Kirman. Aku akan jadi bisa tau apakah aku masih bisa menggoda birahinya seperti dulu. Aku merasa jadi bergairah memikirkan itu. Kenapa gak ya? Toh cuma sekedar menggoda, apa salahnya? Lantas bagaimana mengukurnya bahwa aku bisa menggodanya? Kalau dia sampai tak tahan untuk memelukku atau menciumku. Itu tanda aku masih menggairahkan.

Aku jadi makin bergairah memikirkannya. Bagaimana kalau Kak Kirman meminta yang lebih jauh? Berhubungan badan misal? Bagaimana kalau KakKirman malah menelanjangiku? Bagaimana kalau dia ingin melakukan hal yang biasa suamiku lakukan.. Aaahhh... Aku merasa lembab di balik celana dalamku.

Jam 11.00 perkuliahanku habis hari itu. Aku memutuskan main ke rumah ortuku. Mungkin aku akan mampir dulu ke rumah Kak Kirman. Silatturahmi ke Bu Wondo, Ibunya. Atau Menggoda Kak Kirman mungkin? Ahh mampir ajalah, putusku. Selanjutnya bagaimana nanti aja.

Aku melangkah memasuki halaman rumahnya. Seperti juga gang menuju rumah orang tuaku yang lebih senggang dari biasanya, rumah Kak Kirman terasa sangat sunyi. Sampai di halaman rumahnya aku ragu, apakah akan meneruskan niatku atau langsung saja pulang ke rumah orang tuaku. Sebenarnya aku sama sekali tidak ada dorongan birahi untuk bercumbu dengan Kak Kirman. Hanya dorongan tantangan untuk bertualang mencoba membuktikan bahwa aku masih mampu menggoda laki-laki.

Aku tidak akan berbuat terlalu jauh, janjiku pada diri sendiri. Aku hanya ingin melampiaskan kekesalanku terhadap suami dengan melampiaskannya ke lelaki lain. Itu saja. Aku tidak ingin merusak rumah tanggaku. Pikiranku bergumul dengan kebimbanganku.

Aku toh tidak akan melakukan lebih jauh dari sekedar menggodanya, dengan pelukan dan rabaan. Aku akan menghentikannya kalau dia mau berbuat jauh. Lagipula belum tentu itu akan terjadi. Bisa jadi Bu Wondo dan adiknya, Hani, ada di rumah. Atau malah Kak Kirmannya gak ada di rumah. Jadi ini akan sekedar silatturahmi. Dengan pikiran seperti itu aku aku menguatkan hati untuk meraih tombol bel di pintu.

Bell pintu berbunyi, saat kupencet tombol. Mudah-mudahan tidak ada orang di rumah itu, jadi aku bisa langsung ke rumah orang tuaku. Maka akan selesai konflik batinku.
Tapi aku kurang beruntung, Kak Kirman terlihat keluar dari kamar menuju pintu. Kurang beruntung? Bukannya malah kamu merasa senang toh? Suara batinku mengejek. Dia membukakan pintu dan aku menjadi grogi di hadapannya. Dia mengenakan kaos t-shirt dan celana pendek model kolor. Mengetahui apa yang mungkin akan terjadi membuatku merasa seolah-olah dia juga mengetahuinya.

“Assalamu’alaikum,” aku memberi salam dengan suara sepelan mungkin.

"Wa’alaikum salam, masuk," Suara Kak Kirman tampak sedikit melengking karena gugup. Dia memberi isyarat kearah sofa saat aku melewatinya masuk ke dalam rumah. Dia menutup pintu dengan cepat, aku merasa sedikit takut bahwa ada tetangga mungkin melihat aku memasuki rumah dan menebak apa yang akan terjadi.

“Sepi. Pada kemana? Hani? Ibu?” tanyaku basa basi. Aku duduk di sofa.

“Biasalah. Tiap hari juga sepi sekarang. Kan sekarang tinggal berempat di rumah ini. Ibu di toko, Hani lagi ikut Ospek di kampus pulangnya malam ,” jawabnya. Hani adalah adiknya, setahun di bawahku. Waduh, berarti cuma aku berdua dia di rumah ini. Sebaiknya aku pulang saja, pikirku. Tapi ini kan kesempatan yang kebetulan untuk sekedar iseng.

“Minum apa?” tanyanya bergerak ke kulkas.

“Gak usah. Cuma sebentar kok,” jawabku, tapi dia sudah kembali membawa sebotol air dingin dan gelas kosong. Aku semakin bimbang, antara pikiran untuk pulang cari aman. Atau mencoba sedikit merasakan petualangan.

"Wah, tumben Na mampir. Tambah cantik aja. Tambah seksi!" Suara Kak Kirman lembut dan entah bagaimana menenangkan. Aku merasa wajahku memerah karena pujian itu. Aku merasa seperti remaja lagi ketika dia bergerak maju dan menggerakkan tangannya untuk meraih pundakku, menariknya mendekat untuk dicium. Aku langsung menghindar dengan berdiri. Terbukti sudah, aku masih menarik. Tentu aku bisa pulang. Tunggu dulu, belum tentu, sergah pikiranku. Lagipula apa salahnya sekedar minum saja.

“Aku pulang aja,” tiba-tiba kuputuskan untuk menghindari resiko.


Kak Kirman ikut berdiri dan langsung memelukku. Kali ini agak lebih erat dan bertenaga. Mungkin dia tidak ingin aku bisa melepaskan diri dengan mudah. Tiba-tiba dia menciumku. Aku yang tidak siap dan tidak bisa mengelak. Awalnya aku diam saja kaget, tapi akhirnya aku meresponsnya juga. Kami berciuman dengan lembut tapi semakin. Seperti kena jampi-jampi, tubuhku melemah saat pelukannya semakin erat.

Ketika ciuman itu akhirnya terlepas, meskipun pelukannya tidak, aku akhirnya mematahkan jampi-jampinya dan berbicara. "Kak, aku harus pulang. Gak baik berdua aja disini. Apa kata tetangga nanti" Suaraku serak dan terbata ketika dia berbicara, mengungkapkan betapa gugupnya aku.

Aku sadar kalimatku salah, seakan-akan aku tidak keberatan dengan ciumannya dan lebih mengkhawatirkan ketauan orang lain. Jadi aku cuma takut ketauan orang lain, bukan tidak ingin berselingkuh?

"Gak akan ada yang tau, Na. Kan Cuma kita berdua,” jawab Kak Kirman lembut. Pelukannya lepas saat aku memberontak melepaskan diri. Tapi aku tidak menjauh darinya.

“Nanti kalau ada yang datang bagaimana?” tanyaku sedikit canggung dan malu karena telah memperlihatkan keinginanku yang sebenarnya untuk tetap disitu.

Kak Kirman terkekeh dan tersenyum. "Jadi, mau ngobrol dimana? Di kamar aja yuk. Kayak biasa dulu?" dia bertanya sambil berdiri terus berjalan ke kamarnya.

Wajahku terasa makin memerah saat mendengar usulannya. Masa ngobrol berdua di kamar? Sekarang kan aku sudah bersuami? Pikiranku bimbang, tapi tubuhku tidak. Aku mengikutinya ke kamar, berhenti tepat di ambang pintu kamar.

"Harusnya jangan di kamar ah. Gak baik loh, sekarang kan aku udah istri orang,” kataku sambil mencoba terdengar sedikit berwibawa. Kak Kirman tidak menjawab. Aku masuk ke kamarnya. Aku menyadari bahwa kami dulu sering berdua di kamar ini. Kadang cuma ngobrol, kadang sedikit bercumbu kalau tidak ada orang lain selain kami di rumah ini. Seperti sekarang. Dan seperti sekarang juga pintu selalu dibiarkan terbuka. Aku melarangnya menutup pintu kamarnya.

Seketika bayangan saat kami bercumbu hadir kembali di benakku. Memang paling jauh hanya berciuman, sambil tangannya meremas dadaku yang belum terlalu tumbuh. Aku ingat terakhir dia menindihku di atas tempat tidur dan tangannya menyelinap ke dalam seragam SMP ku yang beberapa kancing sudah terlepas. Meremas tetekku yang masih tertutup beha.

“Santai aja Na. Aku tadi lagi ngetik skripsi. Tapi otak macet. Kebetulan kamu datang. Biasanya kalo ada kamu otakku jadi encer… hehehe,” jelasnya sambil nyengir.

Kak Kirman dengan cepat duduk di kursi meja belajar tepat sebelah tempat tidurnya. Ada mesin ketik dengan selembar kertas HVS digulungannya. Setumpuk kertas yang sudah selesai diketik disatukan oleh penjepit kertas. Tanpa memberiku waktu untuk merasa canggung, dia mengisyaratkan agar aku duduk di tepi tempat tidur di dekatnya.

"Jadi ada apa nih, tumben mampir? Tapi terima kasih ya… Kakak kangen banget," Dia bertanya.

"Gak ada apa-apa. Cuma mau mampir aja. Kangen…. Kangen sama Ibu sama Hani,” aku buru-buru meralat takut Kak Kirman salah tanggap. Aku mulai merasa lebih nyaman sedikit. Aku duduk di tepi tempat tidur.

“Sama Kakak nggak?”

“Kangen jugalah.”

Tiba-tiba Kak Kirman menarikku berdiri lagi. Langsung memelukku. Aku kaget. Takut. Situasi yang tak terhindarkan telah dimulai. Aku sekarang berdua di kamar lelaki yang bukan suamiku, dan tidak ada orang lain di rumah ini. Dan… berpelukan. Dia menarik lepas kerudungku.

“Jangan begini, Kak,” cegahku.

"Kangen banget sama kamu, Na,” Kak Kirman memajukan wajah sampai dekat sekali dengan wajahku. Aku memundurkan kepalaku. Dia maju lagi. Aku gak bisa mundur lagi. Dia mencium bibirku, aku membalasnya.

Lalu aku mendorong sehingga ciuman dan pelukkannya terlepas. Napasku agak tersengal.

“Udah cukup Kak. Erna mau pulang aja,” kataku.
"Kenapa? Emang Erna gak kangen?" dia tersenyum. Aku menepuk kedua tanganku ke sisi tubuh sebagai tanda putus asa dan gugup.
“Kangen… Tapi Erna gak mau kayak gitu. Erna gak mau keterusan. Erna sekarang istri orang,” aku coba menjelaskan.
"Kakak masih sangat mencintai Erna. Kakak janji gak akan melakukan yang Erna gak suka. Janji gak macam-macam," Kak Kirman bergerak mendekat dan sekali lagi menarikku ke dalam pelukan, tangannya sekali lagi membelai punggungku.Kami mulai berciuman lagi, semakin bergairah seiring detik demi detik berlalu. Oke, selama masih berpakaian dan kelamin kami bertemu, maka itu bukan sex. Bukan Persetubuhan. Bukan Zinah, pikiranku mencari pembenaran.

Tangannya mulai menjelajahi tubuhku saat ciuman itu berlanjut, berlari ke depan sebelum bergerak ke atas untuk membelai payudaraku. Aku bisa merasakan geli di antara kedua kaki saat menjadi lebih terangsang pada tekanan lembut di area sensitive di dadaku.

Lalu tangan Kak Kirman bergerak perlahan ke tengah punggung pangkal belakang leher. Aku tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Ritsleting mulai perlahan turun saat dia menariknya ke bawah, menggoda perlahan, sampai mencapai akhir perjalanannya.

“Aaaaah.. Kak… jangan,” protesku di antara rasa nikmat gairah yang mulai membesar. Dia menciumku lagi. Protesku senyap kembali. Aku bisa merasakan tubuhku makin merapat saat kedua tangannya menyelinap ke dalam gamisku membelai punggungku yang terbuka.

Tanganku merangkul lehernya erat. Tubuhku semakin merapat saat salah satu tangannya menyelinap ke pantatku. Terasa sedikit sulit, karena ujung reliting ku hanya sampai pinggang. Tapi kegigihannya membuahkan hasil. Sekarang tangannya meremas-remas pantatku yang masih tertutup celana dalam.

Kak Kirman menarik diri dari ciuman saat tangannya bergerak dari pinggulku ke bagian depan, untuk membelai payudaraku melalui bahan yang sekarang longgar menutupi diriku. Tangannya meremas bukit kenyalku dari luar gamis. Aku semakin terhanyut oleh rangsangannya. Rasa geli di antara kedua kakiku semakin terasa.

Aku merasa bimbang. Aku takut ini akan berlanjut melewati batas. Tapi aku juga tidak ingin menghentikannya.

“Kak udah… auuhhhff.. Tadi janjinya.. apa,” Aku mencoba mencegahnya berbuat lebih jauh.

“Tenang, Na. Kakak gak akan melanggar janji,”

Tangannya bergerak ke atas untuk menarik gamis itu dari bahuku, menurunkannya secukupnya, sehingga kini dia bisa mengakses payudaraku yang tertutup bra. Kini tanganku tak bisa lagi merangkul lehernya. Kini remasannya hanya terhalang bahan behaku.

“Aaahhh.. Kak..,” desahku disela-sela ciuman yang semakin bergairah. Kedua lidah kami menari-nari.

“Na… bibir kamu lembut sekali,” balasnya

Lalu dia kembali menarik gamisku untuk lebih menurunkannya. Sekarang gamisku sudah sampai di siku kedua lenganku, membuat buah dadaku yang terlindung beha terlihat. Aku menatap matanya untuk melihat nafsu yang dia miliki saat melihat tubuhku terbuka di hadapannya. Melihat rasa laparnya memicu gairahku sendiri. Aku menikmati gairahnya.

Kembali kedua tubuh kami merapat. Ciuman semakin membara. Aku benar-benar hanyut dalam permainan lidahnya di mulutku dan telapak tangannya di dadaku. Aku merasakan tangannya kembali ke belakang punggungku. Lalu… tes.. kait beha di punggungku

Kak Kirman melepas pelukannya untuk meraih tali beha di kedua pundakku menurunkannya sampai ke siku dan bergabung dengan bagian atas gamisku. Kini kedua bukit kembarnya menjadi santapan matanya. Dia melepaskan ciuman dan merenggangkan tubuh kami untuk bisa menikmati pemandangan tubuhku. Dan lagi kulihat sinar birahi di matanya, membuatku makin terbakar oleh hasratku sendiri. Aku merasa sangat seksi. Merasa menjadi wanita paling menarik di mata lelaki.

Lambat kedua tangannya menggapai kedua bukit kembarku. Mulai memijat-mijat keduanya, seperti mau mengukur tingkat kekenyalannya. Begitu lembut gerakannya, tapi dahsyat sekali pengaruhnya pada diriku. Kak Kirman tidak lagi memelukku, akulah yang memeluk pinggangnya. Dan sama sekali aku tidak berniat melepaskannya. Kini aku benar-benar telah terbakar nafsu syahwatku.

“Kamu cantik sekali Erna. Payudara kamu indah. Masih kencang,” puji Kak Kirman

“Aarrghh Kak. …,“ aku hanya bisa mendesah menjawab pujiannya.

Aku sudah merasakan tonjolan di celananya membesar selama ciuman mereka dan sekarang terasa semakin besar dan keras. Aku mencoba membayangkan seberapa besar miliknya. Nafsuku semakin melambung, mengetahui pengaruh tubuhku terhadap tubuhnya. Kepercayaan diriku tumbuh dalam permainan peran baruku dan pengaruh nyata yang dialami Kak Kirman.

Aku menarik ujung T-shirtnya ke atas dan melewati kepalanya, membiarkannya telanjang dada dan menjelajahi dadaku. Aku merapatkan pinggulku untuk menekan tonjolan di bagian depan celananya ke selangkanganku. Kak Kirman menanggapi dengan cubitan ringan di puting teteku. Aku mengerang mengungkapkan nikmat yang melanda diriku akibat perbuatannya.

“Aahh Kakak…,” eranganku semakin menjadi. Aku terus membiarkan tangannya sendiri memainkan putingku yang pasti sudah tegak terkena sentuhannya. Pandanganku meredup sebelumnya akhir mataku tertutup menikmati rangsangan.

Aku merasakan Kak Kirman membungkukkan badannya. Kepalanya bergerak lebih rendah ke payudaraku, menciumi bukit kembarku bergantian, kiri-kanan, merayap untuk mencapai tujuan akhirnya. Tapi masih terganggu oleh gamisku yang masih tersangkut di kedua sikuku.

Kak Kirman melepaskan ciumannya dari payudaraku. Melumat bibirku, yang langsung kubalas lumatannya. Lalu kurasakan dia berusaha melepas gamisku dari sikutku. Sedikit kesadaran yang masih tersisa menyebabkan alarm tanda bahaya di pikranku berbunyi.

Tidak..!! Aku tak boleh membiarkannya melucuti gamisku. Sebab kalau itu terjadi, berarti aku akan telanjang bulat hanya tersisa celana dalamku. Aku langsung menepiskan usahanya.

“Jangan Kak… cukup segini saja,” bisikku.

Dia menciumku lagi lalu melepaskannya dan berbisik, “Kakak janji cuma atasnya aja.”

Aku menggeleng, “Jangan Kak. Erna gak mau sejauh itu.”

Kak Kirman menghadapkan wajahku ke wajahnya. Matanya menatap langsung ke mataku. Kami bertatapan. Sinar matanya yang penuh gairah begitu membujuk. Dan akhirnya aku terbujuk. Kulolos kan lengan gamisku berikut tali behaku melewati tangan kanankuku. Gamisku dan beha langsung jatuh tapi masih tertahan bagian lengan kiri. Aku tak mau melepaskan yang terakhir. Aku tak mau gamisku melorot semua ke lantai.

Walau tidak kulepas semua, ternyata itu cukup bagi Kak Kirman. Matanya menyantap buah dadaku yang terbuka. Kedua tangannya kembali memijat teteku, meremas dan memilin-milin putingnya. Dia kembali membungkuk untuk mendaratkan mulutnya di payudaraku. Terus menjalar ke arah putingku. Lidahnya dengan ringan menjentikkan putingnyaku, sebelum mengisapnya ke dalam mulutnya dan berputar-putar dengan lidahnya.

Tanganku bergerak ke belakang kepalanya, jari-jariku terjalin dengan rambutnya, menariknya lebih keras ke dadaku, mendesaknya untuk melanjutkan permainan lidah di puting sensitifku. Aku merasa napasnya semakin berat saat mengerang dan mendesah kenikmatan.

Bibir Kak Kirman kembali ke bibirku, dia sekali lagi mulai menciumnya, menggerakkan tangannya untuk kembali membelai seluruh tubuhku. Tanpa sadar tanganku mengelus ke dadanya terus turun ke bawah perut sampai mencapai bagian atas celana kolornya. Sepertinya di dalam disana sudah keras sekali.

“Erna… teruss Na Kakak sayang sekali sama kamu,” erangnya.
Tiba-tiba Kak Kirman mendorongku telentang di kasur tempat tidur. Dia memposisikan dirinya diantara kedua kakiku, lalu menindihku. Akibat dari kejatuhanku ke kasur dan tindihan tubuhnya, aku merasa bagian ujung bawah gamisku terangkat sampai melewati lututku. Posisi tubuhnyanya menyebabkan aku harus mengangkang. Akibatnya bagian bawah gamisku terangkat sampai ke pahaku.
Aku tak sempat menurunkan kembali ujung gamisku, karena Kak Kirman kembali menyerbuku dengan ciumannya. Dadaku tergencet oleh dadanya, menyebabkan setiap gerakannya menimbulkan gesekan pada putingku. Kembali aku hanyut dalam cumbuannya.

Dari bibirku ciumannya terus turun ke bawah ke sasaran utamanya, yakni kedua puncak bukit kembarku. Lidahnya kembali memainkan putting susuku. Aku yakin kedua putingku sudah begitu mengeras dan tegak. Seperti menara pemancar, sensasi permainan lidahnya di putingku memancarkan rasa nikmat keseluruh tubuh.

Tangan Kak Kirman juga membuka front serangan baru. Tangan kirinya kurasakan mendarat di paha kananku. Mengelus-elus dan memijat disana. Merayap makin ke atas. Menuju pusat rasa geliku yang menanti.

“Aaaah... Kaaak,” erangku ketika tangannya tiba di bukit kecilku yang masih tertutup CD ku. Pinggulku serentak terangkat dari kasur. Seperti tersengat aliran listrik.

“Kakak... jangan disitu, Kak,” larangku. Tapi mana mau dia mematuhinya. Lagipula gerak pinggulku yang merespons elusan tangannya di bukit kecil yang terbelah itu seperti memberikan perintah yang berlawanan dengan kata-kataku sendiri.

Mendapat serangan nikmat di dua bagian tubuhku yang paling sensitif, membuatku hilang kepedulian tentang apa yang sedang ku lakukan dan dengan siapa aku melakukannya. Aku hanya peduli apa yang kurasakan. Kedua tanganku memeluk kepalanya. Jemariku mengacak rambutnya.

Aku ragu apa aku akan membiarkannya meningkatkan level permainan kami. Tapi yang jelas aku tidak ingin menghentikannya. Lalu Kak Kirman melepas tubuhku, mundur dan berdiri di sisi tempat tidur.
Kemudian jari-jarinya dengan cekatan menurunkan celana kolor sekaligus celana dalamnya. Batang kerasnya langsung mengacung tegang sekali. Ukurannya cukup besar walaupun masih di bawah ukuran milik suamiku. Dia membungkuk untuk melorotkan kolor dan celana dalam sampai ke bawah.

Aku melihat Kak Kirman berdiri dalam keadaan telanjang bulat, dengan batang kontol yang mengacung tegak. Baru kali ini aku melihat langsung lelaki dewasa telanjang bulat, selain suamiku. Aku tercengang di buatnya.

“Kak Kirman mau ngapain?” tanyaku tak percaya dengan apa yang kulihat. Mataku masih terpaku pada batang kontolnya.

“Erna gak mau lebih jauh dari ini Kak,” bisikku lirih. Rasa takut mulai menjalariku.

Apakah Kak Kirman mau menyetubuhi? Apa aku mampu mencegahnya? Apa yang akan terjadi denganku dan rumahtanggaku. Kak Firman menghampiriku.

“Jangan Kak,” kucoba mengingatkannya. Mataku masih terpaku pada benda yang mengacung di selangkangannya. Dia tetap menghampiriku. Tangannya kembali menjangkau buah dadaku. Mulai meremas-remas disana. Tapi gak terlalu ngefek padaku. Rasa takut menurunkan gairahku.

Lalu tangannya menggapai gamisku yang menggulung di pinggangku. Aku sadar dia bermaksud melepaskan gamisku seutuhnya. Lalu celana dalamku. Membuatku telanjang bulat sepenuhnya. Aku belum mau itu terjadi.

“Jangan Kak.. Erna gak mau... Kita udah terlalu jauh,” cegahku sambil mempertahankan gamisku.

“Ayolah, Na... Kakak pengen sekali,” jawab Kak Kirman.

“Gak Kak. Erna Gak mau sejauh itu. Erna gak mau khianatin suami.”

“Please Na. Sekali ini aja,”rayunya

Lalu entah dari mana datangnya kekuatanku. Kali ini aku tak mau menyerah. Dia tetap memaksa. Sejenak kami saling tarik menarik gamisku. Tiba-tiba... Plak!!! Tangan kananku mendarat di pipinya. Kakiku menendang perutnya. Dia jatuh terduduk. Ekspresi wajahnya memperlihatkan kekagetan. Aku sendiri kaget akan reaksiku. Aku kini bangkit merubah posisi dari berbaring menjadi duduk di tepi tempat tidur. Aku menarik gamis menutupi ketelanjangan payudaraku. Tapi aku belum memakainya.

“Jangan paksa Erna, Kak. Erna sudah bersuami. Segini aja kita udah terlalu jauh,” jelasku. Mentalku saat itu sudah lebih kuat. Aku akan menghentikan semua ini. Kalau perlu aku akan melawannya sekuat tenaga. Aku bermaksud memakai kembali pakaianku.

Dan terjadilah yang tak terduga.... Kak Kirman masih dalam keadaan duduk, menundukkan kepalanya. Kedua tangannya menutupi wajahnya. Pundaknya terguncang menandakan dia sedang menangis.

“Maafin Kakak, Na. Kakak gak bermaksud memaksa Erna. Kakak kebawa nafsu,” katanya disela rintihannya.

Aku terpana. Jujur aku tak siap melihatnya menangis. Aku menjadi iba.

“Maaf Kak. Erna gak bermaksud kasar,” kataku

“Kamu pantas marah. Malah pantas mukul Kakak. Kakak emang jahat berusaha menodai kamu. Kakak sudah sangat keterlaluan,” lanjutnya.

“Erna juga salah Kak,” jawabku. Aku tak ingin dia menanggung kesalahan sendiri. Bagaimanapun aku juga bersalah.

“Gak Na.. Kakak emang udah keterlaluan.”

“Harusnya Kakak menjagamu. Bukan memaksa kamu. Kakak masih terlalu mencintaimu. Setiap hari Kakak selalu teringat kamu. Merindukan Erna. Kakak selalu membayangkan seandainya Kakak yang menjadi suami. Bercumbu di kamar ini,” lanjutnya. Aku jadi semakin merasa bersalah.

Tidak, Kak. Kakak gak salah, Erna yang salah. Kakak gak tau kalau Erna sengaja kesini untuk menggoda Kakak, aku menjerit dalam hati. Rasa bersalahku semakin besar. Aku tak jadi melanjutkan memakai kembali gamisku dengan benar. Aku meraih kepalanya dan memeluknya. Gamisku luruh lagi. Bagaian atas tubuhku kembali terbuka.

“Kamu gak tau Na. Kakak sering membayangkan kita melakukan hubungan sebagai suami istri. Kakak membayangkan memberikan kepuasan ke Erna setiap saat ada kesempatan. Kakak akan selalu membahagiakan Erna,” katanya lagi. Wajahnya kini terbenam di antara kedua buah dadaku. Kini dia tidak menutupi wajahnya lagi. Kedua tangannya diletakan di kedua lututku.

“Tapi Erna sudah jadi istri orang, Kak,” aku mencoba menyadarkannya.

“Kakak tau. Kakak iri sama suami kamu. Betapa beruntungnya dia memiliki kamu,” jawabnya. Hatiku jadi galau.

“Kamu gak tau Erna. Betapa sakit hati Kakak kehilangan kamu. Perih sekali kalau membayangkan Erna berdua sama suami di tempat tidur,” rintihnya terluka. Aku jadi ikut merasakan penderitaannya.

"Kakak masih berharap suatu saat Erna jadi milik Kakak," bisiknya.

“Maafin Erna, Kak,” kataku. Aku mengecup rambut di kepalanya terus menempelkan pipiku disana. Aku merasa tangannya mulai mengusap-usap lututku. Aku membiarkannya. Mungkin itu bisa mengurangi penderitaannya. Biarlah...

Aku membiarkan telapak tangan yang mengelusi lututku mulai merayap ke pahaku. Kak Kirman memijat-mijat disana. Memanggil kembali rasa geli yang sempat menghilang.

Bibirnya kini mulai mengecup lembah di antara kedua bukit payudaranya. Tangannya sudah tiba di pangkal pahaku. Disusul bibirnya telah kembali ke puncak bukit kenyalku. Menghisap putingku. Nikmat gairah yang sempat pergi mulai kembali lagi.

Aku menggerakkan kakiku merenggang untuk memberinya akses ke tempat di mana sekarang sangat ingin kembali disentuh. Dia tidak mengecewakan. Tangan kirinya menyelinap ke dalam bagian depan celana dalamku dan langsung bagian yang sekarang sangat basah. Menggosok klitorisku beberapa kali. Tipisnya bahan celana dalamku tak mampu meredam sensasinya.

Bibirku melepas erangan kembali. Sensasi rangsangan membawaku kembali ke gelombang gairah birahi. Dan sekarang, jari-jari Kak Kirman menelusuri sepanjang celah memekku. Naik turun dengan kecepatan yang meninggi menyebabkan pinggulku bergoyang karena serangan di memekku.

Kembali benakku dipenuhi kebimbangan. Apakah aku harus membiarkan dia mendapatkan keinginannya yang mungkin keinginanku juga atau aku menghentikannya dan menyelematkan pernikahanku.
Tiba-tiba, Kak Kirman melepaskan ciumannya pada putingku. Berpindah ke paha dalamku. Lalu menyusur ke arah pusat kenikmatanku. Aku semakin merenggangkan kakiku. Kakiku naik ke tepi tempat tidur. Aku memindahkan berat badanku ke belakang dan bertumpu pada lengan kiriku. Tangan kananku menarik kepalanya ke arah memekku.

Dan kebimbanganku lenyap seketika. Aku langsung memutuskan.

“Asal jangan sampai yang 'itu', ya Kak,” aku meminta jaminan. Dia mengangguk.

Karena ingin menuntas apa yang sudah menggelora, akupun langsung berbaring telentang. Kak Kirman merangkak di tempat tidur tangannya meraih gamisku. Seperti tadi dia ingin melepaskan sisa pakaian yang masih melekat di tubuhku. Kali ini aku sudah memutuskan untuk membiarkannya. Kupejamkan mataku menunggu.

Beberapa saat kutunggu, Kak Kirman belum juga meneruskan niatnya. Aku membuka mataku, kulihat dia sedang menatapku menunggu persetujuanku. Aku mengangguk. Kuangkat pinggulku untuk memudahkannya. Kak Kirman langsung menyelesaikan misinya , memerosotkan gamis berikut celana dalamku.

Sekarang aku berbaring telentang dalam keadaan telanjang bulat. Ku renggangkan kakiku untuk memberikannya akses yang selama ini hanya kuberikan kepada suamiku. Aku merasa sangat terbuka sekarang. Mata Kak Kirman terfokus pada memekku yang pasti sudah basah sekali. Kak Kirman langsung merangkak ke atasku. Menempatkan pinggulnya diantara kedua kakiku.

“Jangan dimasukin ya... janji,” aku masih mencoba mengingatkan akan janjinya. “Ayo sekarang...” nafsuku menuntutnya untuk segera.

Aku tidak perlu mengatakan dua kali dan dengan cepat Kak Kirman menurunkan pinggulnya di antara pahaku dan menempelkan batang kontolnya yang sudah tegang sepenuhnya di sepanjang vaginaku yang terbuka. Dia mulai bergerak maju mundur dan menyebabkan batang kemaluannya meluncur di sepanjang celah memekku. Kali ini simpul-simpul syaraf di memekku tidak lagi terhalang bahan celana dalam.

Kini tubuh Kak Kirman menindihku. Tubuh kami merapat. Buah dadaku tergencet dadanya. Aku merangkulnya erat. Mulutku melumat mulutnya. Lidah ketemu lidah.

Kubiarkan diriku larut dalam momen itu. Merasakan gelombang nikmat menjalar ke seluruh tubuhku. Kak Kirman pasti tahu aku sudah di dalam kekuasaannya, eranganku semakin keras saat napasnya semakin berat. Dia membuat diriku menyerah mengirimkan gelombang orgasme yang mulai meninggi ke seluruh tubuhnya, pinggulku naik turun mengikuti gerakannya, rintihan dan eranganku memenuhi kamarnya dengan ekstasi. Desahan nafas Kak Kirman juga semakin cepat.

Beberapa kali ujung kepala jamurnya, kurasakan tergelincir ke lubang memekku sampai ke ambang pintu guanya. Tapi Kak Kirman tidak pernah melanjutkan masuk. Aku gak tau apa harus merasa lega karena tidak melewati batas yang kutetapkan sendiri, atau kecewa. Kurasa, aku merasakan keduanya.

Pinggulku terangkat. Membuat lubang kewanitaanku sejajar dengan lintasan gerakan batang kontolnya. Dan ketika lagi-lagi kepala jamur itu tergelincir disana, kali ini masuk agak lebih dalam. Aku merasakan kepalanya melewati pintu lubang menuju syurga kenikmatanku.

“Aaahh Kaak,” erangku. Kak Kirman pelan melanjutkan gerakannya. Licinnya lubang senggamaku dan gerakannya yang lebih menekan membuat batang kontolnya cepat menyelusup masuk.

Ssleebbbs... Batang kontol itu pun masuk seutuhnya. Batang kontol pertama yang bukan milik suamiku yang memasuki lubang kenikmatanku.

“Aaahh Kak.. Masuk Kak,” entah kenapa aku merasa harus memberitahukannya. Padahal Kak Kirman juga pasti tahu dan emang sengaja memasukkannya.

“Ahh.. Enak banget Na...,” erangnya

“Kok dimasukin Kak?” protesku tapi mungkin hanya seper seratus hati. Buktinya pinggulku terangkat dan bergoyang mengikuti gerakan keluar masuk kontolnya.

“Iya Na.. Kakak gak tahan Na.. Aaahhh.. Enak banget memek kamu,” jawabnya

“Aahh Kakak.. Ssshhh gak pegang janji,” aku berceloteh gak jelas.

Tiba-tiba dia menarik pinggulnya seperti mau mencabut lepas.

“Maaf Na... Kak keluarin lagi ya?”tanyanya.

Aku langsung menekan pinggulnya agar merapat lagi. Kontolnya kembali masuk.

“Udah terlanjur Kak... terusin.. Aahhh... enak Kak,” erangku.

Kak Kirman kembali menggenjotku. Aku mulai meraih orgasmeku. Sepertinya dia juga.

“Aaahhh Na.. Kakak sayang Erna.. Ah nikmat banget Na,” rayunya.

Aku tidak lagi peduli akan rayuannya. Sekarang hanya gairah birahi yang menuntut segera dituntaskanlah yang aku pedulikan. Genjotannya yang aku inginkan.

“Aaahh.. Terus Kak.. Erna mau sampai,” kataku.

Kak Kirman tidak lagi menjawab. Nampaknya dia akan segera muncrat. Genjotannya tambah cepat dan berkekuatan. Ekspresi wajaknya mengeras.. Dan..

“Ooohhh... Naaa...” akhirnya.

Crot-.crot.. Crot.. Aku merasakan pejuhnya memancar dalam rahimku. Semburan itu mendorongku ke puncak orgasme ku sendiri.

“Arrgghh... Kak.. Enak,” jeritku saat mencapai orgasmeku.

Aku membiarkannya rubuh di atas tubuhku. Lambungan ekstasi kenikmatan dari orgasmeku membuatku tak merasakan berat tubuhnya. Beberapa saat seperti itu lalu berguling ke sebelah kiriku telentang di sampingku. Lama terdiam di sana.. Hanya nafas kami yang saling berpacu. Lama-lama mulai normal.

Aku membuka mataku menoleh ke arahnya. Matanya masih tertutup belum sepenuhnya pulih dari orgasmenya. Aku membelai payudaraku sendiri dan bermain dengan putingnya. Meresapi orgasmeku yang masih tersisa. Aku meraba memekku dan mengambil alih tempat dimana kontol Kak Kirman baru saja menguasai. Terasa pejuhnya disana bercampur cairanku sendiri. Rabaan-rabaanku membuat ekstasi orgasme sedikit bertahan lama. Lalu ku lihat matanya terbuka. Nafasnya sudah sepenuhnya normal. Dia memiringkan tubuhnya menghadap ke arahku. Tersenyum. Tangannya membelai rambutku.
Belaian lembut itu hampir terasa seperti ungkapan perasaan lelaki yang pertama kali merasakan orgasme. Aku menikmati perasaannya ini menggunakan tubuhku untuk menyenangkan dirinya sendiri, terutama karena aku telah membawanya ke orgasme persetubuhan pertama kali baginya. Seperti perasaan aku telah mempersembahkan tubuhku kepada seorang kekasih.

Kekasih? Kata itu sedikit berputar di kepalaku. Dia jauh dari kategori kekasihku sekarang. Tidak juga dulu. Dulu hanya kedekatan teman sepermainan sampai beranjak remaja. Cinta monyet istilahnya. Aku tidak pernah mencintainya.

Aku tak percaya apa yang baru saja terjadi. Aku telah berzinah. Membiarkannya menzinahiku. Aku datang ke rumahnya memang untuk berzinah dan tidak lebih. Aku telah berhubungan seks dengannya. Aku telah menyerahkan tubuhku untuk dinikmati lelaki yang bukan suamiku sekarang dan aku tahu aku menyukai sensasinya.

Kak Kirman tidak seganteng suamiku. Tidak seasyik suamiku. Bahkan kemaluannya tidak sebesar milik suamiku. Tapi tetap aku menikmati persetubuhan yang baru saja terjadi.

Ada sensasi berbeda dengan persetubuhanku dengan suami. Aku baru tahu bahwa aku bisa menikmat hal seperti itu, menyukainya seperti itu, tanpa cinta, hanya gairah dan birahi.

Lalu kesadaranku hadir.... Ya Tuhan aku mengkhianati suamiku. Lelaki yang kucintai dan mencintaiku. Aku telah berbuat zinah. Dosa yang sangat besar. Yaa Tuhan betapa teledornya aku, hingga semua ini terjadi.

Maka pecahlah tangisanku.
 
menarik ceritanya sis.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd