Bagian Sebelas
Amarah Cici
Ardi hendak mengambil jalan lain saat dilihatnya Cici sedang duduk di lorong sekolah. Tapi terlambat. Cewek judes itu sudah melihatnya, atau mungkin sudah menunggunya.
“Hey Nyet. Mau ke mana kamu? Sini! Aku mau ngomong sebentar” teriaknya.
Dengan patuh Ardi mengikuti langkah Cici yang menyeretnya ke pojokan belakang perpustakaan.
Mereka duduk bersebelahan. Ardi tidak berani melihat wajah Cici, sementara Cici menatapnya dengan wajah aneh. Ditunggunya, tidak juga Cici membuka suara. Dengan ragu diliriknya wajah imut di sampingnya. Ditemuinya tatapan menusuk Cici yang tidak bisa ditebak. Mungkin marah, mungkin kecewa, atau apa. Pokoknya tidak mengenakkan bagi Ardi.
“Cik.. Aku bisa njelasin..”
“Gak! Aku cuma mau nanya ke kamu” potong Cici tegas.
Ardi gentar. Diremas-remasnya daun tidak bersalah yang tergeletak di sebelah kakinya.
“Kamu tinggal jawab aja yang jujur”, lanjut Cici. Masih dengan suara yang tajam.
“Iiiyaa Cik. Mau nanya apa..” terbata Ardi menjawab.
“Kamu pernah gak gituan sebelumnya?” tanya Cici datar.
“E.. Gituan maksudmu..?”
“Alaaahh. ML! Pernah gak sebelum sama mamiku?” nadanya meninggi.
“Cik, jangan keras-keras gitu dong..” gelisah Ardi.
“Jawab aja! Pernah gak?” tegas Cici.
“Ya belumlah Cik…” jawab Ardi bingung.
“Bener nih?”
“Iya Cik, buat apa aku bohong sama kamu..” desah Ardi.
“Oke! Berarti fix! Mamiku yang memangsamu. Dasar! Teman anaknya sendiri dirusaknya juga”, kata Cici sambil berdiri, dan melangkah meninggalkan Ardi yang kebingungan.
“Eh, Cik, bukan gitu Cik. Jangan marah sama mamamu..”
Tapi terlambat, Cici sudah beranjak menjauh meninggalkan Ardi yang melongo bingung.
Sorenya Ardi melihat mobil tamu di halaman rumah Cici. Ibunya tante Wulan datang bersama dengan saudara-saudara mereka yang lain. Otomatis Ardi tidak bisa bertemu tante hari ini.
Malam itu Ardi tidak pulang ke kos, tapi ke warnet kakaknya si Joni.
Hari-hari selanjutnya semakin muram bagi Ardi. Sehabis kunjungan saudara-saudara tante Wulan yang tiga hari, Om Cokro giliran datang. Genap seminggu Ardi tidak dapat bertemu tante. Bahkan Cici pun tidak lagi menyapanya di sekolah.
Ardi menjadi tidak nyaman di salon. Setiap selesai tutupan, dia langsung pergi ke warnet si Joni. Atau kalau lagi capek dia langsung ke kos dan tidur sambil gundah gulana.
Sms ke tante juga hanya dijawab singkat. ‘Nanti-nanti aja kita obrolin’
Agak malas Ardi berangkat ke salon. Sore itu Joni mampir ke kosnya.
“Gak kerja Nyet?. Ayo ke warnet aja yuk, temenin aku”, ajaknya.
Dengan lunglai, Ardi ngikut aja di belakang Joni.
(bersambung)