Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

CHAPTER 2
APARTEMEN



Bu Wulan meraba lembut dadaku. Tangannya yang halus menyapu ototku yang tak seberapa. Meski begitu, matanya memancar penuh kasih sayang. Kami berbaring tanpa sehelai benang pun setelah membuka baju kami yang basah kuyup.

“Nama kamu Bintang, ya?” Bu Wulan berbisik lembut. Setiap nada yang keluar dari mulutnya mengesankan rindu. Kuduga ia berusaha mengingat namaku dari absen tadi sore.

“Iya… Bu?” tanyaku. Ragu memanggilnya ‘Ibu’.

Bu Wulan menatap mataku. Ia terlihat agak kesal, tapi ada kesan imut di sana. Apakah dia ngambek seperti anak remaja?

Aku berusaha mengalihkan topik. “Kenapa, ya, kok rasanya aku udah lama kenal lama sama kamu…” kataku, mengganti ‘Ibu’ dengan ‘kamu.’

Ia mendekatkan kepalanya ke dadaku. Memeluk lembut.

“Aku juga ngerasa begitu. Kenapa ya?” katanya berbisik ke rongga dada. Getarannya membuat seluruh badanku berdesir.

Meski kami berbaring telanjang di sana, nafsu yang sudah tersalurkan tadi memuaskan kami. Meninggalkan kobaran api nafsu itu, mengubahnya menjadi bara cinta yang hangat. Sebuah keintiman yang mesra.

Sungguh kejadian hari ini bertolak belakang dengan kehidupan pribadiku. Seratus delapan puluh derajat. Aku yang tak pernah dekat dengan perempuan. Aku yang selalu taat beragama. Kini berbaring telanjang bersama seorang wanita dewasa yang baru kutemui hari ini.

Ada sedikit perasaan bersalah yang terbersit. Namun itu tak kuhiraukan karena wanita di depanku ini ‘terasa’ benar. Ia adalah sosok yang sempurna… seorang wanita yang ‘pas’. Segalanya begitu cocok. Bahwa dengan bersamanya aku menjadi lengkap.

Aku dan Bu Wulan hanya berbaring di sana. Merasakan kehangatan satu sama lain, berangkulan. Debar jantungku dan jantungnya yang seolah menyatu. Tak perlu ada kata-kata. Tak perlu ada basa-basi. Semuanya melebur.

Azan magrib mengumandang. Refleks, aku terbangun dan bersiap untuk sholat.

“Kamu mau ke mana?” tanya Bu Wulan. Nadanya terdengar sangat khawatir.

“Sholat,” jawabku sambil menuju ke kamar mandi.

Bu Wulan beranjak pula dari kasur. “Mandi dulu, ya? Aku ikut.”

Di dalam kamar mandi yang sempit untuk dua orang itu, kami melanjutkan kemesraan. Ia menyabuniku, aku pun menyabuninya. Setiap jengkal kulitnya terasa halus. Terasa begitu mempesona.

Setelahnya, Bu Wulan berlali kecil ke arah lemari. Ia lalu kembali dan memberikanku handuk.

“Bentar, aku cariin ganti, ya,” ucap Bu Wulan sambil ke lemari. Ia sempat mengecup pipiku sebelum membongkar lemarinya. Gestur yang sekali lagi membuatku seperti tersengat.

“Kayaknya ini cukup. Aku belinya kebesaran. Moga nggak ngatung, ya?” Bu Wulan berkata sambil menyodorkan sebuah kaus putih padaku.

Aku tersenyum. “Makasih.”

Kupasang baju itu, lalu celana jeans, terpaksa tanpa celana dalam. Lagipula air mani bukan najis. Sedang Bu Wulan memakai daster longgar dengan potongan minim di atas lutut. Tuhan, dia terlihat sangat cantik.

Setelahnya, Bu Wulan menyodorkan sajadah dan memberitahuku arah sholat.

Aku pun kembali ke kamar mandi karena wudu yang tadi sudah batal karena kecupan. Kemudian setelahnya lanjut sholat.

Dalam ibadahku, aku terus bertanya.

Jika ini semua salah, mengapa perasaan yang hadir terasa begitu benar?

Setelah selesai sholat, Bu Wulan sudah menyiapkan makanan di meja. Ia mengikat rambutnya asal-asalan. Menambah kecantikannya berkali-kali lipat.

“Makan dulu, sayang,” ucapnya. Kata terakhirnya membuat hatiku luruh. Sayang?

Aku menyuap nasi goreng alakadarnya itu ke mulutku. Namun hati dan mataku hanya terpusat pada bidadari di hadapanku. Terbersit satu kemungkinan aneh. Apakah ini mimpi?

Kucoba mencubit tangan kananku. Sakit. Bukan mimpi.

Bu Wulan tertawa melihat tingkahku. Tawa yang renyah dan lepas, ingin kudengarkan selamanya.

“Kamu ngapain?” tanya Bu Wulan di sela tawanya.

“Nggak. Aku cuman mau mastiin ini bukan mimpi,” jawabku.

Bu Wulan meraih tanganku dan mengelusnya. “Kalau ini mimpi, aku nggak mau bangun.”

Ya, aku juga tak mau bangun dari mimpi ini.

< b >

Esoknya aku bangun. Melihat langi-langit yang asing. Ini bukan kamarku. Sedetik, otakku kosong, sebelum kemudian memori hari sebelumnya membanjiri otakku. Refleks, aku menoleh, mendapati Bu Wulan tidur di sampingku. Ia tertidur pulas.

Kusingkirkan helai rambut yang menutup wajahnya. Agar aku bisa melihat dengan jelas wajah itu. Wajah yang memutarbalik hidupku dalam setengah hari. Kamar itu cukup gelap tapi aku bisa melihat dengan jelas parasnya. Ini bukan mimpi.

Bu Wulan terbangun saat aku mengambil air untuk berwudu.

Hari itu hari Sabtu. Tak ada perkuliahan. Kami menghabiskan waktu dengan berbicara banyak hal. Tentang hidupku. Tentang kuliah. Tentang hal-hal yang kami sukai.

Kami juga menghabiskan waktu dengan menonton drama. Sofa di ruang itu menjadi saksi betapa kami selalu berangkulan, berbicara dengan berbisik satu sama lain. Seolah tak ingin lepas. Hanya beristirahat sesekali untuk mengambil makanan atau aku menunaikan sholat.

Tapi akhirnya aku harus pergi juga. Ada kumpul angkatan sore ini, dan besok ada deadline untuk tugas angkatan.

“Aku anter, ya?” Bu Wulan bertanya lembut, menggamit tanganku di depan pintu.

“Nggak usah. Nanti teman-teman curiga,” kataku, mengecup bibirnya. Refleks yang mulai hadir setelah seharian bersamanya.

Bu Wulan teringat kami belum menyimpan nomor masing-masing. Ia menyimpan nomornya di hp milikku. Lalu kami masih bermesraan di ambang pintu beberapa saat. Sampai akhirnya Bu Wulan melepas tanganku dan membiarkanku pergi.

Kurasa saat itu perasaan kami sungguh menjadi satu. Aku tak ingin pergi, ia pun tak ingin aku pergi. Kami ingin berdua, bersama, selamanya.

< b >

Aku banyak melamun di kumpul angkatan kali ini. Sesuatu yang jarang kulakukan, karena aku tahu tidak baik banyak-banyak melamun. Tapi bayangan itu selalu hadir kembali, menarikku dari realitas menuju memori yang masih membekas jelas.

Sentuhan-sentuhannya.
Kecup bibirnya.
Tangan lembutnya.
Mata indahnya.
Serta seluruh gestur mesra miliknya.

Sebuah chat masuk. Kulihat pengirimnya: Endorfin. Alias Bu Wulan. Sengaja kuubah agar tak membuat curiga jika kebetulan terlihat teman-teman. Chat-chat mesra yang biasa dikirimkan oleh remaja perempuan yang sedang jatuh cinta.

Oh, betapa ironisnya hidup. Dulu ketika teman-temanku sibuk berpacaran, aku hanya nyinyir dari jauh. Memikirkan betapa absurdnya pola tingkah mereka. Kini aku bertukar chat dengan perilaku yang sama persis. Mungkin malah lebih parah.

Tapi ini semua terasa benar.

“Udah coba kontak Farah, Tang?” Yoga yang duduk bersila di sampingku bertanya.

Jujur, aku tak menyangka Yoga akan benar-benar menagihku untuk mendekati Farah. Aku menggeleng.

“Kirain kamu becanda aja, Yog,” bisikku pada Yoga agar tak mengganggu ketua angkatan yang sedang berbicara di depan.

Yoga menaikkan alisnya. Ia terlihat sedikit kecewa.

“Kamu aja yang coba, Yog. Mungkin aja anaknya gaul,” ucapku mencoba menghibur. Kini setelah aku bertemu Bu Wulan, aku tak yakin bisa melihat perempuan lain dengan semangat.

Kami melihat ke arah barisan depan tempat Farah duduk. Ia terlihat perian dan pecicilan. Sebuah tipe yang kurasa cocok untuk Yoga.

“Emang mau dia dichat sama anak kayak aku?” Yoga bertanya. Pertanyaan itu membuatku menarik kesimpulan lain dari motif Yoga.

“Kamu suka sama Farah ya?” aku balik bertanya. Muka Yoga merah padam. Aku tertawa kecil. “Dicoba dulu, Yog. Kalau nggak dicoba, nggak bakal tau.”

Aku pun kaget dengan balasanku yang satu itu. Biasanya aku akan menceramahi orang akan bahaya pacaran dan sebaiknya dijauhi. Namun, setelah merasakan sendiri perasaan yang menggebu-gebu, sekarang aku bisa menempatkan diriku dengan posisi yang sama seperti Yoga.

Kutepuk-tepuk punggung Yoga untuk menyemangatinya. Sementara pikiranku kembali melayang pada Bu Wulan.

< b >

Bu Wulan menjemputku ke bawah. Akses apartemen itu hanya bisa dibuka oleh kartu residen. Ia menghampiriku masih dengan baju yang sama seperti saat kutinggalkan, daster longgar dengan potongan pendek.

Kami hanya berpisah selama beberapa jam tapi perasaan itu hampir tak tertahankan. Jika aku tak menahan Bu Wulan, kami sudah akan saling menelanjangi di sana.

“Nanti dilihat orang-orang,” bisikku ke telinganya, menahan wajahnya agar tak menciumku dulu. Alhasil, Bu Wulan hanya mengecup pipiku sekilas dan langsung menarik lenganku.

Di lift, Bu Wulan memeluk tangan kiriku. Kepalanya bersandar dengan mesra di bahuku. Aku pun merasa tak tahan. Tangan kiriku menggenggam erat tangannya. Seperti kemarin, lift ini terasa sangat lamban mencapai lantai yang kami tuju.

Saat kami mencapai kamar dan menutup pintu, Bu Wulan langsung menerkamku. Menciumku dengan penuh gairah. Aku bahkan tak sempat memastikan apakah pintu sudah terkunci apa tidak. Yang kupikirkan sekarang hanyalah malaikat yang ada di hadapanku.

Tidak sama seperti sebelumnya, kini lidahku ikut bermain. Berputar dan saling mengadu dengan lidah milik Bu Wulan. Rasanya begitu lembut dan basah.

Tangan Bu Wulan meraba-raba di dadaku. Memutarnya di putingku, yang membuatku menggelinjang kenikmatan. Aku pun tak ingin kalah. Kuraih ke balik dasternya dan kugenggam payudara miliknya. Tak puas, tanganku menyelinap ke balik BH dan mengusap-usap puting miliknya. Kami berciuman, saling melenguh kenikmatan.

Bu Wulan kudorong menuju sofa. Lalu dengan lembut kuciumi setiap lekuk tubuhnya. Mulai dari pipinya yang empuk, lehernya, turun ke atas payudaranya. Lalu kuturunkan BH miliknya, menampangkan sepasang gunung kembar yang sangat indah. Bulat sekal, begitu pas di tangan. Begitu seksi untuk kukecup. Lama aku berdiam di sana, mengecup dengan penuh kelembutan. Membuat Bu Wulan melenguh, bergelinjang nikmat.

Lalu aku terus turun ke perutnya. Tidak buncit, namun tidak terlalu kurus pula. Hanya ada sedikit cembung yang di mataku terlihat begitu seksi. Kukecup dengan penuh perasaan.

Kemudian aku turun lagi ke daerah kewanitannya. Aroma yang tercium sangat khas. Membuat otakku mendidih dan ingin segera menerkamnya. Bu Wulan dengan sigap membuka celana dalamnya. Menampakkan segaris lubang cinta yang begitu indah, disertai potongan bulu halus yang tercukur rapi.

Aku kecup bibir bawah itu dengan lembut. Menikmati setiap sentuhannya. Bu Wulan melenguh nikmat.

“Ahhhhh… sayang!” serunya, hampir-hampir berteriak. Punggungnya melengkung naik. Tangannya meremas kepalaku, menekannya lebih dekat ke vaginanya.

Satu tanganku meraih putingnya, memberikannya rangsangan bertubi-tubi. Sedang tanganku yang lain berusaha membuka celana jeans. Menampakkan batang kejantananku yang sudah berdiri kokoh.

Aku mengangkat badan sebentar, melepas baju dan celana. Kemudian aku kembali menyosor bibir indah milik Bu Wulan. Lidah kami berpagutan kembali, saling menari di tengah birahi. Badanku menindih badannya. Penisku yang teracung kugesek ke kemaluannya. Aku tak tahu di mana tepatnya lubang itu. Jadi hanya kutekan-tekan saja di dekat bibir kemaluannya. Namun itu saja cukup membuat kami merasakan nikmat tiada tara.

“Jangan dimasukkin, ya… sayang?” ucapnya di sela ciuman kami. Aku mengerti. Lagipula aku tak benar-benar tahu di mana harus memasukkan.

Kugesek terus penisku ke bibir vaginanya. Sementara tanganku kini menggenggam kedua payudaranya. Meremas-remasnya.

“Ahhh! Ahhhhhhh!” racaunya semakin kencang dengan setiap gesekan. Aku melihat matanya terpejam penuh kenikmatan. Berseru-seru, “Terus, sayang. Iya, di situ enak….”

“Ah, iya… iya, enak,” aku ikut meracau. Goyanganku semakin tak terkendali. Kemaluan kami terus bergesek dengan nikmat. Aku mendekapnya, mengecupi bibirnya. Getaran-getaran tubuhnya memberi sinyal bahwa sebentar lagi ia sampai.

Aku mempercepat goyanganku, membuatnya semakin menjerit-jerit tak karuan. Kurasakan pula ada sesuatu yang ingin meledak dari penisku. Hingga kemudian kami berdua bergetar hebat, mencapai klimaks. Dalam puncak kenikmatan itu, aku memeluknya erat, sementara ia pun mencengkram punggungku dengan kuat. Kami meraihnya bersamaan.

“Ahhhh! Sayang enak!!” teriaknya. Tak peduli lagi akan apapun.

Sesaat kemudian, aku ambruk di sampingnya. Kembali melayang ke alam kenikmatan itu.

< b >

Besoknya hari Minggu. Aku dan Bu Wulan kembali menghabiskan waktu dengan bermesraan. Berbicara apa pun. Semua percakapan yang kami lakukan terasa sangat natural. Pengetahuan Bu Wulan akan semua topik yang kami bicarakan, dipadukan dengan keingintahuanku, membuat kami menjadi pasangan yang sangat cocok.

Aku akhirnya melempar satu hal yang sejak semalam menggangguku.

“Kamu masih perawan?” tanyaku. Agak tiba-tiba. Kami sedang menonton TV di sofa sambil berangkulan.

Ia mengangguk dan menatapku. Tatapan manja seperti perempuan muda berumur dua puluh tahun. Dan aku memang melihatnya setara denganku.

Aku memakluminya dan mengecup keningnya. Membuatku semakin menaruh perasaan padanya. Betapa aku menghormatinya karena telah menjaga kehormatannya selama ini. Kisah hidupnya masih menjadi misteri bagiku, dan aku juga tak ingin cepat-cepat menyinggungnya. Aku hanya ingin menikmati momen-momen ini.

Entah apa responsnya ketika aku menerima chat dari Farah malam itu.

To be continued


Klik ke CHAPTER 3

JANGAN LUPA COMMENT
"KARENA FEEDBACK KALIAN SANGAT BERHARGA"


:adek::adek:
Mantap banget nih cerita
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd