Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

CHAPTER 3
FARAH AZiZIYAH




Assalamu’alaikum.
Bintang ya?


Chat itu masuk tiba-tiba di malam hari. Aku tak pernah bertukar chat sebelumnya dengan perempuan yang bukan muhrim, kecuali untuk urusan organisasi atau urusan genting. Ini tentu membuatku bertanya-tanya.

Di sisi lain, aku merasa sudah memiliki ikatan yang begitu kuat dengan Bu Wulan. Menyembunyikan ini darinya terasa seperti pengkhianatan.

“Balas aja, sayang. Kan kamu juga berhak dapat perempuan seumuran,” jawab Bu Wulan setelah kuberi tahu. Ia sedang memasak di dapur di salah satu sudut apartemen. Seperti biasa, bukan makanan namun penampakan Bu Wulan membuat liurku menetes.

“Tapi aku…” kujawab dengan ragu. Aku tak pernah mengatakan kalimat ini seumur hidupku. “Aku cinta sama kamu.”

Bu Wulan menghentikan kegiatannya. Ia berpaling melihatku. Matanya berkaca-kaca. Ia lalu buru-buru menghampiriku di sofa dan menciumku mesra. Bibir kami bertemu, bergulat. Bu Wulan berada di pangkuanku, tangannya memegang kedua pipiku dengan mesra.

Kemudian Bu Wulan menarik wajahnya dan berbisik, “Aku juga cinta sama kamu, sayang.”

Tuhan, inikah surga dunia itu?
Untuk mencintai dan merasakan cintanya berbalas?
TIdakkah ini cukup?


“Makanya aku nggak—" kalimatku terpotong.

Bu Wulan menempatkan telunjuknya di tanganku. “Kasih dia kesempatan. Kamu nggak sewajarnya berhubungan dengan perempuan dua kali usiamu. Lagian kan belum tentu dia suka sama kamu. Mungkin cuman mau jadi temen?”

Aku mengangguk. Melihat ke dalam matanya yang penuh cinta dan penuh kebijaksanaan.

“Eh, masakannya,” aku refleks berkata saat mencium aroma yang mulai tak enak.

Bu Wulan tertawa dan langsung melompat bangun, menghampiri wajan yang ia tinggalkan. Sementara aku kembali ke hp ku dan mencoba menjawab chat itu dengan sewajarnya sebagai seorang teman.

< f >

Farah menatap layar hp miliknya dengan malas. Ia menerima chat dari teman angkatannya yang bernama Yoga. Sejujurnya ia tak ingat siapa Yoga ini. Walaupun foto profil Yoga cukup jelas terpampang, Farah masih tak ingat juga. Tak peduli lebih tepatnya.

Hingga ketika Yoga menyebut satu nama yang langsung membuat hatinya kepincut. Bintang.

Yoga: Ya, soalnya Bintang katanya nggak berani ngontak kamu, makanya aku beraniian diri. Anyway sekarang lagi ngapain?
Farah: Oh, ini baru habis pulang dari kumpul sama temen-temen mentoring.


Bintang temannya satu organisasi di LDK? Yang ia perhatikan tak henti-henti saat pengenalan organisasi meski terletak di seberang aula? Yang diam-diam ia tatap dengan penuh perasaan saat kumpul angkatan?

Ada sesuatu dalam diri Farah yang naik ketika melihat laki-laki yang alim. Apalagi ketika Yoga berkata bahwa Bintang sampai tidak berani memulai chat dengan Farah. Benar-benar menjaga diri! Membuat Farah semakin penasaran dan menimbulkan gejolak di hatinya.

Ia mengabaikan chat selanjutnya dari Yoga dan membuat percakapan baru dengan Bintang. Sejak awal mereka perkenalan di grup chat angkatan, Farah menyimpan kontak Bintang kalau-kalau suatu hari terjadi sesuatu yang diinginkan.

Ini lah saat yang diinginkannya. Kesempatan.

Ia mengirim chat dengan Bintang. Napasnya memburu seperti akan berlari marathon. Dadanya terasa hangat meski ia sedang mengenakan baju tidurnya yang tipis dan berada di ruangan ber-AC.

Setiap balasan chat yang dingin dari Bintang membuat Farah semakin bergejolak. Ia mulai menyentuh bagian sensitif tubuhnya. Meremas-remas dadanya yang besar, mengusap-usap bagian kewanitaannya. Ahh, ia sudah lama tak melakukan ini sejak ia hijrah waktu SMA.

“Ah… Terus, akhiiii,” gumamnya. Tak ingin didengar teman di kamar sebelah.

Ia melanjutkan chat itu sambil sesekali melirik foto profil Bintang. Membayangkannya sedang berdua dengan dirinya. Bagaimana Bintang akan membuka bajunya dan menghampirinya. Bagaimana Bintang akan mengecup dengan lembut keningnya. Kemudian pipinya. Hingga lumatan Bintang di bibirnya.

Bagaimana Bintang yang alim ternyata begitu ganas. Tangan Bintang yang meraba-raba seluruh tubuhnya. Dari leher, turun ke dada, membentuk garis lurus ke putingnya. Lalu terus turun ke sisi perut sampai akhirnya menyentuh kemaluannya. Semua itu dibayangkannya dengan jelas.

“Iya… di situ. Akhii… Bintang!” ceracaunya berusaha menahan suara.

Bintang yang akan memasukkan batang kejantanannya yang begitu kokoh ke dalam vaginanya. Kemudian menyentakkan dengan hebat. Menampar-nampar pantatnya sembari mereka melakukan doggy style.

Farah menggosok-gosok vaginanya semakin cepat. Ia tak ingat kapan membuka bajunya, yang jelas kini ia sudah telanjang bulat. Sprei kasurnya kusut akibat geliat tubuhnya.

Hingga Bintang tak menjawab lagi pesan darinya. Membuatnya melempar hp ke bagian lain kasur dan dengan tangannya yang bebas langsung meremas-remas dadanya sendiri. Memelintir putingnya. Menambah kenikmatan yang ia fantasikan.

Di dalam pikirannya, Bintang sekarang sedang melakukan gaya misionaris. Memompa vaginanya dengan kencang. Semakin kencang Bintang memompa dalam pikirannya, semakin kencang pula Farah menggosok-gosok vaginanya.

“Iya! Terus! Bintang! Bintang! Bintang! Kasarin aku Bintang!” ia melenguh kenikmatan, tetap berusaha menjaga volume suaranya rendah. Matanya hanya terlihat putih saking nikmatnya. Tangannya terus menggosok vagina dan memainkan putingnya.

“Aku nyampeeeee,” Farah mendesis. Ia bergetar hebat dan meraih orgasme ternikmat dalam hidupnya. Dalam khayalnya, Bintang secara bersamaan menyemburkan spermanya ke dalam rahimnya. Kemudian ambruk ke dalam pelukan Farah yang langsung menguncinya dengan tangan dan kakinya.

“Ah, akhi. Kamu bisa ngebuat aku nakal lagi,” Farah bergumam dengan pikiran yang melayang. Ia mengecup udara, seolah Bintang ada di sana.

Farah hanya tersenyum saat ia melihat keadaan kasurnya yang kacau. “Ih, aku keluar banyak, ya. Kamu mainnya hebat.”

Bintang yang ada di dalam kepalanya menjawab, “Memek kamu juga enak, sayang.”

Kemudian Farah tertidur pulas setelahnya. Di alam mimpi, ia berkencan dengan Bintang. Mengunjungi berbagai tempat berdua, bermesraan layaknya suami istri. Yang mana Bintang sesekali menggoda Farah di tempat umum diam-diam. Menyentuh pantatnya, menyenggol payudaranya. Menciumnya mesra jika Bintang melihat tak ada orang di sekitar.

Farah tertidur dengan senyum lebar di wajahnya. Masih telanjang.

< b >

Aku menatap ke arah cermin di kamar mandi. Pada cermin itu, terpampang pemandangan yang sangat indah. Bu Wulan akan menggosok gigi ketika aku yang merangkulnya dari belakang. Ia masih telanjang, baru selesai mandi. Dadanya yang sekal bergoyang dengan setiap gerakan tubuhnya. Tangan kanan Bu Wulan memegang mesra tanganku yang melingkar di pinggangnya.

“Aku sayang kamu,” bisikku tak bosan-bosan sejak hari minggu kemarin. Mengecup tengkuknya yang tersingkap karena rambutnya diikat.

Kami baru bersama selama tiga malam, tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun. Tahun-tahun dengan perasaan cinta yang penuh gejolak.

Bu Wulan meletakkan kembali sikat giginya. Ia berputar, menghadap ke arahku, masih dalam rangkulan. Tatapan matanya yang jernih menghipnotis. Ia balik menjawab, “Aku juga sayang kamu. Sayang, cinta, gak pengin lepas dari kamu selamanya.”

Aku mengecup bibirnya. Tak tahan. Melahapnya dengan semangat. Memainkan lidahku dalam mulutnya. Ia pun tak mau kalah. Tangannya meremas kepalaku dan menekannya lebih dalam. Sedang tanganku meraih pantatnya dan meremasnya.

Batang kejantananku yang hanya ditutupi celana pendek menegang. Bu Wulan pasti merasakannya, karena kemudian ia turun menunduk dan membuka celanaku. Aku memejamkan mata ketika Bu Wulan mengecup ujung kemaluanku dengan penuh perasaan. Tangannya meraba-raba di sekujur batang dan buah zakarku.

Bu Wulan kemudian mulai menjilat batang kemaluanku. Dari ujung hingga pangkalnya. Menimbulkan getaran syahwat yang membuatku merinding. Kupikir itulah puncak kenikmatan, sampai akhirnya Bu Wulan memasukkan kejantananku ke dalam mulutnya. Ia mengoral kejantananku dengan cepat hingga ke pangkal tenggorokannya. Awalnya penisku menyentuh giginya, namun seolah mengerti, Bu Wulan dengan cepat belajar dan menjadi lihai.

Penisku berasa sangat nikmat. Setiap kali ujung penis menyentuh pangkal tenggorokan, aku melenguh kenikmatan. Rupanya itu membuat Bu Wulan semakin semangat dan mempercepat kocokannya. Tangannya juga tak berhenti di sekitar buah zakar dan batang kemaluanku, namun juga merangsang putingku, meraba-raba dada dan perutku. Sedang tanganku membelai kepala Bu Wulan yang bergerak-gerak.

Kocokan Bu Wulan semakin cepat, dan aku tak tahan lagi.

“Sayang, aku mau keluar,” aku bergumam di sela-sela lenguhanku.

Bu Wulan bukannya melepaskan malah semakin cepat memompa penisku. Suara becek yang ditimbulkan pelumas dan air liur Bu Wulan memenuhi ruangan. Sampai kemudian aku menggelinjang hebat, berusaha melepaskan penisku dari dalam mulut Bu Wulan. Namun Bu Wulan tetap menahannya, membuatku memuntahkan spermaku ke dalam mulutnya.

"Ah, sayang!” seruku. Menyemburkan sperma.

“Nggmmmmfff!” Bu Wulan membenamkan penisku dalam mulutnya.

Bu Wulan membiarkan penisku berhenti berkedut sebelum kemudian menjilati sisa-sisa sperma di batang kejantananku. Perasaan ngilu dan enak bercampur saat ia bermain di kepala penisku. Membuat lututku lemas dan terhuyung sakit nikmatnya.

Saat selesai, Bu Wulan kembali berdiri sejajar denganku. Aku hendak menciumnya, namun ia menghindar, sehingga hanya pipinya yang dapat kukecup. Bu Wulan membuang sperma di dalam mulutnya ke wastafel dan kembali akan menggosok gigi. Sedang aku yang lemas berbalik badan menuju sofa.

Beberapa saat kemudian Bu Wulan sudah mulai berpakaian dan berdandan.

“Buruan mandi, sayang. Nanti telat,” Bu Wulan berkata sambil menyisir rambutnya.

Aku yang mulai terisi tenaganya pun bangkit. Sebelum ke kamar mandi, kuberikan kecupan yang tadi tak sempat kuberikan.

“Makasih, ya, sayang. Kamu yang terbaik,” kubisikkan di telinganya setelah kucium bibirnya. Ia hanya tersenyum dan mengecupku balik dengan mesra. Sebelum berlanjut terlalu jauh, aku melepaskan ciuman itu dan bergegas ke kamar mandi.

Atas usulku, kami tidak berangkat bersamaan pagi itu. Bu Wulan berangkat menggunakan mobilnya sedang aku dipesankan ojol olehnya.

Sepanjang jalan, aku memikirkan bagaimana hubungan kami akan berujung. Apakah aku bisa menikahinya? Kuharap begitu. Amat sangat berharap terjadi seperti itu.

< ? >

Jaelani menatap langit sore dengan wajah masam. Sebagai yang mewarisi ilmu, ia dapat merasakannya. Awalnya Jaelani tak berpikir bahwa kutukan itu nyata. Karena setelah sekian tahun berlalu, tak ada sesuatu yang berarti telah terjadi. Hidup ada dalam kedamaian. Ia sempat berpikir bahwa Zul hanyalah orang tua sekarat yang terlalu khawatir.

Namun sore itu memang berbeda. Aura di ufuk barat terdistorsi, terasa sampai ke sumsum tulang belakang Jaelani. Kontak mereka akan menjadi pelatuk. Jaelani pun sudah tak dapat mencegahnya. Ia menyesal tak melihat lebih seksama.

Tapi setidaknya keponakannya itu memiliki iman yang kuat. Jaelani berharap entah bagaimana caranya itu akan melemahkan kutukan.



to be continued


Ke Chapter 4
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd