Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Belahan Hati (Cintaku pada Dosen)

CHAPTER 4
LOVEBIRD



Awalnya aku menolak untuk tinggal bersama di apartemen Bu Wulan. Akan menimbulkan banyak kecurigaan oleh teman-teman maupun keluargaku di kampung. Namun perasaan kami begitu menggebu-gebu, aku sampai jarang pulang ke kos. Dalam sebulan belakangan, aku hanya pulang untuk mengambil baju dan beberapa barang. Sisanya aku habiskan bersama Bu Wulan di apartemen. Sama saja aku pindah ke sana.

Jadi bulan berikutnya aku memutuskan untuk berhenti tinggal di kos dan memindahkan barang-barangku ke apartemen Bu Wulan.

Kami menghabiskan waktu seperti sepasang suami istri muda. Mengatur ulang tata letak barang-barang di apartemen untuk menyesuaikan dengan barang-barangku yang baru datang, belanja bersama di supermarket, pergi berpacaran setiap malam minggu. Seringnya kami berkencan atau berbelanja di tempat-tempat yang kecil kemungkinannya untuk bertemu teman-temanku atau rekan dosen Bu Wulan. Ditambah, aku atau Bu Wulan akan mengenakan kacamata setengah gelap untuk menutupi identitas kami.

Namun kadang, kami tak peduli dan pergi berdua tanpa menutupi identitas kami. Berjalan berdua dengan begitu lengket, persis seperti kelakuan remaja-remaja yang sering kuejek dulu.

Satu bulan berjalan begitu indah tanpa ada satu pun kesusahan. Hanya kesempurnaan.

Akhir pekan ini kami habiskan seperti pekan-pekan sebelumnya. Duduk berdua di atas sofa, menonton drama dan film.

Melihat reaksi Bu Wulan adalah candu.
Tangisnya yang polos ketika melihat adegan haru.
Tawanya yang renyah dan merdu di telingaku.
Caranya menutup mata dan berlindung padaku ketika adegan seram.
Aku kecanduan semua itu.

Saat malam mulai menjelang, kami juga mulai semakin bergairah. Film romantis di TV hanya menjadi suara latar yang mengiringi kemesraan kami. Ciuman-ciuman yang panjang dan lama. Rabaan dan rangsangan lembut yang menaikkan gejolak sedikit demi sedikit. Lenguhan Bu Wulan dan aku yang bercampur menjadi satu.

Baju longgar yang biasa dikenakan Bu Wulan pada siang hari jarang terpakai di malam hari. Aku meremas dadanya sambil terus bertukar kecup. Tangan kami yang lain saling meraba kemaluan satu sama lain.

Entah karena kami saling menghormati, atau memang perasaan kami dasarnya tulus karena cinta, kami belum pernah berhubungan badan. Itu pun tak mengapa, karena petting dan permainan oral ini sudah lebih dari cukup untuk meraih kenikmatan masing-masing.

Malam ini Bu Wulan menghentikan aktivitas kami di atas sofa. Ia mengajakku ke atas ranjang, menggamit tanganku mesra. Ia mendorongku lembut, mengisyaratkan agar aku berada di bawah. Bu Wulan lalu menduduki wajahku, yang dengan rela kusambut.

Pantatnya yang ranum dan indah, kuremas-remas dengan gemas. Bu Wulan mulai menurunkan pantatnya sekaligus langsung melahap penisku. Aku dengan semangat menjilati liang kewanitaannya. Ada daging sebesar kacang yang selalu kuincar untuk membuat Bu Wulan menggelinjang kenikmatan.

Bau amis bercampur harum dan aroma khas tubuh Bu Wulan ini bak parfum yang sangat harum di hidungku. Kujilati dengan semangat, lidahku menari-nari di dalamnya. Sedang Bu Wulan memainkan lidahnya dengan lihai pada penisku. Menjilatinya dari ujung sampai ke pangkal, begitu terus, naik-turun, naik-turun, memberikan sengatan yang sangat nikmat ke ujung-ujung syarafku.

Tak cukup kujilati, satu tanganku ikut menggosok daging kecil yang disebut klitoris itu. Membuat Bu Wulan melenguh-lenguh dengan mulutnya yang penuh tersumpal penis. Tanganku yang bebas meraba-raba punggung Bu Wulan, kadang berusaha turun ke payudaranya di bawah sana. Memelintir putingnya.

“Ahhhh! Iya sayang, enak!” Bu Wulan merintih saat kulakukan kombinasi itu. Membuatnya melepas sementara penisku.

Bu Wulan lalu tak mau kalah memasukkan penisku sampai ke pangkal tenggorokannya. Tangannya tak mau tinggal diam, ikut memijit dan mengocok batang penis dan buah zakarku.

“Nggmmmffhhhhh,” Bu Wulan mulai menggerang. Badannya mulai bergetar-getar, memberi sinyal bahwa ia akan sampai. Di saat bersamaan, kami mempercepat kocokan kami. Lidahku semakin liar, dan tanganku dengan membantu cepat menggesek-gesek, lalu tangan yang lain meremas-remas puting Bu Wulan.

“Ahhhh!!” Bu Wulan membenamkan kepalanya semakin dalam, sedang ia juga menekan pantatnya turun. Kami menggelinjang hebat dan akhirnya keluar dalam waktu yang hampir bersamaan. Bersatu, berpelukan, tak ingin lepas.

Melayang-layang, sebelum kemudian Bu Wulan ambruk ke samping. Aku membalik posisi diri agar sejajar dengannya. Lalu kami bertukar ciuman, tak peduli akan bau amis dari masing-masing mulut. Bagi kami itu terasa sangat nikmat.

Bu Wulan merangkul tanganku mesra. Sedang aku mengecup keningnya. Kami terus saling mengecup dan membelai hingga akhirnya tertidur.

< f >

Farah selalu tak bisa menghubungi Bintang di malam minggu. Bintang selalu membalas chatnya pada subuh esok harinya. Entah mengapa segala tantangan ini malah membuat Farah semakin bergairah. Ia semakin penasaran. Ia ingin memiliki Bintang. Seutuhnya.

Farah: Kamu libur idul adha besok mau ke mana? (Sabtu, 20.30)
Bintang: Pulang kayaknya. (Minggu, 05.15)
Farah: Oh ya? Kayaknya seru ya, main-main ke Sumbawa. Pengen deh kapan-kapan main ke sana.
Bintang: Iya.
Farah: Biasanya di sana jalan-jalan ke mana?
Bintang: Pantai, air terjun


Jawaban-jawaban pendek dari Bintang justru membuat Farah semakin bergairah. Ia meraih ke dalam rak, mengambil sesuatu yang baru dipesannya kemarin. Sebuah vibrator. Sungguh, Bintang telah membuatnya menjadi maniak seperti saat sebelum hijrah.

Farah tak peduli. Ia tergesa membuka baju tidurnya yang longgar itu, lalu mengangkang di atas kasur. Ia sudah men-charge baterai vibratornya semalaman. Kebiasaan yang sudah berlangsung 2-3 kali ini tetap membuatnya bergairah. Bahkan semakin tinggi dari hari ke hari.

Ia membuka galeri hp miliknya, berisi dari berbagai foto Bintang dari berbagai sumber. Foto profil yang screenshot olehnya, foto yang diunggah oleh teman Bintang, semuanya dikumpulkan untuk menjadi bahan fantasinya.

Dengan napas terengah-engah, Farah membalas chat sambil membuka foto-foto Bintang pada setengah layar hp. Tangan yang satunya sibuk mengarahkan vibrator ke liang kewanitaannya. Ia begitu bernapsu.

“Nnnggghhhh!” Farah menahan desahnya saat vibrator itu menyentuh bibir kemaluannya. Ia sudah basah sejak pertama dibalas Bintang.

Farah berusaha mengirim sinyal-sinyal pada Bintang.

Farah: Kamu rencana menikah umur berapa?
Bintang: Lulus kuliah, mungkin
Farah: Udah ada calon? Atau masih nyari-nyari?
Bintang: Maaf, privasi, ya


Jawaban itu membuat Farah semakin panas. Ia menekan vibrator itu lebih dalam.

“Iya! Kasarin aku!” Farah berdesis, tetap menahan suaranya. Dalam pikirannya, Bintang sedang menggenjotnya sambil tangannya menggosok klitoris Farah. Farah juga menggeser gambar-gambar di hp-nya, mencari ekspresi Bintang yang sesuai.

Lalu seperti biasa, setelah beberapa belas menit chatting dengan Farah, Bintang tak lanjut menjawab. Itu selalu membuat Farah semakin menyukainya. Membuatnya semakin penasaran untuk menaklukkan sosok misterius seperti Bintang. Farah meletakkan hp nya ke samping, dan dengan tangan yang bebas, ia meremas sendiri putingnya. Bergantian, kanan-kiri.

“Ugghhhhhh, terussss,” Farah berceracau. Mulutnya monyong, seolah menyambut bibir Bintang khayalan yang sedang menciumnya.

Badan Farah menegang, sampai beberapa detik kemudian, ia mengambil bantal di samping, kemudian berteriak di balik sumpalan bantal itu.

“Enaaaaakkkkk! Akhi Bintaaaaang!” suara Farah teredam. Tangan yang satunya menekan-nekan vibrator pada puncak kenikmatan itu. Dalam khayalnya, Bintang ikut mengejang dan menyemburkan sperma ke dalam rahimnya.

Farah tersenyum-senyum di tengah sisa-sisa kenikmatan itu.

Sampai bunyi pesan di hp nya menyadarkannya yang sudah diujung kantuk. Pengingat untuk kegiatan mentoring hari ini. Farah lalu bergegas menuju ke kamar mandi di dalam kamarnya dan bersiap.

< b >

“Pokoknya aku ikut, ya sayang?” Bu Wulan bertanya dengan manja di sampingku.

Ia tetap memaksakan kehendak untuk ikut bersamaku pulang ke Sumbawa akhir pekan ini. Ya, berpisah berjam-jam sudah cukup membuat kami tersiksa. Kini kami harus berpisah sampai lima hari? Aku merasa wajar jika ia ingin ikut. Namun aku khawatir tak tahu bagaimana nanti di sana.

“Nanti aku menginap di hotel. Yang murah aja. Kamu bisa kapan-kapan berkunjung. Kalau sempat nanti kamu ajak jalan-jalan,” Bu Wulan lanjut memberi argumen.

Aku masih ragu, tapi tak dapat mendebat argumen itu.

“Kalau mau, nanti bahkan bisa ngebuat skenario pura-pura ketemu sama keluargamu. Biar aku kenal. Ceritanya ada dosen yang kebetulan berlibur ke sana…” kata Bu Wulan.

“Kayaknya kalau itu kejauhan, sayang,” kataku sambil membelai rambutnya.

Bu Wulan tertawa. “Iya, iya. Aku di hotel aja.”

Kukecup keningnya lalu berkata, “Oke.”

Perasaanku selalu lebih kuat dari logika. Dan selama sebulan ini terbukti benar.


To be continued

Ke Chapter 5
 
Terakhir diubah:
Jadi berandai andai arah endingnya...
Mohon bersabar ya, gan @TorangBlack . Yang pasti endingnya bukan "harta karunnya adalah persahabatan yang telah kita lalui" ;)

Ane ngerancang sekitar 15 chapter (kurang atau nambah sesuai revisi). Ending udah ada, penulisan udah masuk 2/3 akhir.
Siapa Zul dan apa kaitannya dengan tokoh utama kita akan terjawab pada waktunya :ampun:
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd