Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Bidadari Badung

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Wah jadi siapa yg duluan ekse maid ? Mas Ken ? Pak Richard atau mas Vin ? Atau bareng" eh
 
Izin membangun pelabuhan, hu. Mau marathonin cerita ini mumpung belum terlalu jauh

Edit : Walah, Chika nakal amat yak jadi sang... Sayang. Keren hu, ditunggu kenakalan-kenakalan Chika berikutnya
 
Terakhir diubah:
8. MBAK VIVI


Happy Reading​

Pagi harinya aku diantar pulang Mas Vin. Soal semalam, kami jadi canggung. Sejak berangkat, Mas Vin datar - datar saja wajahnya. Aku apalagi, cuma pembantu. Tak bisa berkomentar.

"Kok diem? Kan saya bilang ngomong," cetus Mas Vin bernada kesal. Aku lebih banyak memainkan tepi pakaian.

Sejenak aku memikirkan kata, "Maaf, Mas soal semalem."

"Yang mana? Liat saya atau soal cuci piring?" Bibir Mas Vin sedikit miring, terkesan meremehkan. Bagiku tidak.

"Dua duanya."

Ia malah tertawa. "Belum pernah liat cowok telanjang?"

"Pernah."

"Sama pacar nonton film bokep kan?"

"Di rumah," jawabku keceplosan. Harusnya aku iyakan saja. Sekarang jadi panjang nih. Aku menggigit bibir bawah. Takut salah.

"Maksudnya? Rumah yang mana?"

"Pak...Ri-chard."

Mas Vin kebingungan sama penjelasan aku. "Gimana? Coba jelasin?"

Aku paparkan ke Mas Vin tentang Pak Richard yang pernah meminta aku memakai g-string sewaktu kerja lalu diminta mengoralnya. Juga soal Mas Ken yang pernah aku oral seks dan aku telanjang di depan Mas Ken. Wajah Mas Vin berubah, ia emosi dan kesal.

"Mas tolong, jangan kasih tau Bu Richard." Aku memohon dan mengiba, "...Ini semua salah saya, Mas. Tolong. Ini salah saya. Saya yang mau. Saya yang salah."

"Kamu yang salah? Ga ngerti saya."

"Saya yang mau, Mas. Saya ngga ngerasa dilecehkan."

"Astaga, Chika! Masih gagal paham saya. Beneran. Takut salah saya menilai kamu." Beberapa kali Mas Vin sesekali memperhatikan aku, entah apa tujuannya. Ia juga harus lurus ke dapan pandangannya. Ke arah jalan. Ia kemudian terkekeh, "Ya udah, coba kamu telanjang di sini. Hahaha. Ada - ada aja kamu, Chik."

Antara bercanda atau bukan, aku menganggapnya sebagai permintaan. Aku sadar mengenai apa yang aku lakukan kemudian. Aku ingin dan aku mau. Aku buka kancing kemejaku cepat dan lepaskan. Mas Vin tidak memperhatikan, lalu lintas sedang ramai jadi ia tidak menoleh. Aku juga mudah melorotkan mini skirt aku.

"Behanya juga, Mas?" Aku bertanya.

Barulah ia menoleh dan terperangah, "Ya Tuhan, Chika! Apa - apaan kamu? Saya ngga serius!! Astaga!! Pakai buruan! Pakai! Ini lagi ramai!" Mas Vin panik bukan main melihatku setengah telanjang, sedangkan aku biasa - biasa saja. Aku kembali berpakaian.

"Udah, Mas," jawabku mengancingkan kancing paling atas.

"Kamu....aduuuh. Chika...maaf ya. Nafsu seks kamu ini tinggi?" Mas Vin keliatan cemas terhadapku. Ruas jemarinya menyisir rambutnya. Kini, arah pandangnya jadi sering melihat aku. Takut aku berbuat seperti tadi lagi.

"Mungkin, Mas."

"Saya beneran cemas nih. Misalnya Pak Richard sama Ken ngajak kamu ngeseks, kamu mau?" tanya Mas Vin, terdengar buru - buru dan penuh rasa penasaran.

"Ngga mau."

"Kalau saya yang minta?" tanya Mas Vin memberi penekanan.

Aku diam beberapa detik, "Ma-mau."

"Astagaaa! Kenapa? Kita kan baru kenal?"

"Mas Vincent gan-teng." Aku mengucapkannya sambil tersenyum simpul, lega akhirnya bisa tersampaikan.

"Ya Tuhaaan. Chikaaa..." Ia menggelengkan kepala.

"Ma-af ya, Mas Vin." Aku merasa harus mengatakan hal ini. Aku yang terlalu terbuka, polos, dan bodoh. Seringkali berbicara tanpa berpikir. Mengikuti hawa nafsu. Bodohnya selalu berulang.

"Maaf untuk apa?"

"Lancang."

"Hahaha...ya sudah. Lupain. Saya juga bingung harus bersikap bagaimana."

"Mbak Mira pacar Mas Vin ya?" Aku memejamkan mata. Mengulangi kelancangan. Tapi mulutku ini sulit dikendalikan. Kalau tidak, hati aku deg - degan terus dan tidak bisa tidur.

Mas Vin tertawa keras. Tawanya lepas tanpa dibuat - buat. "Baru kali ini lho. Ada cewek baru kenal, nanya gitu. Berani. Hahaha. Gapapa kok. Kecuali kamu nanya gaji saya berapa." Ia tertawa lagi.

"Jadi?"

"Memangnya kalau iya atau tidak kenapa?" Sisa tawanya masih tersemat di bibir tebalnya.

"Ngga kenapa - napa." Aku merengut karena tak mendapatkan jawaban jelas, malah sebuah pertanyaan yang membuatku harus berpikir banyak. Malas. Kubuang saja arah mataku ke jalan. Tak kupedulikan lagi soal Mas Vin.

"Ngambek?!" seru Mas Vin. Aku tak menghiraukannya. Diam. Pria macam Mas Vin pasti sudah paham aku naksir dia. Mudah ditebak memang perilaku aku. Susah untuk bersikap jual mahal. Bahkan sampai di depan rumah Bu Richard, Mas Vin tidak memberi jawaban kongkrit. Ia gantung pertanyaanku.

"Makasih, Mas Vin," jawabku. Nadanya terdengar tidak tulus. Ada rasa kesal.

Aku segera masuk ke dalam rumah setelah membuka gembok rumah, tanpa menoleh. Melangkah menuju garasi yang mengarah ke bagian belakang rumah. Masih pada tidur di hari minggu ini, waktu baru menunjukkan pukul 09.00. Aku harus bekerja seperti biasa. Ke kamar berganti daster. Di ruang service, cucian sudah menumpuk. Akan jadi hari yang panjang. Menyeterika sebanyak itu. Biasanya aku dahulukan pakaian untuk sekolah dan kerja. Pakaian sehari - hari bisa menyusul.

Ternyata Bu Richard baru bangun, ia duduk di ruang makan menikmati teh yang ia buat sendiri. Aku menghampiri dan bertanya.

"Mau masak apa, Bu hari ini?" aku bertanya demikian, agar aku bisa berbelanja bahannya sebelum yang lain bangun.

"Nanti pesan saja."

"Oh, iya, Bu. Saya permisi ke atas, mau bersih - bersih." Aku membungkukkan badan lalu beringsut ke belakang mengambil peralatan lap dan semprotan.

Di lantai atas baik Mas Ken dan Mbak Vivi masih tidur. Jujur aku lebih rindu Mbak Vivi. Imajinasiku aku tentang Mbak Vivi aku simpan sementara. Lanjut berburu debu di atas meja, televisi, kursi, lukisan, dan semuanya. Kemoceng terselip di ketek, lap di tangan kanan, semprotan di tangan kiri. Besok sudah mulai kuliah. Aku harus semangat dan rajin.

"Chika!" panggil seseorang.

Aku menoleh, Mbak Vivi keluar dari kamar memakai piyama. Ia meregangkan tubuhnya. Bangun tidur. "Iya, Mbak." Aku mendekatinya.

"Pijatin aku ya? Pegel. Aku kuliahnya libur, kepengen dipijetin kamu lagi."

"Oh, iya, Mbak." Aku menganggukkan kepala.

"Ya udah yuk ke kamar," ajak Mbak Vivi.

Aku masuk ke dalam kamarnya, duduk di tepi tempat tidur menghadap pintu. Mbak Vivi di kamar mandi mencuci muka, begitu keluar ia berbaring berselimut handuk. Saat tengkurap, ia menutup punggungnya dengan handuk putih besar. Aku mengambil baby oil segera.

"Saya buka ya, Mbak handuknya?"

"Ho oh."

Mbak Vivi sudah tak memakai baju dan beha, tapi masih memakai celana piyama. Aku bisa melihat bayang - bayang celana dalam putih di balik celananya yang tipis. Punggungnya yang putih mulus aku tetesi baby oil. Pemandangan indah ini membuatku gemetar, Mbak Vivi cantik sekali dalam keadaan bangun tidur. Ingin rasanya aku mengecup bibirnya.

"Mbak Vivi habis begadang ya?" aku beranikan bertanya. Terasa sekali ada bunyi antar sendi yang cukup terdengar kretek - kreteknya.

"Iya, ngerjain tugas."

Aku memijat bagian pinggulnya, ia mengerang keenakan karena pijatanku di daerah situ. Perlahan baru aku naik ke atas sekitar bahu dan pundaknya. Terasa sekali libidoku naik setiap memijatnya. Aku lebih merasa senang melihat Mbak Vivi ketimbang Mas Vincent.

Saat memijat tangannya, bagian ketiaknya begitu mulus dan bersih. Duh, rasa ingin menjilati bagian itu. Payudara mungilnya yang terjepit tempat tidur. Bulu - bulu halus di tangan Mbak Vivi sepertinya menunjukkan libido Mbak Vivi juga tinggi.

"Mbak kakinya juga dipijat?"

"Iya."

"Saya lepas ya, Mbak? Sama celana dalamnya." Aku menelan ludah. Deg - degan. Penasaran apakah diizinkan.

"Telanjang?"

"Kan sama - sama perempuan, Mbak." Tanganku gemetar. Tak sabar menelanjangi Mbak Vivi.

"Ya udah deh."

Aku pegang tepi karet celana piyama senkaligus celana dalamnya, zuzur aku deg - degan. Belum pernah melihat langsung tubuh perempuan lain. Namun begitu aku menarik celana dalam Mbak Vivi, jantungku benar - benar berdegup kencang. Pantatnya yang mulus, tidak montok memang tapi putih bersih. Bahkan aku bisa melihat belahan vagina Mbak Vivi yang masih rapat. Aku tebak Mbak Vivi jarang berhubungan seks atau malah pernahnya masturbasi. Ketika celana dalam itu lolos, rasanya lega.

Beberapa tetes baby oil aku teteskan di pantat dan paha Mbak Vivi. Perlahan dan lembut aku pijat bagian pantat dan pahanya Mbak Vivi. Beberapa kali Mbak Vivi mendesah karena otot ototnya lemas. Mataku tak bisa lepas menatap lurus belahan vagina Mbak Vivi, ingin aku tempatkan jemariku di sana dan membelai garis vertikal memeknya. Satu persatu betis dan telapak kakinya selesai aku pijat.

"Enak banget, Chik, pijatan kamu."

"Bagian depan juga, Mbak?"

"Maksudnya?"

"Maaf, Mbak. Kalau Mbak mau," tuturku takut lancang.

"Emang kamu ga malu liat perempuan telanjang?"

"Kan sama - sama perempuan, Mbak."

"Iya sih. Ya udah terserah kamu. Yang enak ya?"

Dan yang aku harapkan benar - benar terwujud. Mbak Vivi berbaring terlentang. Libidoku langsung naik melihat payudaranya yang mungil mancung. Puting susunya kemerahan sudah mencuat. Aku menebak pasti mengeras. Bulu kemaluannya tumbuh tipis seperti abege, belahan memeknya yang rapat. Dan klitorisnya begitu menggodaku. Aku merasa Mbak Vivi polos atau memang sengaja berbaring telanjang seperti ini. Aku memejamkan mata sejenak, hasrat seksualku sudah benar - benar menguasai pikiranku.

Lantas aku memberanikan diri bertanya, "Mbak Vivi. Maaf ya, Mbak. Maaf. Saya mau tanya. Maaf kalau lancang."

"Tanya apa?"

"Kalau Mbak liat perempuan telanjang risih ngga?" Darahku berdesir cepat sewaktu melontarkan pertanyaan itu. Tanganku terus memijat kedua belah kakinya dengan minyak.

"Kenapa memang?" Alis Mbak Vivi berkerut. Ia serius bertanya.

Aku beranikan jemariku mendekat ke pangkal pahanya, ibu jariku di dekatkan ke daerah sensitifnya. Perlahan tapi pasti aku menjelajah di sana. Tapi belum berani aku menyentuh vaginanya. Aku teteskan lagi baby oil di perutnya saja. Memulas dan menekan perut Mbak Vivi yang agak membuncit. Aku menyukai perut perempuan seperti itu daripada yang langsing dan ramping.

"Tapi jangan marah ya, Mbak. Maaf," ucapku penuh keraguan. Takut salah target. Ngga lucu kan kalo Mbak Vivi ga suka sensasi lesbian.

"Maaf terus dari tadi. Ngomong aja, Chik."

"Anu, Mbak. Saya juga...pengen telanjang." Aku menunduk. Menjeda sejenak pijatan. Takut diomelin.

"Kamu nafsu liat saya telanjang?" tanya Mbak Vivi. Menyangga tubuhnya dengan siku sambil telentang.

Aku menganggukkan kepala. Dan ditertawakan Mbak Vivi. Aku malu sekali.

"Kok bisa?" tanya Mbak Vivi kemudian. Ia masih terkekeh. "Sering liat film porno ya?" tuduhnya.

"I-iya, Mbak."

"Haduuh, Chika, Chika." Mbak Vivi diam sejenak. Ia bangkit dan duduk. Menyandarkan punggungnya di headbed. Aku pun beringsut mundur. Tersenyum getir. Takut. "Memangnya kalo kita sama - sama telanjang, kamu mau apa?"

Aku menggeleng saja. Beneran tidak berani mengungkapkan.

"Aku janji deh, ga marah. Asal kamu ngomong. Beneran lho. Aneh aja. Kok bisa kamu nafsu sama perempuan."

"M-Mbak Vivi cantik," jawabku tersipu malu.

"Bukan, bukan itu. Kamu mau ngapain emang?" Mbak Vivi terus menyecar.

"Boleh pinjem hapenya, Mbak?"

"Nih!"

Mbak Vivi memberikan ponselnya. Aku segera mencari di gugel gaya lesbian yang aku maksud. Gaya gunting. Lalu aku tunjukkan ke Mbak Vivi.

"Kamu serius ngajak saya gini?" Alis Mbak Vivi menyatu, aku membacanya ada ketidaksukaan.

"Iya, Mbak." Aku tetap menunduk. Tak berani menatap matanya.

"Hmmm... ya udah. Coba kamu telanjang. Kali aja saya nafsu sama kamu."

Jantungku benar - benar berdegup kencang. Aku beranjak dari tempat tidur dan berdiri di depan tempat tidur. Mata Mbak Vivi terpaku diam memandangiku lurus. Aku mulai membuka kancing dasterku yang tiga buah. Tanganku menurunkan daster di bahu. Dan merosot perlahan. Begitu tanganku lurus ke bawah, dasterku sudah meluncur turun melalui dua jenjang kakiku.

Mbal Vivi menelan ludahnya. Wajahnya tegang. Kedua tanganku beralih ke belakang tubuh. Meraih kait beha.

Ctak

Aku sangga cup behaku dengan lengan agar tidak terjatuh. Perlahan aku tunjukkan kedua belah payudaraku ke Mbak Vivi. Dan beha aku jatuhkan di lantai. Tak ingin membuang waktu, aku juga segera memelorotkan celana dalamku. Aku sedikit membungkuk agar memudahkan melepaskan. Celana dalam aku pun turun melewati kedua kaki.

"Astaga, Chika. Kamu cantik banget. Kamu masih perawan?" tanya Mbak Vivi. Tubuhku sudah telanjang bulat dihadapannya.

"Masih, Mbak."

"Kamu sini..."

Malu - malu aku kembali naik ke tempat tidur, mendekat ke Mbak Vivi. Dan tangannya langsung melingkari tengkuk aku dan memagut bibirku mesra. Aku seolah mendapat jalan atas lonjakan nafsu seksku. Giliran aku yang ganas menjelejah tubuh Mbak Vivi.

"Chikaaa....aaah...."

Aku lepaskan ciuman bibirnya. Memuaskan Mbak Vivi adalah tujuanku. Bibirku menelusuri leher, collar bone, dan bahunya yang indah. Tak kuberi ia kesempatan memberi perlawanan. Tanganku meremas kedua payudara mungilnya. Aku puas mencubiti puting susunya sampai Mbak Vivi menahan sakit. Entah, dia pun menikmati perlakuanku. Bahkan ketika kedua belah pahanya aku buka, ia diam saja menggigit bibir bawahnya.

"Chika cium ya, Mbak?"

"Nafsu banget kamu, Chik?"

Aku jawab dengan jilatan lidahku di belahan memeknya yang sudah basah. Ia mengerang.

"Aaaahhhh...teruuuss....enaaak bangeett..."

Aku buka belahan bibir vaginanya, ternyata masih rapat. Mungkin baru sekali dua kali ngeseks. Tapi bentuknya masih rapat seperti milikku. Aku teruskan memainkan lidahku di sana. Menggelitik klitorisnya. Tangannya menjambak rambutku keras. Pinggulnya sampai melonjak saat jari tengahku aku masukkan ke dalam vaginanya. Dan aku tarikan di sana. Memek Mbak Vivi sudah becek sekali dan putih kental.

"Aku mulai ya, Mbak, gaya yang tadi?" tanyaku tak sabar.

"Cepetan, Chik!" Nafas Mbak Vivi terengah.

Aku angkat sebelah kakinya dan aku letakkan di atas pundakku. Aku buka selangkanganku lebar dan mendekatkan memekku menempel di vagina Mbak Vivi.

"Mbaaak....hmmm...." Aku gerakkan perlahan. Rasanya benar - benar luar biasa nikmat. Aku seperti orang kerasukan. Rasa aneh dengan cepat menjalari tubuhku agar terus dan terus menggesekkan vaginaku.

Aku raih kedua telapak tangan Mbak Vivi dan menggenggamnya erat. Tanganku saling menahan tubuh sembari terus menggesek pinggulku maju mundur.

Karena sudah licin, jadi jelas amat mudah memekku bergerak di bawah. Pelicin dari memek Mbak Vivi membantu memudahkan aku terus merangsangnya.

"Chikaaa...aku mau keluaaaaarr...."

"Bareng Mbaaak pipisnyaaaa....aaahhh..."

Aku percepat gerakan pinggulku menggesek memek Mbak Vivi. Terasa kenyal dan empuk tapi licin.

Crooot crooot crooot

"Aaaahhh...." Mbak Vivi mendesah.

Aku merasa ada cairan kemaluan yang menyembur keluar dari vagina Mbak Vivi. Tapi aku tetap bergerak. Aku belum orgasme.

"Mbaaakkk...mmmhhh..."

Croooot croooot

Cairan bening seperti pipis mengucur keluar dari memekku, membasahi tubuh Mbak Vivi dan tempat tidurnya. Tubuhku menggelinjang dan mengejang. Puas. Aku benar - benar puas. Setelah caoran orgasmeku keluar semua, aku terkulai di atas tubuh Mbak Vivi. Aku beranikan mencium bibirnya. Nafas kami masih tersengal. Sebenarnya aku masih nafsu, tapi kasian Mbak Vivi. Ia kelelahan.

"Enak, Mbak?"

"Banget...Mbak puas. Kapan - kapan lagi, Chik?"

"Iya, Mbak." Aku lanjut menciumi wajah cantik Mbak Vivi. Aku puas - puasin menikmati tubuh majikanku. Kapan lagi aku merasakan sensasi dengan sesama perempuan.

°°°

Tbc

Maaf kalo lama updatenya.
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd