Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Bidadari Badung

Status
Please reply by conversation.
Bimabet
Waduuh bapak sama anak kelakuannya sama aja ckckck lanjuut huu
 
PART 6 - PAK RICHARD

Happy Reading​

Aku terduduk di lantai bersandar sofa. memeluk kedua kaki aku yang terlipat. Menutupi dada dan kemaluan. Tapi tetap saja Pak Richard bisa melihat belahan bibir vaginaku menggunduk di bawah sana. Lantai sebelahku becek oleh cairan vagina yang menetes tadi. Kepalaku bertumpu di lutut, bengong. Aku kelelahan. Pak Richard duduk agak di belakangku, membelai bahu, rambut, pipi, punggung.

"Kagum sama kamu. Cantik. Putih. Manis. Tinggi. Badan kamu bagus." Ia memuji terus sejak tadi jujur aku takut diperkosa Pak Richard. Tangan dan telunjuknya sibuk menelusuri kulitku yang halus. Agak geli sih, meski aku suka diperlakukan demikian. Aku diam saja tidak menjawab.

"Kamu kenapa mau jadi pembantu?" tanya Pak Richard.

"Buat biaya kuliah, Pak."

"Ooh gitu. Hebat sih kamu. Orang lain belum tentu mau jadi ART."

Dalam hati aku menjawab, kalau aku jadi ART, aku dapat tempat tinggal dan makan gratis. Soal kerjaan yang cukup berat, pasti bisa. Asal aku pandai mengatur waktu dan istirahat. Uang gaji bisa aku pakai untuk mengirim ke orang tua dan keperluan kuliah. Kampus yang aku daftar juga tidak terlalu memberatkan biaya per semesternya.

"Bapak mau apa telanjang?" Aku memberanikan diri bertanya.

"Halah kamu. Munafik. Kamu diminta cuma pake celana dalem sama beha aja mau. Kamu pikir saya ngga horny liat kamu?" hardik Pak Richard. Tangannya mengelus lenganku yang berbulu halus.

Aku tersenyum mendengar ucapannya. Melirik dengan ekor mataku.

"Kocokin lah kontol saya..." Pak Richard berdiri, menggamit tanganku agar berdiri juga. Ia jatuhkan tubuh besarnya di sofa. Penisnya masih tegak, terangsang melihat tubuhku. Aku berdiri di hadapannya. Matanya jelalatan memperhatikan setiap bagian tubuhku. Vaginaku yang basah kuyup belum sempat aku seka. Behaku yang cuma menutupi area puting susu.

"Udah kami telanjang aja." Tunjuk Pak Richard membelai pinggang langsingku. Ia menyosor menciumi dan menjilati pusarku. Aku coba menghindar tapi kedua tangannya memegangi pinggulku.

"Pak, geli, Pak...." Aku menggelinjang, menahan geli. Meremas rambut Pak Richard.

Kepalanya mendongak, "Apa mau saya yang telanjangin kamu?" Salivanya yang tertinggal membentuk jembatan lengkung di pusarku yang basah.

Aku mengangguk malu. Ia menekan pundakku agar berlutut dan mengangkat tanganku ke atas.

"Pak, jangan, Pak." Aku melipat tanganku lagi saat Pak Richard mau menjilat ketiakku. Aku menjauh sedikit dari jangkauan tangannya.

"Hadeeh, kamu. Pake jual mahal segala sih. Santai aja. Saya ngga perkosa kamu apalagi perawanin kamu. Ngga nafsu saya seks buru - buru," sahut Pak Richard panjang lebar, "Udah sini ah."

Aku menunduk malu. Masih gemetar dan takut. Beda aku telanjang di depan Mas Ken karena yakin dia ngga akan ngapa - ngapain. Tapi di depan Pak Richard, aku takut. Badannya tinggi besar, tenaganya lebih kuat.

"Kocokin aja. Kelamaan kamu!" Pak Richard memajukan duduknya dan membuka lebar kakinya. Punggungnya disandarkan di sofa. Aku berlutut di hadapannya menggenggam penis besarnya. Aku meneteskan telapak tangannya dengan saliva agar terasa licin saat mengocok. Aku basahi juga kepala jamur itu dan aku kulum dan hisap. Aku jilati dengan lidah menari - nari di sana. Pak Richard mengerang keenakan.

"Astaga...enak bangeeet..."

Telapak tangan halusku menggenggam mulai dari puncak penis, aku mainkan telapaknya dari kepala penisnya, aku menyentuh tepi kepala jamur itu. Pak Richard tersentak kegelian. Ia menggelinjang. Dari pengalaman mengoral Mas Ken aku jadi paham daerah paling sensitif ya itu. Jadi aku mainkan saja dengan mengemut dan menghisapnya kuat - kuat sampai ada cairan terasa asin dan anyir keluar dari lubang pipisnya. Aku nikmati saja.

Kulit telapak tanganku terus mengocok naik turun. Pak Richard mendesah saja menikmatinya. Awalnya hanya kepala jamurnya yang aku hisap, perlahan batang penisnya sampai setengah. Tak sanggup lagi aku mengulumnya karena terlalu panjang. Itu saja pas mentok tenggorok aku langsung menyerah. Air mataku menetes dan susah bernafas. Rongga mulut dan lidahku yang sempit seolah memijat syaraf penisnya. Salivaku sudah banjir dan basah sekali di penis majikanku, semakin mudah mengoralnya. Aku hisap terus kepala penisnya. Tanganku naik turun mengurutnya makin cepat. Aku memandangi Pak Richard, ia memejamkan mata sembari terus menggumam tak jelas. Keenakan.

Aku imbangi memijat skrotumnya yang menyebabkan ia menggelinjang. Saat kepala penisnya sudah memerah, aku yakin Pak Richard akan ejakulasi. Pijatanku rupanya mengenai titik syarafnya, ia melonjak.

"Chikaaa, buang di mulut kamu ya. Telen."

"Hah? Telan?" aku membatin. Meski ragu, aku penasaran. Ya sudahlah. Tidak mungkin beracun kan?

Aku menyudahi mengoralnya, lalu mengocoknya cepat karena Pak Richard sudah memberi sinyal. Tapi ia mengambil alih penisnya.

"Buka mulut kamu buruan!!"

Ia memijit pipiku agar membuka mulut lebar - lebar. Menganga. Pak Richard berdiri di depanku, sebagian ujung penisnya sudah berada di dalam mulutku. Ia tak kuasa lagi menahannya. Dan....

"Chikaaaa.... aahhhh...."

Crooot crooot crooootttt

Pak Richard mengocok penisnya cepat, menumpahkan spermanya di rongga mulut Chika. Banyak dan kental. Ia tuntaskan agar tidak terasa gatal lagi di penisnya.

"Aaaahhh.... puaaaasss...."

Ia lalu memandangi mulutku yang penuh dengan spermanya. Agak jijik dan terasa hangat.

"Udah telen..." perintahnya.

Glek...

Uuhh...hampir aku memuntahkannya. Rasanya aneh di tenggorokan. Asin, anyir. Tapi terpaksa. Dan berakhir di perut. Wajahku cemberut penuh penolakan dari rasa sperma itu. Aku membuka mulutku dan menjulurkan lidah. Menunjukkan ke Pak Richard sudah aku telan semuanya. Tangan Pak Richard spontan memegang kedua pipiku, ia mencium kening dan membelai rambutku.

"Kamu lanjut kerja ya cantik! Saya mau mandi. Abis ini kita jalan - jalan ya?" Pak Richard tersenyum menyeringai. Yang aku heran, meski sudah ejakulasi, penisnya tetap tegak dan keras.

Setelah Pak Richard ke kamarnya, aku buru - buru ke kamar mandi membersihkan muka dari sisa sperma yang menempel di sekitar bibir. Lalu ke dapur mengambil air minum dingin agar sisa sperma ditenggorokanku luruh dan tidak meninggalkan rasa di sana. Lega rasanya. Yang mengganggu itu, aku jadi terangsang gara - gara oral. Memekku jelas basah lagi. Mau masturbasi tapi harus kerja. Ya sudah aku tahan. Dan yang bikin aku kesal, pakaian dalam baru tapi sudah kotor oleh cairan vagina gara - gara Pak Richard.

°°°

Jam setengah sebelas aku baru selesai bersih - bersih ruangan lantai satu dan mengepel dapur serta ruang makan. Itu saja sudah melelahkan. Mau gimanapun, aku harus berusaha kuat. Ini tanggung jawab. Tadinya aku ingin menyelesaikan mengepel, tapi Pak Richard meminta aku berhenti.

"Kita ke tailor. Ngukur baju maid untuk kamu. Soal bersih rumah, gampang lah nanti panggil orang," kata Pak Richard, "Ganti baju sana. Pake rok sama baju yang cantik ya?"

"Iya, Pak."

Aku ke kamar. Terpaksa aku pakai baju pas aku berangkat ke Jakarta. Karena hanya itu baju terbaikku yang aku bawa. Yang cantik? Aku hanya punya bedak dan lipstik. Tidak bisa make up. G-string dari majikan aku rendam saja, padahal aku ingin memakainya. Aku kembali lagi ke ruang tamu, Pak Richard sudah menunggu. Matanya menjelajahi dari kaki sampai atas.

"Itu pakaian ngga ada yang lain?" tanya Pak Richard.

"Takut Bapak malu nanti jalan sama saya."

"Ah, kamu ngomong apa sih. Malu terus. Ya udah, nanti saya beliin baju. Masa kamu mau kuliah pakaiannya itu terus."

"Makasih, Pak." Aku menganggukkan kepala. Tersenyum. Entah aku harus merasa bahagia atau bagaimana. Takut nanti Bapak minta imbalan seks karena aku dibelikan baju. Ya tentu aku mau saja, ingin merasakan berhubungan seks. Tapi dengan orang yang aku suka, ganteng, dan dalam situasi yang romantis.

Sepanjang perjalanan aku terdiam. Lagian mau ngomong apa sama majikan kalau tidak ditanya. Aku membawa tas selempang yang sudah agak lusuh. Itu juga milik Ibu yang aku minta, karena aku tidak punya. Pak Richard juga sesekali ngeliatin. Akhirnya ia mengajak aku bicara. Itu pun tidak jauh - jauh dari urusan seks.

"Ukuran beha kamu berapa?"

"Tiga dua be." Aku tak berani melirik ke Pak Richard. Sesekali saja melihat ke arah jalan.

"Belum pernah ngeseks?"

Aku menggeleng, "Belum."

"Pacaran?"

"Ngga boleh sama Bapak."

"Ooh gitu. Deket sama cowok? Grepe grepe?"

"Belum pernah."

"Lho, jadi oral tadi baru pertama kali?" Pak Richard heran.

"Iya," jawabku tersipu malu.

"Pasti belajar dari bokep ya? Ketauan. Pinter banget kamu ngocoknya, cara isepnya, remes biji saya. Ck ck ck. Ternyata kamu ngga lugu - lugu banget." Pak Richard tertawa. Benar sekali tebakannya. Aku diam saja menahan senyum. Jaga gengsi.

Mobil lalu berhenti di depan sebuah ruko besar. Dari depan sudah terlihat tempat menjahit. Ada jas pria dan gaun wanita di sebuah manekin. Gulungan bahan dan papan nama Cahaya Tailor. Aku diajak ke dalam langsung kagum, banyak pakaian bagus - bagus di sana. Pak Richard berbincang dengan seseorang yang aku lihat bergaya kemayu. Orangnya gagah, ganteng, memakai jas. Tapi cara bicara dan gayanya seperti perempuan.

"Ooh ini yang mau diukur? Masuk yuk ke dalam," kata orang itu, Om Felix namanya. Ia mengajakku masuk ke sebuah ruangan. Aku duduk di sofa di sebelah Pak Richard. Di hadapanku ada sebuah cermin berukuran lebar sekali dan tingginya yang hampir menyentuh plafon.

"Mau baju maid model apa?" tanya Om Felix.

"Model yang lama aja. Samain," jawab Pak Richard.

"Ooh, oke. Ya udah kita ukur ya cantik?" pinta Om Felix, tapi Pak Richard membisiki sesuatu ke Om Felix. Arah matanya si Om melirik ke arahku. Entah apa yang mereka bicarakan. Aku diam saja. Nurut. Di ruangan tertutup dan dingin itu juga ada asistennya. Sama juga kemayu alias ngondek.

"Udah pernah diukur belum cantik?"

"Belum."

"Gini ya. Ga mungkin kalau diukur pake baju gitu. Nanti ukurannya bisa ngga pas. Kegedean atau kekecilan."

"Ooh. Jadi?" aku bertanya keheranan. Belum mengerti maksudnya.

"Hmm...buka baju kamu semuanya ya..." perintah Om Felix.

"Telanjang?"

"Kalau kamu mau. Hahaha. Ngga kok. Bercanda. Sisain pakaian dalam."

Aku menelan ludah. Merasa ada yang tidak beres. Mau gimana lagi. Aku juga ngga paham. Ikutin aja maunya mereka. Jadilah aku berdiri hadap cermin. Aku buka blouse warna putih, aku letakkan di sofa. Jelas mereka bisa melihat beha putih yang menutupi bongkahan bulat di dadaku. Lalu melepas kait dan menurunkan retsleting. Rok itu pun turun melalui jenjang kaki si asisten memungut rok aku di bawah. Aku menutupi dada dan celana dalam putihku. Malu ditatap tiga pria dalam keadaan setengah telanjang. Apalagi Pak Richard tatapannya mesum sekali menikmati tubuhku.

Barulah aku diukur menggunakan meteran. Om Felix pertama mengukur lingkar dada. Meteran itu rasanya mengikat dadaku erat dan sengaja digesek - gesekkan. Terasa sekali meterannya di puting susu. Aku menggigit bibir bawah, menahan geli. Begitu juga ketika mengukur lingkar pinggang, tangan mereka ikut mengelus perutku. Pura - pura melihat angka. Aku khawatir cairan vaginaku menembus kemaluan dan terlihat basah. Kan malu sekali kalau terjadi.

Nah, pas mengukur selangkangan. Meski aku bodoh, untuk apa membuat rok mengukur area itu. Tapi Om Felix menyelipkan meteran dari bawah menyentuh bibir vaginaku, dari depan dan belakang meteran itu sengaja di gesek - gesekkan ke vaginaku alih - alih mengukur. Aku memejamkan mata menahannya. Aku dikerjai mereka lantas bisa apa? Jujur aku malu tetapi juga menikmatinya. Benar saja, vaginaku basah dan becek. Aku memang mudah sekali terangsang. Mereka terkekeh melihatku ngompol. Tubuhku menggelinjang hebat dan gemetar lalu jatuh lunglai. Aku pipis di ruangan itu dan rasanya nikmat sekali. Aku orgasme dalam waktu singkat sampai badanku mengejang saat pipis enak itu terus memancur. Nafasku terengah - engah.

Aku ditertawakan tiga pria di ruangan itu. Dilecehkan? Tidak. Aku justru senang. Hanya aku diam saja. Kalau tidak, aku makin dikerjai.

"Udah sana pake baju di kamar mandi. Celana dalemnya ga usah dipake. Buang aja. Nanti saya belikan yang baru," perintah Pak Richard.

Aku buru - buru ke kamar mandi meraih pakaianku di sofa. Kaki aku masih lemas karena orgasme.

°°°

Mobil berjalan lagi meninggalkan tailor. Pakaian maid akan jadi dalam dua hari. Pak Richard membawaku ke Mall berbelanja pakaian. Aku beruntung sekali punya majikan.

"Bapak kenapa ngerjain saya?" aku bertanya.

"Ya kamu disuruh telanjang juga nurut aja. Emang ga malu apa? Hahaha..."

Duh, aku jadi malu sendiri. Terlalu lugu jadi orang. Ya mau gimana? Aku benar - benar polos sama sekali. Jangan - jangan aku disuruh telanjang sama dosen aku nurut saking begonya. Sadar - sadar. Aku harus berubah.

"Tadi enak kan?" Pak Richard tertawa.

"Bapak jail banget." Aku tersenyum tersipu malu.

"Coba liatin dong memek kamu. Kan ga pake celana dalem."

"Ngga mau, Pak. Malu." Aku duduk bergeser, takut diraba Pak Richard.

"Naah gitu dong nolak. Saya bisa aja maksa kamu. Tapi saya ngga suka cara gitu." Pak Richard mengusek - usek rambutku.

Wajahku bersemu merah. Malu disindir Pak Richard. Pandanganku aku buang ke jalan.

"Kalau uang kuliah kamu saya bayari mau ngga sampai kamu lulus?"

Aku terkejut ia bilang seperti itu.

"Tapiii... kamu jadi simpanan saya. Layanin seks saya setiap saya mau. Hidup dan kuliah kamu saya jamin. Gimana? Ini beneran lho? Soal seks dimana, gampang lah di atur. Kamu kan kuliah. Bisa ngeseks sebentar di hotel. Ngga usah kamu jawab sekarang. Pikirin aja dulu."

Pak Richard mengelus rambutku. Ia kembali fokus menyetir.

Di mal aku berbelanja sesuka hati atas permintaan Pak Richard. Dibantu seorang SPG, aku dipilihkan beberapa baju yang cocok untuk kuliah. Pakaian dalam warna warni dari yang biasa sampai yang Pak Richard mau. Dia masih ingin melihat aku kerja seperti tadi pagi. Setengah bugil. Belum tiga buah sepatu sneakers dan flat shoes. Aku juga dibelikan alat make up. Lha aku saja tidak bisa dandan. Juga parfum, itupun Pak Richard yang memilih. Bahkan sampai skincare yang harganya hanya mimpi bagiku, dibelikan Pak Richard. Aku harus takut atau senang?

"Pak, ini berlebihan untuk saya." Aku akhirnya menangis di perjalanan pulang.

"Hei, kamu kenapa malah cengeng?" Pak Richard merasa iba. Ia membelai rambutku. "Kamu takut?"

Aku mengangguk terus. Mengusap air mata dan ingus.

"Hahaha...kamu takut saya apa - apain?"

"I-ya..." Bibirku memble karena isak tangis yang tersedu. Dalam pikiranku mana ada pria yang membelikan aku belanjaan sebanyak ini tanpa minta timbal balik? Kalau hanya disuruh setengah telanjang aku masih mau. Lha kalau melayani nafsu Pak Richard? Ngga kebayang dan bingung. Atau nanti malah jadi manusia munafik karena tiba - tiba berubah pikiran. Ada pangeran ganteng datang dan aku jatuh cinta. Mimpi pangeran tampan yang mau pacaran sama pembantu.

"Chik, saya ngga akan maksa kamu soal seks lah. Kecuali kamu yang mau. Hahaha..."

Omongan Pak Richard sama sekali tidak menenangkan aku. Malah membuat aku gemetaran.

°°°

Malam hari sekitar pukul 06.50, aku sedang mempersiapkan makan malam. Bu Richard memesan masakan dari restoran Jepang. Aku ngga ngerti nama masakannya apa. Saat aku sibuk meladeni Mbak Vivi dan Mas Ken mengambilkan minum, dari arah pintu depan datang seorang cowok berpakaian jas dan dasi. Rapi.

Melihatnya saja membuatku terkesima dan terkagum - kagum. Wajahnya ganteng banget, lucu, rambutnya aku tidak tau model apa. Di bagian pinggir dicepak, tersisa bagian atas panjang yang di atur sedemikian rupa sehingga berkesan cool. Ada brewok dan kumis tipis di wajahnya. Aku langsung jatuh cinta dalam hati dan curi - curi pandang. Senyumnya yang manis, suaranya yang berat malah berkesan dewasa, sikapnya yang begitu kalem. Aku ngga kenal siapa dia, nyatanya akrab sekali dengan keluarga Pak Richard. Dia juga ikut duduk di kursi meja makan. Sayangnya aku harus segera ke belakang membereskan dapur bawah.

Seketika aku mendengar suara 'Hei...' dari arah pintu.

°°°

Tbc
 
7 - MAS GANTENG​

"Hei...kamu siapa?" Suara itu memanggilku dari arah belakang.

Aku menoleh, mencuri tatap lalu menunduk. Tidak berani terlalu lama memandangnya. Kurang sopan dan takut pingsan karena beneran ganteng banget. "Eh, Mas. Saya pembantu baru."

"Ooh, nama kamu?" suaranya itu, aduuh. Teringat suara Bapak yang menenangkan.

"Chika, Mas."

"Katanya kamu kuliah? Jurusan apa?"

"Komunikasi." Ingin rasanya melihat dan terus menerus melayangkan pandangan ke wajahnya.

"Waaah. Salut sama kamu."

Aku tak menjawab. Terlalu gugup mencari kalimat.

"Oh iya, hari Sabtu kamu ke apartemen saya ya? Satu hari aja. Bersih - bersih. Soalnya malem saya ada acara di sana. Saya udah ngomong kok sama Bu Richard."

"Iya, Mas." Hanya kata itu, anggukan dan seterusnya responku.

"Vincent..." Ia memperkenalkan namanya. Menjulurkan tangan. Aku menyambutnya. Tangannya besar, halus, genggaman tangannya lembut. Senyumnya itu bikin hati aku meleleh. Ya Tuhan, cakep amat jodoh orang. Mau aku cium rasanya punggung tangan itu. Hahaha. Tapi realitas menamparku. Mimpi katanya. Perempuan kampung lugu kok mau dapetin model ekeskutif muda gitu.

Ia melempar senyum lalu melangkah meninggalkan dapur. Jantungku berdegup kencang, aku bisa bernafas lega mengagumi makhluk ciptaan Tuhan itu. Eeh, belum ada satu menit ia kembali, tetap dengan senyumnya yang menawan hati.

"Chika..." Ia menyapa.

"Eh. Iya, Mas. Ada apa?" Aku menoleh lagi ke belakang.

"Kamu cantik." Senyum manisnya menutup obrolan singkat lalu dia seenaknya meninggalkan aku yang sedang terbang tinggi dibuai romantisme pujian sederhananya. Pria macam apa yang tidak mau bertanggung jawab kalau aku sudah jatuh hati. Aku baper. Dan aku jatuh cinta. Meskipun aku berhalusinasi. Mimpi.

°°°

Waktu berjalan, dan hari berganti. Aku menunggu dirinya yang tak datang lagi setelah hari itu. Jujur aku rindu melihat wajahnya, mendengar suaranya. Hanya itu. Tidak berharap lebih. Aku tau siapa diriku, sadar di mana aku harus menempatkan diri sebagai seseorang. Kau berharap pada kekaguman, bukan pada ambisi yang menggebu. Rasanya terlalu berlebihan. Aku gadis desa yang lugu, aku mungkin bodoh dan bisa jatuh karena rayuan, mungkin juga aku bisa sadar jika aku belajar cepat akan situasi sekitarku. Aku tidak mau langkahku berhenti karena ketidaksadaran diriku akan nafsu semata. Bapak dan Ibu menginginkan aku melangkah jauh. Agar aku bisa meraih tangan mereka, mengangkat derajat mereka. Meski kaki aku penuh luka menjalani kehidupanku di sini.

Aku membawa beberapa buah baju ganti dan tentu saja baju maid ke apartemen Mas Vincent atau Mas Vin. Mobilnya nyaman sekali, aku bisa saja ketiduran tapi aku tahan. Jadi aku dekap tas ransel buluk aku di dada sambil memperhatikan sekitar.

"Kok diem?" tanyanya melirik.

"Bi-bingung, Mas, Mau ngomong apa..." Kesempatan bagiku menatap wajahnya sekilas. Wajahnya bersih tanpa janggut lebat. Dan wanginya aku suka.

Mas Vin tertawa. "Kamu lucu. Polos."

Aku manggut - manggut saja.

"Kamu tau saya?"

"Mas Vincent kan?"

"Bukan nama. Saya itu adiknya Bu Richard. PakDe kamu ya saya kenal. Supir kantor. Saya dulu kerja di kantornya Pak Richard." Mas Vincent menjelaskan.

"Ooh..." Hanya itu jawaban yang bisa aku ucapkan.

Mas Vin banyak bertanya soal pribadi aku. Orang tua, keinginan, cita - cita, soal kuliah. Bisa jadi 50 % sudah aku ceritakan begitu saja ke Mas Vin. Padahal aku baru kenal dan bertemu dua kali. Entah kenapa, aku mengalir menceritakan semuanya. Ingin sekali dia tahu tentang diriku. Jika aku ingin, 100 % aku buka semua rahasiaku. Secara fisik, aku mengagumi Mas Vin. Suka dan jatuh cinta. Soal hati, sikap, dan perilakunya tentu aku tidak memiliki kemampuan bertanya seperti halnya dia mengorek kehidupanku. Orang seperti Mas Vin, pasti bisa dengan mudah menaklukan banyak wanita lugu seperti aku. Tak perlu Mas Vin bersusah payah jika ingin, aku sudah pasti jatuh ke pelukannya. Aku yang menyerahkan diriku.

Apartemen Mas Vin sangat mewah. Bersih, rapi, modern, bagus. Dan sederet kata - kata indah lain. Pemandangannya menghadap langsung ke pusat kota Jakarta. Kalau sudah bersih begini, apa yang harus aku kerjakan?

"Kamu suka?" tanya Mas Vin. Ia mengambil dua buah air mineral dan meletakkannya di meja dapurnya yang lebih bagus dari dapur di rumah Bu Richard.

"Suka." Aku mendekatinya, duduk di kursi dan menenggak air di botol itu.

"Sebenarnya apartemen ini sudah bersih, baru kemarin ada yang membersihkan. Jadi kamu ngapain ya sampai nanti malam?" Mas Vin tertawa kecil, "Kita ngobrol aja ya?"

"Iya, Mas."

"Chika, kamu jangan jawab iya terus. Ya nanya apa gitu. Santai aja. Ga usah anggap saya majikan kamu." Mas Vin pindah ke sofa, ia mengajakku duduk di sebelahnya. Aku benar - benar grogi. "Saya kan juga pengen ditanya tanpa harus saya jelaskan siapa saya. Apa kamu ngga kepengen tau saya? Hahaha..." Arah bicara Mas Vin sepertinya tau, aku suka sama dia. Penasaran. Dia mempersilahkan aku.

"Mas Vin-cent ndak ker-ja?" Aku memberanikan diri bertanya.

"Nanti aja. Habis makan siang. Kamu bisa masak?"

"Bisa. Mau dimasakkin apa, Mas?"

"Nasi goreng aja. Tapi nanti. Saya masih mau ngobrol sama kamu."

"Mas Vin. Udah menikah?"

Ia menunjukkan kedua tangannya, dibolak balik. "Kamu liat ada cincin pernikahan?"

Aku menggeleng. "Engga." Syukurlah, berarti masih ada peluang. Hehehe. Itupun kalau Mas Vin belum punya pacar juga.

"Kamu mau istirahat? Apartemen saya kamarnya tiga. Yang satu, hanya saya dan orang yang saya inginkan yang boleh masuk ke dalam."

"Ooh. Saya kerja aja, Mas. Bersih - bersih."

"Ya sudah. Sebentar saya ambil vacum cleaner sama alat bersihnya. Kamu silahkan masuk aja ke semua ruangan untuk dibersihkan. Saya percaya sama kamu.

"Iya, Mas. Makasih."

Jadilah aku lebih memilih membersihkan apartemennya. Meskipun sudah bersih tetap aku harus cek lagi bagian yang belum tersentuh.

"Saya berangkat ke kantor ya? Nanti sekitar jam tujuh malam saya pulang. Ada banyak tamu nanti. Tolong siapkan aja gelas, piring, dan sebagainya," ujar Mas Vin.

"Iya, Mas. Nanti saya siapkan semua."

Mas Vincent berangkat tanpa pesan apa - apa lagi. Aku lekas mencari peralatan makan yang dimaksud di dapur. Ada semua, tidak banyak memang. Sepanjang pagi sampai siang, hasilnya aku lebih banyak melihat - lihat. Ada foto Mas Vin dengan keluarga Pak Richard. Tidak ada foto perempuan di sana. Hehe. Kamarnya pun rapi, bagus. Kamar mandinya apalagi, mewah. Persis rumah Pak Richard.

Perutku tiba - tiba terasa lapar sekali. Aku coba buka lemari es. Ada buah, kue tart, snack. Di lemari atas ada mie instan sih, tapi kan Mas Vin tadi belum mengizinkan aku mengambil. Di meja dapur juga tidak ada makanan. Mau pesan, pesan apa? Uangnya mana? Caranya gimana? Aku benar - benar tidak mengerti. Aduuh, terpaksa aku menahan lapar sampai sore. Minum air hangat aja sampai kembung.

°°°

Aku sempat tidur tadi di sofa lumayan lama. Dari jam satu sampai jam lima. Lumayan bisa melupakan rasa lapar yang menggigit. Mandi lalu mempersiapkankan segala sesuatu untuk acara Mas Vin. Keadaan ruang tamu, dapur, meja makan juga sudah bersih. Bebas debu. Aku memakai baju maid yang dijahit di tailor waktu itu. Lebih nyaman, lebih pendek roknya. Bagian dadanya ada bagian lubang berbentuk hati besar. Jelas memperlihatkan belahan payudaraku dan beha yang aku pakai. Pasti kerjaan Pak Richard ini yang minta.

Tamu Mas Vin satu persatu datang, kelihatannya orang - orang penting. Berpakaian jas, dasi, dan wangi. Ada beberapa orang asing juga berbahasa Inggris. Aku mencium bau masakan yang Mas Vin bawa, lumayan menghilangkan rasa lapar. Tidak berani aku mengambil satupun dari masakan yang aku siapkan. Tidak sopan. Aku hidangkan semua di meja makan. Aku? Cukup minum air hangat dari dispenser. Mas Vin sibuk meladeni obrolan tamunya. Aku juga sibuk membuat teh, kopi, sirup, jus yang mereka bawa barusan.

"Chika, di lemari es ada buah. Tolong ambil ya bawa ke sini?" perintah Mas Vin.

"Iya, Mas." Aku segera mengambil piring rotan untuk menyusun buah - buahan dingin.

Baru beberapa langkah, aku agak lunglai. "Ngga, ngga boleh sakit. Aku harus kuat. Aku lagi kerja. Plis, jangan nyusahin orang lain." Aku membatin pada diriku sendiri. Aku melangkah lagi, kepalaku berkunang - kunang, pandanganku buram dan objek di depanku terasa berputar - putar. Badanku goyah.

"Chika...Chika! Chik?!" terdengar suara Mas Vin memanggil. Tapi aku tak kuasa menjawab.

Aku lemas, lunglai, dan terjatuh di lantai. Lalu semuanya gelap. Aku tidak ingat apa - apa lagi.

"Chika? Bangun...Chik?" aku mendengar suara berat itu. Di surga kah? Aku juga mencium bau minyak angin yang suka diberikan Ibu.

Aku membuka mata, tersadar. Aku ada di tempat tidur. Tubuhku diselimuti. Samar - samar aku lihat ada Mas Vin dan seorang wanita cantik yang membelai rambutku.

"Syukurlah kamu sudah sadar..." kata Mas Vin.

"Kamu pasti belum makan?" tanya wanita itu.

"Be-belum. Dari pagi."

Wanita itu memukul lengan Mas Vin kencang, "Kamu gila ya, Vin! ART kamu ngga dikasih makan?"

"Ada kok makanan, aku sedia di lemari es!" Mas Vin membela diri.

"Mas Vin, be-belum ngizinin aku mengambil makanan." Aku menjelaskan, secara tidak langsung bukan salah Mas Vin.

"Astaga, Chikaaa!" Mas Vin mengurut keningnya. "Kamu itu benar - benar polos." Ia berdecak kesal, dahinya berkerut.

Ma-maaf, Mas." Air mataku meleleh, menangis. Aku merasa bersalah dan benar - benar bodoh. Keluguanku membawaku pada kesulitan dan menyusahkan orang lain.

Wanita cantik tadi memelukku, mendekap di dadanya. "Ssst...udah jangan nangis..." Ia memukul lagi lengan Mas Vin. Direspon pria ganteng itu dengan gestur 'gue harus ngapain?', mengedikkan bahunya. Lalu Mas Vin keluar dari kamar.

"Kamu tunggu ya? Saya masak bubur untuk kamu." Wanita itu mengusap poni di keningku sebelum meninggalkan kamar. Aku terisak lagi sendirian. Aku tidak tau apa yang harus aku sesali. Kenyataannya, aku tidak berani mengutak atik apapun milik Mas Vin. Di rumah pun aku lebih baik membeli cemilan sendiri daripada mengambil di dapur.

Lima belas menit kemudian, wanita itu masuk membawa mangkuk yang mengepul. Bubur. Ia duduk di sisi tempat tidur, menyendok bubur dan meniupi sampai agak dingin lalu menyuapi aku.

"Makasih, Mbak," ucapku sembari mengunyah.

Ia tersenyum, wajahnya ramah. "Kamu Chika?"

"Iya."

"Saya Mira. Kamu beneran ART?"

"Kenapa Mbak? Jelek ya?" Aku menerima suapan lagi.

Mbak Mira tertawa, "Justru kamu terlalu cantik. Saya malah insecure sama kamu."

Aku tertunduk, tersipu. Wajahku pasti merah merona setiap dipuji. Menurutku Mbak Mira jauh lebih cantik dan menarik. Apalah aku remahan rengginang kampung.

"Biar saya aja, Mbak." Aku hendak menyuap sendiri, tapi dicegah Mbak Mira.

Mbak Mira menjauhkan mangkuknya dari jangkauan tanganku. "Kamu masih lemah gini..." Ia memegang tanganku, gemetar. Iya, aku lapar.

Semangkuk bubur itu tandas cepat. Tak lama, Mas Vin masuk membawa baki berisi sebungkus besar biskuit, segelas susu dan air putih, dan kue. Ada juga obat sakit perut dan vitamin.

"Saya tinggal ya? Kamu minum obatnya," ujar Mbak Mira, menyentuh keningku dengan punggung tanganku. "Cepet sehat ya?"

"Makasih banyak, Mbak Mira."

Ia cukup mengangguk dan mengangkat kedua tepi bibirnya. Memberikan senyuman manisnya. Cantik sekali. Ia meninggalkan aku dan Mas Vin.

Mas Vin duduk di tepi tempat tidur, memandangku. Kesempatan aku menjelajahi wajah gantengnya. "Ini obat diminum. Susunya nanti pas mau tidur. Dimakan biskuit sama kuenya kalau lapar. Kamu ganti pakaian. Bawa baju kan?"

"Bawa, Mas. Makasih."

"Saya nanti yang dimarahi Bu Richard kalau kamu sakit. Pastikan kamu minum vitaminnya," ujarnya tegas.

"Iya, Mas." Gesturku selalu sama. Anggukan.

Ingin rasanya kupeluk. Gulingnya.

"Mas Vin..." aku memanggilnya. Ia menoleh sebelum keluar pintu.

"Iya, ada apa?"

"Sa-ya min-ta maaf. Ngerepotin," ucapku terbata - bata.

"Ah kamu. Udah lupain aja." Ia terkekeh. Mas Vin meninggalkan kamar.

Aku cemil beberapa buah biskuitnya, minum obat dan vitamin. Seperti biasa, aku tidur melepaskan beha dan celana dalam. Aku balut dengan daster warna cerah dan kembali ke tempat tidur. Mengutak atik ponsel.

Sampai jam dua belas malam, badanku sudah enakan. Tetap tidak bisa tidur. Susu di gelas dan kue sudah habis. Aku beranjak keluar kamar mengendap - endap. Lampu masih menyala remang - remang.

"Astaga..." Aku membatin. Meja makan berantakan bekas makan belum dicuci. Harusnya ini tugasku tadi. Berhubung sudah di dapur, aku angkat pelan - pelan sekali piring dan gelas. Dipindahkan dulu ke bak cuci piring. Makanan yang tersisa aku masukan lemari es baru aku lap meja sampai bersih dalam keremangan lampu. Saat aku mencuci piring, rak sengaja aku teledor menimbulkan suara piring yang beradu kencang. Benar saja, tidak lama kemudian...

"Chika? Kamu ngapain?" Suara Mas Vin.

Aku menoleh dan terbelalak. Menangkupkan mulutku dengan kedua tangan. Lalu menunjuk Mas Vin. Ia berdiri di depanku hanya memakai celana dalam. Penisnya yang besar menonjol tercetak jelas. Tubuhnya kekar dan berbulu. Mas Vin menyadari ia setengah bugil, ia berlari ke kamar. Terdengar teriakan dari dalam.

"Ga usah dicuci. Kamu istirahat aja!!"

Aku nurut sambil terkekeh dalam hati. Senang bisa melihat Mas Vin dalam keadaan seperti itu. Hihihi. Lain kali dia yang liat aku telanjang. Aku kembali ke kamar. Mencoba tidur.

°°°

Tbc
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd