Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.
Yang akan terjadi selanjutnya, jangan lama lama lah suhu....
 

Melarikan Diri​


Kami bertiga pun beristirahat sambil berbincang-bincang kecil.

"Sehabis ini apa?" umi melemparkan pertanyaan..

"Bagaimana kalau kita keluar dari tempat ini," kata nenek, Lalu kita hidup bertiga."

"Itu ide yang bagus," kata umi, "Kita mau kemana?"

"Bagaimana kalau kita hidup di Bali. Di sana kita bisa memulai kehidupan yang baru, membangun keluarga yang kita inginkan. Aku masih ada tabungan, cukup untuk beberapa tahun.

Umi menoleh kepada gue, "Sanggup gak, kamu nafkahi umi dan nenek, dan putrimu kelak?"

Gue gugup ditodong pertanyaan seperti itu. Selama ini gue memang lebih tepatnya cuma menghabiskan harta orang tua gue. Umi memandang gue dengan mata sinis. Karena dia tahu bagaimana gue. Sebagai laki-laki ego gue tertantang donk. Gue tegakkan kepala gue dan gue busungkan dada gue mirip ayam jago di kandang ayam di depan istri-istrinya yang sedang mengerami telur..

"Ya… Doni akan cari uang untuk menafkahi kalian."

"Uuu… omdo," kata umi dan mencubit paha gue.

"Iiii… lihat saja nanti," jawab gue. Mungkin gue bertambah dewasa. Rasanya gue pengen jadi lebih lakik!

Umi memandang dengan senyum-senyum. "Mau donk dinafkahi ama anak um, tercinta…."

"Sudah, sudah, okay bagaimana kalau kita kabur malam ini lewat jalan rahasia. Kita beli tiket, langsung ke Bali," kata nenek.

"Siap!" Kami bersepakat.

Nenek dan umi bersiap-siap. Hanya berbekal pakaian di badan, tas kecil dan dompet. Kami masuk kembali ke jalan rahasia menuju tembok luar. Di ujung jalan kami keluar lewat semacam gorong-gorong. Ada lubang saluran yang tertutup dengan besi plat bulat berlubang bermotif radial. Gue dorong hingga terangkat dan gue kesampingkan. Barulah kami bertiga satu-persatu keluar dari lubang itu. Kami bertiga berpandang-pandangan dan tersenyum satu sama lain, bersemangat untuk memulai hidup baru. Namun baru saja kami berjalan beberapa langkah, tiba-tiba nenek dan umi seperti kesetrum, "Akh!" dan terjatuh. Gue tak paham apa yang terjadi. Sementara gue sendiri tidak mengalami apa-apa.

"Kalian kenapa?" tanya gue.

Mereka berdua juga tampak bingung.

Umi perlahan menjulurkan tangannya, sontak ia melonjak. Tangannya seperti menyentuh medan listrik kasat mata. Gue mencoba melakukan hal yang sama, tapi gue tidak merasakan apa pun. Nenek juga menjajal. Dia pun langsung menarik tangannya dengan kesakitan.

"Ada apa ini? Mengapa hanya kami berdua yang tidak bisa lewat?" tanya umi.

"Mungkin ada jalan lain?" jawab gue.

Kami mencoba beberapa tempat lain. Namun hal lain, tapi hal serupa terulang lagi. Seakan ada pembatas yang mengelilingi rumah ini. Beberapa menit kami mencoba, tanpa hasil.

Tiba-tiba.

"Berhenti!"

Tak berapa lama kemudian kakek muncul bersama seorang kakek tua bersorban.

"Azizah, Alifah!" Kakek memandang kami bertiga. Kami kaget dengan kehadiran mereka. Ko bisa tahu.

Kakek tua bersorban itu berkata, "Untung kita sudah tabur garam pembatas di sekeliling rumah kamu. Lihatlah mereka tidak bisa melangkah keluar. Sudah pasti, ada suatu kuasa gelap di dalam diri mereka." Lalu dia menatap nenek dan umi dan berkata, "Waktunya meruqiyah kalian."

Kakek tua itu berdiri tegak. Mulutnya komat-kamit tanpa suara. Namun umi dan nenek perlahan jadi gelisah. Mereka menutupi telinga mereka, menggeleng-geleng dan berteriak makin keras, "Berisik! Berisik!"

Leher keduanya sekonyong-konyong berpendar. Seakan ada lampu led merah di bawah kulit mereka.

"Awwwhhh!" Mereka berteriak kesakitan memegangi leher mereka.

"Kalian kenapa? Kek tolong hentikan, mereka kesakitan…"

Kakek tua itu menghalangi kakek, saat hendak menolong mereka berdua. "Jangan! Ini proses harus mereka lewati."

Tiba-tiba sebuah pohon di dekat kami daunnya berguncang keras. Padahal tidak ada angin dan pohon-pohon lain biasa saja. Di saat yang sama tubuh nenek dan umi seakan terdorang dengan sesuatu yang tak terlihat. Tahu-tahu memasang kuda-kuda, lalu bergerak macam pendekar silat, tapi dengan gaya sedikit aneh. Mereka mengambil ancang-ancang hendak menyerang. Mereka mengerang-ngerang, "Heengngg…. hengggg!"

Sekonyong-konyong, wush! Mereka melompat tinggi di udara menyerang kakek bersorban. Tinggi lompatan mereka mirip pemain basket NBA. Gue cuman bengong melihat mereka. Kok tiba-tiba mereka seperti ini. Kakek itu menghindar ke sana kemari jumpalitan salto menghindari serangan keduanya. Gue kayak sedang melihat adegan film silat yang terbang-terbang, tapi tanpa tali.

Umi mengeluarkan tendangan menyapu untuk menyengkat. Sang kakek melompat menghindar. Saat ia masih di udara dan tak dapat bergerak, nenek melompat dan menendangnya di udara. Dia pun terhempas ke belakang dan punggungnya menghantam batang pohong. "Uhuk!"

"Heengngg…. hengggg!" erang umi dan nenek. Lalu mereka berlari menggunakan kedua tangan dan kakinya seperti anjing. Mereka melompat hendak menggigit leher si kakek. Kakek bersorban itu segera merapal sesuatu.

"Duang!" umi dan nenek langsung jatuh tegak lurus ke bumi. Tanah pun berbekas dua buah tapak besar, sebesar tubuh keduanya. Waduh, kok mirip komik Tapak Sakti!

"Heenggg! Henggg!"

Keduanya bersusah payah untuk bangkit berdiri lagi. Seakan ada sesuatu yang mendorong punggung mereka.

"Lepasin! Lepasin!" ucap nenek.

Kakek merapal sesuatu lagi. Nenek dan umi terhempas lagi ke bumi. Setiap kali mereka mencoba bangun, kakek itu mengulangi lagi rapalannya. Namun lama-lama rapalan itu seperti tak berdaya. Umi dan nenek perlahan bisa bangkit. Wajah mereka tampak marah. Mereka melompat maju menyerang dengan cakar menuju titik lemahnya. Kemaluan!

Kakek bersorban melompat berguling ke samping. Cakar nenek dan umi menyasar ke batang pohon. Tak ayal kulit pohon pun tercabik. Aih! Kalau kena yang lain bagaimana?

Nenek dan umi tak berhenti menyerang, mereka melompat menyerang atas dan bawah. Tubuh mereka sudah seperti melayang di udara, bukan lagi lompat-melompat. Mereka seperti tak menyentuh bumi. Mungkin ini yang namanya Gingkang, ilmu meringankan tubuh yang bisa membuat pemilik ilmu berdiri di pucuk padi, seperti di cerita silat yang pernah gue baca. Umi hendak melakuan serangan menggunting kaki si kakek. Sambil menghindari serangan nenek, kakek itu melompat menjepit jempol kaki umi dengan telunjuk dan jempot. Seketika umi menjerit kesakitan dan memegangi kakinya. "Awwww! Awwwwww!"

Nenek sigap hendak menghajar kepala si kakek. Tapi kakek itu merapal jurus sebelumnya. Nenek pun terhempas mencium bumi, terdorong oleh kekuatan tak kasat mata. Setelah Jempol kakinya juga turut dijepit.

"Awwww! Awwww!" jerit nenek.

Secepat kilat kakek bersorban itu melompat dan memegang kepala nenek dan umi. Mulutnya komat-kamit. Leher nenek dan umi berpendar-pendar merah. Makin lama makin cepat. Tiba-tiba sesuatu yang mengkilap, memantulkan cahaya bulan terlontar dari leher. Dua buah benda yang kecil. Kakek gue memungutnya. Dua buah jarum. Seketika nenek dan umi langsung muntah. "Hooeeeekkkk !" Keduanya terengah-engah.

Akhirnya semua kembali tenang.

Kakek memeluk nenek. Dengan lemah nenek menangis, "Huhuhu… apa yang telah aku lakukan." Ia membenamkan wajahnya ke dada kakek.

Kakek bersorban itu mengambil kedua jarum itu. Ia amat-amati. "Sepertinya ini semacam alat untuk guna-guna pemikat. Jarum hanya sebagai media saja untuk memasukkan guna-guna ke dalam tubuh."

Kakek bersorban menggenggam jarum itu dan memejamkan mata. Kakek itu lalu mengangguk-angguk. "Oh begitu, katanya…. hemmm… yaa…ya..," gumamnya. Tak berapa lama kemudian dia membuka matanya dan berkata, "Saya tahu semuanya." Dia menatap gue dan menggeleng-geleng. "Saya tadi melakukan ATI - Astral Travelling Investigation. Saya mengarungi arus waktu dan saya melihat benda ini ditanam oleh seseorang yang dulu pernah bekerja di sini. Dia mengguna-guna istrimu dan anakmu. Semacam ilmu pengasih. Efek dari mantra ini rupanya masih terus berefek tidak hanya untuk orang itu, namun juga kepada keturunannya." Kakek itu menunjuk ke gue. Jarum inilah yang menjadi biang kerok.

Malam berlalu.

Ternyata efek setelah jarum itu tercabut. Nenek dan umi tidak lagi seperti dulu. Mereka menjadi layaknya seorang nenek dan ibu. Tidak ada lagi asmara di antara kami. Mereka menjaga jarak.

Gue dan umi kembali ke Jakarta. Ia kembali dengan kesibukannya mengajar di rumah. Tidak ada lagi hubungan cinta seperti dulu. Namun kala gue bertemu dengan umi hati ini tidak dapat berhenti bergetar. Gue gelisah. Cinta gue tak kunjung kuncup. Tidak ada jarum guna-guna yang bisa gue keluarkan dari tubuh gue untuk menghentikan cinta ini. Karena ini cinta murni.


Satu waktu di dapur saat gue berdekatan dengan umi. Dorongan di dalam diri gue begitu kuat. Gue mendekat dan menciumnya. Namun umi dengan cepat mencegah. "Ehh… Doni… tahan… jangan…" Namun gue memaksanya. Ada perasaan kesal, marah, kecewa, sedih akan penolakannya. Semuanya bercampur aduk. Gue tekan area kemaluannya dan gue usap-usap..

"Doni… umi sudah gak bisa…. lepaskan…."

"Tapi umi… Doni cinta umi….," ucap gue menitikkan air mata.

"Maafin umi, Doni… perasaan umi sudah tak seperti dulu lagi…"
Gue tak bisa terima kalimat itu. Gue tarik ke atas roknya, dan tangan gue masuk ke dalam celana dalamnya dan menjamah kemaluannya.. "Akh…. Doni…," umi menggeleng-geleng, "Jangan paksakan perasaanmu. Doni, jangan… stop… tolong hentikan…Ahhhh…" Gue tidak mengindahkannya. "Ahhh…ahh….ahhhh… stop nanti ada yang lihat," keluhnya,. "Plis… hentikan…"

Gue balik tubuh umi, gue pelorotin celana dalamnya. Gue tembus vaginanya dengan penis gue. Tubuh umi terlontar maju mundur. Dia berusaha berpegangan menjaga keseimbangan sambil sekali-kali menggapai gue untuk menjauhkan gue. Tapi sia-sia.

Kenangan-kenangan masa lalu saat kami melakukan hal semacam ini berkelebatan di kepala gue. Betapa kami menikmati persetubuhan semacam ini. Dia selalu mengerang-mengerang kenikmatan. Gue bernostalgia.

Tubuh umi akhirnya mengejang, vaginanya mengencang menjepit. Batang gue pun tak tahan dan menyemburkan sperma di memeknya. "Achh!"

Gue himpit punggungnya dan berbisik di telinganya "Umi menginginkan ini juga kan…" Tetapi dia malah mendorong gue dan menampar gue dengan keras. "Plak! " Air matanya berlinang. Lalu ia berlari pergi.

Gue memukul tembok dengan keras. Gue hantamkan kepala gue ke tembok dua kali. Air mata mengalir di pipi gue. Rasanya menyakitkan mencintai seseorang, namun bertepuk sebelah tangan. Gue merasa tak berdaya untuk mengubah keadaan.

3 bulan kami tak berbicara layaknya orang asing. Hubungan kami makin renggang.

Gue berdiri di depan kaca kamar hanya mengenakan sempak. Tulang-tulang di tubuh gue semakin menonjol. Nafsu makan gue memang berkurang akhir-akhir ini. Sudah sebulan gue tak keluar kamar. Berharap umi akan peduli. Sayangnya, dia tidak.

Gue merenung. Mungkin bila gue memang mencintai umi, mungkin sebaiknya gue melepaskan perasaan ini. Umi kini bisa menjadi wanita yang lebih baik. Tidak perlu lagi terkukung dalam dosa.

Gue duduk di meja sambil menuliskan sebuah surat. Namun tak ada kata-kata yang dapat tertulis. Hanya sebuah kata, "Maaf" dan tetesan air mata. Sebelum akhirnya kutarik pelatuk pistol, memejamkan mata, dan tersenyum untuk terakhir kalinya. "Aku masih sangat mencintaimu, bidadariku."

"Dor!"


TAMAT

(Siti...Siti... dimanakah engkau?)
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd