Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kebanyakan para pembaca ini maunya Dimas di kasih main apa nggak? Survey aja, ending sudah ada.


  • Total voters
    247
  • Poll closed .
Status
Please reply by conversation.
Part 4

Pagi - Selasa

Gawat! Karena terlalu capek akibat coli semalam, aku lupa mengembalikan pakain dalam ibu ke tempat cucian di belakang rumah. Mudah-mudahan ibu nggak sadar kalau ada celana dalam sama bh-nya yang hilang. Kalau ada kesempatan harus aku segera kembalikan. Ada-ada saja aku ini. Diriku harus lebih hati-hati.

Sudah beberapa hari ini, ibu menjadi bahan coliku. Dan nafsu kepada ibu kandung sendiri tidak pernah surut, bahkan semakin menggebu-gebu. Telah kubayangkan aku kembali masuk ke dalam tubuh ibu, kembali dengan kontolku yang keras. Kubayangkan aku mengentot ibu ku sendiri dengan gagah. Kubayangkan kontolku ini menggenjot memek sempit ibu. Kubayangkan kontolku yang keras ini masuk ke dalam mulut ibu yang selalu bertutur kata sopan dan baik itu. Aku merinding membayangkannya.

Namun aku masih belum menemukan cara untuk melihat tubuh bugil ibu. Mengintip tidak langsung tidak mungkin, bagaimana caranya coba? Kamar mandi? Tidak mungkin, kami bertiga punya kamar mandi masing-masing. Pasang kamera kecil atau cctv? Bisa saja sih, tapi beli dimana? dan pasang di mana coba? Terus kalau ketahuan gimana? Habislah aku. Sepertinya memang susah untuk melihat tubuh bugil ibu. Meski sudah cukup dengan melihat ibu yang memakai pakain sporty ketat itu. Aku ingin lebih dari itu. Aku ingin melihat tubuhnya tanpa sehelai benang yang melekat pada tubuhnya. Bukan. Tak hanya sekedar imajinasi, Aku ingin menyetubuhinya. Gila? Aku memang gila. Seorang anak yang ingin tubuh ibu kandungnya sendiri.

Di tengah angan-anganku yang gila, aku teringat kalau diriku ada rencana mau pergi sama teman-teman SMA ku. Lebih baik aku bangun sekarang dan mencari ibu untuk meminta izin kepadanya.

Keluar dari kamar, aku sudah menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan Adit. Dia sudah main sepeda fitness saja. Dasar maniak fitness hardikku dalam hati. Ia benar-benar tidak ada capek-capeknya. Dan tanpa malu ia betelanjang dada. Kuakui badannya begitu bagus, gagah. Aku hanya bisa iri melihatnya. Pengen kayak dia tapi malas olahraga.

"Dit, Dit, Dit!" panggil ku. Namun dia tidak bergeming. Adit terus menggowes pedal sepeda electric itu. Aku baru sadar kalau dia sedang memakai earphone bluetooth. Pantas saja dia tidak mendengar panggilan ku, padahal aku sudah teriak-teriak.

Karena dia tidak menyahut panggilan ku, lantas aku tinggalkan dia yang terus bersepeda. Aku berniat mencari ibu. Karena hari ini aku ada rencana mau pergi bareng teman- teman, jadi aku harus minta ijin dulu sekalian pamit. Tercium bau sedap masakan. Ah! Pasti ibu lagi masak di dapur. Lalu aku pergi dapur. Bingo! ternyata benar dugaanku, ibu yang cantik itu lagi masak.

"Bu Dimas mau pergi ya" ijin ku ke ibu yang hanya dasteran sedang memasak. Pagi ini ibu terlihat cantik. Rambut panjangnya diikat, memperlihatkan lehernya yang mulus tanpa cela itu. Rasa pengen menjilatnya saja.

"Hmmmm…. kamu mau kemana sayang?" tanya tanpa menoleh ke diriku. Ia terus mengaduk kuali besar. Dari baunya ibu lagi masak sayur asam. Terlihat jagung ukuran besar sudah terpotong-potong dan berenang di kuah itu.

"Dimas mau jalan-jalan sama temen Bu, boleh ya?".

"Bolehhh….. " jawabnya memberikan izin.

"Sipppp… makasih Bu". Setelah mendapat izin, aku bergegas ke kamar untuk siap-siap.

"Dim?" panggil ibu lembut, menghentikan langkahku.

"Ya bu?" jawabku.

"Kamu ada duit buat jajan? Tanyanya lembut. Senyum lebar tersinggung di wajahku. Ini dia yang aku tunggu-tunggu.

"Hehehe…. kenapa bu? Mau ngasih Dimas nih? Dimas nggak bakal nolak kok hehehehehe…." ucapku seraya cengengesan kepada ibu.

"Dasar kamu mah, hihihihi….. Ya sudah, sana kamu bawa kartu debit ibu ajah" perintahnya.

"Kartu debit? Apa nggak apa-apa bu, kalau Dimas bawa kartu debit ibu?".

“Nggak apa-apa kok Dim, ibu hari ini full di rumah juga. Nanti ada kelas pilates di rumah kok”. Anjir Ibu ada kelas lagi? Ibu sepertinya tidak ada capek-capeknya. Kalau begini hampir setiap hari ada kelas dong. Ibu ini antara hebat atau gila sih. Namun yang pasti aku kagum kepada ibu.

"Hahhhh….. Hari ini mau ngajar lagi bu?" tanyaku dengan ekspresi tidak percaya.

“Iya sayang, habis ibu mau ngapain lagi selain ngajar? Kan itu sumber penghasilan ibu. Meski setiap bulan dikasih uang sama kakek mu, bukan berarti ibu nganggur di rumah kan?” ucap ibu memberikan penjelasan. Alasan ibu untuk tetap mengajar terus masuk akal pikirku. Tidak mungkin ibu hanya enak-enak diam di rumah, nggak enak sama kakek yang sudah membantu selama ini.

“Iya sihhhh…..”

“Makanya kamu cepet-cepet lulus kuliah ya nak, terus cari kerja. Biar ibu bisa mengurangi jadwal ngajarnya”.

“Hehehehe….” tawaku seraya menggaruk kepala yang tidak gatal. Ku harap juga demikian. Aku harus lulus

“Malah ketawa lagi kamu, hihihihi…..”.

Momen bersama ibu ini, yang membuatku perasaan senang. Momen antara anak dan ibu yang tak ingin kulewati, karena aku hanya sebentar di jakarta. Walau semalam ibu hadir dalam benakku, yah sebagai fantasi panas. Bukan berarti aku hanya nafsu pada ibu. Tapi cinta seorang anak kepada ibu. Atau lebih dari itu? Entahlah, yang pasti nafsu iya.

“Tapi Dimas penasaran deh, ibu kan bisa ngajar di tempat fitness yang biasa kan, tapi kenapa ibu masih mengajar di rumah juga? Kan sudah ada kelas offline. Covid juga sudah mulai turun kasusnya bu, sudah mulai longgar prokesnya” ujarku.

“Soalnya kalau di gym kan bagi hasil sama yang punya tempatnya. Lagipula nanti orangnya dikit kok. Karena mereka memang minta kelas privat. Biar lebih intim dan fokus” jelas ibu sambil terus memasak. Tangannya begitu lihat memotong kacang panjang.

“Ohhhhh… iya sih benar juga. Ok deh bu, kalau begitu Dimas ambil kartu nya, habis itu langsung pergi ya” pamitku.

“Iya nak, hati-hati di jalan. Jangan lupa makan ya sayang, yang sehatnya makannya ya nak” wanti-wanti ibu.

“Iya bu” jawabku. Lantas aku segera bersiap untuk pergi.




Kala aku hendak keluar rumah, si Adit sudah selesai gowesan sepeda listriknya. Ia masih terduduk di sadel sepeda itu. Ia sedang mengatur nafasnya.

“Eh, mau kemana loe?” tanyanya tersadar aku yang sudah berpakaian rapih.

“Nongki-nongki ama temen”.

“Sampai jamber?”.

“Entah, sore palingan. Trus elu di rumah aja hari ini? tanyaku balik.

"Iye dirumah doang gw, palingan ikut kelas ibu nanti". Ini lagi si Adit, sudah gowes pagi-pagi. Masih ikutan kelas ibu juga.

“Hoooo…..ok deh, gw jalan dulu Dit”.

“Iya, hati-hati brow” ujarnya. Lalu aku pun pergi dari rumah.


Kuhabiskan seharian ini di luar rumah, pergi bersama-sama teman SMA ku. Bercengkerama dari pagi sampai sore. Nongkrong dari satu cafe ke cafe yang lain. Saling berbagi cerita mengenai kuliah di tempat masing-masing. Saat hari sudah sore, aku berpisah dengan teman-temanku.

Aku pulang dengan ojol. Karena bertepatan dengan arus orang pulang kantor, jadinya jalanan cukup ramai. Mau tak mau aku dan mamang ojol harus bersabar menerobos lautan kendaraan ini. Jakarta memang gila padatnya. Alangkah baiknya kalau aku memberikan tip kepadanya.

Saat sampai rumah, aku melihat ada beberapa pasang sepatu dan sandal di halaman rumahku. Sepertinya teman-teman ibu belum pada pulang. Ketika aku masuk ke dalam rumah, sepi tidak ada siapa-siapa. Sepertinya mereka semua masih di dalam ruangan fitness ibu. Ruangan itu memang didesain kedap suara dari luar dan dalam. Alasannya biar tidak terganggu ketika ada kegiatan di dalam. Kata Ibu, khusus yoga memang butuh konsentrasi dan ketenangan. Jadi sekalian satu ruangan di buat kedap suara.

Badan ku terasa berdebu dan lepek. Aku putuskan untuk mandi terlebih dahulu, setelah diluar seharian. Selesai mandi aku santai di ruang tamu sambil ngemil, menghabiskan waktu dengan bermain hp.

*Cleck. Suara pintu terbuka. Terlihat Adit keluar dari ruangan khusus itu. Ia bertelanjang dada, dan hanya memakai celana pendek. Badannya sudah basah kuyup karena keringat. Sampai saat ini aku masih heran gimana badan Adit sebagus ini. Dia memang sering olahraga ketimbang diriku. Tapi sejak masih kecil, pertumbuhan dia juga jauh lebih cepat mendahului diriku. Waktu dia SMP kelas 1, tinggi badannya langsung mengalahkan tinggiku. Sampai-sampai bentuk badan aku dan Adit ketimpang jauh. Aku kurus kecil, sedangkan dia tinggi besar, kekar pula. Memang dunia ini tidak adil. Tapi bagaimanapun juga, aku tetap kakaknya, jadi dia harus hormat kepadaku. Buahahahaha, tawaku dalam hati bak penjahat.

"Oiiii…. Dit, sudah selesai kelasnya?" tanyaku.

"Hmmm…" gumamnya menandakan iya.

"Terus ibu mana Dit?" tanyaku yang tidak melihat ibu keluar dari sana.

"Tuh masih di dalem lagi ngobrol-ngobrol sama yang lain, biasalah emak-emak ngerumpi gaje gitu" ujar Adit seraya duduk di sebelahku.

"Ohhhh…kayaknya elu ikut terus ya?".

“Hmmm…. Ikut apa?” tanyanya lagi.

“Olahraga bareng ibu lah, sampe elu ikutan yoga juga lagi” jawabku sambil menggelengkan kepala, menilai aneh aktivitas Adit. Biasa yang ikutan yoga itu orang yang sudah berumur. Ya tidak ada salahnya sih, kalau dia yoga-an juga.

"Ya mau gimana lagi, gw nya juga suka sih. Bikin gw makin fit Dim. Stamina, pernapasan dan badan gw jadi bagus gini. Lagipula buat gw enak juga sih, bikin gw ketagihan, pengen terus gitu deh. Nih lihat" jawabnya sekaligus memamerkan otot-ototnya. Jujur aku kagum sekaligus iri melihat otot-otot di lengannya.

“Enak? Ketagihan? Ada-ada aja loe Dit, dasar maniak fitness. Eh malam nanti mabar lagi Dit” ajak ku.

“Iye, gampang. Tapi jangan kalahan mulu lu ah” ejeknya.

“Kampret lu! Eh gw mau nanya deh, memang loe nggak malu kalau nggak pakai baju gitu?” tanyaku.

“Malu? Ngapain malu, biasa aja gw mah” jawabnya santai.

"Memang nya ibu nggak negor elu? Kan nggak enak sama teman-teman ibu” ujarku lagi.

“Nggak tuh, ibu biasa aja kok. Dah ah gw mau mandi dulu. Pengap gw”. Lantas Adit masuk ke kamarnya sendiri untuk mandi. Kemudian aku kembali memainkan Hp, dengan ditemani suara dari tv yang menyala.

"Lho Dimas, kamu sudah pulang nak?" sapa ibu yang baru keluar dari ruang fitness.

"Eh… i-iya bu, belum lama sih. Dimas baru aja selesai mandi kok". Aku meneguk ludah melihat ibu. Sejujurnya aku terangsang seketika dengan pemandangan yang ada di depan mataku. Bulir-bulir keringat ibu, membuatku panas. Apalagi ibu memakai sport bra dan legging ketat. Meski perutnya tidak langsung lagi, tetap terlihat menggairahkan dan seksi. Lubang pusar mungil di tengah-tengah perut ibu pun menambah keseksiannya. Melihat ibu begini saja sudah kacau nafsuku, apalagi kalau beneran bugil.

“Ohhh…. Kamu ngapain aja hari ini Dim?” tanya ibu sambil menyeka keringat dengan handuk kecilnya.

“Cu-cuma nongkrong sama teman aja bu” jawabku sekananya.

“Ohhhh…..”.

Dari ruangan fitness itu muncul seorang wanita paruh baya. Kurang lebih seumuran ibu lah. Tapi…..bangsat! Toketnya gede banget, sudah gitu dia pake sport bra yang bagian dadanya rendah dan sangat ketat. Sehingga bongkahan kenyal itu mencuat keluar. Waduh! Aku harus hati-hati kalau begini, kalau aku ketahuan memperhatikan benda empuk itu bisa-bisa bikin ibu malu. Aku usahakan untuk tetap fokus kepada layar hp, walau sesekali aku mengintip dari ujung mataku. Mana mungkin aku melewatkan untuk melihat dada besar itu.

Lalu dari dalam sana keluar seorang wanita lagi. Kali ini ibu-ibu berjilbab yang nongol. Anjir! Meski pakaiannya tertutup, namun ketat amat. Jadi menonjol di sana-sini. Nggak cocok dengan apa yang dipakai di kepalanya, yang tak lain adalah sebuah jilbab. Yang selalu dikaitkan dengan kesalehan dan kesucian. Yang seharusnya tidak mengumbar aurat, ini malah tampak sebaliknya. Baju sangat ketat, hingga kedua bongkahan payudaranya terbentuk. Legging yang dipakai juga tidak kalah ketat. Pantat mencuat dengan indahnya. Garis celana dalam pun terlihat. Anjiiir!

Akumeneguk ludah melihat ibu dan teman-temannya. Dari segi wajahnya semuanya lumayan cantik. Namun menurutku tetap ibu yang paling cantik. Tidak ada yang bisa ngalahin kecantikan ibu yang ayu keibuan itu.

“Mbak Uli aku pulang dulu ya, suami sama anak-anak ku sudah nungguin nih. Soalnya aku ada janji sholat bareng sama ibu-ibu pengajian di masjid” ucap wanita berjilbab itu.

"Jeng, aku juga pulang dulu ya. Makasih ya kelasnya, bilangin ke si Ganteng makasih sudah ya dikasih yang enak-enak hihihi…. Kapan lagi-lagi ya jeng, aku nagih sama nih sama ko…..".

“Eh Mbak! Ini ada anak saya yang paling gede, kenalin dulu dong, Dimas namanya" ucap ibu memotong ucapan wanita itu. Ibu terlihat agak panik dengan apa yang akan diucapkan oleh orang itu. Memang si ibu itu mau ngomong apa sih, sampai-sampai ibu dengan tidak sopannya menyelak.

“Eh iya, saya nggak liat jeng hehehe….maap jeng, hihihihi….” ucap wanita itu yang baru tersadar dengan keberadaan aku yang sedang duduk di sofa ruang tengah.

“Sayang sini dong, ini kenalin namanya tante Ernie, teman ibu” panggil ibu meminta aku mendekat kepadanya. Lantas dengan terpaksa aku menghampiri mereka. Tidak etis kalau aku menolak permintaan ibu. Yang aku takutkan adalah nafsuku semakin beringas kala mendekati tiga sosok wanita yang seksi itu.

“Halo sayang, kamu yang kuliah di surabaya ya?” tanyanya gemas. Sepertinya wanita itu tipikal tante-tante ganjen yang centil.

"I-iya tante” jawabku tergagap. Sekuat tenaga aku tidak mau melihat payudara besarnya.

“Kamu ambil jurusan apa sayang?” tanyanya lagi.

“Saya ambil manajemen tante”.

“Oalah ok-ok, tapi kamu beda banget sama Adit ya?" ucap tante itu.

“Beda bagaimana nih tante?” tanyaku. Namun aku sudah bisa menduga apa yang akan di katakan oleh tante Ernie. Sudah cukup sering aku selalu dibandingkan dengan Adit.

"Iya, Dek. Kamu ini kurus banget sih. Beda sama adik mu yang gagah itu. Dan Kayak adik kamu lebih kuat juga" ucap tante itu tanpa aling-aling, frontal sekali sih. Mendengar ucapan tante Ernie aku agak jengkel, tapi mau bagaimana lagi itu kenyataannya. Ya harus kuakui Adit memang lebih kuat. Seringkali apabila ibu meminta untuk mengangkat barang-barang berat, pasti lah minta sama Adit bukan kepadaku.

“Hehehehe…. Nggak tau deh tante, memang dari sana begitu” jawabku basa-basi. Tak ingin menunjukan ketidaksukaan. Lalu aku hanya bisa tersenyum hampa saja kala dibanding-bandingkan dengan Adit oleh tante bertoket besar ini.

“Nah kalau ini namanya tante…. eh ustadzah deng, ustadazah Farah, kenalin nak” ujar ibu yang kini mengenalkan wanita berjilbab. Tunggu sebentar…. Wanita berjilbab ini seorang ustadzah? What the….. Kok bisa sih, seorang ustadzah pakai yang ketat-ketat gini sih. Wah ini sih sudah ngaco banget dah. Memang janggal, tapi aku sebagai lelaki tetap terangsang melihatnya.

“Halo bu ustadzah” sapaku mencoba ramah. Mataku agak jelalatan.

"Ah dek, nggak usah manggil ustadzah, cukup tante aja ya dek" ujar wanita itu ramah kepadaku. Aku iyakan permintaan itu. Aku bingung kenapa dia bisa berpakain seperti ini. Apa dia tidak malu dengan statusnya ya, tanyaku dalam hati.

“Oh iya yang jeng Uli, kapan mau ikutan club yang saya bilang itu? Jeng Farah sama Aisyah, anaknya aja ikutan lho, masa jeng Uli nggak mau ikut sih" tanya tante Ernie kepada ibu.

“Iya mbak Uli, saya sama anak aja ikut kok. Bahkan bentar lagi menantu saya nanti juga saya ajak juga loh” timpal tante berjilbab itu.

Kuperhatikan ada perubahan dari raut wajah ibu. Ia seperti senyum yang dipaksakan. Senyuman belaka. Kurasa ia tidak suka dengan ajakan tante Ernie barusan.

“Nggak deh mbak, aku nggak bisa ikutan gituan, maaf ya mbak Er” ucap ibu pelan.

“Iya jeng aku nggak maksa kok, maaf ya kalau aku tanya itu lagi. Kalau begitu, aku pulang dulu ya jeng” pamit wanita itu. Ternyata tante Ernie juga sadar dengan ketidaksukaan ibu dengan pertanyaan dia barusan.

“Saya juga pamit mbak, sampai ketemu lagi di kelas berikutnya” ujar tante Farah itu.

“Mari dek” pamit mereka berdua kepadaku. Aku pun mengangguk. Ibu mengantar kedua temannya itu ke pintu depan. Sedangkan aku melanjutkan permainan di hp ku. Pikiran ku terngiang dengan kejadian tadi. Aku penasaran dengan apa yang dimaksud dengan ajakan tante Ernie. Sampai-sampai ibu terasa jengah, bahkan agak marah ketika tante Ernie menanyakan hal itu kepada ibu.

Sekembalinya ibu dari depan, basa-basi aku bertanya kepadanya "Tadi habis kelas apa bu?".

"Cuma workout biasa aja Dim. Tolong masak nasi, sama angetin lauk dan sayurnya ya sayang" pinta ibu kepadaku.

"Iya bu" jawabku. Namun aku masih penasaran dengan pertanyaan tante Ernie tadi.

"Bu?" panggil ku, menghentikan ibu yang hendak masuk kamar.

"Iya Dim?" balasnya, seraya mengaitkan handuk kecilnya di lehernya.

"Bu tadi, si tante Ernie ngajakin ibu masuk club apa sih?".

"Ohhhh…. itu….Ehmmm….". Ibu sepertinya bingung menjelaskannya. Ia memperhatikan plafon dengan menjentikan telunjuk di dagunya, tanda memikirkan kan jawaban atas pertanyaanku.

"Klub olahraga gitu ya bu?" tanyaku lagi.

“Bukan sih, kayak…….”. Ibu masih bingung untuk menjawab pertanyaanku.

“Kayak apa sih bu?”. Aku jadi semakin penasaran.

“Ohhh itu, apa namanyaaaa….Ehmmmm…. Arisan, iya klub arisan” jawab ibu.

“Klub arisan bu? Terus kenapa ibu nggak mau ikut gituan, bukannya ibu sering ikut arisan?”.

“Kalau untuk yang ini, ibu nggak mau Dim. Arisan nya high-class banget, ibu nggak sanggup ngikutin Dim” jawab ibu.

“Ohhh begitu toh” ujarku mengerti kenapa ibu tidak mau mengiyakan ajakan tante Ernie.

“Wah kalau high-class gitu mending jangan ikutan dah Bu. Hedon bu, pasti cuma buang-buang duit aja. Bakal cuma juga jadi ajang saling pamer aja ibu”.

“Nah iya, bener banget tuh. Makanya ibu nggak mau kalau ikutan Dim. Daripada gigit jari nggak bisa ikutan, mending ibu ikut arisan yang sesuai dompet ajah…. Hihihi….”.

“Iya bu, bener bangetttttt….”.

“Ngomong-ngomong adik mu mana?” tanyanya.

“Lagi mandi bu”.

“Ok, ibu mau mandi juga. Jangan lupa sama yang tadi ya Dim” perintahnya. Lalu ia pergi ke kamarnya. Aku bisa melihat bongkahan pantat ibu ketika ia masuk berjalan ke kamarnya. Bergoyang dan bergetar dengan indahnya di setiap langkahnya. Meski mungil tapi terlihat padat dan sekel. Benar-benar seksi. Ingin sekali aku menamparnya dan meremasnya. Uhhhh! Ibuuuu! Kenapa kamu nafsuin sekali! Lagi dan lagi ibu selalu membuat diriku terangsang. Ini salah ibu kalau Dimas jadi horny terus bu. Apa ia tidak sadar kalau ia telah membangkitkan nafsu anak kandungnya sendiri.



Besok Hari - Rabu

"Kalian hari ini ada pergi keluar nggak?" tanya ibu tiba-tiba kepada aku dan Adit yang sedang bermain game di ruangan tengah. Pagi-pagi kalau nggak ada kerjaan, ya pasti main game.

"Aku sih nggak ada acara kemana-mana bu" jawab Adit tanpa melepaskan mata dari layar.

"Sama bu, Dimas cuma di rumah aja hari ini. Memangnya ada apa bu?" tanyaku balik kepada ibu.

“Kalau gitu kita nonton yuk, dah lama kita nggak nonton bareng di bioskop” ajak ibu dengan semangat. Seketika aku mem-pause gamenya, dan menoleh kepada ibu, lalu bertanya “Tumben nih bu. Memangnya mau nonton apa bu?”.

“Iya bu, mau nonton apa bu? Kalau film-nya gaje Adit males” ujar Adit.

“Nonton Top Gun 2 yuk, ibu mau lihat Tom Cruise nih hihihihi…." tawa ibu centil. Aku tersenyum melihat tingkah ibu.

"Memangnya ibu ngerti sama filmnya?" tanya Adit meragukan.

"Enak aja kamu Dit, ibu ngerti dongggg….. Kan pas masih muda, ibu pernah nonton yang pertama juga" jawab ibu. Ya ibu memang tumbuh besar besar di era Tom Cruise masih muda sih, jadi kurasa ibu memang pernah menonton yang pertama.

“Yuk Dimas, Adit. Kata temen-temen ibu bagus loh” ujar ibu meyakinkan kami berdua untuk pergi menonton bersamanya. Kurasa menarik juga.

"Ayo deh bu, sudah lama nggak nonton bertiga" ucap ku. Bosan juga kalau hanya di rumah. Mumpung masih di Jakarta, harus puas-puasin jalan-jalan. Mumpung masih di bayarin hehehehe.

“Ok lah” Adit pun setuju dengan ajakan ibu.

“Nah gitu dong. Yuk nonton sekarang, ibu mau dandan dulu. Kalian ganti baju sekarang gih” perintah ibu kepada aku dan Adit.

“Ibu nggak usah dandan, sudah cantik kok, ya kan Dit? Hehehehe” gombalku.

“Bener banget bu, bukan cuma cantik tapi juga seksi lho!” tambah Adit.

Aku tercengang mendengar kata-kata yang keluar dari mulut Adit. Seksi? Dia bilang ibu seksi?! Ibu memang seksi dan hot sih, tapi itu kan aku simpan dalam hati saja. Nekad amat ini orang, pikurku. Tapi sepertinya ibu tidak marah. Ia malah tersipu mendengar sanjungan aku dan Adit.

“Ihhh… kalian berdua malah godain ibu sihhhh.., sudah sana siap-siap ah!” hardik ibu bercanda. Kami bertiga pun tertawa lepas, menertawakan kekonyolan barusan. Lalu kami bertiga masuk ke kamar masing-masing untuk mempersiapkan diri.


“Wuih….. ibu modis banget nih! Hahahaha, kayak anak muda nih” komentar ku terpana ketika melihat pakaian ibu. Ia memakai kaos putih biasa dan rok atas lutut dikit. Ibu jadi terlihat masih muda sekali, seperti layaknya perempuan di awal 20-an.

“Hihihi…. Iya dong Dim, sekali-sekali ibu kayak gini dong! Biar dibilang masih muda, hihihi….” tawa ibu penuh ceria.

Lalu ia memutar tubuhnya dengan cepat, hingga roknya terangkat. Diriku terkesiap. Sekilas aku bisa melihat paha ibu yang mulus itu.

“Oops!” pekik ibu, kala ia tersadar kalau aku saja bisa melihat sesuatu di balik roknya. Ia langsung menutup turun roknya. Padahal aku sudah di suguhkan paha mulusnya. Ramping nan menggiurkan. Bahkan sedikit lagi bisa terlihat celana dalamnya. Kalau begini ceritanya sih, bisa-bisa hari ini pandangan ku tidak bakal jauh-jauh dari paha ibu dong. Ibu selalu saja bisa memancing birahiku. Kalau begini, nanti malam pakaian dalam ibu akan menjadi korban lagi keganasan kontolku lagi.

“Awas jangan ngintip kamu yah, kamu nggak boleh lihat hihihihi….” goda ibu kepadaku.

“Hehehehe….” aku pun hanya tertawa canggung.

“Ayo cuss” ajak Adit yang keluar kamar, sudah rapi dan siap untuk pergi. Lantas kami bertiga pergi ke mall xxx dengan mobil.


Di Mobil

Seperti biasa, Adit yang menyetir dan ibu duduk disebelahnya. Aku sebenarnya bisa nyetir juga kok. Tapi kalau ada orang lain yang bisa menyetir kenapa harus aku yang melakukannya. Dan orang lain itu tak lain adalah Adit. Itulah gunanya adik hehehehe. Aku juga tidak begitu suka duduk di depan. Karena harus memakai seat belt. Di belakang aku bisa tenang tidur tanpa terganggu apapun.

Selama perjalanan, bu dan Adit sedang membahas sesuatu yang tidak menarik bagiku. Tidak jauh-jauh dari seputaran kegiatan olahraga mereka. Padahal lagi jalan begini mereka malah membahas kelas yang akan datang. Haiya! Sedangkan aku sibuk dengan hp sendiri, bermain game atau pun hanya browsingan. Jalanan jakarta menjelang siang hari cukup ramai. Jadi cukup lama perjalanan ke Mall xxx.

“Nghhh….awuhhh!” pekik ibu tiba-tiba, yang mengagetkan aku yang tengah fokus ke layar Hp. Untung saja Adit tidak ikutan kaget, bisa brabe kalau iya, kan dia lagi nyetir. Adit terus fokus dengan jalan di depannya, tidak bereaksi dengan apa yang terjadi dengan ibu.

Karena aku persis di belakang Ibu, aku tidak bisa melihat apa yang terjadi dengan ibu. Maka aku bertanya "Kenapa bu?".

"Nggak apa-apa sayang, tiba-tiba kaki ibu kram nak" jawab ibu. Nafas ibu agak sedikit tersengal-sengal.

“Walah… kok bisa kram bu?” tanyaku.

“Ng-nggak tau nak, tiba-tiba aja gitu datangnya kramnya” jawabnya. Heran juga melihat ibu yang seorang instruktur fitness, malah kena kram tiba-tiba. Bisa jadi karena ibu terlalu sering mengajar jadi tubuhnya kecapekan, jadi gampang cedera. Atau mungkin faktor umur kali ya, tapi entahlah.

“Ngghhh…..” geram ibu. Nampaknya serangan kram yang dialami ibu begitu menyakitkan.

“Masih kram ya bu?” tanyaku setelah mendengar ibu menggeram.

“Iyahhhhh…” jawabnya dengan aneh. Sepertinya ibu sedang kesakitan sekali.

“Atau kita sekarang ke dokter aja bu? Nontonnya lain kali aja, takut ibu kenapa-kenapa” saranku. Dari belakang aku hanya bisa harap-harap cemas dengan rasa sakit ibu.

“Nggak.. usahhhhh…sudahh…ma-mauuu…kelu…hi-hilang kok…na-nak” jawab ibu terbata-bata. Kurasa ibu mencoba menahan rasa sakit yang menerpa dengan sekuat tenaga.

Sambil terus menyetir Adit menoleh ke arah ibu. Tapi anehnya dia malah tersenyum aneh kepada ibu. Lebih tepatnya menyeringai kepada ibu. Aku menjadi heran, kenapa sih dia? Orang ibu lagi kesakitan malah tersenyum gitu. Lalu tiba-tiba ia bertanya “Sudah enak nggak bu?”.

“I-iya enakkk…nak, di-dikit lagiii…..dikit lagihhhhh….” jawab ibu ke Adit.

Namun mengetahui kalau ibu sudah mulai enakan, aku jadi merasa lega. Setidaknya tidak parah yang aku kira. Kulupakan senyum Adit, mungkin aku saja yang menganggapnya tidak wajar. Lantas aku bertanya “Ohhh… sudah enakan ya bu?”.

“Ahhhh…….hh…hh…hh…”. Belum menjawabku, tahu-tahu ibu mengerang panjang. Yang diikuti dengan tubuhnya yang tersentak di kursinya.

“Oughhhh….Ahhhh!” lagi ibu mengerang. Dan dari belakang aku bisa melihat tubuh ibu seperti bergetar di tempat duduknya.

"Bu, ibu kenapa?!" tanyaku panik. Namun ibu tidak menjawab. Dan Adit terlihat biasa saja dengan keadaan ibu yang ada di sebelahnya.

Aku cemas dengan keadaan ibu yang berada di depanku. Kuletakkan hpku, lalu aku memajukan badanku ke tengah kursi penumpang bagian depan, untuk memastikan keadaan ibu.

Sesaat aku mendapati Adit menarik tangannya dari tempat ibu berada. Habis ngapain dia? Ah mungkin ia tadi paling habis memastikan keadaan ibu. Wajar saja dia lagi nyetir jadi tidak bisa bereaksi berlebihan.

Setelah kepalaku melewati kursi ibu dan Adit, baru aku bisa melihat ibu seutuhnya. Ia sedang menoleh ke ke arah luar jendela mobil. Sehingga aku tidak bisa melihat wajahnya. Mata mesumku langsung menangkap sesuatu…. Oh tidak! Rok ibu sedikit tersingkap, dimana aku bisa melihat paha kanan ibu yang terpampang indah. Wahhhh sayang sekali… dikit lagi aku bisa melihat pangkal paha ibu. Aku Jadi ngiler, ingin meraba sekaligus menjilatnya. Eh! Apa yang kupikirkan sih, harusnya aku memastikan keadaan ibu. Tapi kalau dipikir-pikir apa jangan-jangan si Adit habis megang paha ibu ya, curigaku. Ah sudahlah, ada-ada saja pikiranku, mana mungkin dia berani. Yang menjadi prioritas sekarang adalah ibu.

“Ibu nggak apa-apa kan? Masih sakit kah bu? Apa kita ke dokter aja sekarang?” tanyaku bertubi-tubi kepada ibu. Namun mataku tak bisa menjauh dari paha ibu. Begitu dekat, tapi tak bisa ku rasakan. Aghhhh!

“Su-sudah… nggak apa-apa kok sayang, ibu sudah enakan kok” jawabnya. Nafasnya sedikit berat, tapi berangsur-angsur kembali normal seperti sedia kala.

Tangan Adit ada berada di perseneling mobil, bergerak ke paha ibu. Tanpa merasa dosa, ia mengelus-ngelus paha ibu dengan lembut. Aku melotot melihatnya, tidak percaya dengan kelakuan Adit. Berani sekali dia! Aku iri! Tapi entah kenapa aku tidak bisa menegur Adit. Tangan Adit yang besar dan kasar itu merayap di atas paha ibu. Aku tercengang dengan kelakuan Adit.

“Apanya yang sudah enak bu?” tanya Adit kepada ibu. Pertanyaan Adit membuyarkan pemandanganku.

“Kaki ibu, kaki ibu sudah enakan kok sayang” jawab ibu lemas.

"Ohhh… kaki…" ujar Adit dengan nada seperti orang jahil. Aku mengernyitkan dahi, karena tukar bicara antara ibu dan Adit.

"Bener ya bu, ibu sudah nggak apa-apa kan? tanya ku memastikan lagi.

Ibu menoleh kepadaku, raut wajahnya terlihat capek namun terbeseit ada rasa lega, ada rasa bahagia. Bahagia akan sesuatu. Tapi entah apa. Mungkin bisa jadi karena tidak lagi merasakan sakit.

"Makasih ya sayang, kamu udah khawatir sama ibu. Tapi ibu sudah nggak apa-apaku" ucap ibu dengan lembut sambil mengusap pipi pelan pipiku. Ouhhh! Perasaanku jadi bahagia karena ibu senang dengan perhatian yang kuberikan kepadanya. Ya kurasa setiap orang tua pasti senang dan bahagia, kala mendapat perhatian dari anaknya. Begitu juga sebaliknya.

“Oh syukur deh kalau begitu bu. Baru kali ini liat kalau kram sampe segitunya” ujarku seraya kembali ke kursiku.

“Iya… ibu juga nggak ngerti Dim” jawabnya.

Hatiku pun sudah tenang karena ibu tidak kenapa-kenapa. Akupun melanjutkan main game di hp. Dan Adit terus fokus menyetir.


Bioskop

“Dit kamu beliin tiket dulu gih” perintah ibu kepada Adit.

“Ok bu”. Adit langsung mengantri di bagian ticketing. Kulihat cukup panjang antriannya, padahal hari ini adalah hari biasa dan masih siang juga. Aku dan ibu duduk di sofa buat penunggu. Kami pun sibuk dengan hp masing-masing.

Dalam kesempatan dalam kesempitan, paha ibu menjadi santapan nafsuku. Mataku terus melirik ke paha ibu indah dan mulus. Tidak kusangka ibu berani memakai rok pendek persis di atas lutut sedikit. Aku penasaran dengan isi dibalik rok ibu. Iseng, aku secara diam-diam memfoto paha ibu yang terpampang.

*Tring Tring Tring. Hp ibu berdering, mengagetkan kami berdua.

“Hmmm… si Adit nelpon nih” ucap ibu, ketika melihat siapa yang menelpon ke hpnya. Lalu ia mengangkatnya.

“Halo ya Dit, gimana? ada buat 3 orang nak?”. Aku di samping ibu hanya mendengarkan percakapan mereka.

“Oh begitu, terus gimana?”. Sepertinya tidak ada yang beres. Jangan-jangan sudah penuh lagi.

“Kenapa bu? Sudah habis ya?” tanyaku cemas.

Ibu perhatikan diriku sambil terus menempelkan hpnya di telinga. Ia memberi tatapan yang aneh, seperti ragu akan sesuatu. Namun setelahnya, kedua matanya berbinar di ikuti senyuman tersungging di wajah ibu. Aku kernyitkan dahi, sebagai kode tidak mengerti kepada ibu. Namun ibu hanya terus mangganguk kala terus mendengarkan ucapan Adit dari telepon, tanpa memberikan penjelasan kepadaku.

“Ok-ok sayang, kalau begitu ibu kesana sekarang ya. Dimas, ibu mau bayar dulu ya. Kamu tunggu sini aja ya nak” ucap ibu. Aku menurut saja, malas juga ikutan ngantri. Lalu Ibu menyusul Adit yang sedang menunggu di counter tiket. Kenapa tadi ibu tersenyum gitu ya. Memang ada masalah apa dengan tiket yang dipesan Adit.

Dari tempat aku duduk, diriku bisa melihat Adit berbisik kepada Ibu. Seraya dibisiki oleh Adit, ibu menoleh kepadaku. Ia tersenyum kepadaku. Senyumannya pun kubalas. Adit pun melihat ke arahku. Ia juga tersenyum kepadaku. Kemudian ibu dan Adit tertawa bersama. Ada apa sih dengan mereka? Kenapa ketawa-ketawa sambil ngeliatin aku.

Aku pun tidak tahu apa yang mereka bicarakan. Adit pun merangkul pundak ibu. Dan ibu tidak risih. Badan Adit yang tinggi besar, membuat ibu terlihat sangat kecil. Enak kali ya bisa gituin ibu. Ada rasa cemburu dalam hatiku. Kapan coba terakhir aku memeluk ibu seperti itu. Ah kapan-kapan ku coba ah, kalau Adit boleh berarti aku juga boleh dong. Termasuk mengelus paha seperti di mobil tadi.

Selesai mendapatkan tiket, mereka berdua menghampiri aku.

“Eh ngomong-ngomong, tadi ibu sama Adit kenapa ketawa-ketawa sambil ngeliatin Dimas sih?” tanyaku meminta penjelasan kepada mereka berdua.

“Hihihihi…. nggak ada apa-apa kok nak. Ibu sama Adit cuma ingat kejadian lucu aja” jawab ibu.

“Ohhhh…. memangnya kejadian lucu apa sih bu?” tanyaku lagi.

“Ade deh, mau tau aja kamu ih, hihihihi…” goda ibu.

“Ah ibu mah….” protesku kepada ibu

“Hihihihi… nanti ibu ceritain deh” jawab ibu, tidak mau menceritakan apa yang dibicarakan olehnya dengan Adit tadi.

“Eh masih jam segini, kita mending makan siang dulu aja ya bu” ajak Adit.

“Yuk, daripada makan di dalem studio nanti kita ke sorean makan siangnya. Lagipula makanan bioskop kan mahal dan nggak begitu enak juga kan” ujar ibu.

“Memang dapet jam berapa film nya?” tanyaku.

“Jam 15.15 Dim” jawabnya. Kulihat jam pun masih jam 12.45. Walah, masih lama banget. Cukup lah, ada waktu untuk makan siang dulu, pikirku.

“Itu mah masih lama banget, ya sudah kita makan di luar aja bu” ujarku. Keduanya pun setuju. Lagipula ucapan ibu ada benarnya, makanan di bioskop kurang begitu bervariasi dan mahal pula.

Kami bertiga memilih restoran yang berbeda dengan kemarin. Kali ini mencari tempat yang bisa nongkrong juga, sekalian menunggu waktu film tiba. Jadi tidak perlu repot-repot berpindah tempat lagi.


Sudah mendekati waktu film diputar kami bertiga bergegas kembali ke bioskop. Tidak lupa, sebelum masuk ke studio kami membeli cemilan untuk menemani nonton. Meski mahal, tapi rasanya tidak afdol kalau nonton di bioskop nggak makan popcorn.

Sebelum masuk studio, aku memutuskan untuk ke toilet terlebih dahulu. Adit pun menyerahkan tiket kepadaku. Aku pun menitipkan snack-ku kepada dia. Ia dan ibu masuk duluan ke studio. Wah… ternyata toilet pria rame juga, seperti barengan dengan orang-orang yang baru selesai menonton. Mau tidak mau harus mengantri sedikit. Setelah lega membuang hajat, aku langsung menyusul masuk ke studio.

Ternyata kali ini studionya kecil. Hanya ada dua bagian saja. Kiri dan kanan, tidak ada bagian tengah. Berbeda dengan studio yang besar, biasanya ada 3 bagian, kiri, kanan dan tengah.

Kucari keberadaan ibu dan Adit. Keduanya sudah duduk manis di kursi masing-masing. Barisan yang dipilih Adit sangatlah strategis. Pas dengan layar, jadi tidak perlu menunduk ataupun mendongak. Lantas aku naik tangga studio ini, mendekati dimana mereka berada. amun seperti pas ngantri tiket tadi, mereka terlihat seperti tertawa lagi ke arahku. Ada apa lagi sih, tanyaku dalam hatinya.

“Dimas sayang, kamu nggak bisa duduk disini” ucap ibu yang menghentikan aku yang hendak duduk di sebelahnya.

“Loh memangnya kenapa bu?” tanyaku tidak mengerti.

“Lihat nomor kursi di tiket kamu dong sayang” pintanya.

Lantas aku teliti tiket yang kuterima dari Adit tadi. Hah?! Aku baru sadar dengan deretan deretan nomor kursi yang tertera di tiket ku ternyata berbeda dengan nomor deretan kursi yang diduduki oleh ibu dan Adit sekarang. Mengapa aku bisa duduk di beda deretan dengan ibu dan adik ku sendiri?

“Lho terus aku duduk dimana ini?” tanyaku dengan nada tidak senang.

“Elu duduk di atas Dim, bukan di sini" ucapnya dengan biasa. Aku hanya bengong mendengarnya. Di Atas? Kenapa aku harus di atas? Berarti sendiri di atas? Pikiran berkecamuk, mulai memanas tidak senang.

“Gw duduk sendiri di atas?” tanyaku memastikan lagi.

“Iye, kan lagi pandemi nih. Makanya jadinya pada di jarakin. Nah elu dapetnya diatas, gw berdua sama ibu nih” ucap dia menjelaskan.

“Lah kok elu nggak bilang-bilang gw sih Dit. Tanya atau apa kek?” sergahku marah kepada adik ku.

“Ya elah, gitu doang Dim. Sante lah, nggak usah marah-marah. Yang penting kan bisa nonton” jawab dia nantangin.

“Sante elu bilang?!” ujarku geram.

“Kenapa gw yang duduk sendiri, kenapa nggak elu aja yang di atas sih?” lanjutku dengan nada tinggi. Ibu pun hanya diam melihatku yang marah-marah.

“Ya emang kenapa kalau elu? Cuma masalah duduk doang, nggak usah marah kali-kali” jawab Adit balik.

“Kan elu yang lebih muda, ngalah dong sama yang lebih tua. Gw kan kakak elu” hardik ku tidak mau kalah. Aku dan Adit akhirnya terlibat argumen, saling tidak mau mengalah.

"Dimas, Anak ibu sayang, kamu duduk di atas aja ya. Nggak enak loh di liatin orang-orang, tuh lihat sayang" ucap Ibu memotong kami berdua. Aku tersadar, dan melihat sekitar. Ternyata orang-orang yang sudah duduk memperhatikan aku yang marah-marah kepada Adit. Malu juga jadinya. Sialan lah! Ku redam emosiku.

“Terus kenapa nggak yang sebaris sekalian?” tanyaku lagi, kali ini dengan nada yang lebih tenang dari sebelumnya.

“Penuh sayang, tadi ibu sudah lihat di komputer mbak-mbaknya, sudah full nak” jawab ibu.

“Gitu yah?” tanyaku pelan.

“He-eh” singkat ibu. Mendengar penjelasan ibu, emosiku mulai mereda. Kalau begini aku juga tidak bisa marah-marah sama Adit.

“Tapi kenapa nggak Adit aja yang di atas aja sih?” tawarku lagi.

“Hmmmm….. Ya nggak apa-apa kan nak? Dimas, kamu sebagai kakak ngalah sama adikmu ya sayang. Kamu di atas aja ya sayang, plisss…. Mau ya nak” pinta ibu seraya tersenyum iba. Permintaan ibu disertai dengan sedikit paksaan. Aku sakit hati karena ibu memilih Adit untuk duduk bersamanya. Tapi mau dibilang apa, kalau ibu yang minta. Apalagi senyum lembut ibu membuat hatiku tenang. Dengan begitu siapa yang bisa menolak permintaan ibu kalau begitu.

Aku pun menghela nafas panjang, lagi-lagi aku harus ngalah kepada Adit. Apalagi kali ini ibu lebih memilih untuk membela Adit, cuma karena aku yang lebih tua jadi harus ngalah. Cuma hal sepele sih, tapi tetap saja menyebalkan. Tanpa berkomentar lagi, aku putuskan untuk duduk di atas. Tak lupa aku mengambil snack yang aku titipkan ke Adit tadi. Ia terlihat menyeringai penuh kemenangan kepadaku, mengesalkan sekali adikku ini. Cih! Mentang-mentang dibela ibu, bisa seenaknya saja dia.

Sambil menggerutu aku naik keatas. Aku menoleh ke belakang, terlihat ibu dan Adit cekikan. Kenapa tertawa? Kenapa mereka malah tertawa sih? Diriku meradang melihatnya. Ibu tersadar dengan aku yang melihat mereka tertawa. Ia tersenyum lagi kepadaku. Aggghhh! Selalu saja, ketika melihat senyuman ibu, amarahku mereda langsung.

Terus lah aku naik ke atas. 'Gila ini sih paling atas, sampe mentok dinding atas' batinku kesal. Dengan pasrah ku dudukan diriku. Di sebelahku sudah ada bapak-bapak yang sudah cukup tua terduduk. Kenapa bukan cewek cantik sih. Duh! Nasibku jelek banget sih. Apes!

Karena aku duduk di barisan paling atas, aku bisa melihat ke seluruh penjuru ruangan. Aku terpisah 6 barisan kursi dengan ibu dan Adit. Jadi dari atas sini aku bisa melihat mereka. Apalagi badan Adit yang tinggi besar, sangat menonjol sekali. Sedangkan untuk ibu, aku hanya bisa melihat kepalanya saja.

Sebelum film mulai, masih ada iklan-iklan dulu. Kuperhatikan ibu dan Adit terlihat berbincang, diselingi tertawa bersama. Sedangkan aku hanya bisa diam sendiri. Aku iri melihatnya. Rencananya nonton bersama, malah jadi kayak begini. Aku main hp saja lah, seraya menunggu untuk film dimainkan.

Setelah iklan habis, barulah lampu-lampu di studio redup secara perlahan, hinggap menjadi gelap. Sumber cahaya hanya berasal dari layar yang menampilkan filmnya.

Filmnya pun dimulai. Langsung disambut suara yang menggelegar. Pembukaanan yang apik membuatku lupa dengan Adit dan Ibu. Adegan Tom Cruise si Maverick mempiloti pesawat jet prototype begitu keren. Dari segi visual benar-benar memukau. Suara mesin jetnya juga begitu keren di telingaku. Aku tercengang di buatnya.

Berjalan sudah 20 menit, film sudah mulai agak berjalan santai. Aku melihat ke arah barisan kursi di bawah. Dalam gelap aku masih bisa melihat Adit dan ibu. Nyatanya sampai sekarang hanya ada mereka di barisan kursi mereka. Tidak ada siapa-siapa selain mereka berdua. ‘Hmmmm….. mungkin kosong kali ya, bisa jadi yang duduk disitu tidak jadi nonton. Atau aku turun ke sana saja, duduk bareng mereka ya’ batinku menimang.

Tapi nanti bakal ditegur petugas karena melanggar ketentuan tata cara nonton disini. Bisa-bisa aku diusir dari bioskop lagi. Kan nggak lucu banget. Lantas ku urungkan niatku, dan kembali fokus ke layar. Beberapa menit kemudian, aku mendapati ibu menyenderkan kepalanya di pundak Adit. Kenapa mereka terlihat mesra sekali sih?!

Tapi kurasa tidak ada masalah ibu mesra dengan anaknya sendiri. Lagipula itu kan bentuk kasih sayang. Entah kenapa aku merasa tidak tenang melihatnya. Rasanya ada rasa cemburu kepada Adit. Apalagi aku sendiri ada nafsu terhadap ibu. Pengen rasanya aku yang menggantikan Adit disana.

Kembali aku perhatikan film yang berjalan semakin seru. Aksi Tom Cruise menerbangkan F-18, sangat keren dan memukau. Aku kembali melupakan Adit dan Ibu. Benar kata orang-orang, film ini memang bagus juga. Tidak terlalu sering memakai CGI atau efek komputer, jadinya terlihat realistis. Aktor lainya juga terlihat mendalami aktingnya dengan bagus. Jadi nya film terasa berjalan dengan natural.

“Eh?! Hmmmm…..” gumamku. ‘Ibu kemana ya?” tanyaku dalam hati, kala mendapati ketidakberadaan ibu di sebelah Adit. Dari atas aku hanya bisa melihat kepala Adit saja. Padahal dari tadi aku melihat ibu senderan di bahu Adit. Palingan ke toilet pikirku. Lantas aku fokus ke film lagi.

Aneh sekali, sudah ber menit-menit lamanya, ibu juga belum kelihatan. Kemana dia ya, gerangku penasaran. Apa dia sakit perut, hingga lama di toilet. Aku menjadi tidak tenang. Mau coba chat ibu juga tidak mungkin. Nanti cahaya dari layar hp, mengganggu penonton lain. Tidak ada yang bisa kulakukan selain menunggu film selesai. Lagipula film terlalu apik untuk di lewatkan begitu saja.

“Lho kok?!” seruku kaget karena bingung saat melihat bu ada lagi di sebelah Adit. Ibu habis dari mana ya? Toilet kah? Kapan kembalinya? Aku jadi terheran sendiri.

“Sstttttt!”. Bapak-bapak di sebelah ku marah kepadaku, akibat reaksi kaget ku. Aku pun meminta maaf tanpa mengeluarkan suara. Aku bingung ibu dari mana. Kenapa bisa tiba-tiba muncul lagi. Pasalnya dari tadi aku tidak melihat ibu pergi ataupun kembali dari toilet. Kan kalau dari atas sini aku bisa melihat ke segala penjuru studio ini. Jadi kalau ada orang keluar masuk studio aku bisa tahu.

Atau apa memang ibu tidak keluar di studio ya…..

Terus kalau begitu ibu habis ngapain ya…..

Berbagai pertanyaan memenuhi benak ku. Ah sudahlah, palingan aku memang tadi kebetulan tidak melihat ibu kembali ke studio. Bisa-bisa aku malah terlewat momen penting dari film Top Gun 2 ini, kalau terus memikirkan hal-hal yang tidak perlu di khawatirkan. Kembali aku kunci mataku untuk fokus ke layar lebar.

Di saat fokus dengan Tom Cruise yang menerbangkan F-18, tiba-tiba mataku menangkap suatu pergerakan dari ibu di bawah sana. Ia terlihat tegang dan mendongak ke atas. Astaga ada apa lagi ini?! Jangan-jangan Ibu kram lagi? Kuperhatikan kalau tubuh Adit terlihat condong ke arah ibu. Lagi ngapain dia ya?

*Degh…..What the?!

Tiba-tiba Adit mencium pipi ibu. Apa aku tidak salah lihat?! Kok bisa tiba-tiba adikku itu mencium pipi ibu sih. Tidak hanya sekali Adit mendaratkan bibirnya di wajah ibu, tapi berkali-kali. Aku terperanjat tidak percaya dengan apa yang kusaksikan sekarang. Sedangkan ibu tidak bergeming menerima kecupan-kecupan dari Adit di pipinya, ia seperti tetap berkonsentrasi untuk menahan rasa sakit yang menderanya. Pantaskah Adit melakukan itu kepada ibu? Orang yang ciumi kan ibu kandungnya sendiri, bukan pacarnya. Meski hanya di pipi tapi kan tetap aneh juga kalau berkali-kali.

Aku memang marah kepada Adit, tapi bukan karena ia menciumi ibu. Sejatinya marah karena iri kepadanya. Lebih baik nanti aku tanyakan kenapa ia menciumi ibu buas seperti itu. Dan aku juga harus tanya kepada ibu kenapa ia membiarkan Adit melakukannya. Atau karena sedang kesakitan ibu tidak sadar dengan sekitarnya.

Aku semakin gelisah, menjadi agak tidak fokus dengan film yang ada di depanku. Padahal film sudah di ujung, dimana Maverick sedang bermanuver melawan dua jet musuh. Dengan begini konsentrasiku terbagi dua, melihat layar dan juga melihat ibu dan Adit di bawah sana. Terus kuperhatikan keadaan ibu yang berada di bawahku. Atau sekarang aku hampiri ibu saja ya, memastikan keadaannya. Tapi film lagi seru-serunya.

Beberapa saat kemudian kudapati tubuh ibu terlonjak-lonjak di kursinya. Mataku terpaku kepada ibu, tidak lagi kepada film. Apa yang terjadi ibu sekarang sama seperti kejadian kram di mobil tadi. Adit langsung merangkul tubuh ibu. Kurasa hal itu untuk meredam pergerakan liar tubuh ibu yang agak sedikit heboh tidak beraturan. Selama beberapa detik tubuh ibu terlihat berguncang. Tak lama, guncangan tubuh ibu berangsur pelan, bahkan hilang. Kembali ia bersandar kepada pundak Adit. “Phiuhhhh…..” Diriku bernafas lega, ketika ibu sudah kembali tenang. Aku jadi kembali menonton filmnya sampai selesai.

Setelah film habis, aku langsung turun dan keluar dari studio. Namun karena duduk paling atas, mau tak mau aku harus ngantri untuk turun. Sedangkan ibu dan Adit sudah turun duluan, dan keluar dari studio lebih dulu. Setelah mengantri untuk turun, barulah aku bisa keluar. Tidak kutemukan Adit dan ibu. Aku pun keliling, bioskop untuk mencari keberadaan mereka. Tapi tidak ketemu juga. Kemana sih mereka?!

“Dorrr”. Tepukan di pundak dan suara keras tiba-tiba mengagetkanku.

“Eh kampret!” teriakku.

Aku pun menoleh kebelakang, ternyata ibu yang mengagetkanku. Adit juga ada di belakangku.

“Duh ibu, bikin dimas kaget aja sih”

“Hihihi… habisnya kamu kayak orang linglung sih” ucapnya sambil terus tertawa. Adit pun juga ikutan tertawa.

“Habisnya ibu sama Adit ngilang begitu aja” ujarku.

“Gw sama ibu habis dari toilet, sudah kebelet dari tadi” balas Adit.

“Ohhhh…..”.

"Pas banget waktunya kita makan malam nih" ucap ibu. Waktu memang kulihat sudah menunjukan jam enam kurang.

"Iya bu, sekalian makan di sini aja. Adit lagi pengen makan ramen bu" ujar Adit. Ibu pun mengiyakan. Aku pun tak masalah dengan pilihan Adit. Sudah lama juga tidak makan ramen. Lantas kami bertiga menuju restoran mie asal jepang yang terletak di lantai lower ground mall ini.

Ibu dan Adit beriringan, saling berpegangan tangan. Sedangkan aku membuntuti mereka dari belakang. Aku hanya tergeleng-geleng heran, si Adit ini badan segede bagong tapi manja sama ibu. Sudah mau masuk kuliah tapi malah bergandengan tangan layaknya anak kecil. Lagi seperti sebelumnya, aku tidak marah tapi cemburu.

“Bu, ibu” panggilku.

Ibu pun menoleh ke belakang. Kusadari ia terlihat letih. Ya bagaimana tidak capai, ia kena dua kali serangan kram yang hebat dalam satu hari. Separah-parahnya yang pernah ku alami cuma kram di kaki, itu juga hilang dalam hitungan detik apabila aku meluruskan kaki. Tapi apa yang ibu alami sangat berbeda dengan apa yang pernah ku alami selama ini.

“Tadi Ibu di dalam kram lagi ya?” tanyaku.

“Eh kram?” ujar ibu tidak mengerti. Lah ini kenapa ibu malah bertanya balik dah.

“Iya, aku lihat tadi ibu kayak mendongak kesakitan gitu. Terus habis itu ibu kayak bergetar-getar gitu deh, sama kayak tadi di mobil bu" ujarku menjelaskan apa kulihat di studio tadi.

“Hihihihi….. Iya deng, tadi kaki ibu sempet kram lagi Dim. Tapi sudah enakan kok sayang, bahkan habis kram tadi ibu terasa enak banget kok, kayak lega gitu” ucap ibu.

“Beneran ibu sudah nggak apa-apa? Takut nanti kram lagi lho” tanya ku lagi khawatir kepada ibu.

“Tadi ibu sudah gw bikin enak kok, lu tenang aja Dim, nggak usah khawatir” timpal Adit.

“Hihihih… makasih ya sayang sudah bikin ibu enak, nggak sakit lagi tadi. Malahan ibu sampe keenakan tadi" ucap ibu sambil mengelus tangan Adit yang kekar itu. Tak ku hiraukan itu.

"Emang tadi lu apain ibu Dit?" tanyaku penasaran.

“Gw cuma pijit kakinya aja kok, ya kan bu?” ujar Adit. Ibu tersenyum mendengar perkataan Adit. Mengapa ibu tersenyum? Benarkah ibu di pijat Adit pas di dalam studio?

"Hihihi…. Iya, tadi di kaki ibu di pijitin sama Adit".

"Memang elu bisa mijit Dit?" tanyaku tidak percaya. Adikku yang maniak olahraga ini bisa mijit. Kalau salah pijit kan bahaya.

"Bisalah, gw kan sering mijitin ibu".

"Oh ya?!" reaksi ku tak percaya.

"Iye, gw kan sering olahraga, jadi gw harus bisa teknik memijat yang benar dan enak Dim” ujarnya.

“Anjir! Apa hubungannya dah?” tanyaku.

“Ah bego lu ah. Jadi gini kalau ada apa-apa gw tahu pertolongan pertama Dim. Misalkan tiba-tiba otot elu kenapa-kenapa, nah gw pijet dah tuh ampe benar hahahaha…..” ucap Adit.

“Masuk akal sih. Terus bu, apa nggak cek ke dokter aja? Soalnya kalau Dimas lihat-lihat kram nya ibu tadi, aneh banget. Takutnya parah bu” ucapku khawatir. Kalau ternyata parah dan tidak diobati, bisa-bisa ibu tidak bisa mengajar lagi.

“Ah nggak perlu kok Dim, cukup dipijit sama Adit sampai enak saja sudah cukup kok” ujar ibu.

Terlihat Adit dan ibu saling pandang, seperti ada sesuatu. Aku pun tidak tahu apa-apa. Atau perasaanku saja. Ah iya! aku teringat dengan sesuatu.

"Dit".

"Ape bro?" jawabnya yang terus berjalan tanpa menoleh kepadaku.

"Tadi gw lihat, lu cium-cium pipi ibu deh" ucap ku. Adit pun berhenti terus menoleh kepadaku.

"Ya, terus memangnya kenapa Dim? Nggak boleh hah?!" ujarnya tiba-tiba galak. Lah aku kan cuma bertanya, kenapa dia malah sewot sih.

“Oh kamu tadi lihat ibu di cium sama Adit?” tanya ibu santai. Sepertinya ia memang tidak marah dengan kelakukan Adit tadi.

“Iya bu, Dimas merasa aneh aja liatnya” ujarku.

“Aneh? Ya nggak lah! Elu kali yang aneh Dim, masa gw cium ibu nggak boleh. Kan gw anaknya” hardik Adit. Memang tidak ada salahnya sih kalau seorang anak mencium pipi ibunya sendiri. Tapi kenapa harus berkali-kali seperti tadi sih.

“Iya sayang nggak aneh kok, ibu biasa aja tuh. Malah ibu senang, karena itu tandanya anak ibu sayang sama ibu” ucap ibu membela Adit.

“Tapi kan……”.

"Hihihihi…. kamu kenapa sih sayang? Masa cium ibu sendiri nggak boleh? Jangan-jangan sebenernya kamu mau cium ibu juga ya?” potong ibu seraya menawarkan untuk dicium olehku. Mataku langsung berbinar penuh cahaya. Ia memang ibuku, mengerti apa yang ku mau. Mana mungkin aku melewatkan kesempatan emas ini. Ibu yang menjadi fantasiku, sekarang mengijinkan aku untuk mencium pipinya. Hanya pipi sih, tetapi siapa bisa menolak.

“Hehehe…iya bu, Dimas mau juga dong” ujar penuh harap.

“Hihihhi…. Tuh kan benar apa kata ibu! Ah, Ada-ada aja deh kamu Dim. Pake acara marah-marah ke adik kamu sendiri. Ya sudah, sini sayang, cium ibu" ujar ibu seraya menyodorkan pipinya kepadaku.

Padahal cuma cium pipi, tapi aku tegang. Meski masih di tempat umum begini, kubuang rasa maluku. Tak peduli dengan orang yang lalu lalang di mall ini. Dadaku bergemuruh kuat, kala bibirku semakin mendekati pipi ibu yang mulus itu. Kuletakkan bibirku di pipi ibu yang empuk itu. Diriku berkali menarik dan mendorong bibirku, mendaratkan beberapa kecupan di pipi ibu.

“Sudah-sudah, keasikan kamu ah Dim!” ujar ibu meminta aku untuk berhenti mencium dirinya. Dengan berat hati, ku sudahi aksi nyosor ku. Entah apa yang di pikiran orang-orang ketika melihat seorang mas-mas mencium ibunya sendiri bertubi-tubi di muka umum begini.

“Nghhh….” gumamku. Saking senangnya aku baru sadar hidungku menangkap bau aneh. Tercium bau aneh di sekitar wajah ibu. Tapi tidak tahu itu apa. Seperti kenal, tapi diriku tidak bisa menebak itu bau apa.

"Ada apa nak?" tanya ibu melihat aku yang tiba-tiba kebingungan.

“Eh nggak apa-apa kok ibu hehehehe…..” ucapku yang diikuti tawa untuk menutupi ke keterkejutanku.

“Sudah impas ya Dim?” tanya ibu. Aku pun mengangguk. Meski ada yang aneh dengan bau ibu, tapi aku tetap senang kok.

“Hihihihi…. Anak ibu sudah pada gede begini, tapi masih pada manja ah. Minta cium-cium ibu nya” ejek ibu bercanda.

“Kan kita sayang sama ibu, hehehehe…..” seru Adit.

“Hihihihi…. Sudah yuk ah, kita makan sekarang” ajak ibu. Lalu kami bertiga melanjutkan langkah ke restoran ramen. Meski hati sedang berbunga-bunga. Namun pikiranku masih berusaha menebak bau yang tercium dari ibu barusan. Mana mungkin ibu yang cantik ayu dan anggun itu punya bau yang aneh. Mau kutanyakan, tapi takut ibu marah.


Restoran Ramen

“Loh ibu nggak pesen makan?” tanyaku kala ibu hanya memesan minuman ocha panas saja. Kami bertiga sudah terduduk di restoran ramen yang Adit mau.

“Nggak sayang, kalian aja yang makan" ujarnya.

"Loh kenapa bu?" heranku.

"Ibu kenyang Dim, tadi sudah kebanyakan ngemil di bioskop. Ibu takut gendut Dim. Kan tidak lucu kalau ibu yang bekerja sebagai instruktur olahraga malah gendut hihihihi…." ucapnya yang kemudian tertawa.

"Tapi tadi kan cuma makan pop corn aja bu" ucap ku.

"Tadi ibu juga makan sosis jumbo lho…." timpal Adit tiba-tiba. Sosis?! Kapan ibu beli sosisnya? Kan pas beli makanan dan minuman di bioskop kan barengan. Kulihat ibu diam melihat Adit. Adikku itu pun juga membalas menatap ibu. Ada apa sih?!

“Ibu beli sosis?” tanyaku.

"Ah iya Dim, tadi ibu beli sosis. Makanya sekarang ibu nggak mau makan lagi, entar jadi endut hihihi…" kilah ibu.

"Perasaan tadi kita cuma beli popcorn sama minuman aja deh" ucapku yang tidak bisa mengingat kapan ibu beli sosisnya.

"Ibu pesen sosisnya pas kamu masih di toilet nak, kan suka ada tuh mbak-mbak nawarin makanan di dalam studio" ujar ibu.

"Ohhhh… pantes Dimas nggak lihat bu, hehehehe….Tapi ibu kenapa beli gituan? Kan katanya mahal dan nggak enak" ucapku akhirnya mengerti.

"Awalnya iseng aja Dim, ibu pengen lihat ada apa aja. Jadi ibu minta buku menu sama mbak-mbaknya".

"Nah terus ibu liat ada sosis ukuran jumbo, kelihatan enak banget, buat ibu ngiler. Yauda ibu pesen satu deh" ucapnya lagi.

"Tapi memang enak kan bu?" tanya Adit.

“Banget nak, enak buangetttt……uhhhhh!” ucap ibu senang mengingat sosis yang ia makan tadi. Sepertinya enak sekali sosis yang ibu makan. Aku jadi penasaran. Maklum aku tak pernah membeli makanan yang mahal-mahal di bioskop, jadi tidak tahu bentuk dan rasanya. Cuma popcorn dan minuman aja yang pernah kubeli. Wajar, kantong mahasiswa.

“Gede ya sosisnya bu?” tanya Adit lagi. Lagi Ibu terdiam memandangi Adit. Ibu menghela nafas lalu tersenyum.

“Menurut kamu gimana Dit? Kan kamu tadi melihat ibu makan sosisnya” tanya ibu balik.


“Hehehe…. Iya, ibu lahap banget makan sosisnya lho. Kayak nggak ada hari esok ajak”

“Gede banget sih, sudah gitu tebel banget lagi. Pokoknya sosisnya padet banget deh, enak banget pas masuk ke mulut ibu”.

“Apalagi saus mayonaise nya Dim, Uhhhh…. Ibu jadi pengen nelen lagi, eh makan lagi maksud ibu” ujar ibu.

“Memang kenapa sama mayonaise bu?” tanyaku.

“Saus mayonaise enak banget Dim, kental, gurih gituhhhh…dehhh! Sudah gitu banyak banget lagi. Kayaknya mereka bikin sendiri deh, punya resep sendiri. Nggak beli dari supermarket” ujar ibu menjelaskan. Sepertinya ia sangat suka dengan mayonaise dari sosis tadi.

“Ohhhh…..” balasku singkat. Aku pun hanya bisa mendengarkan bagaimana ibu menjabarkan betapa enaknya sosisnya yang ia santap.

Ketika pesanannya sudah datang, aku dan Adit langsung menyantap makanan. Karena ibu tidak pesan makanan, jadi hanya menonton kami menghabiskan ramen yang lezat ini. Setelahnya kami bertiga pulang ke rumah.


Besok Hari - Pagi

Bangun pagi, diriku langsung terasa lapar dan haus. Bagaimana tidak lapar dan haus. Aku sampai dua kali muncrat tadi malam. Meski tidak menggunakan pakaian dalam ibu sebagai bahan coliku. Tapi mengingat kejadian kemarin yang tak di sangka-sangka aku boleh mencium pipi ibu. Cuph suaranya. Ohhhhhh…. Ibu!. Hati bersorak dan berbunga-bunga kala mengingat kelembutan pipi ibu. Tenju juga nafsu. Terakhir kali aku merasakan lembutnya pipi ibu adalah waktu aku berangkat ke Surabaya saat mau kuliah semester satu. Aku memberikan kecupan perpisahan kepadanya.

Setelah menggosok gigi dan mencuci muka. Aku bergegas ke dapur untuk mengisi perut yang sudah keroncongan. Sekaligus menghilangkan dahaga. Dari dapur aku bisa mendengar suara lembut ibu.

“Aduh sayang...., kamu pagi-pagi gini udah keras aja sih”.

‘Keras?’

‘Hah?! Apaan yang keras’.

Bersambung…..

Pesan Penulis:
  1. Maaf baru bisa update.​
  2. Hehehe... kayaknya kentang lagi nih.​
  3. Penulis kampret, sudah lama updatenya tapi masih kentang aja! wkwkwkwk, maafkan penulis ye. Memang gini ceritanya. Makanya penulis kasih tag "hiddensex".​
  4. Terus kapan ekse nya? Nggak tahu wkwkkwkw. Pokoknya ada, Tunggu aja ye.​
 
Status
Please reply by conversation.
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd