SundayTheSix
Adik Semprot
- Daftar
- 10 Oct 2019
- Post
- 102
- Like diterima
- 240
(Prologue)
Aku tak percaya keberuntunganku. Sampai beberapa menit yang lalu, aku menganggap ini adalah hari terburuk dalam hidupku, gagal nonton pertunjukan team J di theater, diblacklist dari theater, dan kemungkinan besar dibenci oleh gadis pujaanku Frieska, semua karena supir taksi ****** yang tak bisa menjaga jarak saat aku menyuruhnya untuk mengikuti Frieska pulang ke apartemennya.
Satu-satunya hal yang kurasakan berbeda hari ini adalah tak seperti biasanya Ayah mau membebaskanku dari kantor polisi, biasanya Ayah hanya menyuruh salah satu pengacaranya untuk membebaskanku karena dia tak ingin waktu berharganya itu terbuang hanya untuk mengurusi masalahku. "Ayah lebih baik menggunakan waktu Ayah untuk mengurusi salah satu bisnis Ayah, ketimbang harus mengurusi kenakalan kamu lagipula Ayah harus punya uang untuk kamu sia-sia kan." Begitulah jawab Ayah saat aku bertanya kepadanya kenapa dia tak peduli jika aku berada di kantor polisi, semenjak itu, aku tak mau ambil pusing jika Ayah tak mau mengurusi masalahku. Klasik, aku tahu.
Jadi bisa kau bayangkan betapa terkejutnya aku saat yang muncul dengan amplop penuh uang adalah Ayahku. Apa yang membuatnya mau menyia-yiakan waktunya untukku. Sepanjang perjalanan aku tak ingin membuang waktuku untuk bertanya alasan Ayah mau melakukannya, aku tahu Ayah tak akan memberikan jawaban, jadi kenapa aku harus repot-repot bertanya.
"Menguntit? Chris ayolah, apa kau sengaja melakukannya untuk mempermalukan Ayah?"
Ini adalah pertama kalinya Ayah memulai percakapan denganku setelah bertahun-tahun, setelah bertahun-tahun puas dengan "bicarakanlah dengan Ibu." dan "Ayah sedang ada urusan penting bicarakanlah dengan asisten Ayah." untuk pertama kalinya Ayah mau berbicara denganku, moodnya pasti sedang baik.
"Tidak Yah, aku tak ingin mempermalukan Ayah." jawabku.
"Lalu, apa yang kau pikirkan saat menyuruh supir taksi untuk mengikuti seorang perempuan ke apartmennya?"
"Aku tak berpikir akan seperti ini jadinya, aku pikir..."
"Tentu saja kau tak berpikir, karena kalau kau berpikir maka tak akan seperti ini jadi."
"Kau tahu Yah, aku lebih suka berbicara dengan salah satu asistenmu karena setidaknya mereka berpura-pura peduli pada masalahku."
Itu berhasil membuatnya diam, dia hanya memandangiku untuk sesaat sebelum memutuskan untuk melihat keluar jendela. Dan seperti itulah pembicaraan antara kami berdua yang terjadi sekali dalam beberapa tahun berhenti, ya tak seperti aku punya banyak kesempatan untuk berlatih. Sisa perjalanan kami lalui dalam kesunyian, hingga mobil yang kami kendarai sampai di rumah yang sudah lama tak kusinggahi.
"Aku tak akan kembali ke rumah hanya karna Ayah menebusku dari kantor polisi kan?"
"Ayah tahu, tapi ada sesuatu yang Ayah dan Ibu ingin bicarakan denganmu."
"Jika Ayah ingin bicara, kita bisa melakukannya diluar."
"Ayah tahu, tapi untuk kali ini saja Ayah dan Ibu pikir bahwa hal ini pribadi yang hanya bisa kita bicarakan di rumah."
"Apa yang begitu penting sampai aku harus kembali ke rumah ini? Jika Ayah lupa, Ayah lah yang mengusirku."
"Christian, tolonglah. Kali ini saja, jika kau butuh alasan, lakukanlah demi Ibumu, Ayah lah yang kau benci bukan dia."
Kami saling tatap, aku tahu bahwa Ayah sudah mengunakan kartu terakhirnya kepadaku, dengan mengakui kalau dia lah yang aku benci, dia secara tak langsung juga mengakui bahwa dia sudah melakukan kesalahan yang membuatku membencinya. Aku tahu Ayah benci mengakui kalau dia sudah melakukan kesalahan dan sekarang aku ingin tahu apa yang mungkin membuatnya mau melakukan hal itu.
"Lima menit dan jika aku merasa bahwa apapun yang Ayah ingin bicarakan itu tak penting, maka aku akan pergi."
"Terima kasih." Ucapnya sebelum turun dari mobil.
Aku mengikutinya turun dari mobil dan berjalan mengikutinya masuk ke tempat yang dahulu kusebut rumah. Tepat didepan pintu depan, berdiri Ibuku, dari tatap wajahnya sepertinya dia senang melihat kedatanganku.
"Chris, Ibu kangen nak." Ucapnya sambil memelukku, diciumnya kedua pipiku sebelum memberikanku pelukan kedua.
"Aku tak ingin berlama-lama disini, jadi jika Ibu tak keberatan bisa kita langsung saja masuk dan bicara."
Ibu jelas tak mengharapkan sikapku itu tapi betapa pun aku mencintainya, itu dikalahkan oleh rasa benciku pada suaminya.
"Baik nak, ayo kita masuk."
Aku pun mengikutinya masuk, tak mengharapkan apapun karena aku hanya ingin pergi dari sini. Namun duduk di sofa ruang tengah, ditemani oleh kedua orang tuanya, gadis yang kugilai, Frieska.
Aku tak percaya keberuntunganku. Sampai beberapa menit yang lalu, aku menganggap ini adalah hari terburuk dalam hidupku, gagal nonton pertunjukan team J di theater, diblacklist dari theater, dan kemungkinan besar dibenci oleh gadis pujaanku Frieska, semua karena supir taksi ****** yang tak bisa menjaga jarak saat aku menyuruhnya untuk mengikuti Frieska pulang ke apartemennya.
Satu-satunya hal yang kurasakan berbeda hari ini adalah tak seperti biasanya Ayah mau membebaskanku dari kantor polisi, biasanya Ayah hanya menyuruh salah satu pengacaranya untuk membebaskanku karena dia tak ingin waktu berharganya itu terbuang hanya untuk mengurusi masalahku. "Ayah lebih baik menggunakan waktu Ayah untuk mengurusi salah satu bisnis Ayah, ketimbang harus mengurusi kenakalan kamu lagipula Ayah harus punya uang untuk kamu sia-sia kan." Begitulah jawab Ayah saat aku bertanya kepadanya kenapa dia tak peduli jika aku berada di kantor polisi, semenjak itu, aku tak mau ambil pusing jika Ayah tak mau mengurusi masalahku. Klasik, aku tahu.
Jadi bisa kau bayangkan betapa terkejutnya aku saat yang muncul dengan amplop penuh uang adalah Ayahku. Apa yang membuatnya mau menyia-yiakan waktunya untukku. Sepanjang perjalanan aku tak ingin membuang waktuku untuk bertanya alasan Ayah mau melakukannya, aku tahu Ayah tak akan memberikan jawaban, jadi kenapa aku harus repot-repot bertanya.
"Menguntit? Chris ayolah, apa kau sengaja melakukannya untuk mempermalukan Ayah?"
Ini adalah pertama kalinya Ayah memulai percakapan denganku setelah bertahun-tahun, setelah bertahun-tahun puas dengan "bicarakanlah dengan Ibu." dan "Ayah sedang ada urusan penting bicarakanlah dengan asisten Ayah." untuk pertama kalinya Ayah mau berbicara denganku, moodnya pasti sedang baik.
"Tidak Yah, aku tak ingin mempermalukan Ayah." jawabku.
"Lalu, apa yang kau pikirkan saat menyuruh supir taksi untuk mengikuti seorang perempuan ke apartmennya?"
"Aku tak berpikir akan seperti ini jadinya, aku pikir..."
"Tentu saja kau tak berpikir, karena kalau kau berpikir maka tak akan seperti ini jadi."
"Kau tahu Yah, aku lebih suka berbicara dengan salah satu asistenmu karena setidaknya mereka berpura-pura peduli pada masalahku."
Itu berhasil membuatnya diam, dia hanya memandangiku untuk sesaat sebelum memutuskan untuk melihat keluar jendela. Dan seperti itulah pembicaraan antara kami berdua yang terjadi sekali dalam beberapa tahun berhenti, ya tak seperti aku punya banyak kesempatan untuk berlatih. Sisa perjalanan kami lalui dalam kesunyian, hingga mobil yang kami kendarai sampai di rumah yang sudah lama tak kusinggahi.
"Aku tak akan kembali ke rumah hanya karna Ayah menebusku dari kantor polisi kan?"
"Ayah tahu, tapi ada sesuatu yang Ayah dan Ibu ingin bicarakan denganmu."
"Jika Ayah ingin bicara, kita bisa melakukannya diluar."
"Ayah tahu, tapi untuk kali ini saja Ayah dan Ibu pikir bahwa hal ini pribadi yang hanya bisa kita bicarakan di rumah."
"Apa yang begitu penting sampai aku harus kembali ke rumah ini? Jika Ayah lupa, Ayah lah yang mengusirku."
"Christian, tolonglah. Kali ini saja, jika kau butuh alasan, lakukanlah demi Ibumu, Ayah lah yang kau benci bukan dia."
Kami saling tatap, aku tahu bahwa Ayah sudah mengunakan kartu terakhirnya kepadaku, dengan mengakui kalau dia lah yang aku benci, dia secara tak langsung juga mengakui bahwa dia sudah melakukan kesalahan yang membuatku membencinya. Aku tahu Ayah benci mengakui kalau dia sudah melakukan kesalahan dan sekarang aku ingin tahu apa yang mungkin membuatnya mau melakukan hal itu.
"Lima menit dan jika aku merasa bahwa apapun yang Ayah ingin bicarakan itu tak penting, maka aku akan pergi."
"Terima kasih." Ucapnya sebelum turun dari mobil.
Aku mengikutinya turun dari mobil dan berjalan mengikutinya masuk ke tempat yang dahulu kusebut rumah. Tepat didepan pintu depan, berdiri Ibuku, dari tatap wajahnya sepertinya dia senang melihat kedatanganku.
"Chris, Ibu kangen nak." Ucapnya sambil memelukku, diciumnya kedua pipiku sebelum memberikanku pelukan kedua.
"Aku tak ingin berlama-lama disini, jadi jika Ibu tak keberatan bisa kita langsung saja masuk dan bicara."
Ibu jelas tak mengharapkan sikapku itu tapi betapa pun aku mencintainya, itu dikalahkan oleh rasa benciku pada suaminya.
"Baik nak, ayo kita masuk."
Aku pun mengikutinya masuk, tak mengharapkan apapun karena aku hanya ingin pergi dari sini. Namun duduk di sofa ruang tengah, ditemani oleh kedua orang tuanya, gadis yang kugilai, Frieska.