Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA Kenangan Diyah

Kenangan Diyah - Rencana​


"Ira, psst! Sebelah sini." Aku memanggil sambil berbisik ke seseorang yang berjalan melewati mejaku.

"Huh, Diyah? Kenapa berpakaian begitu?" Tanya Ira begitu menyadari kehadiranku.

MEF8FD3_o.jpg


Hari ini aku sengaja tampil tak seperti biasanya. Supaya tidak ada yang mengenaliku. Aku tampil dengan dress putih, masker, dan topi lebar. Aku mempersilahkan Ira untuk duduk, lalu mengeluarkan kertas dan pensil.

"Ira, aku mohon bantu aku." Pintaku pelan sambil menundukkan kepala.

"Gimana ya, jujur aku lagi sebel banget sama kamu." Jawab Ira ketus.

"Soal Farid?" Tanyaku berbisik. Aku masih tidak sanggup walau hanya menyebut namanya.

"Iya lah! Gila kalian. Tiba-tiba aja mau nikah, kamu kerasukan apa?"

"Maaf…" Aku hanya bisa menunduk sambil menahan perasaan sedih dan bersalah yang bergejolak.

"Diyah? Kamu… ehm, lalu kamu butuh bantuan apa dariku?" Tanya Ira melembut ketika melihat badanku yang mulai gemetar.

"Minta tolong kamu setujui ini, rencana yang aku susun beberapa hari." Jawabku sambil menyodorkan kertas dan pensil yang aku keluarkan tadi ke Ira. Ira meraih kertas itu, lalu membuka lipatannya. Perempuan itu terdiam beberapa saat. Lalu menatapku keheranan.

"Kamu serius? Diyah, sebenarnya ada apa?" Tanyanya sambil meraih kedua telapak tanganku.

"Hhuhu, maafkan aku. Hhuhu. Tolong bantu aku." Aku mulai sesenggukan, tak dapat lagi menahan segala tekanan di dalam hati dan pikiranku.

Aku kemudian menceritakan kejadian perkosaan di malam naas yang kualami. Terbata-bata, namun Ira harus tahu agar dia mau membantuku. Juga perihal hipotesis kalau Rafi adalah dalang dibalik kejadian itu. Ira sampai memukul meja karena emosi mendengar itu. Untungnya cafe ini sepi, aku sengaja memilihnya karena itu. Jadi tak perlu khawatir ada orang yang memperhatikan percakapan kami.

Ira terdiam, terduduk sambil memijat dahi dengan tangan kanannya. Aku melihat ekspresi geram, iba, dan bingung menjadi satu di wajahnya. Suasana menjadi begitu hening. Hanya sayup-sayup musik cafe yang terdengar.

"Aduuuh gimana ya, rencanamu ini gila sih. Tapi aku juga ngga ada jalan keluar kalau urusannya sudah begini." Ira menggerutu.

"Kamu mau membantuku kan Ir?" Tanyaku lirih.

"Ikut rencana ini? Huh, ini udah mengarah ke tindak kriminal loh." Ira masih bimbang.

"Tapi kan pelaku pada akhirnya mati."

"Iya, tapi kamu juga mati. Kamu ngga mikirin perasaan Farid setelahnya?" Ira agak membentak. Aku terdiam, sambil terus menundukkan kepala.

"Ngga apa, aku pantas mati kok. Setelah apa yang kulakukan, apa aku masih pantas untuk ada di sini?" Jawabku sambil terisak.

"Astaga… "

"Atau aku mati sendiri saja sekarang?" Ancamku agar Ira setuju.

"Aduh gila, aku ikut gila sekarang. Baiklah aku akan membantumu. Kalau kamu bunuh diri, si Rafi itu malah akan seenaknya bebas dari tanggung jawab." Jawab Ira sedikit berbisik. Ira lalu meraih pensil di hadapannya, dan menandatangani kertas rencana yang kubuat.




Rencana Penculikan
  • Mengumpulkan orang-orang untuk rencana ini, ada list nama yang bisa direkrut : Fira, Ika, Hasan, Iwan, Bowo, Tomi. Mereka orang yang pernah punya hubungan atau pernah suka denganku dan Rafi.
  • Tim dibagi menjadi 2, yang satu menculik aku dan Rafi di penginapan yang kami sewa. Aku akan memastikan lingkungan sekitar penginapan aman. Satu lagi mengajak Farid ke villa yang dituju sebagai TKP.
  • Farid ada kemungkinan tidak setuju. Kalau hal itu terjadi, culik saja Farid dan bawa ke TKP.
  • Lakukan pemerkosaan padaku di TKP. Lalu aku akan melakukan blowjob kepada Farid, rekam aksiku ini untuk diberikan ke Farid.
  • Untuk Rafi, mainkan saja dia. Buat dia semakin merasa bersalah kepadaku.
  • Pura-pura mati, dengan meneguk obat tidur. Tim penculik jangan sampai salah ikut meminum obat tidur!
  • Rapikan TKP, lalu tinggalkan pesan kenangan untuk Farid.
  • Bawa aku dan Rafi ke tempat yang jauh dari TKP. Kemudian tinggalkan kami.
  • Setelah itu, biar aku yang urus sisanya. Mungkin aku dan Rafi akan mengakhiri hidup bersama-sama.
Seharusnya seperti itulah rencanaku. Seharusnya aku terbangun di dalam mobil bersama Rafi. Seharusnya seperti itu. Namun saat ini aku terbangun dalam posisi telentang di atas tempat tidur. Kedua tanganku diikat ke atas. Sedangkan kakiku ditekuk, betis ini dilakban ke paha hingga mengangkang. Dan dalam posisi seperti itu, aku tak mengenakan sehelai pakaian-pun.




"Oh Diyah, rupanya sudah sadar. Rafi dari tadi udah nungguin tuh." Ucap Bowo sambil berjalan perlahan ke arahku. Aku mencoba meronta, tapi nihil.

"Lepasin aku, apa-apaan ini?"

"Cih, jangan banyak bicara. Sebelumnya kamu suka banget kan dientot." Ejek Bowo terkekeh. Aku bisa melihat penisnya begitu tegang dibalik celananya.

"Bowo please…"

"Please apa? Please masukin kontolku? Hahaha." Potong Bowo girang, lalu ia memasukkan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya ke lubang kewanitaanku.

"Aaangh… Bowo, engga. Aaaanh…" Aku merasakan kedua jarinya maju mundur dengan cepat. Membuatku merasa geli namun tak nyaman.

"Nih lihat, mulai basah kan? Hahaha."

"Aaaanh… Please hentikan, aaaanh.. engga, engga mau, aaaaaaaaaaanh." Aku terus memohon Bowo untuk menghentikan perbuatannya. Namun semakin aku memohon, dia semakin beringas menggerakkan jarinya.

"Hmmmph! Hmph!" Terdengar suara laki-laki lain, seperti suara Rafi. Benar saja, dia berada tak jauh dari tempat tidurku. Kedua tangannya dilakban ke belakang. Sedangkan kakinya dilakban ke kaki kursi tempat ia didudukkan.

"Oh pangerannya juga sudah bangun? Situasi yang familiar kan?" Bowo menoleh ke arah Rafi tanpa menghentikan kocokan jarinya. Membuatku terus mendesah kegelian.

"Bowo…stop…aaanh, a…aku ngga kuat lagi, aaaaaaannnnnh." Aku melenguh panjang, kurasakan orgasme karena kocokan jari Bowo. Aku sangat malu, bagaimana bisa aku orgasme denga cara seperti ini. Saking malunya aku sampai menangis.

"Raf, lihat tuh Diyah. Ikut nafsu ngga kamu lihat dia di posisi kayak gitu? Hahaha, lihat udah ngaceng aja kamu." Ejek Bowo sambil mengelus kepala Rafi. Ia lalu membuka lakban yang menutup mulut Rafi.

"Bangsat… Kalian ada dendam apa dengan aku dan Diyah?" Tanya Rafi lirih, ia menundukkan kepalanya menahan tangis.

"Hah? Ini kan rencana istrimu sendiri, ya kan Diyah?"

"Ngga, ngga mungkin Diyah melakukan itu." Sanggah Rafi.

"Bodoh ya? Heh Diyah! Katakan ke Rafi kalau kejadian sebelumnya itu semua rencanamu." Perintah Bowo dengan wajah yang terlihat senang. Ia lalu naik ke atas tempat tidur dan melepaskan celananya. Penisnya yang sudah keras itu menyembul keluar. Aku menggeleng cepat, berharap Bowo tak menyetubuhiku lagi. Namun itu hanya harapan. karena sekejap kemudian, penis Bowo sudah masuk ke dalam liang vaginaku.

"Aaaanh, jangan… Aanh, sudah please hentikan. Bunuh saja aku, hhuhuhu."

"Haha, engga mau. Ayo ceritakan rencanamu itu ke Rafi. Kalau ceritamu selesai, aku juga akan selesai menggenjot tubuhmu."

"Aaangh, hhuhu, iya baik, aanh. Iya semuanya rencanaku. Aaanh, maafkan a…anngh, maafkan aku Rafi." Pikiranku benar-benar kacau. Aku tidak bisa mengatakan sesuatu dengan jelas karena Bowo yang terus memompa penisnya.

"Kenapa Diyah? Kenapa?" Tanya Rafi tanpa mengangkat kepalanya.

"Hhuhu, aah…aaah… Aku ngga tau, anh… Karena aku sudah tak tahu harus,.aaaanh, aaah, stop please Bowo, aaah." Diminta bercerita dengan posisi disetubuhi seperti ini benar-benar sulit.

"Ayo Diyah, kok malah berhenti? Apa goyanganku kurang cepet? Begini? Ooh enak banget Diyah, aaah, mau muncrat nih." Oceh Bowo sambil merem melek.

"Jangan, Bowo jangan, lepasin, aaanh, huhu, keluarin diluar aja please." Aku memohon pada Bowo sambil terus menggelengkan kepalaku. Namun Bowo bergeming, dan akhirnya kurasakan cairan kental dan hangat tumpah. Bowo mencabut penisnya, lalu kurasakan cairan itu ikut mengalir keluar.

"Daripada hamil anaknya Rafi, hamil anakku saja. Hahaha."

Bowo kemudian turun dari tempat tidur dan mendekati Rafi. Ia sengaja turun agar Rafi bisa melihatku. Melihatku dalam kondisi sangat nista seperti ini.

"Diyah… Maafkan aku Diyah." Rafi mulai berbicara. Aku hanya diam, berusaha agar tidak menangis.

"Kalau memang benar yang dikatakan Bowo, apakah kamu menaruh dendam padaku?" Tanya Rafi kepadaku. Kali ini suaranya terdengar jelas walaupun agak serak.

"I…iya, semuanya rencanaku. Aku melakukan itu karena aku sudah tak tahu lagi harus apa di sisa hidupku. Karena aku tahu, kamu yang menyuruh dua orang itu memperkosaku di toko buah kan?"

"Maafkan aku Diyah. Aku tidak bermaksud seperti itu. Aku hanya ingin bercanda saja. Tapi mereka malah melakukan itu kepadamu. Maafkan aku Diyah." Jawab Rafi yang kemudian meneteskan air mata.

Suasana menjadi hening, hanya terdengar suara isak tangis yang kutahan. Bowo yang daritadi duduk mendengarkan, berdiri lalu bertepuk tangan. Ia kemudian berjalan menjauh, sehingga aku tidak dapat melihatnya dengan posisiku saat ini. Lalu aku mendengar dia kembali, dan kulihat ada pisau di tangannya. Ia mendekati Rafi, mengacungkan pisau itu kepadanya.

"Kita lihat, apakah kamu tulus meminta maaf kepada Diyah. Tapi aku tahu dari tadi kamu menahan nafsumu juga kan?" Kata Bowo sambil merobek lakban yang mengikat Rafi dengan pisau. Srak, srak, lakban yang mengikat Rafi sepenuhnya terlepas. Ia bangkit dari duduknya, menatap ke arahku. Bowo tampak senang sekali, seperti merasa tebakannya benar. Rafi mendekatiku, menatap tubuh telanjangku. Lalu tiba-tiba ia berbalik dan mendaratkan pukulan telak ke rahang kiri Bowo. BRUAAAAK. Bowo terhuyung, tubuhnya lalu roboh menghantam kursi yang dipakai mengikat Rafi. Namun sepertinya pukulan itu belum cukup kuat untuk membuat Bowo pingsan. Ia bangkit, meraih pisau dan meyerang Rafi. Pisau itu menancap di bahu kiri Rafi. Darah mengucur, Bowo mencabut pisau itu, lalu kembali menusukkannya ke Rafi. Namun kali ini Rafi berhasil menghindar ke belakang Bowo. Rafi menendang kaki Bowo hingga ia terjungkal ke belakang. Rafi lalu menghujani Bowo dengan pukulan bertubi-tubi. Duag , duag, duag, duag. Hingga akhirnya Bowo tak bergerak. Rafi menjatuhkan tubuhnya sendiri ke lantai, duduk bersandar di dinding.

Dak dak dak
"Yang di dalam, buka pintunya." Terdengar suara dari balik pintu. Rafi bergegas bangkit menghampiriku. Ia melepaskan ikatan lakban di tangan dan kakiku dengan pisau yang tadi dipakai Bowo. Setelah lepas, ia membantuku bangun dan mecarikan baju yang bisa kupakai. Karena tak ada apa-apa, Rafi memintaku untuk menutup tubuh dengan selimut.

Dak dak dak
Suara gedoran pintu semakin keras. Rafi melihat ke arahku, aku mengangguk. Rafi kemudian berjalan ke arah pintu dan membukanya.

Kenangan Diyah - Rencana
End


Author's note :
Halooo, akhirnya ane bisa update cerita ini setelah diterpa kesibukan. Untuk chapter selanjutnya adalah FINAL CHAPTER. Naaah, ane mau coba nih. Untuk final chapter, suhu sekalian mau bad ending apa happy ending?

Dua-duanya udah ane siapin, tinggal pilih aja mau ending yang mana? Hehe.
 
Bad ending aja min dlu.... Trus di detik detik terakhir.... Salah satu chara ngebayangin kalo happy ending yang seharusnya terjadi 👌🏻
Wah boleh juga nih idenya...
Happy ending donk🤤🤣 hu @black_fantasy klo sad ending dhsering di kehidupanku ehhhh jadi curcat 🤣
Happy buat tokoh, tapi sad buat kita gimana? Hhaha
Pasti dong mesti bad ending hahaha

Biar tim heppy heppy yah suhu @Hias aje hahahah
Suka liat nestapa seseorang nih suhu, :D
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd