Agen Terpercaya  
 
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah ANDI ( bermula )

Desertpearl

Kakak Semprot
Daftar
14 Jun 2017
Post
161
Like diterima
4.307
Bimabet
Permulaan, scroll ke bawah !

Update 1

Update 2

Update 3

Update 4

Update 5

Update 6

Update 7

Update 8




















POV. ANDI

Matahari mulai terasa menyengat kepalaku. Jalanan ini masih terasa asing buatku. Meski sudah sebulan aku di kota kecil ini, tapi baru kali ini aku menginjakkan kaki di kota . Selebihnya aku hanya berdiam diri di dalam rumah. Bukan rumahku, tapi rumah kakekku.

Sebulan yang lalu aku dan ibuku harus angkat kaki, terusir dari rumah sendiri. Itu puncak dari segala penderitaan yang dialami ibu selama bersama bapak. Di satu sisi, aku malah lega, karena pada akhirnya, ibu tidak akan lagi di kasari sama bapak. Biarlah terusir, asal ibu lebih tenang.

Aku kasihan sama ibu, rasa cintanya pada ayah mengalahkan rasa sakit di hatinya. Kalau ayah di rumah, ibu selalu melayaninya sepenuh hati. Sekalipun sering dimarahi, sering dimaki - maki, sering ditinggal ke luar kota. Sudah terlalu sering aku mendengar dari tetangga, kalau ayah pumya selingkuhan. Ibu juga masih tak bergeming, masih setia dengan cintanya.

Tapi belakangan, ayah mulai seperti orang gila. Tak peduli lagi dengan perasaan ibu. Selingkuh bagaikan permainan saja buatnya. Bahkan tidak hanya sekali waktu ibu telepon ayah dengan video call, ayah santai saja sedang berciuman dengan wanita lain. hari demi hari ibu lalui dengan penderitaan batin. Bertahun - tahun ibu bertahan. Tak bosan dia mengingatkan ayah. Bukannya sadar, tapi malah semakin kurang ajar. Bahkan sudah berani melawan simbah.

Muak dengan semua tingkah laku bapak, ibu mulai menuntut cerai. Aku tak tahu apa itu cerai. Tapi mendengar kata pisah, dan pindah, aku baru paham apa yang sedang terjadi. Didukung penuh oleh kakek, akhirnya ibu mantap memilih jalur hukum. Semua harta yang ibu punya, pemberian kakek sebelum bersama ayah, dia iklaskan. Hanya aku yang ibu pertahankan. Itulah mengapa aku pindah ke kota kecil ini.

"Andi, sendirian? Ibumu kemana?"

Seseorang menegurku dari belakang. Suara seorang perempuan, bukan seumuran aku pastinya. Aku menoleh ke arah suara.

"Oh ibu. Iya bu, tadi sehabis dari sekolah, ibu langsung kembali ke tempat kerja. Tadi ijinnya hanya ngurus kepindahan saya" jawabku. Ternyata dia ibu guru yang tadi menerima berkas kepindahanku. Namanya bu Mira.

"Bareng aja yuk, kan kita satu kampung. Jauh lho dari sini. Angkutan sudah berangkat" tawarnya.

Memang benar, angkutan pedesaan sudah jalan. Dan baru ada lagi sejam atau dua jam kemudian. Pandemi membuat pengusaha angkutan mengurangi jumlah armadanya yang turun ke jalan. Tak ada penumpangnya. Memang aku tadi sempat rehat di warung kopi dulu. Merenung seperti orang dewasa.

"Tidak perlu repot - repot bu. Saya nunggu saja" tolakku halus.

"Jangan, takut dikerjain preman. Hayu" ajaknya lagi. Mendengar kata preman, agak takut juga aku. Secara kan aku belum kenal daerah ini.

"Iya deh bu. Terimakasih sebelumnya" jawabku kemudian.

"Kamu bisa bawa motor kan? Kamu yang nyetir ya"

"Bisa bu, siap" jawabku.

Bu mira turun dari motornya, memberikanku kesematan untuk mengambil alih posisi. Tubuhnya yang padat berisi cukup terasa saat beliau menaiki motor. Peredam kejutnya langsung turun cukup banyak. Aku membawa motor bu mira dengan hati - hati. Aku tak mau di cap serampangan.

Walau begitu, tetap saja payudara bu mira menyenggol - nyenggol punggungku. Empuk dan kenyal rasanya. Terlebih saat ada mobil mengerem mendadak. Mau tak mau aku juga harus ngerem mendadak. Otomatis bu mira menggelosor ke depan. Empuknya itu lho, terasa memenuhi setengah punggungku. Telak sekali rasanya payudara itu menempel.

Bu mira sama sekali tidak marah, malah menanyakan keadaanku. Jelas aku baik - baik saja. Seger malah. Tanpa terasa, kita telah sampai di rumah bu mira. Ternyata rumah beliau di pinggir jalan besar. Sedangkan rumah kakekku masih cukup jauh ke dalam gang kecil.

"Kamu gimana pulangnya ndi?" Tanya bu mira.

"Ngesot bu" jawabku asal.

"Dih, ditanya beneran juga"

"Hahaha... Bercanda bu. Ya jalan kaki. Tinggal deket kok"

"Yakin, mau jalan kaki? Apa mau ibu anterin?"

"Yakin. Tidak perlu repot - repot bu. Ini juga andi udah makasih banget, dianterin sampe sini"

"Ya sudah, hati - hati ya ndi"

"Baik bu. Mari" pamitku.

"Ya"

Kulanjutkan perjalananku kembali. Kali ini sudah tidak sepanas tadi. Sinar matahari banyak yang tertutup daun jati. Di sini, daun jati masih hijau dan rimbun. Membuat siapa saja yang berjalan sepanjang jalan ini merasa sejuk. Indahnya pemandangan pegunungan sejenak sukses melipur laraku. Sampai tak sadar aku sudah hampir sampai di rumah simbah.

"Tok tok tok"

"Mbah, andi pulang" seruku.

Aku duduk di kursi single, tempat simbah suka memghabiskan sore. Kulepas sepatuku. Seperti biasa, pintu depan tidak ditutup. Ya, memang tidak pernah di tutup kalau siang. Adat orang pedesaan memang begitu. Jadi aku langsung saja masuk ke dalam rumah. Tak ada jawaban dari dalam rumah. Tapi aku melihat sesosok wanita sedang duduk di pinggir ranjang simbah.

"Mbak yanti" panggilku

"Eh, mas andi udah pulang. Ibu mana?"

"Kerja" jawabku singkat.

"Simbah tidur mbak?" Lanjutku

"Iya mas, abis makan siang, ngantuk bilangnya" jawab mbak yanti. Tangannya sibuk berberes.

"Simbah sakit apa sih mbak?"

"Simbah sudah sepuh mas, fisiknya udah nggak bisa ditebak. Kemarin segar bugar, eh, tadi pagi sakit. Ya begitulah" jawab mbak yanti.

"Tapi simbah bakal sembuh kan?"

"Semoga. Kemarin - kemarin kan begitu juga"

"Amin" kataku.

"Ya sudah, mas andi ganti baju dulu aja. Terus ke dapur, mbak siapin makan siangnya"

"Beruntung ya simbah, punya asisten pengertian seperti mbak yanti" pujiku.

"Asisten itu apa mas?" Tanyanya bingung.

"Ha? Hahahaha... Pembantu, mbak" jawabku sambil tertawa.

"Oh, ya bilang aja pembantu, gitu. Kan mbak lulusan SD, nggak ngerti bahasa inggris"

"Hahaha... Iya deh, kalo mbak yanti nggak keberatan dipanggil begitu"

"Kan emang mbak yanti pembantu"

"Ya udah mbak, andi ke atas dulu ya" pamitku.

"Iya. Mbak tunggu di belakang ya"


POV. SANDRA

Pandanganku perlahan kabur, tak kuasa kutahan air mata ini. Perpisahan bukanlah akhir yang aku inginkan. Mas beni yang dulu kukenal bukanlah orang yang temperamen apalagi jahat. Dia baik dan bertanggung jawab. Bahkan bapak begitu bangganya pada mas beni ketimbang suami mbak sari dan mbak liana. suami mbak sari malah paling parah. Entah masalahnya apa, tapi mereka selalu ribut. Sampai diusir sama bapak. Aku yang pengantin baru, hanya bisa diam.

Tapi semenjak ada andi, semuanya berubah total. Bahkan semenjak andi masih di kandunganku. Mas beni sama sekali tidak mau tahu keadaanku. Pulang selalu malam, tanpa kabar mau kemana dulu. Terkadang keluar kota sampai berhari - hari.

Aku paham, aku memang bukan wanita pilihannya, dan dia juga bukan lelaki pilihanku. Dulunya dia adalah pacar mbak sari, dan akupun punya pacar sendiri. Tapi cinta mereka dan cintaku harus kandas karena perjodohan itu. Perjodohan yang sudah lama direncanakan bapak dan ayahnya mas beni. Aku bisa paham kalau mas beni dingin sama aku, wajar, karena dia cinta mati sama mbak sari. Mati -matian melepas mbak sari, eh dijodohinnya sama adiknya. Pasti kacau pikirannya. Aku pun demikian. Segudang rencana indah sudah aku rancang dengan pacarku. kenyataan itu membuatku kurang respek sama mas beni.

Tapi, seperti pepatah jawa, 'witing tresno jalaran soko kulino', lambat laun, mas beni mulai menerimaku sebagai istrinya. Akupun mulai bisa menerima mas beni sebagai suamiku. Bulan berganti bulan, kami jadi semakin romantis. Melupakan masa lalu yang hanya tinggal kenangan.

Namanya manusia, pasti punya sisi buruk. Aku bisa maklum kalau dia sering stress, sering marah - marah. Tekanan pekerjaannya memang sangat berat. Aku pun tidak yakin bisa berubah menjadi nice guy secepat kilat, setelah tekanan di tempat kerja yang seolah tanpa ampun. Sekalipun orang bilang mas beni kelewatan, bagiku itu biasa. Aku masih bisa terima kekurangannya. Sambil aku berdoa, sambil aku terus berusaha menciptakan suasana damai di dalam rumah.

Kalau toh ada yang bilang mas beni jelalatan, suka main perempuan diluaran, aku masih tak bergeming. Sebagai seorang lelaki, dengan jabatan tinggi, wajar kiranya kalau banyak wanita menggodanya. Akupun sebelum menikah juga banyak yang menggoda. Bahkan sekarangpun, sekalipun aku sudah punya anak, banyak yang menggodaku dengan segala macam iming - iming. Bukannya tergiur, godaan itu malah semakin menumbuhkan semangatku, untuk membuat mas beni kembali menjadi sosok yang ramah dan penyayang.

Lima belas tahun lebih aku bertahan, berharap dia akan berubah. Tapi apalah dayaku. Aku hanya manusia biasa, bukan superman yang tahan dibanting dari luar angkasa. Lama - lama aku lelah, lama - lama aku tak tahan. Bagaimana harus menghadapi sikapnya yang semakin tak bisa aku tebak. Lama - lama aku hanya dianggapnya boneka seks, yang harus bersedia memuaskan birahinya kapanpun dia mau. Selebihnya, tak ada lagi rasa sayang seperti awal menikah dulu.

Bahkan, seperti orang gila, dia bahkan berani menjawab panggilan video dari bapak saat masih bermesraan dengan wanita lain. Bahkan sampai bapak marah besarpun, dia masih asyik saja berbuat mesum dengan wanita itu. Sampai titik itupun aku masih menyimpan sebuah harapan. Bapak sampai menganggapku kurang waras karena masih mau bertahan bersama mas beni. Diujung cerita, akhirnya aku menyerah. Perjuanganku terasa sia - sia, melihat ranjang pengantinku dipakainya merengkuh kenikmatan bersama wanita lain.

"San, "

Sebuah suara mengejutkanku. Reflek aku menyeka air mataku.

"Mbak evi, maaf mbak. Ada yang bisa sandra bantu" kataku sambil mencoba senyum.

"Nggak usah formal gitu ah, kaya ama siapa aja"

"Ya kan, kamu bosnya" jawabku.

"Halah, kalo bukan karena bapak kamu, apa aku bisa sampe seperti sekarang ini? Nggak usah ngerasa minder gitu lah"

"Aku udah biasa gitu ev. Sekalipun temen, kalo di tempat kerja dia atasanku, ya aku akan bersikap selayaknya bawahan. Nggak salah kan?"

"Hehe... Coba yang lain kaya kamu san"

"Yang lain?"

"Iya, dulu beberapa temen kita pernah kerja sama aku. Tapi, ya gitu. Dibaikin, malah ngelunjak. Cuman kamu aja nih yang bener. Padahal kalo ngomongin ekonomi, maaf nih, kamu yang paling wajib buat dibantu. Tapi kamu nggak pernah bilang butuh apa. Mereka yang cuman sekedar nurutin keinginan, pake dibela - belain tuh, pinjem duitlah, kas bonlah, apalah. Heeehh... Bikin sebel tahu nggak"

"Hehe... Ya, udah ditampung aja aku udah bersyukur ev. Aku ngerasa beruntung punya sahabat kamu"

"Makasih, jadi tersanjung aku"
Evie memeluk diriku. Seperti dulu waktu masih sekolah.

"Daripada nangis terus, gimana kalo kita usaha" celetuk evie.

"Lah, ini juga usaha" jawabku.

"Bapak udah cerita banyak tentang kamu. Sesuatu yang mustahil, harus diusahakan dengan sesuatu yang mustahil pula"

"Maksudnya?"

"Gini, aku tahu kamu pasti nolak. Tapi paling enggak, dengerin saran aku"

"Apa?" Tanyaku penasaran.

"Sembilan ratus juta dalam sebulan, itu mustahil. Sory kalo aku kasar, perek aja nggak bisa kali, san. Cuman artis yang bisa dapetin segitu. Nah kita?"

"Amit amit, siapa juga yang mau ngelonte ev?"

"Itu dia. Tapi aku ada saran nih"

"Apa?"

"Kita ke paranormal yuk"

"Kurang kerjaan. Ngapain juga ke sana?"

"Ya nyari petunjuk lah. Kamu mau diperkarain?"

"Ya enggak lah. Cuman, kalo dukunnya sendiri kere, gimana aku bisa percaya"

"Yang ini beda san, aku pernah diajakin rekanan aku ke sana. Awalnya aku juga nggak percaya, tapi pas udah liat hasilnya, jadi kepengen aku"

"Jangan bilang kamu udah ndukun juga"

"Belum sih, belum ada urgensinya"

"Terus kenapa ngajakin aku?"

"Ya kan kamu udah urgent. Udah deh, ikut dulu aja. Kalo nggak cocok, cari cara lain"

"Hmm, ya deh. Daripada diem, malah nggak ngasilin" jawabku pasrah.

"Nah, gitu dong. Yuk" ajak evie

"Hayu"

Aku mengikuti langkah evie, sahabatku. Beberapa pasang mata mengamati langkah kakiku. Mungkin pada iri sama aku. Baru sebulan kerja, sudah dapat perhatian dari pemilik usaha. Biarkan saja, buatku bukan masalah. Masalah yang aku hadapi jauh lebih memusingkan daripada pandamgan karyawan lain.

Evie mempersilakan aku naik mobil sedannya. Mobil yang dulu mas beni juga sempat punya. Ah, mengapa harus ingat dia lagi. Rasanya aku masih sangat berharap dia bisa berubah, dan kembali bersama seperti awal menikah.

"Nah, tuh, lihat rumahnya"

Suara evie menggema di kabin mobil. Sontak anganku bersama mas beni buyar. Entah berapa lama perjalanan tadi, tahu tahu sudah berhenti di depan sebuah rumah. Rumahnya besar, seperti istana. Rumah yang sama yang dulu juga pernah ditawarkan mas beni. Kalau dia dapat promosi jabatan, dia akan beli rumah cluster seperti ini. Jelas kalau di kampung, ini rumah paling megah. Mungkin sekabupaten baru satu ini yang ada. Ahh, dia lagi muncul di pikiran. Terlalu banyak kenangan manis dengan mas beni. Sakit bertahun tahun yang kurasakan hanya menyisakan tanda tanya. Luka hatiku seolah tak begitu terasa.

"Kok malah bengong? Hayu"

"Oh.. iya... Ini rumah siapa?" Responku tergagap.

"Ini rumah paranormalnya, ki sabdo nayantoko"

"Semar dong? Hahaha"

"Tahu wayang juga?"

"Dikit" jawabku.

Tak kusadari aku bisa tertawa dalam kepiluan. Tuhan kalau sudah berkehendak, apapun bisa terjadi. Aku berjalan mengikuti sahabatku ini. Tak ada kesan kalau ini rumah paranormal. Justru lebih seperti rumah gubernur, pengusaha sukses, atau semacamnya.

"Ki sabdo-nya ada?" Tanya evie.

Perhatianku tersita kepadanya. Seorang wanita muda menyambut kami dari balik meja besar setengah lingkaran. Mirip resepsionis kantor perusahaan tempat mas beni bekerja. Haih, dia lagi.

"Sudah ada janji?" Tanya wanita muda itu

"Oh, belum sih. Spontan aja tadi" jawab evie

"Oh, maaf, ki sabdonya lagi ada tamu. Kalo mau nunggu, silakan tunggu di depan ruang kerja beliau" jawab wanita muda itu. Dia menunjuk sebuah ruangan agak ke belakang.

"Oh, iya. Terimakasih mbak"

Evie mengajakku menuju tempat yang ditunjuk tadi. Rumah ini unik, lebih mirip galeri seni daripada temat tinggal. Ada perangkat gamelan jawa tertata rapi di tengah ruangan. Bermacam - macam wayang membujur ke belakang. Bersambung dengan gazebo yang dikelilingi kolam ikan. Gemericik air dari air terjun mini buatan, menambah suasana sejuk nan damai. Evie langsung duduk lesehan di atas karpet tebal di dalam gazebo. Dia mengajakku masuk, tapi aku lebih tertarik pada deretan tombak di belakang rumah.

"Ya udah kalo mau lihat -lihat. Tapi jangan ngerasa takut kalo nemu yang aneh - aneh" pesan evie.

"Aneh - aneh gimana?"

"Namanya juga rumah paranormal. Banyak gaibnya. Bagi orang - orang tertentu, dia bisa lihat apa yang orang lain nggak bisa lihat. Nah, kalo kamu nemuin yang kaya gitu, mending balik sini aja. Jangan teriak. Diem aja ya" jawab evie.

"Oke" jawabku.

Dalam hati aku tertawa, ngomong apa sih dia. Orang suasananya sejuk begini. Mana ada makluk halus mau tinggal disini. Kan mereka sukanya tempat - tempat jorok, kumuh, terbengkalai. Ini sih nyamuk juga nggak mau mampir.

Aku berjalan menikmati setiap keindahan benda - benda pusakan yanv berjajar rapi sepanjang koridor. Tidak seperti di museum, di sini benda - benda pusaka itu seolah dibiarkan terkena udara bebas. Tidak ditempatkan di dalam lemari atau etalase. Tapi di pajang di ruang terbuka.

Tanpa terasa aku sudah berjalan cukup jauh. Aku baru tersadar saat menemukan sebuah sungai kecil. Saat balik kanan, ternyata sudah selapangan bola aku berjalan. Memang disampingku itu lapangan bola. Tepat di pinggir sungai itu, berdiri sebuah pohon beringin tua. Batangnya mungkin lebih lebar dari tinggi tubuhku. Akarnya menjuntai banyak sekali. Nah, ini baru aku merasakan kesan angker. Tapi tubuhku seolah tertarik untuk lebih mendekat. Guratan batangnya malah terlihat artistik di mataku. Seperti diukir tangan, tapi itu asli. Aku menyusuri pohon beringin itu. Terasa damai sekali di hati. Setiap helai akar gantungnya serasa stalaktit di dalam goa. Membuatku lupa dengan masalahku.

"Hah"

Aku terpekik lirih. Aku mendapati tiga orang sedang berada di balik pohon beringin ini. Mereka berada tepat di pinggir sungai. Satu orang wanita, sedikit lebih muda dari aku. Dia sedang bersemedi di bawah pohon beringin. Punggungnya menempel di batang pohonnya. Kalau orang tidak jeli, mungkin tidak akan melihatnta. Karena tersamar akar akar gantung si beringin. Dia memakai setelan ksatria jawa. Kalau pernah nonton sinetron kolosal, begitulah kira - kira. Aku tersenyum melihatnya. Wanita secantik itu mau bekerja keras semedi di pohon beringin. Sejenak aku alihkan pandangan ke dua orang lainnya. Seorang anak sedang tiduran di sebuah kursi bale dari bambu. Tapi posisinya menghadap ke pohon, bukannya ke lapangan. Agak aneh menurutku. Di sebelahnya ada seorang wanita seumuranku sedang duduk di kursi bale serupa. Dia sedang menghadap anak laki - laki itu. Dari balutan perban di kakinya, aku bisa menebak kalau anak itu habis terkena musibah. Mungkin sedang dalam masa rehabilitasi. Tapi kok di sini? Mungkin paranormal itu juga bisa mengobati orang sakit. Lumrah sih ada paranormal begitu.

"Haah"

Aku terperanjat saat pandanganku kembali ke wanita muda yang sedang semedi. Pemandangannya sama sekali berbeda. Aku mengucek - ucek mataku, berharap aku yang salah melihat. Saat aku kembali membuka mata, benar, pandangannya kembali seperti semula. Mungkin aku yang terlalu lelah meratapi nasib.

"Haah"

Aku terkejut lagi saat memindahkan pandangan ke anak laki laki tadi. Pemandangannya beda lagi. Seperti ada belalai gajah berwarna hijau menjuntai, mengarah ke selangkangan si bocah. Aku kucek - kucek lagi mataku.

"Haah"

pemandangannya tidak berubah. Bahkan pemandangan aneh pada si wanita muda tadi kembali terlihat. Seperti disuruh, aku berjalan mendekat ke arah si wanita yang bersemedi itu. Dalam pandanganku kali ini, si wanita itu sudah tidak berbusana sama sekali. Tampak ada beberapa belalai bergerak - gerak di tubuhnya. Kuikuti asal belalai itu, binatang apa kiranya.

"Astaga"

Aku memekik lirih, bukan gajah, bukan pula monster atau dedemit, melainkan tumbuhan. Kakiku terasa sedikit bergetar. Aku yakin ini pemandangan dari alam gaib. Karena, bagaimana mungkin tumbuhan bisa tumbuh di dalam tumbuhan lain. Terlebih aku belum pernah melihat tumbuhan seaneh ini. Bentuknya seperti tanaman semak. Daunnya mirip seperti daun taoak liman, tapi hanya empat lembar. Dan punya bintil - bintil seperti salah satu jenis terumbu karang. Daun itu bisa bergerak - gerak seperti binatang. Punya kelopak besar seperti bunga bangkai. Tapi bagian bawah kelopak itu menggembung di lima bagian, mirip siluet bokong dan paha wanita. Bahkan satu diantaranya jelas terlihat siluet punggung. Ada yang menetes di gembungan itu, semacam lendir.

"Astaga"

Saat aku lebih mendekat ke pohon beringin itu, aku melihat sebuah lubang. Mirip lubang yang aku punya.

"Vagina" gumamku.

Di dalam mahkota itu, terdapat banyak tentakel yang aku bilang seperti belalai gajah. Semuanya berwarna hijau. Tentakel - tentakel itulah yang sedang menggerayangi tubuh si wanita muda. Beberapa diantara tentakel - tentakel itu juga mengarah ke arah lain.

"Ahh"

Aku terkejut saat sebuah tentakel menyeruak begitu saja tumbuh dari dalam tanah. Tak seperti tumbuhan pada umumnya, tentakel itu tumbuh dengan cepatnya, seolah memang sudah tumbuh, tapi masih terkubur di dalam tanah. Sempat menyenggol kakiku, tapi kemudian berbelok menuju si wanita yang bersemedi itu.

"Ya Tuhan" gumamku lagi

Aku baru menyadari kalau tentakel - tentakel itu tidak sepenuhnya seperti belalai gajah. Melainkan seperti organ tubuh manusia. Tentakel yang baru saja muncul dari dalam tanah, ujungnya seperti penis laki - laki.

"Aahh... Sssttt"

Wanita muda tadi mendesah lirih. Ada dua belalai yang mengenyoti puting payudaranya. Ada sesuatu menjulur keluar dari lubang belalai itu. Lidah, ya, itu lidah. Persis lidah manusia. Bentuk lubangnya juga mirip bibir laki - laki. Lidah itu menjilati seluruh permukaan payudaranya. Dua belalai lain melingkar di kedua payudaranya. Bergerak mengencang dan mengendur, seperti meremas - remas payudaranya. Posisinya sudah tidak lagi sepenuhnya sempurna. Kedua tangannya sudah direntangkan oleh dua belalai lain. Dia ditarik ke belakang, jadilah dia setengah rebahan, mirip seperti anak laki laki di sana.

"Aahh... Sssttt.... Mmmh... "

Mataanya terpejam tapi mulutnya mulai intens mengeluarkan desahan. Kakimya direnggangkan oleh dua belalai lain. Terpampanglah selangkangan putih bersih tanpa bekas luka. Jembutnya cukup lebat, sampai harus disibakkan. Dan sudah lepek oleh lendir birahinya.

"Aaahhh"

Dia melenguh lebih kencang, seharusnya ibu - ibu di sana bisa mendengarnya. Salah satu belalai itu mengeluarkan lidahnya dan menjilat di sepanjang belahan vaginanya. Vaginaku jadi berkedut, gatal rasanya melihat adegan merangsang itu.

"Eemmm... "

Terdengar lenguhan lagi, seperti terkejut dan menolak. Ternyata tentakel yang muncul dari dalam tanah tadi menyentuh - nyentuh bibirnya. Bentuknya persis seperti penis pria. Dan terlihat kaku berurat. Beda dengan belalai yang berujung bibir. Terlihat lembek, persis belali gajah.

"Ouk... "

Belalai itu menyeruak masuk menembus barikade bibir si wanita muda. Tampak penuh di mulutnya yang tak seberapa. Satu tentakel penis sudah bersiaga di atas perutnya.

"Eeemmhh... Ouk ouk ouk... Oouuumm"

Belali - belalai yang melilit payudaranya saling mendekat, membuat kedua payudara itu menyatu. Dan tentakel penis yang siaga itu melesak masuk di celah antara dua payudara itu. Keduanya saling menggenjot. Menimbulkan suara erangan khas mukut tersumpal penis.

"Eeemmmhh... Ouk ouk ouk"

Tanpa memberi ampun, satu belalai lagi mendekat. Dia langsung mengeluarksn lidah dan menjilat anus si wanita muda. Dia melenguh, tapi tak keluar sempurna suaranya.

"Mama... Mama... Mama"

Perhatianku tersita pada suara anak kecil di depan sana. Kulihat bocah seumuran andi sedang menggeliat keenakan. Bocah yang seharusnya persiapan ujian smp, malah asik asik di sini. Tapi tunggu, apa hang dilakukan belalai itu?

"Ya Tuhan"

Hanya itu yang bisa aku katakan. Belalai berujung bibir itu, ternyata sedang asyik mengulum penis si bocah. Sedang si ibu posisinya sudah berdiri membungkuk ke arah anaknya.

"Ya ampun"

Ternyata si ibu sedang meng-enak-kan anaknya. Setelan kantornya yang seharusnya melindungi tubuhnya justru sudah awut - awutan. Payudaranya yang seharusnya dia jaga dari kejahilan anaknya, kini sudah keluar. Bahkan dia goser - goserkan di wajah anaknya. Mulut si bocah dengan rakus mengenyoti pentil ibunya. Tangan kirinya juga rakus meremasi payudara kanan ibunya.

"Aduh, tangan itu"

Vaginaku semakin gatal waktu menyadari kemana tangan kanan si bocah itu mengarah. Ya, rok span si ibu sudah tidak lagi menjalankan fungsinya. Toh yang punya sudah mengijinkan tangan anaknya untuk menelusup menggapai apa yang dia tutupi dengan rok itu. Aku yakin, kalau andi melihat cetakan bokong itu, pasti dia gaceng. Mana pendek sekali rok itu. Sikuet sempaknya juga jelas tercetak. Beruntung si anak mendapat kenikmatan dari ibunya.

"Mama mama mama" lenguh anak itu lagi.

"Muncratin sayang, keluarin semua pejuhmu sayang. Nanti mama kasih memek mama, sayang. Pejuhin dulu sayang" kata ibunya.

"Mama mama mama... Memek mama becek maaa" lenguh si bocah lagi.

"Iya sayang, memek mama punya kamu sayang. Boleh kamu ewekin sayang"

"Boleh aku pejuhin ma?"

"Boleh sayang, pejuhin... Pejuhin sesukamu sayang"

"Kapan aja ma?"

"Kapan aja dedek pengen ngewek, dedek boleh minta ngewek sama mama"

"Tiap ngewek dedek pejuhin ya memeknya"

"Iya sayang. Pejuhin mama sesukamu sayang. Pejuhin sesukamu. Mama tempat buang pejuh kamu sayang"

"Mama mama mama... Ayo ngewek maaaa"

"Yes yes... Semuanya sayang... Keluarin semua pejuhnya"

"Udah maaaa"

Kulihat anak laki - laki itu menggelinjang hebat. Penisnya dikulum habis sama belalai berujung bibir itu. Sampai aku tak bisa melihat, apakah spermanya benar - benar keluar atau tidak. Tapi dari gesturnya, sepertinya memang keluar. Dan bisa jadi itu orgasme pertama si anak itu. Enaknya anak itu, andi saja belum paham apa itu seks. Eh, sudah tahu ap belum ya?

"AAAAAHHH... SAKIIITT"

Perhatianku sontak teralihkan pada sumber teriakan. Ternyata si wanita muda yang tadi bersemedi. Tubuhnya menegang, bukan tanpa sebab. Tanpa aku sadari, ternyata sudah muncul lagi satu tentakel yang ujungnya mirip penis. Tapi yang kali ini berbeda sekali. Bentuk, guratan, dan warnanya sangat mirip dengan penis. Kalau aku bilang ini memang penis, tapi dalam ukuran raksasa. Apalagi di pangkalnya, muncul dari tanah, dua buah bola mengkerut persis bola peler. Dan penis tentakel itu menyeruak masuk membelah celah vagina si wanita muda itu.

"AAAAHHHH"

dia memekik lagi.Kulihat darah segar mengalir dari vaginanya. Tentakel yang mengisi mulutnya mundur sejenak.

"AAAAHHH"

"SAN"

"HAAH"

Aku terkejut bukan kepalang mendengar ada yang memanggil namaku, sekaligus menepuk pundakku. Reflek aku menoleh ke belakang.

"Evie" gumamku.

"Kamu ngapain sampe sini?" Tanya evie.

Aku bingung, tak bisa langsung menjawab. Aku sapukan pandangan kembali ke wanita muda tadi.

"Loh" gumamku lirih.

Tak terlihat lagi adegan eksekusi oleh tentakel - tentakel tadi. Yang terlihat, dia sedang bersemedi. Pun saat aku memindahkan pandanganku pada si anak kecil tadi, tak terlihat juga tentakel bibir tadi. Yang terlihat dia sedang disuapi bubur sama ibunya.

"Kok?" Gumamku lagi.

"Kamu ngeliat yang aneh - aneh ya?" Tanya evie. Aku tak bisa menjawab, hanya kepalaku mengangguk kecil.

"Udah, jangan dipikirin. Kan aku udah bilang tadi. Yuk, kita udah ditunggu ki sabdo" lanjut evie.

"Iya" jawabku.

Evie merangkulku dan merapatkan tubuhku ke tubuhnya. Mungkin dia melihat bibirku bergetar karena takut. Memang ini kejadian pertama buatku. Aneh, tapi tidak seseram yang suka aku bayangkan.
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd