Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

Kisah ANDI ( bermula )

Letisya lantas naik kembali ke atas jalu sepedaku. Dan kita melanjutkan perjalanan. Kita melewati pematang sawah, naik ke bukit rendah, memutar dari jalan biasa. Aku masih ingat dimana kantor ibu. Kalau lewat jalan biasa, mungkin hanya butuh waktu beberapa menit, apalagi memakai motor. Pakai sepeda pun kungkin hanya hitungan lima menitan. Tapi dengan memutar begini, apalagi naik turun bukit, sudah sejam lebih aku habiskan.

"Ndi, sini aku gantiin. Masih jauh ini" tawar letisya.

"Nggak usah, aku masih kuat kok. Lagian udah nggak ada yang ngejar kan?" Tolakku halus.

"Seriusan? Ini masih harus muter bukit itu, baru ketemu jalan ke kantor ibumu"

"Paling sejam lagi" jawabku.

"Emang kamu biasa gowes berapa jam?"

"Tiga jam, empat jam, segitu lah"

"Tapi nggak bawa beban juga kan?"

"Emang aku bawa beban?"

"Lah, aku?"

"Masa depan" jawabku. Letisya terdiam beberapa saat.

"Masa depan harus diperjuangkan" lanjutku.

Letisya masih terdiam, tapi aku yakin dia sedang tersenyum. Aku terus mengayuh sepedaku, tak peduli seberapapun beratnya medan yang aku hadapi. Bagiku, sepeda ini terasa ringan. Lebih ringan dari yang dibelikan bapak.

Seperti kata letisya, aku benar - benar menghabiskan sejam lagi untuk memutari bukit. Itupun belum sampai ke kantornya ibu. Untuk sampai ke sana, aku harus melewati jalan raya lagi. Semoga mereka tidak mengejar sejauh itu.

"Sya, waspada ya. Kasih tahu kalo ada yang ngejar" kataku. Jalan raya sudah di depan mata.

"Oke" jawab letisya.

Aku bebaskan remku saat menuruni bukit. Jalan yang sepi memudahkanku untuk manuver belokan tajam. Langsung aku kayuh sepeda secepat mungkin. Kuseberangi perempatan jalan, melewati sela - sela mobil dan angkutan kota. Jika ke kiri, akan mengarah pulang. Di depan sana, kantor ibu tinggal seratus meter lagi.

"Ndi, mereka pake motor ndi" kata letisya mengingatkan.

"Hah? Serius?"

"Iya... Cepet... Mereka bawa pedang segala ndi" jawabnya. Aku sempat menoleh ke belakang.

"Astaga"

Memang mereka, dua diantaranya aku kenal. Mereka teman dari orang yang terkapar tadi. Aku langsung kayuh sepedaku sekuat tenaga. Sambil aku jalan zig - zag melewati beberapa mobil di depan. Beberapa kali pula aku diperingatkan dengan klakson. Tapi aku tak peduli, toh nanti mereka akan tahu apa yang terjadi.

"Tiinnn... Tiiiinnn"

"Astagaa... Siapa sih? Udah minggir juga"

"Tiiiinnn..."

"Andi... Minggir dulu"

Aku tersentak mendengar suaraku disebut. Sebuah mobil suv double cabin warna hitam dov mensejajari lari sepedaku. Saat dia hendak menyalip, terlihat ada ibu di sana.

"Buruan minggir" teriak ibu lagi.

"Ibu"

"BURUAAN!!" teriaknya.

Aku langsung meminggirkan sepedaku. Letisya turun dengan muka kebingungan juga. Mobil itu berhenti di belakangku, terkesan menutupi posisiku. Lalu turunlah beberapa orang.

"Simbah, ibu, mbak yanti?" Gumamku.

"Buruan masuk, sepedamu, taruh di belakang!" Perintah simbah.

Aku sontak langsung mengangkat sepedaku ke atas bak mobil suv ini. Simbah membantuku. Mbak yanti menarik lengan letisya dan membawanya masuk ke dalam mobil. Simbah kembali ke kabin depan.

"Astaga" gumamku.

Tempatnya sudah penuh, larena memang bukan tipe MPV. sudah ada mbak yanti di kanan, dan ibu di kiri. Dia masih menggantung kakinya di kuar kabin. Letisya ada di jok tengah.

"Buruan masuk!" Perintah ibu. Mbak yanti meminta letisya untuk berdiri dahulu. Aku pun akhirnya masuk mobil.

"Blam"

Belum juga aku duduk, ibu sudah menutup pintunya. Dan si supir, langsung menginjak pedal gas. Otomatis aku tersungkur mengenai ibu. Ada rasa tidak enak sama ibu, karena niatku mencari pegangan malah mendarat di payudara ibu. Tapi itu hanya sesaat saja.

Aku langsung mengambil posisi duduk di tengah, dan letisya duduk di pangkuanku. Ternyata si supir tadi tak lain adalah tante evie. Wajar lah, orang kaya, mobilnya tidak hanya satu. Tapi yang aku bingung, kenapa mereka bisa berkumpul jadi satu? Bagaimana pula mereka bisa tahu aku dikejar - kejar orang, lalu bagaimana juga mereka bisa menemukanku di jalan ini? Ah, banyak pertanyaan berputar di kepalaku.

Mobil ini menyeberang jalan dan masuk ke dalam sebuah halaman rumah yang sangat luas. Tak kurang dari sepuluh mobil terparkir di dekat gerbang. Tante evie memilih parkir di tempat yang ada kanopinya.

"Akhirnya" celetuk ibu.

Belum sempat aku bertanya, ibu sudah membuka pintu mobil. Diikuti simbah dan tante evie. Mbak yanti pun menyusul kemudian. Letisya segera beranjak dari pangkuanku. Keluar meninggalkan aku yang masih kebingungan. Udara segar langsung menyambut begitu aku keluar dari mobil.

"Yuk" ajak tante evie.

Tak ada yang menjawab, tapi semua serentak mengikutinya. Aku dan letisya mengekor dengan kebingungan. Rumah yang besar, tapi rumah siapa ini. Ada meja resepsionis di dalam rumah ini. Ada seorang wanita dengan pakaian khas kantoran, dan seorang laki - laki tua, seumuran simbah kiranya.

"Syukurlah, kalian masih bisa menghindar. Hayu, udah aku siapin tempat buat kalian" kata lelaki tua itu.

"Terimakasih ki sabdo, sudah mau menampung kami" kata ibu.

Oh, ternyata laki - laki tua itu namanya ki sabdo. Setelannya sih seperti paranormal. Dia hanya tersenyum. Lalu balik kanan, berjalan menunjukkan tempat yang dia katakan. Aku takjub pada keindahn rumah ini. Gazebo di tengah kolam air, ada air terjunnya pula. Tiba di belakang rumah, ada lapangan bola. Dan jalan tadi bercabang dua. Ki sabdo mengarahkan kita ke kiri. Setelah dua puluh meteran, terlihat ada sebuah ruangan yang diatasnya ada tulisan 'bangsal perawatan'. Terlihat ada beberapa anak seusiaku sesang di rawat. Seorang ibu - ibu, tergopoh - gopoh menyambut ibuku. Mungkin temannya. Hanya sebentar mereka bertegur sapa.

Perjalanan masih berlanjut. Kita berjalan mengitari lapangan bola. Samping kiri dari jalan, ada seperti bukit, tampak menjadi pembatas dengan dunia luar. Tapi entah alami atau buatan, karena ternyata ada pintu di balik tanaman merambat.

Ki sabdo mengajak kita masuk. Dalamnya layaknya sebuah rumah mewah. Interiornya lebih mewah dari rumah simbah. Meskipun rumah ini kecil. Dari dalam, aku baru paham, kalau bukit tadi hanya ilusi semata. Itu hanya buatan tangan.

"Istirahatlah di sini. Anggap rumah sendiri. Maaf ya gas, aku hanya bisa memberimu tempat jelek ini. Aku takut, salah satu pasienku adalah mata - mata mereka" kata ki sabdo.

"Kamu masih aja merendah, do. Kamu kasih tenda di bawah beringin sana juga aku udah terimakasih banget. Yang penting anak - anak dan cucu - cucuku selamat" jawab simbah.

"Ya, istirahatlah. Nggak usah khawatirin sari sama liana. Mereka aman dalam perlindunganku"

"Terimakasih" kata simbah lagi.
Mereka berpelukan beberapa saat. Lalu ki sabdo menyalami kami, dan keluar rumah ini. Tinggal aku dan letisya yang bingung ada apa ini.

"Bu, ini sebenernya ada apa sih? Kenapa simbah sama mbak yanti bisa ikut ibu?" Tanyaku. Ibu malah beradu pandang dengan simbah.

"Terus, bagaimana juga ibu bisa tahu kalau andi ada di jalan itu?" Lanjutku.

"Gini ndi" suara tante evie menggema. Perhatianku tersita padanya.

"Ibumu lagi ada masalah" lanjutnya.

"Hutangnya bapak ya? Jangan bilang, rumah simbah?" Sahutku.

"Begitulah" sahut simbah.

"Ya Tuhan, seberapa sih, sampe anarkis gitu?"

"Udah, kamu nggak usah mikirin itu. Fokus aja sama sekolah. Biar ini, ibu yang miikir" sahut ibu.

"Tapi bu, ... "

"Jangan bantah!" Bentak ibu. Aku terkejut, tapi bisa maklum. Ibu pasti pusing sekali.

"Oh ya, tadi kenapa bisa dikejar - kejar orang gitu? Ikut tawuran lagi?" Lanjut ibu.

"Bukan begitu tante" sahut letisya. Perhatian ibu dan yang lain, tertuju padanya. Termasuk aku.

"Tadi kita lagi di kelas tant, gedung baru. Terus ada yang tawuran" lanjut letista.

"Gedung yang belum jadi itu?" Tanya tante evie.

"Iya, ada tiga kelas yang siap dipakai. Kita di situ" jawab letisya.

"Terus?" Tanya ibu penasaran.

"Pintu kan kita tutup. Nggak tahu gimana ceritanya, tiba - tiba ada yang nabrak pintu iti, kenceng banget. Pas kita noleh, ada yang jatuh terkapar. Lehernya keluar darah banyak banget"

"Apa?"

"Iya. Keya kena benda tajam gitu"

"Terus?" Simbah ikut penasaran.

"Andi minta jaket saya buat bekep itu luka, biar darahnya mampet"

"Terus temen - temen kalian pada kemana?"

"Kita cuman berlima di kelas itu. Yang tiga lagi, balik ke gedung utama, disuruh andi buat lapor guru"

"Kamu nggak ikut?"

"Enggak"

"Kenapa?"

"Tisya merasa, bakal ada yang dateng"

"Lalu?" Tanya ibu.

"Ya bener, ada tiga apa empat orang gitu dateng. Tisya ngumpet di balik pintu"

"Terus adi gimana?"

"Ya gitu, ada satu orang yang kalap, dia nggak suka andi nolongin yang terkapar tadi tant"

"Terus andi diapain?"

"Disabet golok tant"

"Ha? Serius? Kamu nggak kena kan nak?" Tanya ibu panik.

Dia sontak lompat menghampiriku. Dan mengecek seluruh tubuhku.

"Nggak kena kok tant. Hampir, sih. Untungnya tisya masih dikasih kesempatan buat mukul kepala orang itu" jawab letisya.

"Syukurlah. Berarti ini darah orang yang terluka tadi?"

"Iya tant, tadi andi mindahin orang itu ke gedung utama dengan di taruh di pundak kiri"

"Ya ampun ndi... " Komentar ibu.

"Terus kamu juga bajunya kotor begitu, abis gulat atau gimana?" Tanya tante evie ikutan panik.

"Enggak tant, kita jatuh dari sepeda"

"Lah kok bisa?"

"Iya, tadi pas mau keluar sekolah, lewat belakang, ternyata orang yang tisya pukul tadi udah siuman. Dan malangin jalan kita pake meja. Jadi kita jatuh kepalang meja"

"Terus, ada yang kesleo? Kita ke bangsal perawatan kalo ada yang kesleo" tanya tante evie.

"Enggak kok tant, tisya baik - baik aja"

"Kamu gimana ndi?" Tanya ibu.

"Andi nggak papa bu" jawabku.

"Syukurlah. Ibu takut banget tadi orang - orang itu yang ngejar - ngejar kamu. Tapi, emang sebaiknya kita di sini dulu. Tisya juga, nanti tante yang kabarin mamanya tisya ya" lanjut ibu.

"Baik tante"

"Ini pembagian kamarnya gimana?" Tanya tante evie. Ibu terlihat berpikir sejenak. Memang kamarnya hanya ada dua.

"Ya udah, kita sama bapak, di kamar depan. Andi, tisya, sama yanti di kamar belakang"

"Ya udah. Yuk, taruh barang dulu"

"Ini ndi, simbah sempet bawa ganti buat kamu. Tapi tisya?"

"Yanti bawa beberapa setel mbah, kan badan kita nggak beda jauh, bisa lah join" sahut mbak yanti.

"Syukurlah. Yuk" komentar simbah.

Aku mengekor saja menuju kamar belakang. Tapi aku lebih tertarik pada bagian belakang rumah ini. Ada teras lagi di belakang dapur. Dan hebatnya, tangga belakangnya berada tepat di bibir sungai. Bahkan anak tangganya ada yang tenggelam di air sungai. Pinggiran sungainya di perkuat dengan beton, dan dibuat jadi semacam kolam sepanjang kurang lebih dua puluh meter. Jadi semacam invinity pool.

"Ndi"

seseorang menyebut namaku. Saat aku balik kanan, kulihat seorang cewek cantik menggunakan kaos kedodoran. Bawahnya tak terlihat adanya celana. Hanya itu saja yang menutupi bagain bawahnya. Itupun hanya setengah pahanya saja yang tertutupi.

"Eh, sya. Kenapa?" Tanyaku.

"Nih, makan dulu" jawabnya. Dia memberiku semangkuk soto.

"Makasih. Ibu udah makan?"

"Itu lagi makan"

"Di kamar?"

"Tadi diundang ki sabdo. Barengan sama simbah, sama tante, siapa tuh?"
"Evie"
"Iya, tante evie"
"Oh. Mbak yanti?"
"Ini, bawa" mbak yanti muncul dari pintu belakang.
"Nih, sekalian minumnya" lanjutnya.
Dia menurunkan nampan berisi semangkuk soto buatnya dan teko berisi es teh. Juga ada tiga gelas kaca. Aku agak aneh dengan pakaian ganti mereka. Kok mereka pada pakai atasan kedodoran ya. Ini mbak yanti pakai kemeja panjang. Bawahnya, kurang lebih sama dengan letisya.
"Sebentar, kalian kok aneh banget baju gantinya. Ada apa nih?" Celetukku. Tak ada yang menjawab. Letisya dan mbak yanti malah saling pandang.
"Hehe, anu... Gini mas. Yanti, salah ambil. Karena panik, yang yanti ambil tas coklat, bukan yang biru" jawab mbak yanti.
"Apa bedanya?"
"Kalo yang biru, memang pakaian dan perlengkapan darurat mbak. Kaya kalau di rumah sendiri, dulu. Tapi kalau tas coklat, itu milik mantan suami mbak"
"Oh, gitu. Pantesan. Ngomong - pada pake bh nggak?" Ledekku.
"Kepo deh" sahut letisya.
"Hahahaha" kita tertawa bersama.
Makan siang pun kita lanjut lagi. Menu sederhana yang menurutku enak. Terlebih saat perut keroncongan setelah berjibaku dari begundal - begundal tadi. Tak perlu waktu lama untuk menghabiskan semangkuk soto.
"Mbak, mantan suami mbak dulu, orang kantoran ya?" Tanyaku.bak yanti terkejut kutanyai begitu.
"Iya mas. Kepala pemasaran perumahan" jawab mbak yanti.
"Wow, keren dong. Gede tuh hasilnya"
"Ya begitulah mas. Hehe"
"Terus kenapa ditinggalin mbak?"
"Bukan mbak yang ninggalin. Dianya yang ninggalin mbak"
"Kok bisa?"
"Ya, banyak duitnya, banyak yang butuh sama dia, dianya pinter, akunya ******"
"Weees angel" kelakar letisya.
"Hahahaha.... " Aku geli juga mendengarnya.
"Ya sih, bapak dulu juga sempet kerepotan pas urus data. Ngambil rumah aja ribetnya minta ampun" kataku
"Nah itu. Coba kalo yang ngajuin itu cewek. Nggak dilanjut, udah keluar duit banyak, dilanjut butuh duit banyak juga"
"Terus?"
"Yah, timbang nemenin bentar mah siapa yang nggak mau, mas. Apalagi pake dibeliin ini, beliin itu"
" Aku juga mau" celetuk letisya.
"Dih, lambe turah" sergahku.
"Hahahaha.... Bercanda mbak" kata letisya.
"Iya, mbak tahu"
Selesai makan, aku segera membawa mangkukku ke dalam. Letisya dan mbak yanti pun mengikuti. Batu saja aku rebahan di ranjang, terdengar suara ponsel letisya. Ternyata dari sekolahan. Di ponselku pun ternyata sudah ada sepuluh panggilan tak terjawab.
Pihak sekolah khawatir dengan keadaan kita. Mereka bertanya dimana kita sekarang. Aku suruh letisya menjawab, kuta lagi ada di rumah tante liana. Cukup lama mereka tanya jawab, ada polisi segala malah. Mau tak mau, akupun ikut bicara. Sampai penat rasanya menjawab pertanyaan mereka. Aku rebahan lagi di, kali ini di lantai berlapis karpet.
"Mbak, liat ada pisau cukur nggak?" Tanyaku
"Mau nyukur apa, jenggot kuga nggak punya?" Ledek letisya.
"Mau nyukur jembut" jawabku asal.
"Dih" respon letisya pendek.
"Ini, mbak punya. Mau dicukurin sekalian, apa?"
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd