Chapter 4: Penggalan Kisah Masa Lalu
“Rasa sesal di dasar hati
diam tak mau pergi
haruskah aku lari dari
kenyataan ini
pernah kumencoba tuk sembunyi
namun senyummu
tetap mengikuti”
Ada rasa sesal yang sesekali hinggap mengingat apa yang sudah kulakukan malam minggu kemarin dengan Om Sadewo, aku membiarkan pertahanan diriku terbuka sehingga dengan mudahnya lelaki lain menikmati tubuhku, walau belum melakukan persetubuhan seutuhnya. Antara rasa sesal yang sesekali hinggap, aku mengagumi sikap ‘gentleman’ Om Sadewo yang memegang teguh janjinya malam itu, dia tidak memaksaku melakukan persetubuhan dan bahkan menutupi tubuhku dengan selimut diikuti kecupan di kening saat dia lebih dahulu terbangun karena harus kembali ke Bandung. Aku tak mau larut dalam kegalauan dan berusaha kembali ke rutinitasku bekerja, namun ketiadaan On Sadewo di kos selama 3 hari belakangan ini sedikit banyak membuatku terasa....sepi.
Setelah bekerja lembur di hari Rabu itu, aku menyempatkan diri makan di warung dekat kantor supaya begitu sampai kos bisa langsung beristirahat. Dengan rasa lelah yang mendera, kunaiki satu per satu anak tangga menuju kamar kosku, hari ini begitu melelahkan karena begitu banyak hal yang harus aku kerjakan di kantor. Setibanya di lantai 3, kulihat pintu kamar Winda tertutup rapat, namun aku mendengar samar-samar suara erangan dari dalam kamar...”Gila ini Winda, masih sore udah main aja sama si Tommy..”, pikirku dalam hati. Aku bergegas masuk ke kamar dan merebahkan diri sebentar sebelum beranjak mandi, “Uhm beruntung sekali Winda bisa merasakan kenikmatan bersama Tommy kapanpun mereka mau.....mmmm”, bathinku berkata dan membayangkan kembali apa yang kulakukan bersama Om Sadewo malam minggu kemarin.
“Mbak....Mbak Mita....udah tidur ya”, samar suara Winda sambil mengetuk pintu, tampaknya aku ketiduran sekitar satu jam saat rebahan, padahal niatnya tadi mau langsung mandi.
“Eh iya ketiduran, ada apa Win?”, kataku setelah membukakan pintu untuk si cerewet Winda ini.
“Ihh belum mandi ya Mba, mandi dulu aja, aku tungguin di kamar Mbak ya sambil baca-baca...Winda mau curhat nih”, sahut Winda yang langsung masuk begitu saja tanpa basa-basi, “duh anak ini pasti mau curhat yang mesum-mesum lagi....aku padahal mau tidur cepet malam ini”, pikirku dalam hati sambil meraih handukku dan beranjak mandi.
“Tadi Tommy datang kesini sore-sore, kita habis berantem kemarin Mbak...”, Winda langsung bersuara begitu aku selesai mandi dan baru saja duduk menyalakan radio.
“Aku sih males nemuin sebenernya, tapi dia maksa-maksa gitu, trus kita ngobrol aja di kamar soalnya ga enak kalo ada anak kos yang lain ngeliat kita ribut...”, lanjutnya lagi sementara aku hanya menganggukan kepala seolah-olah mendengarkan dengan seksama apa yang dia sampaikan, padahal sebenarnya aku sudah mengantuk, ceritanya panjang lebar dan berbelok kesana-kesini.
“...aku kaget Mbak, tiba-tiba Tommy ngeluarin di dalem.....gimana donk Mbak?”, kata Winda sambil menggoyangkan bahuku, akupun terkejut dengan apa yang dikatakan Winda barusan.
“Hah? Kok bisa? Kamu ga minta dia ngeluarin di luar atau pake kondom kek”, kataku dengan wajah terperanjat, biar bagaimanapun Winda aku anggap sebagai adikku sendiri walau kadang menyebalkan, di awal-awal aku kos ditempat ini, dialah yang sering menemaniku dan mengajakku keliling kota Jakarta, namun semenjak menjalin hubungan dengan Tommy 3 bulanan lalu, dia lebih sering menghabiskan waktu bersama kekasihnya itu.
“Iya Mbak, aku juga khilaf, soalnya Tommy kayaknya lagi nafsu banget, apalagi kita habis berantem sebelumnya...aku takut dia marah lagi....”, ujarnya pelan dengan mimik wajah penuh kekhawatiran.
“Kira-kira aku bakal hamil ga ya Mbak?”, lanjutnya dengan wajah memelas, aku jadi kasihan melihatnya, apalagi jika Winda sampai hamil maka bisa mengancam pekerjaannya di travel agency dekat kos.
“Semoga aja enggak, lain kali jangan keburu nafsu...”, ujarku dengan bijak, aku tahu bagaimana rasanya mengakhiri pertengkaran diakhiri dengan pergumulan penuh nafsu, pernah mantanku sebelum Darren cemburu denganku karena seringkali bersama dengan Darren saat ada aktifitas pentas seni di kampus, dia secara kasar menarik tanganku yang sedang asik berdiskusi dengan sekelompok teman-temanku dimana ada Darren salah satunya. Dengan penuh emosi dengan memacu motor tuanya menuju kos sambil bergumam tidak jelas, aku sendiri hanya dapat memeluknya dari belakang berusaha menenangkan hatinya. Sesampainya di kosnya, dia menarik tanganku masuk dan mulai menuduh yang tidak-tidak bahwa aku ada main dengan Darren, aku mencoba menjelaskan apa adanya namun dia tetap tidak mau terima.
“Kamu selingkuh kan iya kan? Ngaku saja!”, katanya kasar saat itu sambil menuding-nuding wajahku, aku menangis tersedu, karena saat itu aku memang tidak ada hubungan apapun dengan Darren walau aku kagum dengan kepintaran dan wawasannya yang luas. Dengan tetesan air mata dipipiku, mantanku itu mulai melunak, dia menyeka air mataku sambil berkata...”Maaf, aku sayang banget sama kamu”. Dan dengan perilakunya yang sudah seperti itu, aku tahu apa yang akan dia lakukan, dia menciumi bibirku sambil memelukku erat. Ciuman yang diawali dengan lembut semakin menggebu diikuti oleh sisa emosi bercampur hawa nafsu, tangannya meraba kemana-mana, meremasi setiap bagian tubuhku yang bisa dijangkau, dari payudara hingga remasan kuat di pantat bulatku. Aku yang masih kesal hanya dapat mengikuti permainannya tanpa kuasa menolak, aku takmau dia kembali emosi dan memukuli dirinya sendiri, seperti ketika aku ancam untuk putus ketika pertama kali menuduhku selingkuh dengan Darren.
Dinding kos kamar mantanku itu menjadi saksi pergumulan-pergumulan hebat kami berdua dari akhir masa SMA hingga tahun kedua masa kuliah, dengan kasar dan nafas memburu, dia melucuti pakaianku hingga telanjang bulat. Dia senang menciumi setiap bagian tubuhku, terutama bagian payudara dan klitorisku, namun aku yang kala itu bergerak kesana kesini karena tidak tahan menahan geli dan sakit saat klitorisku dikulumnya dengan kasar, membuat dia agak kesal karena mungkin dianggapnya sebagai penolakan. Dengan kasar dia mengambil sapu tangan dan mengikat kedua tanganku dengan erat, membuka celananya dan dengan paksa memasukkan penis hitam besarnya ke dalam rongga mulutku yang membuatku sulit bernafas, dia begitu kasar menyodok-nyodok penisnya keluar masuk mulutku sambil menjambak rambutku. Aku hanya dapat memasrahkan tubuhku menghadapi nafsu liarnya, dia menciumi payudaraku sambil sesekali menggigitinya hingga menimbulkan memar, aku tak kuasa menjerit saat dengan gemas dia menggigit puting susuku hingga terasa perih, tangannya mengocok-ngocok lubang vaginaku, mulai dari 1 jari, 2 jari hingga 3 jari, dia sepertinya ingin benar-benar menguasai setiap senti dari tubuhku. Dengan penuh nafsu yang mungkin masih bercampur emosi, dia menyetubuhiku dengan posisi misionaris, penis besarnya menyeruak masuk mengoyak lubang vaginaku yang sudah sangat basah karena mendapatkan orgasme saat dikoyak dengan jari jemarinya. Tubuhku ditindih badannya yang besar hitam sambil bibirnya menciumi wajahku dan sesekali dengan gemasnya mengigit bahuku, aku melenguh panjang dan mendesah-desah saat penisnya menusuk dalam-dalam lubang vaginaku hingga menyentuh dinding rahimku.
Entah berapa lama dia menyetubuhiku, namun yang kuingat, dalam keadaan tangan terikat dia membalikkan tubuhku beberapa kali untuk merubah posisi dari atas, samping dan diakhiri dengan seruan kasar untuk memintaku menungging untuk disetubuhinya dari belakang. Saat itu aku tidak merasakan cinta atau kasih sayang, yang ada hanyalah nafsu, hubungan seperti itu hanya akan dihiasi dengan pertengkaran karena posesif, emosi dan menguras pikiran. Dengan satu sentakan kuat ke dalam lubang vaginaku, dia melenguh dab memanggil namaku diikuti dengan kata-kata kasar...”Arrgggg....Mita....memek kamu enak bangetttttt”, penisnya menyemburkan sperma hangat di dalam lubang vaginaku, aku sendiri merasakan orgasme hebat hampir bersamaan dengannya, namun yang aku khawatirkan adalah semburan sperma yang begitu kuat didalam lubang vaginaku, aku tak pernah mengijinkannya melakukan itu, aku marah, kesal dan cemas luar biasa, aku takmau hamil selagi masih kuliah dan belum memberikan apapun untuk kedua orang tuaku.
“Enak banget memek kamu sayang, jangan dikasih ke orang lain ya memeknya....”, katanya dengan kata-kata yang menghujam hatiku sambil mencabut penisnya yang mulai lunglai, mungkin dia terbawa nafsu atau bercanda tapi hari itu aku sudah putuskan.....aku harus putus dengannya!
Dan, aku masih sangat bersyukur kala itu, karena bulan berikutnya aku mendapatkan menstruasiku, dengan penuh keberanian aku menghadapi mantanku itu...”Kita putus!”