------------------------------------------
"Loh!" Kagetku saat turun dari tangga rumah siang di hari Minggu itu. Seminggu setelah Bali, dan makin dekat ke perjalanan ke Jepang. Dian dan suaminya ada di rumah, ditemani Ai dan ibuku di meja makan.
"Eh, sini turun" panggil Ai.
Aku meregangkan badan dan segera turun.
"Gimana? udah isi?" tanyaku jahil.
"Haha, belum, tar aja di Jepang bikinnya" Dian menjawabku balik. Kalau dari jauh, Ai dan Dian tidak ada bedanya. Ai bagai seperti Dian versi lebih muda, lebih kurus dan berambut panjang.
"Kata Ai lo dah punya pacar, beneran?" tembak Dian mendadak.
"Siapa bilang... Ngarang"
"Hahaha... Eh, ntar pas di Jepang mau ketemu di minggu berapa? Gue kan cuma dua minggu disana..."
"Ga tau, paling pas minggu kedua atau minggu ketiga gitu kali?"
"Ooo.. minggu kedua berarti, gue pas lo minggu ketiga ada di Osaka"
"Udah makan btw? Kita bawa makanan tuh..." potong Suaminya Dian.
"Belom, kebetulan banget... eh, gue ketemu si Anggia di Bali"
"Oh, sama cowoknya kan ya? Nonton Soundrenaxxxx?"
"Iya"
"Si Anin panik?"
"Panik luar biasa... hahaha sama aja pasti kayak si Rendy"
"Rendy udah terbiasa sekarang" jawabnya.
------------------------------------------
"Jangan lupa malem ini! Kita mesti minum-minum dulu, di tempat Kanaya, sebelom lo ke Jepang!" pesan di grup whatsapp Hantaman dari Stefan mewarnai kemalasan sore hari itu. Lusa aku sudah akan terbang ke Jepang. Aku baru sadar dari sesi melayang di udara siang itu. Tadi pagi ada band yang take vokal di studio, dan Sena sudah bekerja disini dari awal minggu ini. Mungkin nanti kalau memang ada rejeki, bisa juga menyewa dia sebagai sound engineer atau recording engineer, toh studionya tetap punyaku.
Aku mandi dengan malas, ditemani sepinya rumah. Bersiap dan memakai baju kesukaanku, setelan kesukaanku, jeans, sneakers, kaos band dan jaket. Selesai bersiap-siap aku lalu menuju studio.
"Gimana?" sapaku ke Sena.
"Eh Bang, ini kayaknya suara vokalnya kurang maju deh..."
"Coba gue dengerin"
Aku sejenak mendengarkan.
"Enggak ah, ini kalo lo majuin lagi jadi kayak live show..." komentarku.
"Oh gitu?"
"Iya, bedain live show sama mastering..."
"Siap, eh entar jalan sama anak-anak?"
"Lo ikut gak?"
"Ga tau, masih mau ngulik-ngulik nih Bang..."
"Oh sip, eh ntar jangan bawa cewek masuk ya... Jangan bandel.."
"Hiyah... cewek dari mana pula..."
------------------------------------------
"CHEEERSS"
"BUAT KITA!"
"BUAT ARYA! JANGAN NYANGKUT DI JEPANG"
Lucu rasanya melihat gelas bir beradu dengan gelas lemon tea ku. Ah, sebulan kedepan aku tidak akan melihat mereka semua. Stefan, Anin, Bagas, sayang Jacob dan Sena tidak bisa ikut malam ini. Jacob lagi ngerjain Sena. Alias dia mendadak datang membawa materi rekamannya. Silakan saja mastering sama Jacob sana Sen, ribet, tau rasa.
Stefan melempar majalah musik edisi terbaru ke atas meja.
"Wih... Mana coba siniin Batu gelindingnya" canda Anin. Dia membuka ke salah satu halaman. Ada foto kami berempat disana. "GRUNGE IBUKOTA SIAP MEMUKUL ANDA".
"Sok gaya banget si Anin"
"Iya, pake ngemut rokok segala... Badannya gede sih ya..."
Disitu tertulis namaku Arya Achmad. Aku memang malas menggunakan "Ariadi Gunawan" yang memang nama KTP ku, tapi sekaligus nama ayahku. Artikel itu membahas tentang album baru kami dan pengerjaannya.
"Ntar abis si Arya balik, lanjut deh, acara-acara radio, TV, sama farewellnya Cheryl nih, udah ngantri" seru Anin.
"Dan ada Dying Inside My Heart...." keluh Stefan.
"Tapi ada SoulTempo loh... keren hiphop oldschool" seruku meredakan kekesalan Stefan.
"Jadi siapa aja Kanaya?" Kanaya terlihat datang dengan cueknya ke meja kami.
"Kalian, Dying anu itu, Frank's Chamber, SoulTempo sama XYZ" ucapnya dengan sok cool.
"Dying anu itu kayaknya musti disunat lagi" Stefan menggerutu.
"Eh udah liat ini?" Kanaya memperlihatkan Facebooknya di handphone. Ada link youtube disana. "DIMH @ Soundrenaline" judulnya. DIMH? Dying Inside My Heart pasti. Ah apa pula Kanaya liat-liatin video ini.
"Coba lo liat kaosnya" tunjuk Kanaya. Damn. Kaosnya mereka seragam, bergambar muka sang vokalis yang memar karena dilempar tong sampah tempo hari, dengan tulisan "STAND UP AGAINST BULLY". Dan Speech di panggungnya gila. "Lo tau semua, gue dapet luka ini dari mana? Gak usah gue sebut lah, mereka kemaren juga manggung disini, yang merasa seniorr! yang merasa udah dewasa jadi gak bisa bilang baek baek sama yang muda, jadi pake kekerasan! Lo semua tau lah! Gak usah gue sebut... Orangnya udah tidur kali! Udah tua, udah kecapean... FUCK YOU ALL" dan disambut riuh rendah penonton.
"Wah" Anin lemas terduduk.
"Wah!" Stefan tegang berdiri.
"Ini kontol ini!" teriak Stefan, dan semua mata di tempat itu memandang dia. "Nanti pas acaranya Cheryl gue patahin semua giginya tu orang!" matanya seperti mau keluar dari tengkoraknya.
"Sabar men" bisikku sambil menariknya duduk. Dia menurutiku dengan muka gusar. "Minum lagi minum" bisikku lagi. Stefan menenggak gelas berisi bir sampai habis.
"BUKA BOTOL!" teriaknya ke arah Kanaya. Kanaya langsung panik dan mencari minuman apapun yang Stefan mungkin suka.
------------------------------------------
"Tuh kan, kacau..." bisikku ke Anin.
"Abisnya gimana, orang emosi, terus minumnya kayak onta gitu....." bisik Anin.
Stefan sedang menoyor-noyor kepala Bagas yang diam saja dari tadi. Mukanya kaku sekali. Aku sudah mengirim SMS ke Mang Ujang. Untung masih jam 12 malam, untung Mang Ujang masih belum tidur, jadi dia akan jalan ke sini, menjemput Stefan. Kanaya tidak terlihat, tampaknya dia menghindar dari Stefan yang sudah semakin kacau.
"Memek..."
"Apa Fan?" tanya Anin.
"Memek Rissa enak..."
"Jangan berisik dong, ga enak didenger orang"
"MEMEK RISSA ENAK!"
Semua mata memandang ke arah kami. Aku meminta maaf dengan gesture menundukkan kepala ke mereka semua. Stefan masih meracau dengan Bagas sebagai korban utamanya juga. Tapi Bagas terus saja meminum Bir dengan santainya, seakan-akan Stefan hanya nyamuk yang lewat.
Kanaya pun datang menghampiri.
"Mang Ujang dah dateng tuh..." bisiknya ke diriku.
"Oh, siap"
"Kanaya!" teriak Stefan.
"Apa?"
"Kontolnya Arya enak gak? Masuk sampe ke tenggorokan gak?"
"Apa sih..." senyum Kanaya yang memaklumi kondisi Stefan yang mabuk parah. "Udah ya, ga boleh minum lagi, tar tambah gila" Kanaya berusaha memanggi waiter untuk membereskan meja kami, terutama minuman Stefan.
"Kalian berdua ini gimana sih? Udah sering keluar bareng, jalan bareng, ngewe belom ! Buat gue aja Kanayanya!"
"Ini sih kudu balik ya?" bisikku ke Anin.
"Wajib"
"Gue kan jadi curiga! Pasti lo incest sama adek lo!" teriak Stefan sambil menyeringai lebar.
"Kasih air putih Nay..." bisikku ke Kanaya.
"Arya incest sama Ai! Parah! Pantesan adeknya gak pernah dikasih ke kitaaaaaaa"
"Berisik nih si tai" bisik Anin ke diriku.
"Banget...."
------------------------------------------
Aku dan Anin bahu membahu mengangkut Stefan yang sudah terkapar. Dirinya membisikkan lagu Gombloh.
"Lestari Alamku Lestari Desaku
Dimana Tuhanku Menitipkan Aku
Nyanyi Bocah-bocah Di Kala Purnama
Nyanyikan Pujaan Untuk Nusa"
"Kontol emang nih orang" komentarku kesal, sambil melihat Mang Ujang tergopoh-gopoh datang dan ikut membantu kami. Bagas berdiri di kejauhan melihat kami dengan muka datar, di sebelahnya ada Kanaya yang sedang menahan tertawa.
Hand over ke Mang Ujang selesai. Kita bisa lanjut atau bisa pulang. Tapi masih jam 1 malam, belum jam pulang Kanaya. Rasanya masih ingin mengobrol dengan mereka sebelum besok aku ke Jepang. Ya, sudah besok. Semua sudah siap di koperku, Jaket tebal, jaket kulit, dan segala macam peralatan penangkal dingin, baju ganti, paspor, pick gitar, kabel, obat-obatan seperlunya dan beberapa perlengkapan lainnya. Kalau gitar, hari pertama aku akan beli gitar disana, agar bisa menjelajah Jepang dengan gitar yang aku beli disana. Jelajah Jepang? Jelajah Tokyo lebih tepatnya. Tak sabar aku menunggu hari esok.
"Gelo ya..." bisik Kanaya saat kami masuk kembali ke dalam ruangan.
"Haha, get used to it.. Ntar acara perpisahannya Cheryl paling gitu lagi, jadi takut gue kalo ada tunangannya Cheryl, bisa kena tonjok itu kalo dia trash talking ke Cheryl...." jawabku.
"Ada sih..."
"Wakacau.." tawaku.
"Eh entar gue balik kayak biasa, jam dua... Mau nunggu?"
"Boleh" balasku ke Kanaya.
------------------------------------------
"Besok kan ke Jepang? Kok gak balik, malah nganter gue dulu..." bisik Kanaya dari belakang. Aku mengemudikan motorku dengan perlahan.
"Udah kebiasaan soalnya" senyumku.
"Eh!" Kanaya kaget karena aku mendadak menghajar jalan yang rusak. Mendadak dia memelukku dari belakang, lantas bersandar. Kami terdiam.
"Anu, Nay"
"Udah gapapa, gue capek juga, butuh tempat bersandar" candanya sambil tertawa kecil.
Tangannya melingkar di pinggangku, dan kepalanya bersandar dengan nyamannya. Waktu terasa begitu lama untuk sampai ke tempat parkir kosannya pagi buta itu. Seperti biasa, Kanaya mengundangku untuk masuk. Wah, pasti ada barang bagus lagi, pikirku. Akhirnya kami menaiki tangga untuk ke kamarnya yang diujung sana.
Setelah membuka pintu dan menyalakan lampu dan AC, aku duduk di karpet. Menunggu Kanaya mengeluarkan sesuatu, mungkin sesi terakhir di udara bersama Kanaya. Aku duduk dan diam, memainkan handphone, memberikan pesan ke Ai dan Ibuku kalau aku mungkin pulang siang. Pakai alasan Stefan mabuk juga sudah cukup baik. Aku lantas bersandar ke bed Kanaya, dan memperhatikannya membuka lemari, membuka jaket dan memasukkannya ke lemari. Dia lantas menutup lemari dan malah menyalakan laptop. Aku masih menunggu.
"Mana Nay?"
"Apaan?"
"Itu, biasa"
"Hah?"
"Barang bagus...."
"Lah, gak ada.."
"Lho, gue pikir ada...."
"Haha gak ada... lagi kosong gue..."
"Kok diem aja pas gue masuk?"
"Emang gapapa gitu?" tanyanya dengan polos. Ia memutar musik dan duduk di sebelahku. Dengan ripped jeans dan tank topnya. Tatonya tampak indah terpampang di kulitnya.
Kami masih terdiam dalam beberapa saat.
"Jepang bakal kayak apa?" tanyanya kepadaku.
"Belum tau, gue excited banget..."
"Pengen deh ikut..."
"Ayo, besok beli tiket dong...." senyumku.
"Haha, mana punya duit...."
"Gue bayarin"
"Boong"
"Emang boong"
"Haha..." dia lantas meregangkan badannya. "Capek ya. Gue males sebenernya kerja jamnya kebalik ama hidup orang normal gini.. Gue juga pengen bersosialisasi siang-siang... Siang gue malah bobo..."
"Ga rencana pindah kerja aja?"
"Hello... gue baru, dan gantiin Mbak Cheryl..."
"Bikin alasan apa gitu kek, nikah, hamil..." Aku menatap matanya dalam.
"Ahaha hamil... Siapa yang bakal hamilin gue..."
"Siapa yak"
"Elo boleh deh"
"Masa boleh"
Kami menjadi berbisik.
"Tar masuk koran... 'Gitaris band kenamaan Jakarta menghamili pegawai pub'.. Lucu kan" bisik Kanaya.
"Itu kan banyak yang jadi gitaris band jakarta.."
"Elo aja"
"Masa"
Kami berpandangan, mendekat, dan mulai berciuman. Berciuman dengan nyamannya. Seperti sudah kuduga, bibirnya sangat lembut dan nyaman untuk diciumi. Tangan kami berdua tidak sengaja bersentuhan dan mulai saling menggenggam. Baru kuingat, ini ciuman pertama kami, sebelumnya kami tidak pernah seintim ini. Rasanya mendadak lega, tapi masih belum tahu akan dibawa kemana hal yang mengambang ini. Yang sudah pasti penting untuk dipikirkan adalah kejadian sekarang, besok kita tidak tahu pasti akan seperti apa.
Badan Kanaya semakin mendekat. Bisa kurasakan nafasnya dengan lembut, menyentuh kulitku. Kami melepas ciuman dan saling membalas senyuman. Pikiranku malah lari ke ledekan-ledekan stefan soal aku dan Kanaya. Memang tidak bisa ditebak soal yang satu ini. Tangan kami berdua terus berpegangan dengan nyamannya.
"Sorry.... " bisik Kanaya
"Kenapa?"
"Gue mancing-mancing"
"Udah deh..." Aku menciumnya lagi. Hidung kami beradu, dengan nyamannya. Tanganku mulai nakal, mencoba membuka kancing celananya, yang ia sambut dengan membebaskanku bergerak semauku. Tangannya bertumpu di bahuku, menerima ciuman dan kenakalanku. Terlepas akhirnya kancing itu. Kuturunkan resleting ripped jeans nya. Dan resleting itu menurut. Perlahan kucoba menarik celananya dari pingangnya, dan semuanya menurutiku, celana itu turun dan terlepas, mengekspos kaki Kanaya yang putih dan mulus. Bersih dari tato, tidak seperti tangan kirinya. Tanganku bergerak, mencoba meraba kakinya, naik terus ke pahanya, dengan bermaksud mencoba membuka tank topnya dari bawah.
Kanaya juga berusaha membuka t shirt ku dengan senangnya. Kami melepaskan ciuman kami sejenak untuk saling menelanjangi. Tubuhnya sangat indah berbalut pakaian dalam yang berwarna hitam.
"Mampus gue..." bisikku ke Kanaya. Kanaya hanya tersenyum dan meraba perutku. Dia lantas bergerak, membuka celanaku, dan langsung berusaha membugiliku. Aku menyerah dan pasrah, membiarkan Kanaya menelanjangiku, kalau perlu sampai kulit-kulitku pun dia lepas.
Kanaya tampak puas "Ini udah dari tadi ngebonceng ya?" candanya. Aku hanya tertawa kecil yang dengan cepat berubah jadi desahan tertahan karena dia mendorongku untuk naik ke atas kasur. Tangannya mengelus lembut pahaku, merayap ke daerah-daerah sensitifku. Kanaya mengulumnya dengan penuh hasrat, menatap mataku lekat, sehingga membangkitkan gairahku yang sudah lama tersimpan sejak putus dengan Karina.
Pemandangan yang sangat indah. Walau ruangan terlalu terang, tapi tidak apa. Suara musik yang diputar Kanaya menyamarkan suara yang terjadi akibat adegan oral seks itu. Aku bisa dengan agak leluasa sedikit mendesah. Luar biasa. Aku tenggelam, tenggelam di kasur itu, tenggelam oleh perlakuan Kanaya yang lembut dan penuh hasrat.
"Sorry... Gak tahan gue lama-lama..." Kanaya tersenyum dan beringsut naik ke atas tubuhku, sambil perlahan membuka celana dalamnya.
"Nay... Gue ga ada kondom"
"Shit... terus gimana... Gue pikir lo ada.."
"Emangnya gue Stefan.."
Kami terdiam dan saling menatap. Haruskah dengan cara lain? Karena buat kami berdua sepertinya mengkhawatirkan berhubungan seks tanpa kondom. Bisa dilihat kami berdua tidak sering berada dalam situasi yang seperti ini. Jadi tentunya kami tanpa persiapan.
"Gapapa gitu?" tanyaku, seperti mengusulkan metode umum yang dilakukan oleh pasangan yang tidak memakai kondom.
"Agak takut gue, tapi udah sampe sini" senyum Kanaya.
"Hmm...."
"Kalo kelepasan kan headline koran tadi jadi beneran dong" bisiknya sambil memelukku.
"What the hell lah..." Aku menciumnya dan memeluknya, sambil bisa kurasakan kami saling memposisikan badan agar penetrasi bisa segera terjadi.
"Damn... haha..." bisa kurasakan Kanaya berbisik kepadaku. Agak masih belum terlalu basah, jadi mungkin agak sakit. Tapi dia tampak tak peduli. Tapi bisa kurasakan, ketika kami mulai bergerak saling memberikan stimulus, ekspresi keenakan di wajahnya. Ekspresi kenikmatan. Kanaya akhirnya duduk tegak, ia menggerakkan pantatnya perlahan di atas tubuhku, aku sangat menikmatinya. Mata Kanaya terpejam dan terlihat ia mendesah perlahan. Tangannya bertumpu ke badanku, sambil menggerakkan badannya dengan nikmatnya.
Gerakannya sesuai dengan ritme musik yang ia putar. Musik lounge yang memberi kenyamanan pendengarnya, sangat sesuai dengan kondisi pagi buta ini. Buah dadanya yang terlihat sangat lembut menyembul dari balik BH nya. Aku lantas mencoba membukanya. Dia menyerah. Sudah kuduga bentuknya sangat indah. Sangat cocok dengan bentuk tubuhnya.
Aku lantas mencoba menggenggam buah dadanya yang indah itu, mengganggu konsentrasinya bergerak.
"Uhh... kenapa sih... cowok sukanya mainin itu mulu..." bisiknya.
"Jangan berisik... " ledekku.
"Geli..."
Akhirnya aku tak tahan, aku menarik badannya ke pelukanku, lalu aku mencoba beringsut, memutar tubuh kami berdua agar ia berada di bawah tubuhku. Dia mencoba melawanku sedikit dengan bermain-main, tapi dia pasrah sebenarnya. Tawa kecilnya mewarnai gerakanku yang sedikit memaksa agar tubuhnya dibawah diriku.
"Jangan maksa dooong....." bisiknya. Aku diam saja, tersenyum dan mulai bergerak. Kanaya mulai meringis keenakan, ekspresi mukanya tampak gabungan antara pasrah, nikmat, bernafsu dan nakal. Kesemua itu bergabung jadi satu dalam hubungan seksual yang playful ini. Tidak ada perasaan yang terlalu dalam atau sok romantis.
"Arya... geli..." Bisiknya sambil mencoba menyingkirkan kepalaku dari buah dadanya. Aku tak peduli. Kanaya mencoba berontak, karena sepertinya buah dadanya sangat sensitif. Bisa kunilai dari kelembutan kulitnya. Permainan kami menjadi makin panas, karena tampaknya Kanaya mendadak sudah pasrah atas gerakanku. Tadi dia tampak mencoba mengimbanginya, sekarang dia pasrah, pasrah ketika aku menghunjam dirinya dengan deras. Dia terkulai keenakan.
"Dari dulu kek..." bisiknya mendadak, memecah konsentrasiku.
"Sst... Gue lagi keenakan ini..." balasku.
Lama kelamaan gerakanku makin kencang dan tidak beraturan. Rasanya luar biasa enak. Semuanya tampak nyaman dan menggairahkan. Kanaya dengan bentuk badannya yang indah, dan seluruh organ tubuhnya dengan proporsi yang luar biasa, menghadirkan rasa tersendiri di dalam diriku. Kanaya hanya menerimanya dengan pasrah. Rasanya tak tahan, ada rasa yang ingin meledak di ubun-ubun, dan kegelian terasa di telapak kakiku. Semuanya terasa begitu nikmat, tidak ada yang janggal dan tidak ada yang aneh. Pergumulan dua orang di dalam kamar itu, di pagi buta itu, semuanya terasa sangat tepat. Semuanya terasa sangat menggairahkan.
Hingga...
"Arya..."
"Kenapa..."
"Jangan keenakan... Please"
"Shit"
Kanaya memperingatkanku disaat gerakanku makin kencang dan makin tidak beraturan. Aku berusaha mencabutnya. Kaget. Hampir saja aku terbawa suasana dan mengeluarkannya di dalam.
Muka Kanaya pura-pura sedih." Kalau gue hamil gimanaaa...." tetap saja, muka secantik apapun kalau mencoba ekspresi muka jelek pasti akan terlihat cantik.
"Yaudah..." Aku turun ke karpet, menarik badannya. Aku lalu mulai menciumi bagian bawah tubuhnya. Kurasakan badannya kaget. Kanaya mengambil bantal dan memeluknya.
"******... gue lupa... Gue sensitif banget kalo diapa-apain sama lidah..." Kanaya lalu menggigit bantal itu dan mulai sedikit menggelinjang. Aku menjilatinya dengan tak peduli, aku menikmatinya. Tidak ada rasa dan kenikmatan yang tubuhku rasakan. Tapi perasaan dan penglihatanku. Melihat perempuan cantik tak berdaya, memeluk dan menggigit bantal serta mengejang, menggelinjang dan bergetar adalah satu kenikmatan tersendiri.
"Mmmh... ******..." bisik Kanaya keenakan. Dia menggigit bantal sejadi jadinya. Mukanya merah, dan matanya tertutup menandakan kenikmatan yang ia dapatkan sangat luar biasa. Sangat membangkitkan gairahnya. Dan lama kelamaan itu semua membuat reaksi tubuhnya menjadi gila.
Kanaya melempar bantal itu ke samping. Ia membekap mulutnya sendiri. Lantas ia bergetar, melenting dan badannya menjadi kaku. "Nnnnggghhhhhhhh........" desahnya tertahan oleh tangannya. "Aahhh... shitt..." Melenting sekali lagi. Kaku. Kaku. Punggungnya melayang.
"Ahh... Stop.. Arya.. Udah.. Stop... Ntar gue teriak..." Dia berusaha menjauhkan kepalaku. Aku tertawa melihatnya. Tersenyum puas melihat dirinya mencapai puncak kenikmatan. Nafasnya berat dan mukanya tampak merah. Matanya agak berkaca-kaca, ekspresi kepuasan luar biasa terpancar dari matanya.
"Sini lo.... Gue bales." Kanaya meraih tanganku dan berusaha menjatuhkanku ke kasur. Aku menyerah saja. Kanaya lalu bersimpuh.
"Gue bikin lo cepet keluar..."
"Silakan..."
Aku bersandar dan menikmati pemandangan itu, dia tampak tak sabar untuk membuatku takluk. Kocokan tangannya tampak buru-buru, namun semua kenyamanan di dalam mulutnya membuatku terbius. Terbius oleh kulumannya yang luar biasa, naik turun kepalanya dan sedkit permainan lidahnya. Tak sabar rasanya.
"Mmmnn!" Kanaya kaget, ketika aku menegang dan memuncratkan sesuatu ke dalam mulutnya. "Wah... gak santai.." senyumnya dengan bibir belepotan.
"Kok ga bilang dulu sih... " Ia panik, mencari tissue dan berusaha membersihkan bibir dan mulutnya. Aku hanya tersenyum jahil sekaligus tidak enak.
"Bandel bandel bandel...." Ia meludah ke kertas tisu, lalu berlalu ke kamar mandi. Kudengar bunyi kumuran dan sikat gigi dari dalam sana. Lantas ia keluar dengan telanjang bulat, mulut basah oleh kegiatannya tadi, lalu mematikan lampu.
"Rempong amat" komentarku.
"Gak suka tau..." senyumnya
"Kirain suka..."
"Gak pake bilang-bilang lagi..." Dia naik ke atas tempat tidur dan menarik selimut.
Posisi tubuhku belum berubah.
"Lo mau ngapain? pulang?" tanyanya sok judes.
"Gak lah... masa langsung pulang"
"Kirain ga bertanggung jawab gitu, ninggalin"
"Engga"
"Dasar..."
Kami berbaring bersama dalam satu selimut. Merasakan gelap. Dan berusaha terlelap.
"Geser" bisiknya.
"Gak mau"
------------------------------------------
BERSAMBUNG