Agen Terpercaya  
 
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

DRAMA TAMAT MDT - REVIVAL - SEASON 1 (racebannon)

Menurut Kalian, Siapakah "Bastardverse" Best Couple?

  • "Aku" & Dian (The Lucky Bastard)

    Votes: 12 7,5%
  • "Aku" & Nica (The Lucky Bastard)

    Votes: 2 1,3%
  • "Aku" & Anggia (The Lucky Bastard)

    Votes: 41 25,8%
  • Arya & Kyoko (Matahari Dari Timur)

    Votes: 51 32,1%
  • Anin & Zee (Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%
  • Stefan & Semua yang dia tiduri (Matahari Dari Timur)

    Votes: 23 14,5%
  • Amyra & Dipta (Amyra)

    Votes: 6 3,8%
  • Gilang & Saras (Penanti)

    Votes: 2 1,3%
  • Gilang & Tara (Penanti)

    Votes: 3 1,9%
  • Bryan & Tika (Amyra)

    Votes: 1 0,6%
  • Rendy & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 14 8,8%
  • Adrian & Anggia (The Lucky Bastard - Matahari Dari Timur)

    Votes: 2 1,3%

  • Total voters
    159
  • Poll closed .
MDT S1 - PART 12

------------------------------------------

fixedw10.jpg

Ya ampun... Pedasnya. Aku meringis saat sake itu perlahan masuk ke tenggorokanku. Aku lantas tersenyum dengan muka menahan meringis ke arah Kyou-Kun. Dia tersenyum lagi dan menunjuk ke arah panggung. Seorang saksofonis perempuan sedang meliuk-liuk dengan nadanya diatas panggung.

"Very Good!" teriaknya ke telingaku. "Drink more!"
"Sorry, I can't, my stomach... Couldn't handle liquor.." teriakku beralasan ke telinganya, berusaha mengalahkan suara musik di panggung.

Dia tampaknya mengerti dan mengangguk dengan ramahnya. Untunglah. Bebas. Tapi semua minuman di mejaku malah dihabiskan Kyou-Kun dengan nyamannya. Dia tidak timid dan terlalu sopan seperti beberapa orang Jepang yang kutemui dari kemarin. Tidak pemalu juga. Memang entertainer sejati sepertinya.

------------------------------------------

49324410.jpg

Puas. Jam 12 malam. Cafe sudah akan tutup. Aku berhasil berpartisipasi dalam 3 buah lagu. Aku berhasil menghibur venue pertamaku. Aku menutup sesi ini dengan beberapa selfie dengan mereka semua. Setelahnya aku sibuk mengobrol dengan Janus, yang ternyata pernah beberapa kali ke Indonesia, dan pernah menetap di Jakarta selama tiga tahun, waktu tahun 80an. Janus dulu bekerja di sebuah perusahaan multinasional, dan dia ditugaskan untuk bekerja di Indonesia. Untuk menyalurkan hobi musiknya, ia juga mengajar piano privat ke beberapa orang. Hal itu berlanjut, sampai ia dipanggil kembali ke Belanda.

Setelah bercerai dengan istri pertamanya, ia menjalin hubungan dengan perempuan Jepang yang sedang bekerja di Belanda juga. Ketika istri keduanya ini ingin kembali pulang dan bekerja di Jepang, Janus setuju untuk ikut, dan resign. Sejak saat itu, ia bekerja sebagai guru piano di Jepang setelah gagal untuk tembus kerja di beberapa perusahaan yang ia apply. Sebuah kisah yang hebat. Dan sekarang ia bahagia, meskipun dia "hanya" sebagai guru piano. Umurnya hampir 50, dan ia baru saja menikah 2 tahun yang lalu dengan perempuan Jepang itu. Jadi wajar kalau bahasa Jepangnya juga masih terbata-bata, walaupun lancarnya selancar Ilham, hanya aksennya saja yang terbata-bata.

Gegar budaya juga ia rasakan.

Jika di Eropa, maupun di Indonesia, posisi kerja Istri terlihat "lebih tinggi" daripada suami, masyarakat dan keluarga masih mewajarkan. Tapi di Jepang yang budaya patriarkinya kental sekali, mereka kadang aneh melihat kondisi keluarga Janus, yang dimana Istrinya pegawai kantoran dan Suaminya adalah guru piano.

Tapi dasar bule, suka cuek dan tak peduli. Tampangnya yang teduh dan kondisinya yang sama-sama tidak meminum minuman alkohol sama sepertiku membuat kami cepat nyambung.

Lama larut mengobrol, kami benar-benar harus pulang ke rumah masing-masing. Kecuali aku. Tapi aku melihat pemandangan yang agak familiar. Kyou-Kun tampak sedang berusaha menahan muntah. Tampaknya ia mabuk. Aku melihat ke sekeliling. Hanya ada dia, aku dan Janus. Sisanya sudah entah kemana. Cepat sekali mereka pergi. Motor dan sepeda yang diparkir di luar tadi sekarang sudah raib semua. Mata Kyou-Kun nanar memandang ke got, mencoba menahan reaksi berputar di perutnya.

"Let me check him, sebenta' " ucap Janus dalam bahasa bercampur. Aku mengangguk. Janus berusaha memakai bahasa Jepangnya untuk berkomunikasi dengan Kyou-Kun.

"Let's bring him home, shall we?" ajaknya ke diriku.
"Where is it?"
"Mitaka"
"It is near?"
"No, far, that's why I Need your help" ajak Janus, dia menyerahkan tas Bass nya ke diriku. Sementara dia berusaha memapah Kyou-Kun, berjalan ke arah stasiun kereta.

------------------------------------------

800-mi10.jpg

"Is this your home?" Janus menunjuk sebuah cafe kecil yang asri di Mitaka. Besarnya sebesar studio musikku. Suasana di Mitaka sangat lah tenang, bersih, dan sunyi. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa ada disini sekarang. Kyou-Kun yang tampak berusaha sadar mengangguk. Dan ia lalu berjalan lemah dan duduk di depan pintunya, sambil menyalakan rokok.

"Okay then, Let's go home Arya..."
"But... I stay in my friend's apartment in Yokohama...."
"What?"
"Well..."

"Aya! Sleep here... At my cafe.. Tomorrow you can go, morninggu..." ucap Kyou-Kun yang sedang fokus menstabilkan jalan pikirannya.

Shit. Aku menelan ludah. Aku mendadak menelpon Ilham.

"Halo..." suara mengantuk ada di sebrang.
"Eh, gue jadi nganterin orang mabok nih..."
"Ooh.. emang mereka mah kalo minum suka parah... Dimana lo?"
"Katanya sih di Mitaka..."
"Gila, jauh itu.... Udah jam berapa sih sekarang? Pasti udah lewat jam 1 ya? Kereta ama Bis dah abis... Besok aja lo baliknya...." jelas Ilham panjang lebar.

"Kalo Taksi?"
"Bro, Mitaka itu sepi banget, tempat tinggal orang tua, malem-malem gini mana ada taksi keluyuran, kalo lo ada di stasiun kereta sih gampang, tapi jam segini ga ada bis yang bisa bawa lo ke stasiun kan?"
"Mana gue tau!"
"Lo ditawarin nginep gak sama orang yang lo repotin?"
"Iya sih"
"Wah untung tuh, orang Jepang biasanya baru kenal sungkan banget ngajak orang masuk ke rumahnya..."
"Ini bukan rumah sih itungannya"
"Apaan?"
"Cafe..."
"Cafe lagi?"

"Duh, gimana Ham?" aku malah stress sendiri. Janus melihatku dengan muka tak sabar. Sepertinya dia juga ingin segera pulang.
"Yaudah, besok aja ya, gue tidur lagi nih..." keluhnya.

"I guess i stay here...." keluhku ke Janus.
"Okay then..."
"But, Janus, where do you live?"
"Me? Near here, walking distance" senyumnya. Curang! Jadi aku diajak cuma buat ngangkut Bassnya Kyou-Kun? Sialan. Janus lalu mendadak buru-buru melambai dan menghilang perlahan dengan langkah kakinya yang cepat. Oke, ini baru hari ketiga, tapi aku sudah seperti tersesat sekarang. Kyou-Kun sudah selesai merokok. Dia berdiri sempoyongan dan lalu mencari tempat sampah untuk membuang puntungnya. Gila. Mabok-mabok tertib.

"Dozo..." dia membuka pintu Cafe kecil itu dan mempersilahkanku masuk ke dalam.

Aku masuk dalam kegelapan, dan kaget saat lampu dinyalakan. Interiornya lucu sekali. Seperti masuk toko Muji atau toko Uniqlo. Mendadak Kyou-Kun hilang. Aku lantas bingung harus duduk atau berdiri dimana, karena semua kursi ditumpuk di pojokan. Masa duduk di meja?

Sekitar 10 menit kemudian dia datang kembali, dan memberiku sleeping bag. "Please... Sleep here... Sorry" katanya sambil membungkukkan badan dalam-dalam. Dia tampaknya tak enak sudah mengganggu malamku. Lalu Kyou-Kun memberiku notes kecil. "This is my namba.. Call for anything... My house next" oh, kalo ada apa-apa telpon, rumahnya di sebelah. Oke deh kalo begitu.

Kyou-Kun mendadak mematikan lampu dan menyalakan lampu yang temaram. Untuk membantuku tidur. "Jya, Oyasumi..." dia lalu meninggalkanku dan menutup serta mengunci pintu dari luar. Oke. Aku terjebak disini, di cafe, di sebuah kota kecil nan sunyi nan tenang bernama Mitaka di pinggiran Tokyo. Akhirnya akupun menggelar Sleeping Bag itu. Dan masuk kedalamnya setelah membuka jaket kulitku. Untung Kyou-Kun sempat menyalakan AC untuk menghangatkan badanku. Aku berbaring dengan bodohnya, menjadikan tasku sebagai bantal. Aku melihat dan memeriksa handphone. Banyak pesan masuk.

Pesan antusias dari Ai dan Kanaya, pesan penuh iri dari teman-teman bermusikku. Dan pesan pribadi dari Stefan. Sialan. Foto alat kelamin lelaki orang kulit hitam. Dasar cacat.

Pesan baru dari Kanaya masuk.
"Asik, sukses dong..."
"Sukses, tapi gue sekarang terdampar karena nganterin orang mabok...."
"Haha, karma kali, gak pernah mau nganterin Stefan mabok balik..."
"Bener juga lu..."
"Sekarang dimana? Yokohama juga?"
"Mitaka..."
"Dimana tuh?"
"Gak tau.... Gue iya-iya aja lagi pas diajak ama bule yang gw ceritain tadi buat nganterin Bassist yang mabok ini balik..."

"Yang sabar yak" Kanaya lalu mengirimkan foto. Di pub ternyata. Dia dan Stefan membuat muka duck face. Aku tertawa dalam hati melihatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba tidur.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

"Anjir!" aku terbangun. Sudah pagi. Jam 8 pagi. Aku terbangun karena ada kucing gemuk nan judes berwarna hitam putih duduk di atas perutku. Mukanya cuek. Aku berusaha memindahkannya namun dia tetap berusaha bertahan juga. Gila, gendut banget kucing ini. Masuk dari mana? Apa sudah ada dari semalam?
Aku lebih kaget lagi saat pintu terbuka.

Seorang perempuan yang tampaknya berusia 30 tahunan awal atau 20 tahunan akhir masuk sambil membawa sapu. Dia kaget saat mata kami bertatapan.
"Dare??" dia memposisikan dirinya seperti akan memukulku menggunakan sapu. Si Kucing pun lari keluar dan meninggalkan kami berdua.

"Ah.. Aya... You wake up" Mendadak Kyou-Kun nongol di pintu.
"This is my sister... Kyoko..."

https://ci6.*********************/proxy/nlw_Wa3q15GMYKZu9fnCozTmbjRptTteJ5WqKyIK4zx9SmSANr67Wh1EnfLxcRkW99G0zKe9PNgx5-90-bPdSn-veyB7AXY_dXYJ=s0-d-e1-ft#http://i97.servimg.com/u/f97/11/85/95/77/glitch12.jpg
copy_o10.jpg

Dia lalu berbicara dalam bahasa Jepang yang tidak kumengerti, ada kata-kata blue note dan Indonesia di dalam kalimatnya, pasti dia menceritakan kejadian semalam dengan panjang lebar. Mendadak Kyoko menggeleng dan menurunkan kewaspadaannya. Dia tersenyum manis kepadaku dan menunduk kepadaku. Aku yang masih kaget lantas balas menunduk sambil masih melongo tak tentu arah.

------------------------------------------

Aku duduk manis di cafe yang belum dibuka itu. Kyou-Kun, yang akhirnya aku tahu nama aslinya adalah Kyoshiro Kaede dan adiknya, Kyoko sedang bersiap-siap. Dari tadi mereka menerima beberapa tamu yang mengirim susu, mengirim roti dan beberapa perlengkapan lagi. Aku meminum kopi buatan Kyou-Kun, kopi paling nikmat sejagat yang pernah kurasakan. Memang orang Jepang sangat aktif meminum kopi. Luar biasa rasanya. Sarapan pagi berupa beberapa potong sosis, kentang dan telur sudah kulahap habis. Tak enak rasanya merepotkan sepasang adik kakak ini pagi-pagi.

Bisa kulihat kadang mereka berantem lucu, mengingatkanku pada Ai. Cafe mereka buka dari jam 11 sampai jam 2 siang. Lalu buka lagi dari jam 5 sore sampai jam 9 malam. Selain menjadi musisi, tampaknya ia juga pembuat kopi yang hebat. Dan sekarang aku bingung bagaimana harus bersikap. Membantu tak mungkin, aku akan merusak ritme mereka. Pergi begitu saja, tampaknya tidak sopan.

Mendadak Kyou-Kun menghampiriku dan mulai membakar rokok. Orang Jepang lebih toleran dengan rokok jika dibandingkan dengan negara maju lainnya. Di cafe-cafe sangat umum orang merokok. Dia menyesap kopi bikinannya sendiri.
"Sorry to bother you last nait" senyumnya.
"It's okay..." senyumku.
"You want to play again tonight?" tanyanya sambil senyum.
"Wow? Where?"

"Jam Sesyon again. Half tone, Tachikawa, 30 minit from here, train"
"A moment please"

"Ham" tak ada jawaban. Mungkin sedang di kampus. "Eh.. but i have to change clothes, at my friend house, Yokohama..." jawabku.
"No worry. You can go back now. At night meet at Tachikawa"
"Mm... Okay." Yang penting aku sudah punya nomernya Kyou-Kun.

------------------------------------------

image10.jpg

"Lagi?" aku habis mandi dan Ilham sudah pulang dari kampus. Pukul 2 siang.
"Iya men..."
"Gile hahaha, gue gak kuat, gapapa ga nemenin ya?"
"Santai..."

"Tachikawa juga jauh gila hahaha..." tawanya.
"Yah gimana, dari Mitaka ke mari satu setengah jam, mana gue bingung lagi tadi naek keretanya. Untung orang di stasiun bisa Bahasa Linggis"
"Yowes, sori gak bisa nemenin, Tachikawa itu satu setengah jam juga dari sini. Kalo dari Mitaka enak cuma setengah jam hahaha.... Tapi lo wajib deh ke Mitaka pas siang, adem suasana disana, apalagi di tamannya, ada kebon binatang kecil ama Museum ghibli.."
"Oh museum studio anime itu ya?"
"Iya" Ilham mengkonfirmasi.

"Dan mendadak lo jadi musisi aktif gitu disini hahahaha...." canda Ilham.
"Dan gue jadi lupa kalo gue gitaris rock"
"Ntar lo bawa baju ama perlengkapan mandi aja, siapa tau harus nemenin orang mabok lagi" senyumnya.

"Beres" aku lantas duduk dan memakan bento yang kubeli di minimarket. Lapar sekali rasanya. Berjalan kaki ke segala tempat membuat kakiku jadi sakit dan perutku jadi lapar. Lapar luar biasa. Kakiku merah dan badanku pun juga pegal. Bisa jadi fit dan kurus aku disini sepertinya.

Mendadak ada pesan dari nomer yang tak kukenal. Bukan nomer Jepang. Nomer Indonesia.
"Siang Mas Arya"
"Siang..."
"Mas sedang di Jepang?"
"Betul"
"Saya dari majalah urbanEars... bisa minta waktunya sebentar?"
"Boleh"

Lantas ada perkenalan dari si orang majalah itu. Katanya ia tertarik untuk meliput perjalananku disana, tapi dengan semua foto dan berita datang dari aku. Kok jadi repot begini ya? Informasi dari siapa pula, kok dia bisa-bisanya tahu soal istilah safari musikku. Aku bilang, sesempatnya ya, nanti foto bisa ambil dari Instagram. Dan ucapan terimakasih pun dia sampaikan.

Duh repot... sebisanya deh.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

Hari keempat itu, aku sudah berada di Stasiun Tachikawa yang bersatu dengan sebuah pusat perbelanjaan. Jaket kulitku membantuku menahan dingin. Sudah gelap, pukul enam sore. Maklum musim dingin. Aku sengaja datang lebih awal karena tidak ingin telat. Kyou-Kun akan datang pukul 7 malam. Acara dimulai jam 8. Memang tidak enak menunggu, tapi aku belum hapal jadwal kereta dan berapa lama waktu yang dibutuhkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi tak apa. Aku memperhatikan mereka lalu lalang dengan ramainya, sepulang kerja.

https://ci4.*********************/proxy/ym-p08kjB95kgiJeOl_7UqivKnfi5VeE4hagKrKz62KyudtIFVHBmp7W2ilLgPYMbEamqoUlLDhXrBVfqpg59Mx5o3twXpImmvwc=s0-d-e1-ft#http://i97.servimg.com/u/f97/11/85/95/77/dsc07710.jpg
tachik10.jpg

Aku menggosok tanganku yang berupaya menghangatkan dirinya dalam sarung tanganku. Akhirnya aku mengeluarkan handphoneku, dan mencari toko musik terdekat di Tachikawa. Oh ternyata ada, Ishibashi, dekat, cuma 500 meter. Oke, jalan lagi.

Tak berapa lama, lima menit kemudian aku sudah masuk ke toko musik itu dan disapa oleh yang menjaga. Aku tersenyum saja. Hmm.. Tidak ada yang menarik. Gitar-gitarnya kebanyakan solid body Ibanez dan Fender Jepang. Aku berjalan lagi dengan pelan ke display efek dan ampli. Hmm.. Aku hanya pakai efek kalau bermain bersama Hantaman. Eh tapi apa itu. Wah lucu. Amplifier Vox kecil. AC30, bisa dipasang ke headphone juga. Hah, harganya cuma 3700 Yen? 400 ribu rupiah saja. Menarik. Tanpa pikir panjang aku membawanya ke kasir dan membelinya tanpa mencobanya. Aku lantas kembali ke tempat aku menunggu tadi. Lantas mengeluarkan gitarku dan mencolokkannya ke Ampli Kecil itu. Tak lupa memasang headphone dan mendengarkannya. Lumayan.

Aku lantas bermain gitar seadanya dan menikmati diriku sendiri.

------------------------------------------

"So Good!" ucap Kyou-Kun saat sesi Jam Session itu selesai. Dia sedang merokok sambil meminum bir. Aku tersenyum saja, tanpa tahu apa yang ia maksud so good itu, tapi overall aku puas sekali malam ini. Aku masih berkutat dengan gitarku, memainkan nada-nada yang tadi kutemukan saat aku bermain sendiri di stasiun Tachikawa.

Nada-nada itu serasa menghantui. Seperti merangkum perasaanku ketika disini.

"What are you playing?" tanya Kyou-Kun.
"Ah Nothing.."
"No no..... i want to hear" Dia penasaran. "Ok?" dia mengkonfirmasi lagi. Dasar. Sepertinya dia aslinya bukan orang Jepang. Aku lagi-lagi menyerah padanya. Aku memberinya headphoneku. Dan ketika ia sudah siap, aku memainkan nada-nada yang dari tadi menempel di kepalaku. Kyou-Kun bergumam. Mendengarkan dengan seksama.

"Naisu..." dia menggumamkan nada Bass. "You have to make this to a song" matanya berbinar. Aku merengut. Masa?

------------------------------------------

image10.jpg

Aku memandang langit-langit apartemen Ilham, ditemani suara ngorok Ilham yang seperti bersenandung. Besok aku mau rehat sebentar. Hari ke lima akan kupakai untuk jalan-jalan sendiri di seputaran Tokyo, terutama Ueno Park, mungkin melihat kebun binatang atau apa. Tapi masa sendiri? Aku akhirnya mencoba memberi pesan ke Kyou-Kun.

“Are you free tomorrow?” tanyaku.
“Hi Aya. Free morning, please come to Mitaka. Talk about music”

Aku tersenyum. Hancur sekali bahasa Inggrisnya. Intinya ia mengundangku ke Mitaka pagi-pagi, mungkin aku akan mengobrol dengan dia pagi-pagi dan menikmati makan siang di cafenya, lalu mencoba berjalan-jalan sendiri. Aku tak sabar menjalani sebulan yang penuh excitement ini.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

latte_10.jpg

Aku duduk di café itu. Sambil melahap nasi kari khas Jepang, yang ternyata rasanya disini lebih halus dan enak kalau dibandingkan dengan yang dijual di Indonesia. Aku memperhatikan Kyou-Kun dan Kyoko yang sedang sibuk melayani tamu, sambil mengobrol ringan dalam bahasa Jepang yang tak kumengerti. Pengunjung café kebanyakan adalah orang-orang tua dari lingkungan sekitar, yang selalu brunch atau lunch disana. Ketika sore pun, mereka datang dan mengobrol dengan orang-orang yang tinggal di sekitaran situ.

Pagi ini aku sudah berdiskusi dengan Kyou-Kun sebelum café buka. Hasil coret-coretan partitur laguku sudah tersimpan dengan rapi di tasku. Masukan dari Kyou-Kun sangat berharga. Untung aku menanyakan kegiatannya hari ini dan tidak terlambat menanyakannya. Karena siang sehabis Café tutup dia akan pergi untuk suatu sesi rekaman di ujung Tokyo yang lain. Dan sepertinya dia tidak mengajakku, jadi baiklah, aku sehabis makan siang akan coba berjalan-jalan sendiri.

“Ah! Shimatta!” mendadak Kyou-Kun mengeluh di balik counter. Ia lantas mencabut sesuatu dari colokan listrik dan tampak menelan ludah. Aku meneliti, tapi takut menghampiri, takut mengganggu kerepotan yang terjadi. Para pengunjung yang rata-rata aki-aki dan nini-nini itu ikut kaget, ada beberapa yang tampaknya sudah sangat akrab dengan mereka, mendekati dan bertanya-tanya.

------------------------------------------

Hari kelima. Aku menyesap kopi kalengan yang tadi dibeli di minimarket. Kyoko duduk di sebelahku, di kursi taman, meminum minuman yang sama. Kami berdiam berdua. Tanpa suara. Canggung.

Ide tolol.

Dan aku setuju.

Mesin kopi café mereka rusak. Kepanikan melanda. Kyou-Kun menelpon teknisi. Dan akhirnya mesin kopi itu diangkut. Pelanggan mengeluh. Memang jualan utamanya adalah kopi. Tanpa itu tak ada gunanya buka, kata Kyou-Kun. Mesin dapat dibetulkan selama 2-3 hari. Atau lebih. Dan dalam kondisi itu, terpaksa mereka tutup, dan merubah jam buka menjadi pagi. Menyediakan sarapan saja. Tanpa kopi. Entah akan laku atau tidak.

Mesin kopi sudah diangkut. Café terpaksa tutup, Kyou-Kun ada janji untuk rekaman siang ke malam. Dan dia mendadak berseru sebelum berangkat tadi. "Kyoko, please take Aya for a walk, Inokashira or something" Kyou-Kun menyeringai saat ia menyuruh Kyoko menemaniku tadi. Dan Kyoko protes dalam bahasa Jepang yang tak kumengerti. Tapi Kyou-Kun memohon, juga dalam bahasa Jepang yang sama sekali aku tidak mengerti. Akhirnya Kyoko menyerah.

https://ci5.*********************/proxy/oiac2bHZF9IvgmXD7uk14JL7eDbOetIJD34eb1kaiqNE2iMH_UTHm__8AOIAfL-uBOCQ60XZP53QZTRnYKAcwehcu-5stG-QH7cD=s0-d-e1-ft#http://i97.servimg.com/u/f97/11/85/95/77/kichij10.jpg
ike10.jpg

Dan kami berdua ada disini sekarang. Diam. Aku memeluk gitarku dalam diam. Kyoko diam juga disebelahku. Entah apa yang ia pikirkan, dia hanya menatap ke kaleng kopi di tangannya sambil berlindung dibalik mantelnya. Mendadak mata kami bertemu. Dan dia hanya tersenyum kecil lalu membuang mukanya.

So. Fucking. Awkward.

"Where you want to go?" mendadak ia bertanya dengan grammar yang hancur pula.
"I don't know"
"Mmm... The Zoo? It's near" tunjuknya ke sudut lain di taman itu.

Aku mengangguk dengan terpaksa dan tersenyum padanya.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Ah shit...ini cerita kereeennn, ada nyambung2nya sama lucky bastard...
Damn, klo emang ini cerita yg ditulis ulang, gw jd heran...bagaimana gw bisa melewatkan cerita sekeren ini???

Dan lagi2, suhu telah berhasil membuat saya marathon baca cerita ini...dimana itu artinya, wajib kudu harus segera update...
Pleaseeeeeee...
 
------------------------------------------

fixedw10.jpg

Ya ampun... Pedasnya. Aku meringis saat sake itu perlahan masuk ke tenggorokanku. Aku lantas tersenyum dengan muka menahan meringis ke arah Kyou-Kun. Dia tersenyum lagi dan menunjuk ke arah panggung. Seorang saksofonis perempuan sedang meliuk-liuk dengan nadanya diatas panggung.

"Very Good!" teriaknya ke telingaku. "Drink more!"
"Sorry, I can't, my stomach... Couldn't handle liquor.." teriakku beralasan ke telinganya, berusaha mengalahkan suara musik di panggung.

Dia tampaknya mengerti dan mengangguk dengan ramahnya. Untunglah. Bebas. Tapi semua minuman di mejaku malah dihabiskan Kyou-Kun dengan nyamannya. Dia tidak timid dan terlalu sopan seperti beberapa orang Jepang yang kutemui dari kemarin. Tidak pemalu juga. Memang entertainer sejati sepertinya.

------------------------------------------

49324410.jpg

Puas. Jam 12 malam. Cafe sudah akan tutup. Aku berhasil berpartisipasi dalam 3 buah lagu. Aku berhasil menghibur venue pertamaku. Aku menutup sesi ini dengan beberapa selfie dengan mereka semua. Setelahnya aku sibuk mengobrol dengan Janus, yang ternyata pernah beberapa kali ke Indonesia, dan pernah menetap di Jakarta selama tiga tahun, waktu tahun 80an. Janus dulu bekerja di sebuah perusahaan multinasional, dan dia ditugaskan untuk bekerja di Indonesia. Untuk menyalurkan hobi musiknya, ia juga mengajar piano privat ke beberapa orang. Hal itu berlanjut, sampai ia dipanggil kembali ke Belanda.

Setelah bercerai dengan istri pertamanya, ia menjalin hubungan dengan perempuan Jepang yang sedang bekerja di Belanda juga. Ketika istri keduanya ini ingin kembali pulang dan bekerja di Jepang, Janus setuju untuk ikut, dan resign. Sejak saat itu, ia bekerja sebagai guru piano di Jepang setelah gagal untuk tembus kerja di beberapa perusahaan yang ia apply. Sebuah kisah yang hebat. Dan sekarang ia bahagia, meskipun dia "hanya" sebagai guru piano. Umurnya hampir 50, dan ia baru saja menikah 2 tahun yang lalu dengan perempuan Jepang itu. Jadi wajar kalau bahasa Jepangnya juga masih terbata-bata, walaupun lancarnya selancar Ilham, hanya aksennya saja yang terbata-bata.

Gegar budaya juga ia rasakan.

Jika di Eropa, maupun di Indonesia, posisi kerja Istri terlihat "lebih tinggi" daripada suami, masyarakat dan keluarga masih mewajarkan. Tapi di Jepang yang budaya patriarkinya kental sekali, mereka kadang aneh melihat kondisi keluarga Janus, yang dimana Istrinya pegawai kantoran dan Suaminya adalah guru piano.

Tapi dasar bule, suka cuek dan tak peduli. Tampangnya yang teduh dan kondisinya yang sama-sama tidak meminum minuman alkohol sama sepertiku membuat kami cepat nyambung.

Lama larut mengobrol, kami benar-benar harus pulang ke rumah masing-masing. Kecuali aku. Tapi aku melihat pemandangan yang agak familiar. Kyou-Kun tampak sedang berusaha menahan muntah. Tampaknya ia mabuk. Aku melihat ke sekeliling. Hanya ada dia, aku dan Janus. Sisanya sudah entah kemana. Cepat sekali mereka pergi. Motor dan sepeda yang diparkir di luar tadi sekarang sudah raib semua. Mata Kyou-Kun nanar memandang ke got, mencoba menahan reaksi berputar di perutnya.

"Let me check him, sebenta' " ucap Janus dalam bahasa bercampur. Aku mengangguk. Janus berusaha memakai bahasa Jepangnya untuk berkomunikasi dengan Kyou-Kun.

"Let's bring him home, shall we?" ajaknya ke diriku.
"Where is it?"
"Mitaka"
"It is near?"
"No, far, that's why I Need your help" ajak Janus, dia menyerahkan tas Bass nya ke diriku. Sementara dia berusaha memapah Kyou-Kun, berjalan ke arah stasiun kereta.

------------------------------------------

800-mi10.jpg

"Is this your home?" Janus menunjuk sebuah cafe kecil yang asri di Mitaka. Besarnya sebesar studio musikku. Suasana di Mitaka sangat lah tenang, bersih, dan sunyi. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa ada disini sekarang. Kyou-Kun yang tampak berusaha sadar mengangguk. Dan ia lalu berjalan lemah dan duduk di depan pintunya, sambil menyalakan rokok.

"Okay then, Let's go home Arya..."
"But... I stay in my friend's apartment in Yokohama...."
"What?"
"Well..."

"Aya! Sleep here... At my cafe.. Tomorrow you can go, morninggu..." ucap Kyou-Kun yang sedang fokus menstabilkan jalan pikirannya.

Shit. Aku menelan ludah. Aku mendadak menelpon Ilham.

"Halo..." suara mengantuk ada di sebrang.
"Eh, gue jadi nganterin orang mabok nih..."
"Ooh.. emang mereka mah kalo minum suka parah... Dimana lo?"
"Katanya sih di Mitaka..."
"Gila, jauh itu.... Udah jam berapa sih sekarang? Pasti udah lewat jam 1 ya? Kereta ama Bis dah abis... Besok aja lo baliknya...." jelas Ilham panjang lebar.

"Kalo Taksi?"
"Bro, Mitaka itu sepi banget, tempat tinggal orang tua, malem-malem gini mana ada taksi keluyuran, kalo lo ada di stasiun kereta sih gampang, tapi jam segini ga ada bis yang bisa bawa lo ke stasiun kan?"
"Mana gue tau!"
"Lo ditawarin nginep gak sama orang yang lo repotin?"
"Iya sih"
"Wah untung tuh, orang Jepang biasanya baru kenal sungkan banget ngajak orang masuk ke rumahnya..."
"Ini bukan rumah sih itungannya"
"Apaan?"
"Cafe..."
"Cafe lagi?"

"Duh, gimana Ham?" aku malah stress sendiri. Janus melihatku dengan muka tak sabar. Sepertinya dia juga ingin segera pulang.
"Yaudah, besok aja ya, gue tidur lagi nih..." keluhnya.

"I guess i stay here...." keluhku ke Janus.
"Okay then..."
"But, Janus, where do you live?"
"Me? Near here, walking distance" senyumnya. Curang! Jadi aku diajak cuma buat ngangkut Bassnya Kyou-Kun? Sialan. Janus lalu mendadak buru-buru melambai dan menghilang perlahan dengan langkah kakinya yang cepat. Oke, ini baru hari ketiga, tapi aku sudah seperti tersesat sekarang. Kyou-Kun sudah selesai merokok. Dia berdiri sempoyongan dan lalu mencari tempat sampah untuk membuang puntungnya. Gila. Mabok-mabok tertib.

"Dozo..." dia membuka pintu Cafe kecil itu dan mempersilahkanku masuk ke dalam.

Aku masuk dalam kegelapan, dan kaget saat lampu dinyalakan. Interiornya lucu sekali. Seperti masuk toko Muji atau toko Uniqlo. Mendadak Kyou-Kun hilang. Aku lantas bingung harus duduk atau berdiri dimana, karena semua kursi ditumpuk di pojokan. Masa duduk di meja?

Sekitar 10 menit kemudian dia datang kembali, dan memberiku sleeping bag. "Please... Sleep here... Sorry" katanya sambil membungkukkan badan dalam-dalam. Dia tampaknya tak enak sudah mengganggu malamku. Lalu Kyou-Kun memberiku notes kecil. "This is my namba.. Call for anything... My house next" oh, kalo ada apa-apa telpon, rumahnya di sebelah. Oke deh kalo begitu.

Kyou-Kun mendadak mematikan lampu dan menyalakan lampu yang temaram. Untuk membantuku tidur. "Jya, Oyasumi..." dia lalu meninggalkanku dan menutup serta mengunci pintu dari luar. Oke. Aku terjebak disini, di cafe, di sebuah kota kecil nan sunyi nan tenang bernama Mitaka di pinggiran Tokyo. Akhirnya akupun menggelar Sleeping Bag itu. Dan masuk kedalamnya setelah membuka jaket kulitku. Untung Kyou-Kun sempat menyalakan AC untuk menghangatkan badanku. Aku berbaring dengan bodohnya, menjadikan tasku sebagai bantal. Aku melihat dan memeriksa handphone. Banyak pesan masuk.

Pesan antusias dari Ai dan Kanaya, pesan penuh iri dari teman-teman bermusikku. Dan pesan pribadi dari Stefan. Sialan. Foto alat kelamin lelaki orang kulit hitam. Dasar cacat.

Pesan baru dari Kanaya masuk.
"Asik, sukses dong..."
"Sukses, tapi gue sekarang terdampar karena nganterin orang mabok...."
"Haha, karma kali, gak pernah mau nganterin Stefan mabok balik..."
"Bener juga lu..."
"Sekarang dimana? Yokohama juga?"
"Mitaka..."
"Dimana tuh?"
"Gak tau.... Gue iya-iya aja lagi pas diajak ama bule yang gw ceritain tadi buat nganterin Bassist yang mabok ini balik..."

"Yang sabar yak" Kanaya lalu mengirimkan foto. Di pub ternyata. Dia dan Stefan membuat muka duck face. Aku tertawa dalam hati melihatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba tidur.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

"Anjir!" aku terbangun. Sudah pagi. Jam 8 pagi. Aku terbangun karena ada kucing gemuk nan judes berwarna hitam putih duduk di atas perutku. Mukanya cuek. Aku berusaha memindahkannya namun dia tetap berusaha bertahan juga. Gila, gendut banget kucing ini. Masuk dari mana? Apa sudah ada dari semalam?
Aku lebih kaget lagi saat pintu terbuka.

Seorang perempuan yang tampaknya berusia 30 tahunan awal atau 20 tahunan akhir masuk sambil membawa sapu. Dia kaget saat mata kami bertatapan.
"Dare??" dia memposisikan dirinya seperti akan memukulku menggunakan sapu. Si Kucing pun lari keluar dan meninggalkan kami berdua.

"Ah.. Aya... You wake up" Mendadak Kyou-Kun nongol di pintu.
"This is my sister... Kyoko..."

nlw_Wa3q15GMYKZu9fnCozTmbjRptTteJ5WqKyIK4zx9SmSANr67Wh1EnfLxcRkW99G0zKe9PNgx5-90-bPdSn-veyB7AXY_dXYJ=s0-d-e1-ft

copy_o10.jpg

Dia lalu berbicara dalam bahasa Jepang yang tidak kumengerti, ada kata-kata blue note dan Indonesia di dalam kalimatnya, pasti dia menceritakan kejadian semalam dengan panjang lebar. Mendadak Kyoko menggeleng dan menurunkan kewaspadaannya. Dia tersenyum manis kepadaku dan menunduk kepadaku. Aku yang masih kaget lantas balas menunduk sambil masih melongo tak tentu arah.

------------------------------------------

Aku duduk manis di cafe yang belum dibuka itu. Kyou-Kun, yang akhirnya aku tahu nama aslinya adalah Kyoshiro Kaede dan adiknya, Kyoko sedang bersiap-siap. Dari tadi mereka menerima beberapa tamu yang mengirim susu, mengirim roti dan beberapa perlengkapan lagi. Aku meminum kopi buatan Kyou-Kun, kopi paling nikmat sejagat yang pernah kurasakan. Memang orang Jepang sangat aktif meminum kopi. Luar biasa rasanya. Sarapan pagi berupa beberapa potong sosis, kentang dan telur sudah kulahap habis. Tak enak rasanya merepotkan sepasang adik kakak ini pagi-pagi.

Bisa kulihat kadang mereka berantem lucu, mengingatkanku pada Ai. Cafe mereka buka dari jam 11 sampai jam 2 siang. Lalu buka lagi dari jam 5 sore sampai jam 9 malam. Selain menjadi musisi, tampaknya ia juga pembuat kopi yang hebat. Dan sekarang aku bingung bagaimana harus bersikap. Membantu tak mungkin, aku akan merusak ritme mereka. Pergi begitu saja, tampaknya tidak sopan.

Mendadak Kyou-Kun menghampiriku dan mulai membakar rokok. Orang Jepang lebih toleran dengan rokok jika dibandingkan dengan negara maju lainnya. Di cafe-cafe sangat umum orang merokok. Dia menyesap kopi bikinannya sendiri.
"Sorry to bother you last nait" senyumnya.
"It's okay..." senyumku.
"You want to play again tonight?" tanyanya sambil senyum.
"Wow? Where?"

"Jam Sesyon again. Half tone, Tachikawa, 30 minit from here, train"
"A moment please"

"Ham" tak ada jawaban. Mungkin sedang di kampus. "Eh.. but i have to change clothes, at my friend house, Yokohama..." jawabku.
"No worry. You can go back now. At night meet at Tachikawa"
"Mm... Okay." Yang penting aku sudah punya nomernya Kyou-Kun.

------------------------------------------

image10.jpg

"Lagi?" aku habis mandi dan Ilham sudah pulang dari kampus. Pukul 2 siang.
"Iya men..."
"Gile hahaha, gue gak kuat, gapapa ga nemenin ya?"
"Santai..."

"Tachikawa juga jauh gila hahaha..." tawanya.
"Yah gimana, dari Mitaka ke mari satu setengah jam, mana gue bingung lagi tadi naek keretanya. Untung orang di stasiun bisa Bahasa Linggis"
"Yowes, sori gak bisa nemenin, Tachikawa itu satu setengah jam juga dari sini. Kalo dari Mitaka enak cuma setengah jam hahaha.... Tapi lo wajib deh ke Mitaka pas siang, adem suasana disana, apalagi di tamannya, ada kebon binatang kecil ama Museum ghibli.."
"Oh museum studio anime itu ya?"
"Iya" Ilham mengkonfirmasi.

"Dan mendadak lo jadi musisi aktif gitu disini hahahaha...." canda Ilham.
"Dan gue jadi lupa kalo gue gitaris rock"
"Ntar lo bawa baju ama perlengkapan mandi aja, siapa tau harus nemenin orang mabok lagi" senyumnya.

"Beres" aku lantas duduk dan memakan bento yang kubeli di minimarket. Lapar sekali rasanya. Berjalan kaki ke segala tempat membuat kakiku jadi sakit dan perutku jadi lapar. Lapar luar biasa. Kakiku merah dan badanku pun juga pegal. Bisa jadi fit dan kurus aku disini sepertinya.

Mendadak ada pesan dari nomer yang tak kukenal. Bukan nomer Jepang. Nomer Indonesia.
"Siang Mas Arya"
"Siang..."
"Mas sedang di Jepang?"
"Betul"
"Saya dari majalah urbanEars... bisa minta waktunya sebentar?"
"Boleh"

Lantas ada perkenalan dari si orang majalah itu. Katanya ia tertarik untuk meliput perjalananku disana, tapi dengan semua foto dan berita datang dari aku. Kok jadi repot begini ya? Informasi dari siapa pula, kok dia bisa-bisanya tahu soal istilah safari musikku. Aku bilang, sesempatnya ya, nanti foto bisa ambil dari Instagram. Dan ucapan terimakasih pun dia sampaikan.

Duh repot... sebisanya deh.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

Hari keempat itu, aku sudah berada di Stasiun Tachikawa yang bersatu dengan sebuah pusat perbelanjaan. Jaket kulitku membantuku menahan dingin. Sudah gelap, pukul enam sore. Maklum musim dingin. Aku sengaja datang lebih awal karena tidak ingin telat. Kyou-Kun akan datang pukul 7 malam. Acara dimulai jam 8. Memang tidak enak menunggu, tapi aku belum hapal jadwal kereta dan berapa lama waktu yang dibutuhkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi tak apa. Aku memperhatikan mereka lalu lalang dengan ramainya, sepulang kerja.

ym-p08kjB95kgiJeOl_7UqivKnfi5VeE4hagKrKz62KyudtIFVHBmp7W2ilLgPYMbEamqoUlLDhXrBVfqpg59Mx5o3twXpImmvwc=s0-d-e1-ft

tachik10.jpg

Aku menggosok tanganku yang berupaya menghangatkan dirinya dalam sarung tanganku. Akhirnya aku mengeluarkan handphoneku, dan mencari toko musik terdekat di Tachikawa. Oh ternyata ada, Ishibashi, dekat, cuma 500 meter. Oke, jalan lagi.

Tak berapa lama, lima menit kemudian aku sudah masuk ke toko musik itu dan disapa oleh yang menjaga. Aku tersenyum saja. Hmm.. Tidak ada yang menarik. Gitar-gitarnya kebanyakan solid body Ibanez dan Fender Jepang. Aku berjalan lagi dengan pelan ke display efek dan ampli. Hmm.. Aku hanya pakai efek kalau bermain bersama Hantaman. Eh tapi apa itu. Wah lucu. Amplifier Vox kecil. AC30, bisa dipasang ke headphone juga. Hah, harganya cuma 3700 Yen? 400 ribu rupiah saja. Menarik. Tanpa pikir panjang aku membawanya ke kasir dan membelinya tanpa mencobanya. Aku lantas kembali ke tempat aku menunggu tadi. Lantas mengeluarkan gitarku dan mencolokkannya ke Ampli Kecil itu. Tak lupa memasang headphone dan mendengarkannya. Lumayan.

Aku lantas bermain gitar seadanya dan menikmati diriku sendiri.

------------------------------------------

"So Good!" ucap Kyou-Kun saat sesi Jam Session itu selesai. Dia sedang merokok sambil meminum bir. Aku tersenyum saja, tanpa tahu apa yang ia maksud so good itu, tapi overall aku puas sekali malam ini. Aku masih berkutat dengan gitarku, memainkan nada-nada yang tadi kutemukan saat aku bermain sendiri di stasiun Tachikawa.

Nada-nada itu serasa menghantui. Seperti merangkum perasaanku ketika disini.

"What are you playing?" tanya Kyou-Kun.
"Ah Nothing.."
"No no..... i want to hear" Dia penasaran. "Ok?" dia mengkonfirmasi lagi. Dasar. Sepertinya dia aslinya bukan orang Jepang. Aku lagi-lagi menyerah padanya. Aku memberinya headphoneku. Dan ketika ia sudah siap, aku memainkan nada-nada yang dari tadi menempel di kepalaku. Kyou-Kun bergumam. Mendengarkan dengan seksama.

"Naisu..." dia menggumamkan nada Bass. "You have to make this to a song" matanya berbinar. Aku merengut. Masa?

------------------------------------------

image10.jpg

Aku memandang langit-langit apartemen Ilham, ditemani suara ngorok Ilham yang seperti bersenandung. Besok aku mau rehat sebentar. Hari ke lima akan kupakai untuk jalan-jalan sendiri di seputaran Tokyo, terutama Ueno Park, mungkin melihat kebun binatang atau apa. Tapi masa sendiri? Aku akhirnya mencoba memberi pesan ke Kyou-Kun.

“Are you free tomorrow?” tanyaku.
“Hi Aya. Free morning, please come to Mitaka. Talk about music”

Aku tersenyum. Hancur sekali bahasa Inggrisnya. Intinya ia mengundangku ke Mitaka pagi-pagi, mungkin aku akan mengobrol dengan dia pagi-pagi dan menikmati makan siang di cafenya, lalu mencoba berjalan-jalan sendiri. Aku tak sabar menjalani sebulan yang penuh excitement ini.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

latte_10.jpg

Aku duduk di café itu. Sambil melahap nasi kari khas Jepang, yang ternyata rasanya disini lebih halus dan enak kalau dibandingkan dengan yang dijual di Indonesia. Aku memperhatikan Kyou-Kun dan Kyoko yang sedang sibuk melayani tamu, sambil mengobrol ringan dalam bahasa Jepang yang tak kumengerti. Pengunjung café kebanyakan adalah orang-orang tua dari lingkungan sekitar, yang selalu brunch atau lunch disana. Ketika sore pun, mereka datang dan mengobrol dengan orang-orang yang tinggal di sekitaran situ.

Pagi ini aku sudah berdiskusi dengan Kyou-Kun sebelum café buka. Hasil coret-coretan partitur laguku sudah tersimpan dengan rapi di tasku. Masukan dari Kyou-Kun sangat berharga. Untung aku menanyakan kegiatannya hari ini dan tidak terlambat menanyakannya. Karena siang sehabis Café tutup dia akan pergi untuk suatu sesi rekaman di ujung Tokyo yang lain. Dan sepertinya dia tidak mengajakku, jadi baiklah, aku sehabis makan siang akan coba berjalan-jalan sendiri.

“Ah! Shimatta!” mendadak Kyou-Kun mengeluh di balik counter. Ia lantas mencabut sesuatu dari colokan listrik dan tampak menelan ludah. Aku meneliti, tapi takut menghampiri, takut mengganggu kerepotan yang terjadi. Para pengunjung yang rata-rata aki-aki dan nini-nini itu ikut kaget, ada beberapa yang tampaknya sudah sangat akrab dengan mereka, mendekati dan bertanya-tanya.

------------------------------------------

Hari kelima. Aku menyesap kopi kalengan yang tadi dibeli di minimarket. Kyoko duduk di sebelahku, di kursi taman, meminum minuman yang sama. Kami berdiam berdua. Tanpa suara. Canggung.

Ide tolol.

Dan aku setuju.

Mesin kopi café mereka rusak. Kepanikan melanda. Kyou-Kun menelpon teknisi. Dan akhirnya mesin kopi itu diangkut. Pelanggan mengeluh. Memang jualan utamanya adalah kopi. Tanpa itu tak ada gunanya buka, kata Kyou-Kun. Mesin dapat dibetulkan selama 2-3 hari. Atau lebih. Dan dalam kondisi itu, terpaksa mereka tutup, dan merubah jam buka menjadi pagi. Menyediakan sarapan saja. Tanpa kopi. Entah akan laku atau tidak.

Mesin kopi sudah diangkut. Café terpaksa tutup, Kyou-Kun ada janji untuk rekaman siang ke malam. Dan dia mendadak berseru sebelum berangkat tadi. "Kyoko, please take Aya for a walk, Inokashira or something" Kyou-Kun menyeringai saat ia menyuruh Kyoko menemaniku tadi. Dan Kyoko protes dalam bahasa Jepang yang tak kumengerti. Tapi Kyou-Kun memohon, juga dalam bahasa Jepang yang sama sekali aku tidak mengerti. Akhirnya Kyoko menyerah.

oiac2bHZF9IvgmXD7uk14JL7eDbOetIJD34eb1kaiqNE2iMH_UTHm__8AOIAfL-uBOCQ60XZP53QZTRnYKAcwehcu-5stG-QH7cD=s0-d-e1-ft

ike10.jpg

Dan kami berdua ada disini sekarang. Diam. Aku memeluk gitarku dalam diam. Kyoko diam juga disebelahku. Entah apa yang ia pikirkan, dia hanya menatap ke kaleng kopi di tangannya sambil berlindung dibalik mantelnya. Mendadak mata kami bertemu. Dan dia hanya tersenyum kecil lalu membuang mukanya.

So. Fucking. Awkward.

"Where you want to go?" mendadak ia bertanya dengan grammar yang hancur pula.
"I don't know"
"Mmm... The Zoo? It's near" tunjuknya ke sudut lain di taman itu.

Aku mengangguk dengan terpaksa dan tersenyum padanya.

------------------------------------------

BERSAMBUNG

Ternyata begini cerita ketemu Kyoko
 
Grammar ga penting. Yg penting ngerti apa yg diomongin :D
The next marathon. Sabar aja suhu. Jgn keburu buru updatenya :)
 
oh gitu, kenapa universe ini di re-write semua.
ganti karakter aja kan? gak ngilangin scene..?

lets go marathon, Race..
:beer:
 
saya akan minta hal yang sama seperti MDT season 1 yang lama.....

foto kucing gemuknya kyoko hahaha
 
Gua gak ngerti sama sekali b.ingg

Jadi ya skip" aja pas b.ingg
Hahahaha
 
Bimabet
MDT SEASON 1 - PART 13

------------------------------------------

Aku dan Kyoko berjalan bersama dengan canggungnya di dalam Inokashira Park Zoo. Kebun binatang kecil, yang berisi binatang-binatang kecil seperti Tupai dan Rakun. Menarik juga. Aku banyak mengambil foto untuk kenang-kenangan dan bersombong ria di grup Hantaman. Tak sengaja wajah Kyoko yang sedang gemas melihat hamster yang berkumpul di kandangnya ikut terfoto. Aku memperhatikannya dengan tidak sengaja. Menarik. Aku jadi teringat hubungan ku yang sangat dekat dengan Ai. Hubungannya dengan Kyou-Kun juga begitu dekat.

inokas10.jpg

Cantik. Rambut pendeknya yang acak-acakan dan dandanan ala musim dinginnya yang sederhana. Mukanya terlihat menahan gemas. Aku tersenyum dan memperhatikannya dari layar handphone. Garis mukanya yang indah dan matanya yang besar, serta senyum dan ekspresi gemasnya yang juga tak kalah menggemaskannya benar-benar mengalihkan perhatianku mendadak.

Mendadak ia berpaling dan melihatku. Dia kaget, lalu mundur, menyangka ia menghalangi kameraku. Senyum canggungnya yang manis menghiasi wajahnya. Aku balas tersenyum dan mematikan handphoneku.

"Ah... Sowwy..." maafnya.
"It's okay" senyumku.

Aku dan dirinya kembali berkeliling dengan bodoh dan canggungnya. Melihat-lihat binatang-binatang dengan tololnya. Kami berdua terhambat dan menatap Hanako. Gajah yang seumur hidup ada disana, salah satu penghuni Inokashira Park Zoo.

hanako10.jpg

"What's the story behind this? Hanako doesn't seem so happy here..." tanyaku ke Kyoko.
"Ee to... Ano... Ah.. Hanako wa... Been here since beginning.." dari lahir?
"Since it's birth?"
"Yes.. And aaa... People want to move hanako to good place... ee too... but haven't been.." Astagfirullah. Apa maksudnya ya?

"You mean... People are sorry for Hanako's condition, and want to move her to a better place?"
"Aaa.. Yes. Yes" Angguknya canggung.

Oke, jadi Hanako si gajah, udah dari lahir ada di tempat ini, dan karena orang-orang kasian, mereka pengen mindahin Hanako ke tempat yang lebih luas. Tapi belum. Oke. Ngarti. Susah tapi haha. Sip. Aku berkeliling kembali, dan Kyoko mengikutiku dengan canggung. Banyak anak-anak kecil berlarian antara kaki kami, dan Kyoko tampaknya susah menahan gemasnya melihat anak-anak lucu itu. Aku tersenyum. Lucu sekali anak Jepang. Jadi ingin culik satu untuk Mamaku.

------------------------------------------

"This is curry place" tunjuk Kyoko di pusat kota Mitaka. Sebuah restoran Kari Jepang yang tampaknya sangat enak, bisa tercium baunya. Tadi kami menghabiskan siang dan sore di Inokashira Park Zoo, melihat binatang-binatang kecil juga melihat banyak patung-patung berserakan disana, di Zoo Sculpture Park. Menarik. Coba Jakarta sudah diurus dengan baik dari dulu. Mudah-mudahan kedepannya Indonesia lebih ramah dengan manusianya, seperti yang kurasakan sekarang di Jepang. Masih teringat tadi sewaktu kami menaiki bis. Aku berdiri agak dekat dengannya, dan aroma tubuhnya tercium dengan jelas di hidungku. Bau wanginya dan bercampur sedikit dengan keringatnya entah kenapa mengingatkanku pada rumah. Perasaan nyaman yang seperti ada di rumah. Dan karena perjalanan kami siang dan sore tadi, Kyoko sudah bisa agak santai di depanku, namun masih canggung.

Kami berdua memasuki tempat Kari Jepang itu dengan bergiliran. Kyoko duluan.

"Aaaa.. Kyoko-chan!" teriak seorang nenek-nenek yang sedang membereskan kari di counter. Aku menunduk pada nya dan ia juga balas menunduk. "Koibito ka?" tanya nenek itu jahil. "Aaa nani? Chigaimasuyooo..." muka Kyoko tampak malu.

Koibito? kayak hapal kata itu. Aku duduk di counter, menunggu Kyoko berbasa basi dengan nenek itu dan duduk di sebelahku. Nenek itu lantas berbicara dengan bahasa Jepang kepadaku sambil menyodorkan menu. Aku kewalahan. Untung ada Kyoko yang membantuku memesan disana. Dan untung ada gambarnya di menu, jadi aku bisa langsung tunjuk mana yang ingin kumakan.

Kami berdua menunggu dalam hening. Beberapa kali mataku bertemu dengan matanya dan berbalas senyuman.

Aku beralih ke handphoneku. Anin.
"Nin"
"Apa'an?"
"Anu, koibito tu artinya apa sih"
"Pacar"
"Ooo"
"Kenapa?" Tanya Anin.
"Gapapa"
"Yowes"

Aku lantas mencoba bicara dengan Kyoko. "She tought we're couple, right?"
"Ee? Nanika?" balasnya.
"Aa... I mean.. She thought.. Me.. You.. Boyfriend" jelasku dalam bahasa tarzan.
"Ah! Yes.. hahaha" dia tertawa dengan malu dan menutup mulutnya dengan punggung tangannya. Imut sekali.
"We're not, right?" tanyaku sambil tersenyum.
"Yes, we're not" senyumnya sambil tersipu dan meminum minuman hangat yang disediakan.

Tak berapa lama, makanan datang dan kami mulai makan dalam diam. Diam yang agak terlalu lama, sehingga kuputuskan untuk terus berbicara, mencairkan ketegangan.

"Ah, sorry, are you and your brother are living with your parents?" celetukku.
"Ah.. My parents, died, years ago" jawabnya.
"Damn... Sorry .. I didn't mean to bring up bad memories" senyumku.
"It's okay" senyumnya.

"So, Kyou-Kun, he's a good brother right?"
"Of cos! He's so kind. And also good musician"
"Yes I heard him playing"
"E? Nani?"
"Ah… I see him. Play bass. Live"
"Ahh.. So good?"
"Very good" senyumku. Kyoko pun ikut tersenyum. Tak terasa obrolan ringan ini membuat kami menghabiskan makanan dengan cepat. Selesai makan, kami akan membayar ke kasir.

Kyoko tampak kerepotan mengeluarkan dompetnya. Aku berinisiatif mengambil uang dalam pecahan besar, dan menunjuk kami berdua sambil senyum ke nenek tersebut. Nenek tersebut mengerti isyaratku. Dia langsung mengangguk dan memproses uang bayaranku. Kyoko kaget. Mukanya tampak tidak enak.

Sehabis membayar, aku berjalan keluar dan meregangkan tubuhku.
"Aya" tegur Kyoko. "This is my money" dia mencoba menggantikan uangku tadi.
"Oh no, nevermind" senyumku.
"Ah no, please! " dia agak memaksa memberikannya.
"Kyoko, it's allright"

Dia akhirnya menyerah dengan muka yang canggung. Mendadak ia menyentuh bahuku, sambil berseru. "next, I pay!" Aku mengangguk tanda setuju.

------------------------------------------

800-mi10.jpg

Malam itu kami berdua kembali lagi ke cafe Kyoko dan Kyou-Kun. Belum ada tanda-tanda Kyou-Kun pulang. Aku duduk di dalam cafe, bermaksud istirahat sebentar sebelum pulang ke Yokohama. Mendadak teh hangat tersaji di depanku. Dengan irisan lemon. Kyoko tersenyum ke arahku, dan di depannya juga sudah tersaji minuman yang sama.

"Please" senyumnya manis sekali. Sialan. Aku jadi canggung dalam kondisi seperti ini.
"Okay... " jawabku sambil merasakan hangatnya teh yang ia tawarkan.

"By the way, It's not snowing.." aku bermaksud menanyakan cuaca.
"Ah.. Ano... Snow, not now. In february or march" senyumnya dengan bahasa Inggris yang masih super amburadul. Andaikan ia sepede Kyou-Kun dalam berbahasa asing, mungkin komunikasi kami lebih lancar.

"After this tea, i'll go home"
"Okay.. Not waiting Kyou Kun?"
"Nope" jawabku ringan.

------------------------------------------

image10.jpg

"Sapa tuh cewek!" seru Stefan dalam grup whatsapp Hantaman, mengomentari fotoku tadi siang. Aku sedang meregangkan kaki, sementara Ilham sedang duduk di kursi sambil memangku laptop, tampak mengedit sesuatu.

"Temen" jawabku.
"Cepet amat dapet temen baru, memek Jepang enak gak?" tanya Stefan.
"Helloh... Ini adeknya musisi disini... Kagak gue apa-apain"
"Desahannya gimana Ya?"
"Tetep lu ye..."
"Jajah balik dong, perkosa, dulu kan mereka pas jaman perang merkosa orang kita"
"Mas Epan, eling woi" seruku.
"Terus Kanaya gimana?" Anin mendadak nimbrung.
"Bang, Ai cantik banget ya... Kalo abis pulang kantor, Ya Allah, berasa ingin bawa ke penghulu..." mendadak Sena nimbrung juga.

"Kampret lu pada" seruku sambil menahan tawa.
"Ai dah putus ya?" tanya Stefan.
"Gak tau, tau dari mana lu" tanyaku malas menanggapi.
"Dari Ai"
"Kontol" jawabku.
"Kok marah Ya? UDAH JELAS INI PASTI INCEST" ledek Stefan.

Aku menaruh handphoneku dan menyambungkannya ke charger. Rasa capai menghantui diriku. Aku berbaring di atas futon, mencoba untuk tidur, dan membayangkan hari esok. Kyoko bilang selama mesin kopi diperbaiki, dia dan Kyou-Kun hanya akan buka pagi, untuk merubah menu siang mereka menjadi sarapan. Jadi aku akan kesana lagi pagi, bicara lagi soal lagu yang sedang kubuat ini dengan Kyou-Kun dan mungkin mengajak Kyoko jalan siang lagi. Mudah-mudahan dia mau.

------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------

latte_10.jpg

Kyou-Kun dan aku berdiskusi dengan sengit, sementara air putih dan kentang goreng di atas meja tak kami sentuh sama sekali. Asap rokok mengepul dari mulutnya. Kami berbeda pendapat di beberapa bagian lagu. Ada beberapa nada yang kurasa tidak pas sebagai fill in dari piano saat solo gitar dimulai. Aku tidak ingin seramai itu. Tapi kata Kyou-Kun, lebih festive. Memang benar, cuma bukan seleraku. Dan beberapa coretan lagi terjadi di atas partitur.

Akhirnya disepakati pendapatkulah yang diikuti. Karena tidak lain tidak bukan, karena memang itu adalah albumku. So far penulisannya lancar, dan semua seperti berjalan dengan baik. Semua berjalan dengan semestinya. Single. Sudah lama aku ingin membuat lagu atau membuat album, tapi karena kesibukanku mengoperasikan studio ku, mimpi itu jadi terbengkalai. Dan baru seminggu di Jepang, mendadak mimpi itu jadi nyata.
Kyoko sedang berusaha melayani beberapa pelanggan, yang tentu saja tak sebanyak biasanya. Karena tidak ada kopi. Dan karena buka pagi, tidak siang dan sore seperti biasa.

Mataku lantas bertemu dengan mata Kyoko. Aku tersenyum padanya. Ia membuang muka sambil tersipu, lantas tersenyum malu sendiri. Kyou-Kun menangkap gerakan kami berdua. "Well... What happened yesterday?" seringainya.
"Nothing"
"Sure?"
"Nothing"
"Ah.. Masaka... Sure?" tanyanya Jahil.

"Niisan.. " seru Kyoko mendadak, sambil membawa telepon wireless. Kyou-Kun menerimanya, dan berbicara dengan seru dalam bahasa Jepang. Aku menebak-nebak apa artinya. Setelah selesai telpon dia berseru padaku. "Ah... repair expensive..." Ooops.. Mesin kopinya sepertinya memakan banyak korban kapital. Sayang sekali.

------------------------------------------

Sudah ditentukan. Senin aku akan mulai rekaman. Kyou-Kun sudah membuat janji di studio temannya. Mungkin aku harus mengurungkan membeli gitar tambahan karena proses rekaman ini, yang tentunya membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Tapi tak apa. Kyou-Kun dan aku sementara ingin menghubungi Janus Aartsen kembali. Untuk drummernya sudah ada Yoichi. Dia sepertinya bisa diandalkan. Senang juga, Kyou-Kun sangat bersemangat pada single pertamaku. Single Jazz pertamaku. Oleh-oleh ultimate dari diriku ke teman-temanku.

Kini, sebelum jam makan siang, aku sedang berdesak-desakan di kereta. Menuju Harajuku. Mencari oleh-oleh buat Kanaya. Ditemani tak lain oleh... Kyoko. Aku sengaja mengajaknya. Walaupun kemarin canggung, tapi entah kenapa rasanya melegakan. Dia kaget saat aku mengajaknya lagi, tapi dia setuju. Lagipula dia tidak ada kerjaan, selain menunggu mesin kopi beres.

Badan Kyoko tak sengaja menempel lagi di diriku, di tengah sesaknya manusia di Kereta menuju pusat kota. Kami saling membuang muka. Rasanya masih awkward, apalagi dia tadi benar-benar terlihat kaget ekspresinya saat aku mengajaknya menemaniku. Hari keenam yang aneh. Apalagi sekarang hari sabtu. Rasanya lucu melihat di sekitar kami ada beberapa pasangan lain, yang benar-benar pasangan yang tampaknya berpacaran, saling menggandeng dan saling bercanda, berbicara berbisik seakan dunia ini milik mereka.
Lama tapi pasti, kami berdua turun di stasiun Harajuku. Oh Well. Aku menatap ke Takeshita Dori, pusat fashion dan pusat budaya pop khas Harajuku. Ramai sekali. Di sekitar jalan itulah terdapat beberapa toko sneakers yang sudah ku googling. Harganya pasti mahal-mahal juga. Tapi tampaknya uang yang ditransfer Kanaya cukup. Jadi mungkin transaksinya disini kartu kredit saja. Mudah-mudahan tidak ada trouble. Aku dan Kyoko menyebrang, bersama puluhan orang lainnya, dan ratusan orang sudah siap menyambut kami di Takeshita Dori.

takesh10.jpg

Sama seperti sebelumnya, aku masih canggung berjalan di tengah kerumunan orang Jepang. Mereka begitu tertib, lurus dan berjalan dengan sangat cepat. Tak jarang aku tertinggal oleh Kyoko yang mau tak mau harus memperlambat langkahnya ataupun menungguku bisa menyusulnya. Untung dia memakluminya. Aku jadi ingat kalau sedang berada di keramaian Jakarta, apalagi di mall, dimana semua orang berjalan dengan lambat dan berjalan tanpa arah. Kesana kemari, kanan kiri, berbeda sekali dengan suasana disini. Walaupun sama-sama ramai dan lebih penuh sesak. Tapi mereka berjalan seperti sudah jelas tujuannya. Dan kalau mereka harus berhenti, biasanya mereka sudah ambil ancang-ancang beberapa belas langkah agar tidak menubruk atau mengganggu orang di sekitarnya. Gila. Begitu rapih dan aku seperti tenggelam dalam arus kerapihan dan kesempurnaan ini.

Banyak juga orang asing disini. Dan merekalah yang biasanya membuat jalan agak macet, terutama turis bule, yang kalau kita curi dengar suaranya, logat dan aksen khas Amerika lah yang terdengar. Atau yang lebih parah lagi? Turis dari Cina daratan. Khas dengan suara mereka yang keras seperti pakai TOA, dan mereka berjalan dengan lambat dan ngawur. Inilah yang kadang menyebabkan mereka tertubruk oleh para pengunjung lokal, yang biasanya setelah menubruk, meminta maaf dan langsung berjalan dengan cepat kembali. Buat mereka menubruk atau ditubruk tidak apa-apa, sudah biasa mungkin saat menghadapi lautan manusia yang lebih parah lagi ketika mengejar kereta maupun keluar masuk kereta.

"Aduh"

Aku sedikit tertahan dan jatuh terduduk. Tidak sadar, karena terlalu memperhatikan kanan kiriku yang penuh dengan toko fashion yang berwarna warni, aku menubruk turis asing lain yang jalannya berlainan arah denganku. Tubrukan yang agak keras, karena dia jalan agak cepat dan grasa-grusu.

"Sorry man" sahut turis itu, pria berkulit hitam yang tinggi besar, menggandeng pasangannya yang super seksi, seorang perempuan kaukasian. Gaya mereka seperti mereka sedang syuting video klip hip hop khas MTV. Mereka berdua langsung berjalan tanpa henti, tak memperdulikan diriku yang jatuh terduduk dengan konyolnya. Tidak sakit, tapi lumayan bikin malu.

"Aya.. You OK?" Kyoko terpaksa berhenti dan berjalan menghampiriku. Dia mengulurkan tangannya, membantuku berdiri.
"It's Allright, senyumku. Wow. Tangannya lembut sekali. Aku menggenggamnya dan langsung berusaha berdiri dengan menatap matanya yang terlihat khawatir. Tanpa sadar ketika sudah berdiripun aku masih menggenggam tangannya.

Kami bertatapan di tengah keramaian orang lalu lalang.

Mendadak dia menarik tangannya dan tersenyum aneh. Fuck. Aku tidak sadar telah menggenggam tangannya seperti ingin menggandengnya tadi. Aku meringis dan memperhatikan mukanya yang tampak malu. Aku berusaha membuang muka tapi mataku terus fokus di dirinya. WTF man. Apa-apaan sih.

"Emm... Let's go" ajakku berjalan entah kemana. Untung mendadak di depanku ada sebuah tempat yang tampaknya toko sneakers. Aku menunjuk toko itu, dan Kyoko mengangguk dengan awkwardnya. Dan kami pun memasuki toko tersebut.


------------------------------------------

Aku duduk, memperhatikan sekitar, dalam ketenangan hutan kota di Meiji Jingu. Kuil yang dibangun untuk menghormati Kaisar Meiji. Ya, penggagas Restorasi Meiji yang sering didengar di manga dan anime Samurai X. Kuilnya terletak di belakang Stasiun Harajuku, tepat di sebrang pintu masuk Takeshita Dori. Kompleks yang sangat luas, dan sangat tenang, berbanding terbalik dengan keramaian Takeshita Dori yang ada tepat di sebrangnya.

3002_010.jpg

Inilah Jepang. Negara dengan segala kemajuan dan modernitasnya, dengan semua upaya mereka untuk menjadi salah satu Adidaya Dunia, tapi tetap, tidak pernah melupakan budaya dan asal-usul mereka. Betapa mereka sangat mencintai adat dan sejarahnya.

Aku memperhatikan Kyoko yang sedang berdoa dari jauh. Orang Jepang biasanya tidak mengasosiasikan diri dalam suatu agama, seperti Budha, Kristen, atau yang lainnya. Ada, tapi hanya minoritas. Mereka lebih mempraktekkan dasar-dasar spiritualisme yang berbalut budaya dan kebiasaan yang turun temurun. Lebih cocok disebut sebagai spiritualisme daripada Agama resmi yang mengikat. Mereka unik. Mereka bisa saja ke kuil buddha untuk pemberkatan, menikah di gereja, merayakan natal, upacara shinto, tanpa harus merasa risih walaupun semua ritual dan prosesi itu berasal dari agama yang berbeda-beda.

Dan sebentar lagi natal. Uniknya natal disini tidak libur seperti di Indonesia. Mereka tetap kerja, tetap ke kantor, walaupun pada malam natal mereka berpesta dan melakukan ritual-ritual seperti tukar kado dan makan bersama. Seperti malam natalnya orang bule. Buat mereka, Natal adalah budaya yang sangat mereka sukai. Entah mengapa.

Kotak sneakers oleh-oleh untuk Kanaya kugenggam. Aku memperhatikan Kyoko yang menghampiriku, dan kemudian duduk di sebelahku.
"I pray for you" bisiknya malu.
"What for?" tanyaku ramah.
"Your song. Hope it awesome!"

Amin. Perjalanan untuk menjadi sebuah lagu yang lengkap masih panjang. Masih ada proses Rekaman, Mixing, Mastering dan lain-lainnya yang menanti.

------------------------------------------

BERSAMBUNG
 
Terakhir diubah:
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd