------------------------------------------
Ya ampun... Pedasnya. Aku meringis saat sake itu perlahan masuk ke tenggorokanku. Aku lantas tersenyum dengan muka menahan meringis ke arah Kyou-Kun. Dia tersenyum lagi dan menunjuk ke arah panggung. Seorang saksofonis perempuan sedang meliuk-liuk dengan nadanya diatas panggung.
"Very Good!" teriaknya ke telingaku. "Drink more!"
"Sorry, I can't, my stomach... Couldn't handle liquor.." teriakku beralasan ke telinganya, berusaha mengalahkan suara musik di panggung.
Dia tampaknya mengerti dan mengangguk dengan ramahnya. Untunglah. Bebas. Tapi semua minuman di mejaku malah dihabiskan Kyou-Kun dengan nyamannya. Dia tidak timid dan terlalu sopan seperti beberapa orang Jepang yang kutemui dari kemarin. Tidak pemalu juga. Memang entertainer sejati sepertinya.
------------------------------------------
Puas. Jam 12 malam. Cafe sudah akan tutup. Aku berhasil berpartisipasi dalam 3 buah lagu. Aku berhasil menghibur venue pertamaku. Aku menutup sesi ini dengan beberapa selfie dengan mereka semua. Setelahnya aku sibuk mengobrol dengan Janus, yang ternyata pernah beberapa kali ke Indonesia, dan pernah menetap di Jakarta selama tiga tahun, waktu tahun 80an. Janus dulu bekerja di sebuah perusahaan multinasional, dan dia ditugaskan untuk bekerja di Indonesia. Untuk menyalurkan hobi musiknya, ia juga mengajar piano privat ke beberapa orang. Hal itu berlanjut, sampai ia dipanggil kembali ke Belanda.
Setelah bercerai dengan istri pertamanya, ia menjalin hubungan dengan perempuan Jepang yang sedang bekerja di Belanda juga. Ketika istri keduanya ini ingin kembali pulang dan bekerja di Jepang, Janus setuju untuk ikut, dan resign. Sejak saat itu, ia bekerja sebagai guru piano di Jepang setelah gagal untuk tembus kerja di beberapa perusahaan yang ia apply. Sebuah kisah yang hebat. Dan sekarang ia bahagia, meskipun dia "hanya" sebagai guru piano. Umurnya hampir 50, dan ia baru saja menikah 2 tahun yang lalu dengan perempuan Jepang itu. Jadi wajar kalau bahasa Jepangnya juga masih terbata-bata, walaupun lancarnya selancar Ilham, hanya aksennya saja yang terbata-bata.
Gegar budaya juga ia rasakan.
Jika di Eropa, maupun di Indonesia, posisi kerja Istri terlihat "lebih tinggi" daripada suami, masyarakat dan keluarga masih mewajarkan. Tapi di Jepang yang budaya patriarkinya kental sekali, mereka kadang aneh melihat kondisi keluarga Janus, yang dimana Istrinya pegawai kantoran dan Suaminya adalah guru piano.
Tapi dasar bule, suka cuek dan tak peduli. Tampangnya yang teduh dan kondisinya yang sama-sama tidak meminum minuman alkohol sama sepertiku membuat kami cepat nyambung.
Lama larut mengobrol, kami benar-benar harus pulang ke rumah masing-masing. Kecuali aku. Tapi aku melihat pemandangan yang agak familiar. Kyou-Kun tampak sedang berusaha menahan muntah. Tampaknya ia mabuk. Aku melihat ke sekeliling. Hanya ada dia, aku dan Janus. Sisanya sudah entah kemana. Cepat sekali mereka pergi. Motor dan sepeda yang diparkir di luar tadi sekarang sudah raib semua. Mata Kyou-Kun nanar memandang ke got, mencoba menahan reaksi berputar di perutnya.
"Let me check him, sebenta' " ucap Janus dalam bahasa bercampur. Aku mengangguk. Janus berusaha memakai bahasa Jepangnya untuk berkomunikasi dengan Kyou-Kun.
"Let's bring him home, shall we?" ajaknya ke diriku.
"Where is it?"
"Mitaka"
"It is near?"
"No, far, that's why I Need your help" ajak Janus, dia menyerahkan tas Bass nya ke diriku. Sementara dia berusaha memapah Kyou-Kun, berjalan ke arah stasiun kereta.
------------------------------------------
"Is this your home?" Janus menunjuk sebuah cafe kecil yang asri di Mitaka. Besarnya sebesar studio musikku. Suasana di Mitaka sangat lah tenang, bersih, dan sunyi. Aku sendiri bingung kenapa aku bisa ada disini sekarang. Kyou-Kun yang tampak berusaha sadar mengangguk. Dan ia lalu berjalan lemah dan duduk di depan pintunya, sambil menyalakan rokok.
"Okay then, Let's go home Arya..."
"But... I stay in my friend's apartment in Yokohama...."
"What?"
"Well..."
"Aya! Sleep here... At my cafe.. Tomorrow you can go, morninggu..." ucap Kyou-Kun yang sedang fokus menstabilkan jalan pikirannya.
Shit. Aku menelan ludah. Aku mendadak menelpon Ilham.
"Halo..." suara mengantuk ada di sebrang.
"Eh, gue jadi nganterin orang mabok nih..."
"Ooh.. emang mereka mah kalo minum suka parah... Dimana lo?"
"Katanya sih di Mitaka..."
"Gila, jauh itu.... Udah jam berapa sih sekarang? Pasti udah lewat jam 1 ya? Kereta ama Bis dah abis... Besok aja lo baliknya...." jelas Ilham panjang lebar.
"Kalo Taksi?"
"Bro, Mitaka itu sepi banget, tempat tinggal orang tua, malem-malem gini mana ada taksi keluyuran, kalo lo ada di stasiun kereta sih gampang, tapi jam segini ga ada bis yang bisa bawa lo ke stasiun kan?"
"Mana gue tau!"
"Lo ditawarin nginep gak sama orang yang lo repotin?"
"Iya sih"
"Wah untung tuh, orang Jepang biasanya baru kenal sungkan banget ngajak orang masuk ke rumahnya..."
"Ini bukan rumah sih itungannya"
"Apaan?"
"Cafe..."
"Cafe lagi?"
"Duh, gimana Ham?" aku malah stress sendiri. Janus melihatku dengan muka tak sabar. Sepertinya dia juga ingin segera pulang.
"Yaudah, besok aja ya, gue tidur lagi nih..." keluhnya.
"I guess i stay here...." keluhku ke Janus.
"Okay then..."
"But, Janus, where do you live?"
"Me? Near here, walking distance" senyumnya. Curang! Jadi aku diajak cuma buat ngangkut Bassnya Kyou-Kun? Sialan. Janus lalu mendadak buru-buru melambai dan menghilang perlahan dengan langkah kakinya yang cepat. Oke, ini baru hari ketiga, tapi aku sudah seperti tersesat sekarang. Kyou-Kun sudah selesai merokok. Dia berdiri sempoyongan dan lalu mencari tempat sampah untuk membuang puntungnya. Gila. Mabok-mabok tertib.
"Dozo..." dia membuka pintu Cafe kecil itu dan mempersilahkanku masuk ke dalam.
Aku masuk dalam kegelapan, dan kaget saat lampu dinyalakan. Interiornya lucu sekali. Seperti masuk toko Muji atau toko Uniqlo. Mendadak Kyou-Kun hilang. Aku lantas bingung harus duduk atau berdiri dimana, karena semua kursi ditumpuk di pojokan. Masa duduk di meja?
Sekitar 10 menit kemudian dia datang kembali, dan memberiku sleeping bag. "Please... Sleep here... Sorry" katanya sambil membungkukkan badan dalam-dalam. Dia tampaknya tak enak sudah mengganggu malamku. Lalu Kyou-Kun memberiku notes kecil. "This is my namba.. Call for anything... My house next" oh, kalo ada apa-apa telpon, rumahnya di sebelah. Oke deh kalo begitu.
Kyou-Kun mendadak mematikan lampu dan menyalakan lampu yang temaram. Untuk membantuku tidur. "Jya, Oyasumi..." dia lalu meninggalkanku dan menutup serta mengunci pintu dari luar. Oke. Aku terjebak disini, di cafe, di sebuah kota kecil nan sunyi nan tenang bernama Mitaka di pinggiran Tokyo. Akhirnya akupun menggelar Sleeping Bag itu. Dan masuk kedalamnya setelah membuka jaket kulitku. Untung Kyou-Kun sempat menyalakan AC untuk menghangatkan badanku. Aku berbaring dengan bodohnya, menjadikan tasku sebagai bantal. Aku melihat dan memeriksa handphone. Banyak pesan masuk.
Pesan antusias dari Ai dan Kanaya, pesan penuh iri dari teman-teman bermusikku. Dan pesan pribadi dari Stefan. Sialan. Foto alat kelamin lelaki orang kulit hitam. Dasar cacat.
Pesan baru dari Kanaya masuk.
"Asik, sukses dong..."
"Sukses, tapi gue sekarang terdampar karena nganterin orang mabok...."
"Haha, karma kali, gak pernah mau nganterin Stefan mabok balik..."
"Bener juga lu..."
"Sekarang dimana? Yokohama juga?"
"Mitaka..."
"Dimana tuh?"
"Gak tau.... Gue iya-iya aja lagi pas diajak ama bule yang gw ceritain tadi buat nganterin Bassist yang mabok ini balik..."
"Yang sabar yak" Kanaya lalu mengirimkan foto. Di pub ternyata. Dia dan Stefan membuat muka duck face. Aku tertawa dalam hati melihatnya. Akhirnya aku memutuskan untuk mencoba tidur.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
"Anjir!" aku terbangun. Sudah pagi. Jam 8 pagi. Aku terbangun karena ada kucing gemuk nan judes berwarna hitam putih duduk di atas perutku. Mukanya cuek. Aku berusaha memindahkannya namun dia tetap berusaha bertahan juga. Gila, gendut banget kucing ini. Masuk dari mana? Apa sudah ada dari semalam?
Aku lebih kaget lagi saat pintu terbuka.
Seorang perempuan yang tampaknya berusia 30 tahunan awal atau 20 tahunan akhir masuk sambil membawa sapu. Dia kaget saat mata kami bertatapan.
"Dare??" dia memposisikan dirinya seperti akan memukulku menggunakan sapu. Si Kucing pun lari keluar dan meninggalkan kami berdua.
"Ah.. Aya... You wake up" Mendadak Kyou-Kun nongol di pintu.
"This is my sister... Kyoko..."
Dia lalu berbicara dalam bahasa Jepang yang tidak kumengerti, ada kata-kata blue note dan Indonesia di dalam kalimatnya, pasti dia menceritakan kejadian semalam dengan panjang lebar. Mendadak Kyoko menggeleng dan menurunkan kewaspadaannya. Dia tersenyum manis kepadaku dan menunduk kepadaku. Aku yang masih kaget lantas balas menunduk sambil masih melongo tak tentu arah.
------------------------------------------
Aku duduk manis di cafe yang belum dibuka itu. Kyou-Kun, yang akhirnya aku tahu nama aslinya adalah Kyoshiro Kaede dan adiknya, Kyoko sedang bersiap-siap. Dari tadi mereka menerima beberapa tamu yang mengirim susu, mengirim roti dan beberapa perlengkapan lagi. Aku meminum kopi buatan Kyou-Kun, kopi paling nikmat sejagat yang pernah kurasakan. Memang orang Jepang sangat aktif meminum kopi. Luar biasa rasanya. Sarapan pagi berupa beberapa potong sosis, kentang dan telur sudah kulahap habis. Tak enak rasanya merepotkan sepasang adik kakak ini pagi-pagi.
Bisa kulihat kadang mereka berantem lucu, mengingatkanku pada Ai. Cafe mereka buka dari jam 11 sampai jam 2 siang. Lalu buka lagi dari jam 5 sore sampai jam 9 malam. Selain menjadi musisi, tampaknya ia juga pembuat kopi yang hebat. Dan sekarang aku bingung bagaimana harus bersikap. Membantu tak mungkin, aku akan merusak ritme mereka. Pergi begitu saja, tampaknya tidak sopan.
Mendadak Kyou-Kun menghampiriku dan mulai membakar rokok. Orang Jepang lebih toleran dengan rokok jika dibandingkan dengan negara maju lainnya. Di cafe-cafe sangat umum orang merokok. Dia menyesap kopi bikinannya sendiri.
"Sorry to bother you last nait" senyumnya.
"It's okay..." senyumku.
"You want to play again tonight?" tanyanya sambil senyum.
"Wow? Where?"
"Jam Sesyon again. Half tone, Tachikawa, 30 minit from here, train"
"A moment please"
"Ham" tak ada jawaban. Mungkin sedang di kampus. "Eh.. but i have to change clothes, at my friend house, Yokohama..." jawabku.
"No worry. You can go back now. At night meet at Tachikawa"
"Mm... Okay." Yang penting aku sudah punya nomernya Kyou-Kun.
------------------------------------------
"Lagi?" aku habis mandi dan Ilham sudah pulang dari kampus. Pukul 2 siang.
"Iya men..."
"Gile hahaha, gue gak kuat, gapapa ga nemenin ya?"
"Santai..."
"Tachikawa juga jauh gila hahaha..." tawanya.
"Yah gimana, dari Mitaka ke mari satu setengah jam, mana gue bingung lagi tadi naek keretanya. Untung orang di stasiun bisa Bahasa Linggis"
"Yowes, sori gak bisa nemenin, Tachikawa itu satu setengah jam juga dari sini. Kalo dari Mitaka enak cuma setengah jam hahaha.... Tapi lo wajib deh ke Mitaka pas siang, adem suasana disana, apalagi di tamannya, ada kebon binatang kecil ama Museum ghibli.."
"Oh museum studio anime itu ya?"
"Iya" Ilham mengkonfirmasi.
"Dan mendadak lo jadi musisi aktif gitu disini hahahaha...." canda Ilham.
"Dan gue jadi lupa kalo gue gitaris rock"
"Ntar lo bawa baju ama perlengkapan mandi aja, siapa tau harus nemenin orang mabok lagi" senyumnya.
"Beres" aku lantas duduk dan memakan bento yang kubeli di minimarket. Lapar sekali rasanya. Berjalan kaki ke segala tempat membuat kakiku jadi sakit dan perutku jadi lapar. Lapar luar biasa. Kakiku merah dan badanku pun juga pegal. Bisa jadi fit dan kurus aku disini sepertinya.
Mendadak ada pesan dari nomer yang tak kukenal. Bukan nomer Jepang. Nomer Indonesia.
"Siang Mas Arya"
"Siang..."
"Mas sedang di Jepang?"
"Betul"
"Saya dari majalah urbanEars... bisa minta waktunya sebentar?"
"Boleh"
Lantas ada perkenalan dari si orang majalah itu. Katanya ia tertarik untuk meliput perjalananku disana, tapi dengan semua foto dan berita datang dari aku. Kok jadi repot begini ya? Informasi dari siapa pula, kok dia bisa-bisanya tahu soal istilah safari musikku. Aku bilang, sesempatnya ya, nanti foto bisa ambil dari Instagram. Dan ucapan terimakasih pun dia sampaikan.
Duh repot... sebisanya deh.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Hari keempat itu, aku sudah berada di Stasiun Tachikawa yang bersatu dengan sebuah pusat perbelanjaan. Jaket kulitku membantuku menahan dingin. Sudah gelap, pukul enam sore. Maklum musim dingin. Aku sengaja datang lebih awal karena tidak ingin telat. Kyou-Kun akan datang pukul 7 malam. Acara dimulai jam 8. Memang tidak enak menunggu, tapi aku belum hapal jadwal kereta dan berapa lama waktu yang dibutuhkan dari satu tempat ke tempat lainnya. Jadi tak apa. Aku memperhatikan mereka lalu lalang dengan ramainya, sepulang kerja.
Aku menggosok tanganku yang berupaya menghangatkan dirinya dalam sarung tanganku. Akhirnya aku mengeluarkan handphoneku, dan mencari toko musik terdekat di Tachikawa. Oh ternyata ada, Ishibashi, dekat, cuma 500 meter. Oke, jalan lagi.
Tak berapa lama, lima menit kemudian aku sudah masuk ke toko musik itu dan disapa oleh yang menjaga. Aku tersenyum saja. Hmm.. Tidak ada yang menarik. Gitar-gitarnya kebanyakan solid body Ibanez dan Fender Jepang. Aku berjalan lagi dengan pelan ke display efek dan ampli. Hmm.. Aku hanya pakai efek kalau bermain bersama Hantaman. Eh tapi apa itu. Wah lucu. Amplifier Vox kecil. AC30, bisa dipasang ke headphone juga. Hah, harganya cuma 3700 Yen? 400 ribu rupiah saja. Menarik. Tanpa pikir panjang aku membawanya ke kasir dan membelinya tanpa mencobanya. Aku lantas kembali ke tempat aku menunggu tadi. Lantas mengeluarkan gitarku dan mencolokkannya ke Ampli Kecil itu. Tak lupa memasang headphone dan mendengarkannya. Lumayan.
Aku lantas bermain gitar seadanya dan menikmati diriku sendiri.
------------------------------------------
"So Good!" ucap Kyou-Kun saat sesi Jam Session itu selesai. Dia sedang merokok sambil meminum bir. Aku tersenyum saja, tanpa tahu apa yang ia maksud so good itu, tapi overall aku puas sekali malam ini. Aku masih berkutat dengan gitarku, memainkan nada-nada yang tadi kutemukan saat aku bermain sendiri di stasiun Tachikawa.
Nada-nada itu serasa menghantui. Seperti merangkum perasaanku ketika disini.
"What are you playing?" tanya Kyou-Kun.
"Ah Nothing.."
"No no..... i want to hear" Dia penasaran. "Ok?" dia mengkonfirmasi lagi. Dasar. Sepertinya dia aslinya bukan orang Jepang. Aku lagi-lagi menyerah padanya. Aku memberinya headphoneku. Dan ketika ia sudah siap, aku memainkan nada-nada yang dari tadi menempel di kepalaku. Kyou-Kun bergumam. Mendengarkan dengan seksama.
"Naisu..." dia menggumamkan nada Bass. "You have to make this to a song" matanya berbinar. Aku merengut. Masa?
------------------------------------------
Aku memandang langit-langit apartemen Ilham, ditemani suara ngorok Ilham yang seperti bersenandung. Besok aku mau rehat sebentar. Hari ke lima akan kupakai untuk jalan-jalan sendiri di seputaran Tokyo, terutama Ueno Park, mungkin melihat kebun binatang atau apa. Tapi masa sendiri? Aku akhirnya mencoba memberi pesan ke Kyou-Kun.
“Are you free tomorrow?” tanyaku.
“Hi Aya. Free morning, please come to Mitaka. Talk about music”
Aku tersenyum. Hancur sekali bahasa Inggrisnya. Intinya ia mengundangku ke Mitaka pagi-pagi, mungkin aku akan mengobrol dengan dia pagi-pagi dan menikmati makan siang di cafenya, lalu mencoba berjalan-jalan sendiri. Aku tak sabar menjalani sebulan yang penuh excitement ini.
------------------------------------------
------------------------------------------
------------------------------------------
Aku duduk di café itu. Sambil melahap nasi kari khas Jepang, yang ternyata rasanya disini lebih halus dan enak kalau dibandingkan dengan yang dijual di Indonesia. Aku memperhatikan Kyou-Kun dan Kyoko yang sedang sibuk melayani tamu, sambil mengobrol ringan dalam bahasa Jepang yang tak kumengerti. Pengunjung café kebanyakan adalah orang-orang tua dari lingkungan sekitar, yang selalu brunch atau lunch disana. Ketika sore pun, mereka datang dan mengobrol dengan orang-orang yang tinggal di sekitaran situ.
Pagi ini aku sudah berdiskusi dengan Kyou-Kun sebelum café buka. Hasil coret-coretan partitur laguku sudah tersimpan dengan rapi di tasku. Masukan dari Kyou-Kun sangat berharga. Untung aku menanyakan kegiatannya hari ini dan tidak terlambat menanyakannya. Karena siang sehabis Café tutup dia akan pergi untuk suatu sesi rekaman di ujung Tokyo yang lain. Dan sepertinya dia tidak mengajakku, jadi baiklah, aku sehabis makan siang akan coba berjalan-jalan sendiri.
“Ah! Shimatta!” mendadak Kyou-Kun mengeluh di balik counter. Ia lantas mencabut sesuatu dari colokan listrik dan tampak menelan ludah. Aku meneliti, tapi takut menghampiri, takut mengganggu kerepotan yang terjadi. Para pengunjung yang rata-rata aki-aki dan nini-nini itu ikut kaget, ada beberapa yang tampaknya sudah sangat akrab dengan mereka, mendekati dan bertanya-tanya.
------------------------------------------
Hari kelima. Aku menyesap kopi kalengan yang tadi dibeli di minimarket. Kyoko duduk di sebelahku, di kursi taman, meminum minuman yang sama. Kami berdiam berdua. Tanpa suara. Canggung.
Ide tolol.
Dan aku setuju.
Mesin kopi café mereka rusak. Kepanikan melanda. Kyou-Kun menelpon teknisi. Dan akhirnya mesin kopi itu diangkut. Pelanggan mengeluh. Memang jualan utamanya adalah kopi. Tanpa itu tak ada gunanya buka, kata Kyou-Kun. Mesin dapat dibetulkan selama 2-3 hari. Atau lebih. Dan dalam kondisi itu, terpaksa mereka tutup, dan merubah jam buka menjadi pagi. Menyediakan sarapan saja. Tanpa kopi. Entah akan laku atau tidak.
Mesin kopi sudah diangkut. Café terpaksa tutup, Kyou-Kun ada janji untuk rekaman siang ke malam. Dan dia mendadak berseru sebelum berangkat tadi. "Kyoko, please take Aya for a walk, Inokashira or something" Kyou-Kun menyeringai saat ia menyuruh Kyoko menemaniku tadi. Dan Kyoko protes dalam bahasa Jepang yang tak kumengerti. Tapi Kyou-Kun memohon, juga dalam bahasa Jepang yang sama sekali aku tidak mengerti. Akhirnya Kyoko menyerah.
Dan kami berdua ada disini sekarang. Diam. Aku memeluk gitarku dalam diam. Kyoko diam juga disebelahku. Entah apa yang ia pikirkan, dia hanya menatap ke kaleng kopi di tangannya sambil berlindung dibalik mantelnya. Mendadak mata kami bertemu. Dan dia hanya tersenyum kecil lalu membuang mukanya.
So. Fucking. Awkward.
"Where you want to go?" mendadak ia bertanya dengan grammar yang hancur pula.
"I don't know"
"Mmm... The Zoo? It's near" tunjuknya ke sudut lain di taman itu.
Aku mengangguk dengan terpaksa dan tersenyum padanya.
------------------------------------------
BERSAMBUNG