Agen Terpercaya  
 
 
Pasang iklan, hanya lewat Contact Us.
Waspada penipuan iklan. Klik di sini untuk melihat daftar penipu.

CERBUNG Merantau ke Kota

Episode 2

Hari yang Aneh

Aku terbangun pukul 3 subuh pagi itu. Mungkin aku belum cukup terbiasa tinggal jauh dari rumah sehingga perasaan asing masih terus menyelimutiku. Aku terbiasa dengan suhu dingin, hanya saja rasa sunyi aku tak biasa. Deru motor maupun riak suara orang bercengkerama memang lebih nyaring terdengar dibanding di desaku dahulu, namun tidak seperti di desa, suara-suara ini hanyalah milik orang asing. Atau mungkin aku terbangun karena kebetulan saja ingin pipis juga saat ini. Langsung saja aku beranjak menuju toilet.

"Ngiiikk."

Suara pintu depan terbuka saat aku sedang berada di toilet. "Siapa malam-malam begini?" Yang aku tahu Bang Zaki baru pulang ke rumah setelah matahari terbit. Sepertinya Kila, lama juga dia jalan dengan pacarnya, pikirku. Aku menarik nafas dalam, menumbuhkan keberanianku untuk sekali bertemu dengannya. Dengan sedikit lemas, aku membuka pintu toilet.

Namun ternyata bukan Kila-lah yang baru datang. Perempuan bertubuh langsing dengan tatapan yang dingin itu berjalan melaluiku. Menatapku sekilas, tanpa tersenyum lalu langsung berjalan menuju kamar. Aku menengok ke arah jam di dinding, 3 lewat 12 pagi. Untuk apa Mba Rastri datang ke rumah selarut ini? Ia mengenakan jaket yang melindunginya dari suhu dingin, namun sekilas bisa ku lihat riasan make up yang di wajah Mba Rastri. Wajahnya tidak polos seperti pagi kemarin. Dari mana ya dia? Namun aku segera menggelengkan kepala, berusaha untuk tidak ikut campur dengan urusan tetangga baruku. Terlebih lagi Mba Rastri sejauh ini selalu cuek kepadaku.





Hari ini aku berencana untuk membeli perlengkapan untuk kamar. Mumpung masih libur, toh dua hari lagi aku sudah harus masuk bekerja. Kebetulan saat makan semalam, Ibu Azizah sudah menawarkan diri untuk menemaniku. Kami akan mengendarai motor bersama ke toko perlengkapan rumah tangga yang terletak 5 kilometer dari rumah.

Bu Azizah hari ini mengenakan jilbab panjang seperti kemarin, juga pakaian terusan, dan celana panjang. Aku awalnya sempat merasa canggung harus membonceng Bu Azizah. Memikirkan bagaimana cara memboncengnya tanpa membuat tubuh kami saling bersentuhan. Aku khawatir akan dianggap mencari-cari kesempatan untuk saat mengerem mendadak atau jika motorku terlalu laju. Kekhawatiran yang langsung terbantahkan begitu saja. Karena begitu motor kami berangkat, tubuh Bu Azizah langsung merapat denganku. Meski tidak langsung mendempetkan payudaranya, namun dengan posisi duduknya yang tidak begitu jauh, sesekali aku bisa merasakan punggungku dan payudaranya saling bersentuhan.

Aku sudah tahu dari semalam kalau Bu Azizah memiliki payudara yang besar. Pasalnya kala makan malam, ia hanya mengenakan daster dan melepas jilbabnya sehingga membuat payudaranya membusung cukup besar. Aku hanya melihatnya dan tidak memiliki niat apa pun semalam. Namun kali ini, untuk pertama kalinya aku bisa tahu bahwa payudara Bu Azizah tak hanya besar, namun juga kencang. Sentuhan payudaranya yang menggesek punggungku tiap ada hambatan di jalan raya berhasil membuat penisku mengeras.

"Besar juga ya tempatnya," ucapku sambil menaruh helm. Di depan kami adalah gedung setinggi 4 lantai yang dipenuhi oleh manusia. Sepertinya segala perlengkapan rumah tangga benar-benar tersedia di sini.

"Iya, kayaknya dengan nyari di sini aja udah cukup, kita ga perlu ke tempat lain lagi," jawab Bu Azizah.

Aku pun melangkah maju mendahului Bu Azizah.

"Zaki!" tegur Bu Azizah, dari belakang.

"Iya bu?"

"Baiknya sebelum masuk, itunya ditutupi dulu," ucapnya sambil menunjuk ke arah gundukan di celanaku. Oh sial, ketahuan sudah kalau selama perjalanan tadi aku terangsang oleh sentuhan payudara bu Azizah. Aku pun segera menarik jaketku turun, serendah mungkin hingga membuat gundukan penisku tertutupi.



Kami sudah mendapat semua perlengkapan yang aku butuhkan. Ternyata tak hanya lengkap, namun juga barang yang disediakan di sini harganya masih terjangkau olehku. Kami pun pulang ke rumah. Di perjalanan pulang, Bu Azizah masih tetap duduk dengan rapat dariku. Membuat payudaranya tetap bersentuhan dengan punggungku, padahal ia tahu persis tadi betapa aku terangsang selama perjalanan berangkat tadi. Walau masih terhalangi pakaian aku bisa merasakan kekenyalan payudaranya. Aku merasakan dadanya semakin lama semakin dekat. Kedua tangan Bu Azizah juga mulai diletakkan di kedua sisi pinggangku. Tentu saja aku menjadi keras lagi.

"Zaki," ucap Bu Azizah, tiba-tiba.

"I-Iya bu?"

"Masih ada yang mau dibeli?"

"Sudah cukup bu," balasku, seumur-umur aku berhubungan dengan perempuan seusia bu Azizah, ini pertama kalinya aku mengalami grogi.

"A-anu," ucapnya pelan. "Kamu kok tadi bisa keras gitu pas turun dari motornya?"

Pertanyaan Bu Azizah di luar dugaanku. Tanpa sadar motorku meleng ke arah kiri, untung saja tidak ada kendaraan lain. Sambil mengatur nafas, aku mencoba memahami pertanyaan Bu Azizah.

"Keras apa ya bu?"

"Zaki, Zaki... Kita udah sama-sama dewasa, ga perlu terlalu malu buat bahas gitu. Siang bolong loh kontol kamu keras, emang habis lihat apa?"

Aku tak bisa mengelak. "Maaf bu, posisi duduk ibu terlalu rapat, aku bisa ngerasain payudara Ibu. Kayaknya aku jadi terangsang."

Aku bisa merasakan Bu Azizah tertawa kecil di belakangku. "Oh jadi gitu... Kamu ngerasa lebih baik ga kalau Ibu agak mundur?"

Namun aku hanya terdiam. Jujur saja, aku lebih senang seperti ini. Di kepalaku saat ini, aku sedang membayangkan adegan-adegan yang aneh, tentang diriku yang menggerayangi Bu Azizah. Bayangkan Aku merasakan tubuh Bu Azizah seperti dahulu kala aku tidak sengaja melakukannya di desa dengan...

"Hahaha, ada-ada aja kamu," ucap Bu Azizah, membuyarkan lamunanku. Hingga tiba ke rumah, ia tidak mengubah posisi duduknya.

Dengan perasaan malu, aku masuk ke dalam rumah. Penisku masih tegak berdiri, seberapa pun coba ku tahan. Meski aku coba menutupinya dengan barang belanjaan, namun dapat ku rasakan mata Bu Azizah yang terus saja memperhatikan. Aku tak tahu apakah dia tertawa atau menunjukkan ekspresi lain, aku tak berani menatap wajahnya.



Malam hari telah tiba. Aku sedang duduk dengan Bang Jafar di teras rumah. Ia sudah mengenakan seragam hotel tempatnya kerja. Setengah jam lagi ia akan berangkat.

"Kamu harus betah-betah di sini, sudah 3 tahun aku di sini penghuninya perempuan terus. Mungkin karena kelihatan tertutup dan terlalu asri jadinya laki-laki malas masuk ke kos ini."

"Padahal menurutku rumah ini bagus Bang. Baru sehari aja aku udah betah."

Bang Jafar memperhatikanku sambil tersenyum. "Kamu betah karena Kila kan?"

Entah bagaimana Bang Jafar bisa menebaknya. "Hahaha, abang ada-ada aja."

"Gak usah malu, anak seumuran kamu pasti naksir sama perempuan kayak Kila. Ingat ya Ki, waktu awal tinggal di sini, hampir tiap hari ada aja yang datang buat ngebawain Kila makanan dan bunga. Kalau bunga langsung dibuang, kalau makanan dikasihnya ke aku, makanya perutku bisa sampai gede gini, hahaha," Bang Jafar memukul perutnya.

"Berarti udah gak ada yang kasih makan sejak dia punya pacar ya bang?"

"Pacar? Emang Kila ada pacar ya? Kok aku ga pernah tau ya. Dia itu kalau ada apa-apa pasti cerita ke Rastri."

"Punya bang, semalam dia dijemput naik mobil," ucapku, sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Aku tak mau terlihat terlalu ingin tahu tentang kehidupan Kila. Takut Kila tahu dan akan semakin menganggapku aneh.

"Ohhh," ucap Bang Jafar, seakan menyadari sesuatu, "mobil yang semalam parkir di depan itu ya? Itu sih mobil abangnya yang kerja di kota sebelah. Sesekali emang dia sering diajak jalan. Udah cemburu aja kamu," Bang Jafar menertawaiku.

Aku tak bisa membantah, karena memang benar aku merasa seperti itu. Sedikit lega rasanya mengetahui bahwa Kila ternyata belum ada yang punya. Tapi di sisi lain aku merasa semakin rendah saja, Kila sengaja menyebut punya pacar agar aku tak berusaha mendekatinya. Kalau dipikir-pikir benar juga jika Kila ingin menjauhiku. Toh aku hanyalah pemuda desa yang kebetulan tinggal berdekatan dengannya. Aneh juga, kita baru bertemu sepintas dan aku sudah memikirkan Kila segininya.

Bang Jafar mematikan rokoknya di asbak, lalu berdiri. Ia melihat jam, lalu mengenakan helmnya. "Aku berangkat kalau gitu. Kamu di sini aja, mikirin Kila. Tapi jangan terlalu larut, bisa-bisa kesambet kamu."

Setelah Bang Jafar pergi meninggalkan rumah, aku masih terpaku di depan teras. Hanya duduk termenung saja memperhatikan lingkungan baruku. Semakin lama pikiranku terpaku ke hal-hal lain, aku mulai mengingat desa yang ku tinggalkan. "Kerjaanku diambil siapa ya saat ini? Belum ada kabar lagi dari desa," batinku, namun ngomong-ngomong tentang kerjaan, lusa aku sudah masuk kerja. Kebetulan ada teman lama Pak Kepala Desa yang langsung menawarkan aku pekerjaan begitu tahu aku akan meninggalkan desa. Gajinya tidak segitu banyak katanya, hanya sedikit lebih banyak dari penghasilanku sebagai perangkat desa. Toh, aku tak bisa menolak, lagipula mau tidak mau aku memang harus meninggalkan desa sesegera mungkin.

Langit semakin gelap, sudah waktunya aku bersiap untuk tidur. Aku baru saja hendak masuk ke dalam rumah, kala pintu dibuka dari dalam.



Wajah kami saling berpapasan, bahkan bisa dibilang hampir bertubrukan. Aku bisa melihat tatapan matanya yang terkejut melihatku. Mungkin sebelumnya ia merasa bahwa teras ini sudah kosong sejak tadi. Mba Rastri mengenakan jaket yang sama dengan subuh tadi, nampak riasan di wajahnya yang membuatnya terlihat sangat berbeda. Wajahnya yang biasanya terlihat judes nampak lebih anggun.

Seakan sadar, Mba Rastri langsung melengos berjalan melewatiku menuju ojek online yang sudah ternyata sudah menunggu. Apakah dia memang selalu keluar selarut ini? Kenapa juga dia baru keluar saat suaminya sudah berangkat kerja? Aku punya tebakan, namun aku memilih untuk mengabaikan. Urusan rumah tangga orang lain, aku lebih baik tidak terlibat. Aku pun masuk ke dalam rumah.



Semakin ku jalani, aku semakin sadar betapa banyak hal yang tidak ku ketahui tentang rumahku tinggal saat ini. Entah apa aku bisa bertahan lama di sini, atau mungkin perlu mencari tempat tinggal lain yang dihuni oleh laki-laki seusiaku saja, tempat di mana aku bisa bergaul dengan santai. Namun di sisi lain, aku pun sadar jika diriku juga memiliki rahasia.

Tok-tok

Tiba-tiba terdengar suara ketukan di pintu kamarku. Aku segera memeriksa, rupanya Bu Azizah sedang berdiri di depan pintuku saat ini. Aku begitu terkejut melihatnya saat ini. Meski sudah pernah melihatnya tidak mengenakan jilbab, namun kali ini Bu Azizah sedang mengenakan daster berbahan linen warna putih. Begitu tipis sampai-sampai aku bisa melihat puting payudaranya menerawang dari baliknya. Ia tidak mengenakan bra, dan itu terlihat jelas di hadapanku saat ini. Leher yang rendah juga membuat sisi atas payudaranya yang berwarna putih cerah nampak jelas. Kemarin ia memang tak mengenakan jilbab saat kami makan malam bersama, namun baru kali inilah aku sadar betapa besarnya payudara Bu Azizah.

"Jangan kelamaan bengong," ucap Bu Azizah, sambil melambaikan tangannya ke depan wajahku. "Ibu mau minta tolong kamu, bisa ga?"

Aku hanya mengangguk saja, seakan lupa bahwa saat ini aku hanya mengenakan celana boxer pendek tanpa dalaman. Membuat tonjolan di balik celanaku semakin tercetak.

Aku mengikuti Bu Azizah hingga sofa ruang keluarga. Di sana ia mempersilakanku untuk duduk di sampingnya.

"Kamu belum ngantuk kan?" tanyanya. Aku hanya menggeleng. Sambil tersenyum, Bu Azizah lalu memegang pundaknya. "Baguslah kalau gitu, pundak Ibu pegal nih, sampai ga bisa tidur. Kamu bisa pijat ga?"

Ku menatap tubuh Bu Azizah sekali lagi. Sambil mengangkat lengannya memegang pundak, membuat dasternya semakin menekan payudaranya. Tubuhnya yang berisi, payudara yang ranum, semakin terlihat indah. Aku mencium aroma parfum meruak dari tubuhnya. Mengapa ia memakai parfum selarut ini?

"Bisa bu," ucapku, sambil menyentuh pundaknya dengan canggung. Aku mengambil posisi.

Meski sudah berusia lebih 40 tahun, namun kulit Bu Azizah masih begitu kenyal. "Iya Ki, di situ, ah enaknya," ucapnya sambil membelakangiku.

Sesekali aku memijat punggung bagian atas Bu Azizah juga. Aku bisa merasakan punggungnya yang hanya dilapisi oleh kain linen tipis, tidak ada tali bra, tidak ada yang menghalangi. Ingin sekali rasanya aku melakukan lebih dari ini. Wangi Bu Azizah benar-benar membuatku terbawa suasana. Entah sejak kapan, ku lihat tubuh Bu Azizah juga mulai mengeluarkan keringat.

Bu Azizah mengarahkan tanganku agar mengarah ke punggungnya lebih sering. Kini kedua tanganku berada dalam genggamannya. Kali ini gerakan kami seakan hanya naik turun menyentuh tubuhnya. Entah mengapa tiap kali meraba lemak di punggungnya membuatku turut berkeringat juga. Bu Azizah menarik tanganku ke arah perutnya, membuat kami seakan berpelukan. Tidak ada kata-kata yang sama sekali terucap. Hanya aroma keringat dan parfum bu Azizah yang menguak ke sekujur ruangan.

Posisiku yang seakan memeluk Bu Azizah membuatku mau tak mau harus duduk mendekat. Penisku yang sedari tadi sudah tegang di balik celana pendek kini menyentuh sisi pinggang dan pantat Bu Azizah. Aku bisa mendengarnya sedikit mendesah, mungkin terkejut. Namun ia tidak bereaksi, hanya menarik tanganku agar memeluknya lebih kencang. Sesekali bisa ku rasakan pantatnya mencoba menggoyang seakan hendak merasakan tegangnya penisku.

Tiba-tiba Bu Azizah membalik badannya, membuat tubuh kami saling berhadapan. Kini daster Bu Azizah juga samar-samar basah, membuat tubuhnya semakin nampak. Kali ini giliranku terkejut. Puting payudara Bu Azizah sudah tercetak jelas di balik pakaiannya. Lingkaran areola berwarna gelap dan berukuran besar kini menghadap ke arahku seakan menantang. Butiran biji keringat yang berada di sisi atas payudaranya bercucuran seakan memanggilku masuk. Wajah Bu Azizah sudah berwarna merah, mulutnya sedikit membuka. Mata kami saling beradu.

Meski belum bersentuhan organ intim, namun nafsu birahi sudah menguasai diri kami berdua. Aku menduga, Bu Azizah sepertinya sudah lama tidak merasakan kepuasan dari laki-laki. Kini ia tak menahan diri lagi, Bu Azizah mendorong tubuhku, lalu membaringkan tubuhnya di atasku. Payudaranya menekan dadaku kencang, membuat nafasku memburu.

Rumah sedang kosong saat ini, dan siapa saja yang masuk saat ini bisa melihat perbuatan tercela yang sedang kami lakukan saat ini. Aku tak lagi merasa malu, aku mengangkat sedikit rok Bu Azizah dan menyentuh pantatnya yang sudah berkeringat. Ukuran pantat yang besar dan berlemak. Bu Azizah membalas dengan menaruh tangan kanannya di leherku, lalu mencium bibirku dengan penuh nafsu. Benar-benar buas, sampai-sampai tak hanya bibir, namun juga pipiku dipenuhi oleh air liurnya. Rambutnya yang tak diikat mengenai wajahku.

Ku arahkan jemariku ke vaginanya, membuatnya mendesah. Tubuhnya semakin buas, tangannya di leherku kini mulai mencekik. Aku semakin bernafsu. Vaginanya yang dipenuhi rambut sudah sangat basah, tanpa kesulitan kedua jariku masuk ke dalamnya. Bu Azizah mengerang hebat.

"Cepetin nak, ahhh," pertama kalinya aku mendengar dia memanggilku "nak". Membuatku semakin panas, bersetubuh dengan perempuan paruh baya adalah hal yang tak pernah terbayang akan ku lakukan selama ini. Aku mempercepat gerakan jariku, membuat Bu Azizah semakin menggila. Kini kedua tangannya berpegangan erat ke pundakku. Bibirnya tak lagi mencumbuku.

Aku bisa merasakan tubuh Bu Azizah mengencang. Sepertinya ia akan mengalami orgasme. Aku hendak membuka pakaiannya seluruhnya, namun ia menahan tanganku. Sepertinya tak ingin kenikmatan ini hilang. Aku patuh, dan mempercepat gerakan jemariku di vaginanya.

"Ahhh iya nak, raba, raba memekku, ahhhh," ucapnya berulang-ulang.

Kini tubuh Bu Azizahlah yang berada dalam tindihanku. Aku terus menyentuh vaginanya. Makin lama, ku rasakan cairan di vaginanya semakin banyak keluar. Wajah Bu Azizah semakin merah.

"Aaaah, mau keluar, nakkk, ahhhhh," teriaknya, diiringi dengan tubuhnya yang mengejan kencang.

Ku rasakan vaginanya berkedut, lalu menyempit seakan menekan jemariku. Aku masih takjub dengan pemandangan ini. Tubuh Bu Azizah terbaring lemas. Penampakannya semakin urakan, rambut yang basah, pakaian yang tidak lagi menutupi tubuhnya seutuhnya. Aku bisa melihat vaginanya yang dipenuhi bulu berwarna hitam lebat, cairan bening sedikit putih menetes ke kulit sofa. Sofa ini semakin basah saja jadinya.

Aku mencium bibirnya, pelan. Membiarkan dia menikmati orgasme yang baru saja dirasakan. Setelah 15 menit, bisa ku lihat tubuhnya tidak lagi selemas tadi. Aku masih terangsang, penisku masih keras. Aku siap untuk bersetubuh yang sebenarnya.

Baru saja aku hendak menarik turun celanaku, tanganku mendadak ditahan oleh Bu Azizah. Cengkeramannya cukup kuat membuatku terhenti.

"Ternyata Ibu belum siap, Ki," ucapnya sambil tersenyum tipis, lalu mencium pipiku. Ia lalu berjalan menuju toilet, meninggalkanku.

Setelah beres membersihkan diri, Bu Azizah hanya melirikku sesaat lalu masuk ke dalam kamarnya. Sepertinya memang sudah selesai ya. Aku yang bingung, hanya bisa duduk bengong di sambil menatap televisi. Banyak sekali pertanyaan di kepalaku saat ini, dan aku tak tahu harus memulai dari mana.

Hari yang aneh.
 
Gaple Online Indonesia
Pasang iklan hanya lewat CONTACT US
Back
Top
We are now part of LS Media Ltd